Aku berlari sekencang-kencangnya ke rumah. Sesampai dirumah aku dikejutkan oleh semua orang didalam rumahku sedang berkumpul semua diruang tempat kami biasa menghabiskan waktu bersama.
"Selamat ulang tahun isah" kata mamakku sembari memelukku. Airmata yang kutahan tadi membuncah ketika aku mendapatkan kejutan spesial ini. Ya hari ini, tepat usiaku 10 tahun. Aku terharu. Sampai-sampai aku melupakan apa yang dikatakan Koko Acin tadi.
"Ini kado dari kami" kata Ka Nur memberikan sebuah bungkusan berbentuk persegi yanh dibungkus dengan kertas warna warni.
Aku terdiam sejenak. Tidak langsung menerimanya. Apa yang harus kulakukan. Apa aku harus mengatakan pada mamakku apa yang baru saja Koko Acin katakan.
"Terima kasih semuanya" akhirnya aku urungkan mengatakannya. Aku takut merusak suasana yang sedang gembira ini. 10 tahun sudah aku menikmati hidup seperti ini, dan selama 3 tahun tanpa Ayah yang tidak ada membimbing kami. Tidak ada sosok yang selalu menasehati tentang kehidupan ini. Kami, mengerti kehidupan itu dari apa yang kami rasakan saat ini. Ketika bahagia, jangan lupa diri. Ketika bersedih jangan lupa untuk bersyukur. Siang ini, momen yang akan menjadi kenangan terindah untuk masa depanku. Dan aku membiarkan hari ini berlalu dengan kesenangan.
Keesokan pagi, kak Nur dan Kak Aish berdandan rapi. Mamak bertanya.
"Mau kemana kalian, Nur?"
"Mau kerja Mak" jawab kak Nur merapikan polesan bedaknya
"Sudah pulang, toke kalian?"
"Sudah, mak" jawab kak Nur singkat menyelesaikan pemasangan eye shadow berwarna merah muda.
"Tapi, kenapa kau berdandan secantik itu Nur?" Tanya Emak yang mulai curiga
"Nur ini mau tampil cantik , Mak. Apa tak boleh?"
"Bolehlah, tapi bukannya wanita tampil cantik akan timbul fitnah, Nur"
"Emak.....emak....Nur dandan bukan untuk dipuji cantik mak. Nur cuma biar kelihatan rapi dan bersih saja"
"Yasudahlah....hati-hati kalian berdua"
Padahal ini minggu, aku yang tidak ada libur segera kepemakaman umum. Sebagai kerja dinwaktu libur, aku membersihkan kuburan-kuburan. Dan mendapat upah dari penjaga kuburan. Aku menjemput Erna. Dan kami berdua berjalan menuju kepemakaman umum. Terkesan seram memang. Walaupun pemakamannya dilalui banyak orang. Tapi, yang buat seram itu pohon-pohon besar. Yang konon katanya berpenghuni seorang wanita yang selalu tertawa nyaring. Tapi, sampai sekarang aku belum pernah jumpa. Erna, ketika memasuki halaman pemakaman itu, matanya selalu tertuju kearah satu makam yang berada diatas dataran yang lebih tinggi. Batu nisan berwarna putih, dan disitu bertuliskan Nurasih. Itu makam ibunya.
"Er...." aku mencoba memukul pundak Erna pelan.
"Kau tahu, Sah. Aku pernah mendengarkan pengajian dari Haji Amir. Katanya perempuan itu makruh ke kuburan. Karena hatinya yang sensitif dan emosinya tidak stabil"
"Terus?"
"Kau tahu, dan itu dilarang, karena akan menyebabkan rengekan dan ratapan. Dan itu mungkin terjadi padaku"
"Kau bilang itu dilarang. Kenapa kau masih melakukannya?"
"Hehehe....yasudah. kita bersihkan saja pemakaman ini" Suasana hati Erna langsung berubah dengan senyuman yang menyembunyikan kerinduan yang teramat dalam. Dan aku tahu itu
"Ayok!!!" Teriakku semangat.
Inilah perjalanan hidupku, yang aku bilang inilah kehidupanku. Semua memang tidak berjalan sesuai inginku. Tapi, bukan aku tidak mensyukurinya. Aku sangat bersyukur sekali. Menghabiskan hari-hariku bersama mereka orang-orang yang kusayangi. Dan aku maunya sepertu ini selamanya.
Pulang kerumah, suasana berubah drastis. Kak Nur dan Kak Aish tampak bercucuran airmata. Dan mamak, ya mamak juga bercucuran air mata. Mamak yang sedang duduk ditangga dapur sedang memandang kosong kearah luar dapur yang merangkap sebagai kamar mandi juga.
Bang Ipol yang berdiri membungkuk di depan jendela yang sedang memandang sungai belakang rumah kami.
"Sudah mamak katakan berkali-kali. Kita ini memang hidup susah didunia. Jangan kalian susah lagi diakhirat"
"Maafkam Nur dan Aish , Mak. Hiks...hiks" Kak Aish menangis senggugukan.
"Kau minta maaf sama Tuhan" kata Mamak mengahpus airmatanya.
"Mak....Nur dan Aish berjanji tidak akan melakukan hal itu lagi"
"Hilang sudah kepercayaan Koko Acin terhadap kelurga kita. Orang miskin memang suka mencuri"
"Mak....hiks...hiks"
"Kalian kira membangun kepercayaan itu semudah membalikkan telapak tangan. Itu membutuhkan waktu lama. Sebaiknya ini malam kalian tidak usah makan"
"Mak....kami kelaparan lah" rengek Kak Nur
"Biar kalian tahu bagaimana rasanya lapar"
Aku tahu pasti, bahwa yang Koko Acin katakan tempo hari sudah terungkap kebenarannya. Aku tidak perlu mengatakannya. Karena kebenaran itu tidaklah perlu diungkapkan, karena akan muncul dengan sendirinya.
Keluarga miskin, hidup yang susah. Mengurus anak-anak yang mulai meranjak dewasa. Mamak sendirian mengurusnya, dan dia tidak pernah mengeluh.
"Berkeluh kesahlah kepada Tuhan, nak. Karena dia maha pemberi jawaban" itu kalimat terakhir yang aku dengar dari ayahku ketika hendak merantau. Dan aki merindukan nasehat-nasehatnya.
Tak terasa waktu begitu berlalu cepat sekali. Bahkan aku masih merasakan baju seragam putih merah. Sekarang seragam itu berpindah ketangan adikku yang paling kecil Ami. Aku dibelikan seragam baru oleh mamakku. Warnanya benar-benar cerah. Putih cemerlang. Tapi, itu tidak bertahan lama. Karena air disini sangatlah berwarna cokelat dan lengket.
Aku masih satu sekolah dengan Erna. Dia sangat cantik sekali. Banyak pria-pria mulai melirik kearahnya. Badannya yang mulai tumbuh dan kemolekan tubuhnya menjadi incaran setiap pria. Sedangkan aku masih kurus seperti dulu. Seperti kekurangan gizi saja.
"Kau semakin cantik saja, Er"
"Hehehe...kecantikan itu sebuah beban berat, Sah"
"Kok begitu?" Tanyaku heran
"Karena jika kecantikan itu disalahgunakan maka kau akan terjerumus keneraka"
"Waaah....kok bisa?"
"Karena kecantikan itu sumber dosa"
"Hehehe....ada-ada saja kau ini"
Sekolah baru kami menyambut dengan senang hati. Banyak teman baru yang kami kenal. Namun, hanya kami berdualah yang melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama dari SD kami. Teman-teman lainnya memutuskan tidak melanjutkan karena tidak mampu mebayar biaya sekolah. Akhirnya mereka tinggal dirumah dan beberapa orang dari teman kami dulu bekerja di pasar.
Aku dan Erna termasuk orang yang beruntung. Kami mendapatkan beasiswa penuh dari sekolah. Karena hasil tes ujian masuk kami paling tertinggi.
Berkenalan dengan orang-orang baru. Menambah persahabatan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang sosial yang berbeda. Ini sekolah yang tidak membanding-bandingkan status sosial. Itulah yang aku pikirkan selama ini. Ternyata aku salah.
"Hei...kalian berduua orang miskin. Duduknya paling sudut belakang sana" seorang anak perempuan yang aku tahu benar siapa dia itu. Anak camat yang menuduhku mau mencuri. Dia benar-benar seperti tuan putri cantiknya.
"Hahahaha...." teman seisi kelas tertawa melihat tingkah kami berdua yang seperti kucing tersiram air saja tidak mampu bergerak dan membantah.
"Mel....jangan menyiksa mereka seperti itu, kasian mereka" seorang anak laki-laki yang tinggi dan tampan itu sepertinya membela kami. Namun, aku tidak suka ketika mendengar kata kasian. Gepalam tinjuku sudah hampir melayang ke wajah pria yang membela kami itu. Namun, Erna menahan tinjuanku.
"Sudahlah, sebaiknya kita banyak berdoa saja. Bukankah orang-orang terzolimi dijamah doa-doanya" senyum Erna membuatku semangat.
Hari yang sangat tidak terbayangkan aku sebelumnya. Aku merindukan SD kami itu. Setiap kali istirahat kami bermain kasti. Tapi, sekarang disekolah kami ketika istirahat lebih banyak menghabiskan waktunya untuk makan dikantin sekolah.
"Hei....terima kasih sudah membela kami" Erna tiba-tiba menghampiri anak laki-laki yang membela kami tadi.
"Akh, tak perlu sungkan seperti itu. Kita ini kan berteman. Kau maafkan saja tingkah si Amelia. Dia memang begitu sejak dulu. Maklumlah ayahnya mantan camat disini"
"Iya" jawab Erna sambil tersenyum.
Sepulang sekolah aku masih saja melakukan kebiasaanku. Menjual hasil ikan tangkapan bang ipol. Kak Nur dan Kak aish bekerja di toko buku milik pak haji Amir. Ibu yang sudah bisa menjahit, mulai menerima tempahan untuk menjahit. Semuanya kami bekerja. Untuk melanjutksn kehidupan kami setiap harinya. Dan kami menikmatinya.
Malampun berlanjut. Tiba-tiba percakapan aneh pun terjadi.
"Mak....ada yang mau melamar Aish"
"Hah....siapa itu nak?"
"Aswan. Anak uwak Iyoh"
"Laki-laki yang tak bekerja itu?"
"Iya mak"
"Bukan mamak tak setuju kau dengan dia, Aish. Cuma mamak tak suka saja dengan pemuda pemalas"
"Tapi, katanya dia akan bekerja, Mak"
"Suruh dia bekerja dulu. Jika cuma janji mending kau abaikan saja dia. Kita hidup bukan dari janji-janji orang yang mengaku sayang sama kita. Tapi kita hidup karena kita sama-sama berusaha untuk melangsungksn hidup"
"Tapi, Mak"
"Percayalah, nak. Janji itu tidak akan ditepati jika hanya janji. Kalau dia membuktikan bahwa dia bekerja dalam waktu dekat ini. Mamak restui Aish bersama dia"
"Kerja apapun bolehkan, mak"
"Boleh, asalkan yang halal. Karena kita tidak tahu tentanh rezeki seseorang"
"Iya, mak. Nanti Aish bilang sama Bang Aswan"
"Ya..."
Pelajaran besar bagiku nanti ketika memilih pasangan. Yang penting bekerja dan itu halal.
Benar saja Bang Aswan dan Wak Iyoh datang kerumah. Membawa makanan dan beberapa orang lainnya membawa barang-baranh yang harus diserahkan kepada keluarga kami. Kak Aish berdandan sangat cantik hari itu. Benar kata orang-orang, wanita itu terlihat sangat cantik ketika dia sedang jatuh cinta dan saat pernikahan. Auranya itu sangat berbeda sekali. Dan akhirnya Bang Aswan resmi menjadi menantu mamakku. Dan menjadi bagian keluarga kami. Bertambah keluarga baru, dan akan menghilangkan satu orang dari keluarga kami. Kak Aish dibawa oleh rombongan Wak iyoh pulang kerumah. Pesta, tidak ada pesta. Hanya sedekar akad nikah saja. Masa-masa SMP ini berlalu begitu cepat sekali. Aku sudah duduk dibangku kelas 2. Dan mendapatkan peringkat terbaik disekolah dan memasuki kelas unggulan. Begitu juga Erna.
Namun sepulang sekolah ini, aku melihat Buk Muriah sedang duduk sendiri dibangku depan rumahnya sambil membaca buku. Aku menghampiri buk Muriah yang aku rindukan itu.
"Buk Muriah" sapaku diseberang pagar rumahnya
"Isah" buk Muriah menghentikan membaca bukunya.
"Buk" aku menyalaminya dan aku selalu berdoa setiap kali mencium tangannya.
"Sejak dulu, hikmat sekali Isah mencium tangan ibu. Seperti ada yang didoakan saja"
"Isah selalu berdoa, ingin seperti ibu"
"Heh..." wajah Buk Muriah kaget
"Kenapa buk?"
"Apa hebatnya ibu ini, sampai-sampai kau ingin seperti ibu"
"Ibu itu hebat sekali. Ibu orang yang tegar. Bahkan ibu orang yang pintar"
"Hehehe...ibu tidak seperti itu , sah"
kumpulan-kumpulan tulisanku yang sebenarnya tak berupa tulisan...hahahaha selamat membaca!!! semoga bermanfaat eaaah....
Senin, 09 Juni 2014
This is Life
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar