Kamis, 10 April 2014

Five Days' Wonder

Hari 1 :
Aku sudah mengenalnya semenjak kami di SMP yang sama, lalu aku bertemu dengannya ketika dia les bahasa inggris denganku. Namun, kami tak pernah saling menyapa. Aku yang memang pemalu sekali takut untuk menegurnya. Dia yang selalu ceria, menebarkan senyuman ke semua orang. Dia yang selalu menjadi populer disekolah bahkan di tempat kami les bahasa inggris. Rasa minderku semakin besar, bahkan sekarang menatap wajahnya aku sangat malu. Tapi hari ini dia datang kebangku dan bertanya
"Teman sebangkumu tidak masuk les?aku boleh duduk disini?"
"E....boleh" jawabku yang jantungku bergedup kencang bahkan aku tidak melihat wajahnya yang memiliki pipi yang tembam.
Selama les bahasa inggris aku benar-benar tidak konsentrasi. Aku yang biasanya rajin menerjemahkan bahasa inggris di buku catatan, hari ini tangannku tidak bersahabat. Tanganku hanya diam dan tak bergerak sama sekali. Ini diluar kebiasaanku. Dan aku berkeringat dingin.
"Kau baik-baik saja?" Tanyanya dengan lesing pipi yang membuatku terbelalak betapa manisnya dia
"Iya, aku baik-baik saja"
"Bajumu basah, apa kau sakit. Keringatmu keluar terlalu banyak"
"Tidak apa-apa?"
"Apa kau kepanasan?"
"Tii.....tidak" jawabku gugup "sir....excuse me, I want to a toilet" aku mengacungkan tangan dan permisi ke toilet.
Aku pergi toilet yant berada dilantai bawah. Ditoilet aku mencuci mukaku yang terlihat aneh. Aku sudah terlihat segar. Membasuh leher dan tanganku dengan air. Dan ini cara yang ampuhku untuk menghilangkan ke gugupanku selama duduk bersamanya. Aku bahkan tidak berani menatap matanya secara langsung.
Tok...tok...suara pintu kamar mandi berbunyi. Aku membuka pintunya dan aku melihat dia berda di depan pintu kamar mandi.
"Apa kau baik-baik saja?aku khawatir?"
"I...iya...aku baik-baik saja. Maaf sudah membuat khawatir"
"Hm..." dia mengenbangkan senyum terindahnya yang membuatku semakin tidak berani menatap matanya.
Hari ini diluar pemikiranku. Dia menyapaku, bahkan dia duduk dibangku. Ini seperti angin musim semi yang menerpa setiap wajahku oenuh kesegaran. Dan warna dilangit senja yang membuat aku merasa nyaman berada dikehangatan senja ini. Bagaikan rembulan yang memelukku di tengah malam yang dingin. Terasa aneh, dan aku selalu membayangkannya. Pipinya yang tembam dan lesung pipunya yang selalu ada setiap kali dia tersenyum. Aku benar-benar sudah dibuat gugup olehnya hari ini.

Hari 2 :
Aku tidak melihatnya les bahasa inggris hari ini. Apa dia membolos?. Tapi aku rasa tidak mungkin. Teman sabangku melihatku aneh.
"Kau kenapa?seperti ada yang dicari?"
"Eh...tidak ada kok"
"Heh..kelihatan dari wajahmu yang bodoh itu. Kau sedang mencari seseorangkan?"
"Tidak!"
"Bohong"
"Urgh!"
Aku dibuat kesal teman sebangku. Dia sok tahu. Tapi, apakah aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan raut wajahku ini. Aku tidak berkonsentrasi, begitu banyak pertanyaan yang hinggap dikepalaku. Kemana dia?apa yang sedang dilakukannya selama tidak les?apa dia sedang sakit?. Akh......terlalu banyak yang aku cemaskan. Dan akhirnya aku tak sengaja mendengarkan perbincangan dua orang perempuan yang berada didepanku.
"Setelah pulang les ke kolam berenang, yuk"
"Iya, Garsi kan bertanding hari ini"
"Hu um"
Ternyata hari ini dia ada pertandingan olah raga renang. Dimana kolam berenang yang mana. Dikota ini ada banyak kolam berenang. Jadi, tekadku adalah membuntuti kedua perempuan itu sampai kekolam berenang. Benar saja, aku mengikuti mereka berdua sampai kolam berenang daerah selatan. Aku terkejut ada banyak orang disana. Ini untuk pertama kalinya aku pergi sendirian ketempat seramai ini. Tekadku bulat ingin menonton dia bertanding di arena kolam ini. Ada penjualan tiket masuk, aku merogoh kantongku yang hanya tinggal 10.000 rupiah. Jika aku membelikan tiket aku akan pulang berjalan kaki. Bagaimana ini, aku bimbang sekali. Kembali aku bertekad, tak apalah kalau aku berjalan kaki yang penting aku bisa melihatnya berlomba. Aku membelikan tiket dan mendapatkan bonus minuman kotak. Ramai sekali, ternyata kejuaraan renang tingkat SMP daerah. Aku barubtau dia adalah seorang perenang. Aku mencari bangku yang pas untuk melihat dia bertanding. Mataku tak henti-hentinya melihat kebawah tepatnya dipinggiran kolam renang itu. Aku tidak melihat dia disana. Sebuah peluit berbunyi tanda pertandingan akan segera dimulai.  Dan akhirnya aku menemukannya, dengan pipinya yang seperti bakpau itu, jelas sekali bahwa dia berada diujung kolam berenang itu dengan nomor dada 24-4. Aku melihatnya jauh dari atas sini. Tapi dengan berfokus pada dirinya aku mampu melihat dengan jelas. Aku memperhatikan gerakan renangnya, dia melaju lebih cepat dari peserta lainnya, setidaknya untuk saat ini, dialah yang terunggul. Ada rasa bangga aku melihatnya begitu hebat di dalam air, namun dimenit berikutnya dia mulai melemah, dan melemah sampai pada akhirnya dia tak mampu bergerak dan meminta pertolongan. Semua penonton berteriak histeris, dan aku tak mampu berteriak mataku hanya membesar dan rasa kekahawatiran muncul. Aku berlari kebawah mendekati arena perlombaam namun aku tak diperbolehkan untuk masuk kedalam arena. Penonton mulai riuh lagi dan ada beberapa yang berteriak sambil menangis.
"Garsi....Garsi...." seorang wanita paruh baya berlari kearah arena namun ditahan oleh seorang petugas keamanan
"Dia anakku!!" Teriak wanita itu.
"Maaf, buk. Anda tunggu disini dulu" petugas itu mencoba menenangkan wanita yang sedari tadi berteriak menyebut namanya.
"Hei....!" Kataku memberanikan diri dengan tubuh yang sekecil ini.
"Siapa kau?" Tanya petugas itu kelihatannya marah
"Aku temannya Garsi. Kau tahu, wanita itu adalah ibunya dari anak gadis yabg sedang tak sadarkan diri disana" kataku sambil menunjuk kearah Garsi yang diatas tandu.
"Ini prosedur, semua orang dilarang masuk"
"Terkecuali orang tuanya. Jika kau diposisi wanita itu. Melihat anakmu sedang tak sadarkan diri, apa kau hanya diam menunggu disini?"
"Berisik kau bocah"
"Tolonglah bapak yang baik hati, apa kau tidak iba melihat wanita itu menangis"
"Kau ini"
"Tolonglah!" Aku memohon kepada petugas keras kepala itu sambil menundukkan kepalaku kearahnya.
"Baiklah. Hei....buk!kemarilah. Lihatlah anakmu" kata petugas itu setengah hati.
"Terima kasih, pak!" Wanita itu berterima kasih dan merasa lega.
Aku, apa dia tidak melihatku. Mengapa dia tidak berterima kasih padaku. Bahkan dia tidak menoleh kebelakang sedikitpun. Akh...sudahlah aku tak ingin mengungkitnya lagi. Yang aku tahu wanita itu sangatlah khawatir. Aku menunggu di luar gedung renang dan berdiri sendiri sambil menunggu datangnya mobil ambulans. Aku harus tahu kemana dia akan dirawat.
Sirine ambulans pun terdengar sangat nyaring sekali. Aku melihat ambulansnya semakin dekat dan aku membaca rumah sakit yang mengeluarkan ambulans itu. Kulihat para petugas medis bersigap membawa Garsi kedalam ambulans, diikuti ibunya dan kedua orang lainnya yang aku tahu mereka adalah dua perempuan teman lesku yang menuntunku sampai ke gelanggang renang ini. Sebaiknya aku pulang, bahkan aku harus berjalan kaki pulang kerumahku. Sepanjang jalan aku bertanya.
"Kenapa dia?apa yang terjadi padanya?apa dia baik-baik saja"
Kakiku terasa sakit sekali harus berjalan kaki pulanh kerumah.
Hari 3 :
Aku mencoba memberanikan diri untuk menjenguknya kerumah sakit dimana dia dirawat. Sehabis pulang sekolah, biasanya aku latihan futsal bersama teman-temanku. Tapi kali ini aku meminta izin pada temna-temanku untuk tidak ikut latihan dengan alasan aku harus kerumah sakit menjenguk saudara sakit. Tak apalah sedikit berbohong, tapi memang benar aku menjenguk orang sakit, dan aku rasa kami bersaudara karena kami satu negara.
Sesampainya aku dirumah sakit, aku lupa membawa buah tangan. Aku mencari kantin rumah sakit untuk membeli roti dan beberapa buah-buahan. Aku senang bisa membawakannya. Dan disinilah salahku, aku tidak tahu dikamar mana dia dirawat. Mencari pusat informasi, aku harus berkeliling rumah sakit yang besar ini. Akhirnya kutemukan pusat informasi tersebut.
"Permisi, buk!"
"Ya...ada yang bisa kami bantu, dik?" Tanyanya ramah sekali
"Saya mau bertanya, pasien yang bernama Argarsiah Fidiya dirawat dikamar apa ya bul?"
"Tunggu ya, saya lihat dulu dik?"
"Iya buk"
"Adik ini siapanya?" Tanyanya basa basi sambil mencari datanya di komputer.
"Saya temannya, buk"
"Hm....dikamar anggrek nomor 247 ya, dilantai 3"
"Makasi buk"
"Sama-sama"
Aku mencoba mencari lift, namun hanya diperuntukkan buat pasien gawat darurat dan dokter. Pengunjung dilarang menaiki liftnya. Kakiku yang dari semalaman terasa berat ditambah lagi dengan harus menaiki tangga sampai lantai tiga. Aku rasa ini rintangan untuk melihatnya. Betapa beratnya. Bukankah ini tanda-tanda kalau aku harus berjuang lebih keras lagi untuk mendapatkannya. Tak apalah yang penting aku bisa menjenguk dan melihat keadaannya sekarang. Aku mencari nomor 247, ternyata ada diujung gang. Rumah sakitnya bersih dan nyaman, bahkan tidak sepi namun tidak ribut. Aku mengetuk pintu kamarnya dan dibukakan oleh wanita yang kutahu itu adalah ibunya.
"Hm...permisi bu. Ini kamarnya Garsi?"
"Iya...."
"Saya temannya ingin menjenguk"
"Hem....Garsi tidak pernah cerita dia punya teman laki-laki"
"Eh....saya teman les bahasa inggrisnya"
"Oh...sebentar ya, Garsinya lagi dikamar mandi"
"Iya buk"
"Siapa, Mom?" Aku mendengarkan suaranya dibalik tirai putih itu.
"Teman les kamu"
"Namanya siapa?"
"Siapa nama kamu?" Tanya ibunya kepadaku
"Kenziro, bu"
"Kenziro"
"Eh...suruh dia masuk bu"
"Silahkan masuk" kata ibunya ramah seramah dan semanis Garsi
Aku melihatnya sedang terbaring dengan selang infus. Dia kelihatan sangat pucat sekali dan tidak bergairah. Namun dia tetap berusaha untuk tersenyum padaku.
"Mumpung ada teman, ibu mau pulang kerumah sebentar. Nak kenziro bisa jaga Garsi kan?"
"Bisa, bu"
"Makasi sebelumnya"
"Iya bu"
Aku dan Garsi didalam ruangan. Hanya berdua. Rasa itu muncul lagi, cuma diam dan hanya diam saja. Aku canggung dan harus memulai darimana pembicaraan ini. Sore itu matahari senja masuk kedalam ruangan yang sepi itu. Senyap sekali, sampai aku mampu mencium aroma obat-obatan dan baunya karbol. Ini memang dirumah sakit. Hatiku kelu ingin bertanya, bahkan pertanyaanku yang berada dikepalaku terhembus angis sepoi sore itu. Jendela kamar rawat inap sengaja dibuka agar udara masuk dengan sejuk. Benar-benar sore yang sunyi.
"Kau baik-baik saja?" Tanyaku formal
"Iya. Aku baik-baik saja. Kau khawatirkan aku"
"Hu um" aku menganggukkan kepalaku dan menunduk malu menatap wajahnya
"Terima kasih"
"Sama-sama" aku masih menunduk mengumpulkan tenaga untuk memberanikan diri menegakkan kepalaku namun tidak bisa.
"Kau kenapa?hehehe" dia tertawa kecil melihat tingkahku yang aku tahu dia tahu kalau aku sedang gugup
"A...aku tidak apa-apa, kok"
"Kau selalu berbohong, tapi kau tidak bisa berbohong padaku"
"Kenapa gitu?" Tanyaku heran dan akhirnya memberanikan diri menegakkan wajahku
"Karena kau tidak pandai berbohong, hehehe. Selalu ketahuan, karena kau akan selalu melakukan hal yang sama" dia menjelaskan apa yang ingin dia katakan. Ada rasa senang dihatiku, karena dia memperhatikanku selama ini.
"Aku tidak seperti itu, ya!hehehe"
"Kau ini masih belum mengakuinya juga"
"Semalam aku melihat kau berlomba"
"Em...makasi" tiba-tiba dia menundukkan kepalanya
"Kenapa?"
"Itu pertandingan terakhirku. Tahun depan aku sudah tidak bisa ikut lagi"
"Kenapa?" Tanyaku heran
"Tidak apa-apa. Aku ini lemah, mungkin tidak bisa ikut kejuaraan tingkat nasional"
"Kau kenapa?" Tanyaku semakin penasarsan
"Aku tidak apa-apa. Tenang saja, tak perlu khawatir" dia melebarkan senyumannya menandakan bahwa aku tidak perlu khawatir.
"Baiklah, semoga cepat sembuh" kataku mencoba menyenangkan hatinya.
Kami bercerita tentang masa-masa di SMP dulu. Dia bahkan tidak ingat bahwa kami pernah satu sekolah. Dia ketika SMP memang sangat populer, aku yang pemalu jelas berada jauh di hadapannya. Bahkan tidak terlihat olehnya. Aku ingin berteman dengannya sejak dulu. Bukan karena dia seorang yang populer, tapi karena aku hanya ingin mengobrol dengannya. Dia sangat terkagum dan terkadang tertawa ketika aku menceritakan masa lalu itu.
"Apa dulu aku begitu populer?"
"Iya jelas sekali, aku bahkan takut untuk mendekatinya" aku mulai lancar dan tidak gugup lagi untuk mengobrol dengannya.
"Uhuk...uhuk...uhuk..." dia terbatuk dan membuat dia tertunduk-tunduk kesakitan namun dia tidak mengerang kesakitan, dan aku melihat percikan darah yang keluar dari hidungnya mengotori seprainya
"Garsi...Garsi. aku akan memanggil susternya"
"Uhuk...uhuk...uhuk...." dia berusaha meraih sesuatu dibalik tempat tidurnya. Aku mencoba mencari tahu benda apa itu. Ternyata bel pemanggil suster. Aku menekannya beberapa kali. Tak berapa lama dua orang suster bersigap melihat keadaan Garsi. Apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar sangat mencemaskannya. Aku ingin tahu dia kenapa, apa yang terjadi dengannya. Kedua suster itu selesai membuat Garsi tenang dan tertidur.
"Suster, dia kenapa?"
"Oh...hanya kelelahan saja"
"Dia sakit apa?"
"Paru-paru"
"Paru-parunya kenapa?"
"Kecil sebelah"
"Owh" aku sambil melihat kearah tubuhnya yang melemah "terima kasih suster"
Dia, bahkan lebih pintar berbohong daripadaku. Namun, aku tidak tahu apa dia sedang tidak berbohong atau iya. Yang aku tahu dia hanya memasang wajah yang senang dan dengan senyuman dibalut oleh lesung pipi yang indah. Aku melihat wajahnya yang damai dengan senyuman dipipi tembamnya itu. Aku mengaguminya dari dulu, dari sejak pertama aku tahu bahwa dia itu adalah Garsi. Aku benar-benar ingin bersamanya. Namun sampai sekarang aku tidak mampu untuk mengatakannya. Aku yang pengecut ini memang tidak pandai membaca situasi yang pas untuk mengutarakannya. Yang aku tahu dia sudah memberikannya beberapa hari ini. Hari dimana dia mulai mau berbincang denganku. Terkadang aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Setidaknya aku akan mengatakannya diwaktu yang tepat.
Hari 4 :
Hari ini juga aku menjenguknya kerumah sakit. Dia memintaku untuk keluar ruangan. Dia ingin menghirup udara sore hari ditaman rumah sakit. Aku mengabulkan permintaannya. Aku membawanya keluar ruangan atas izin dari suster yang merawatnya. Kami ketaman belakang rumah sakit yang berhadapan langsung dengan mentari senja. Warna orange yang indah dan angin musim panas yang sepoi-sepoi membawa kami disuasana yang cantik. Aku tidak akan melupakan ini semua.
"Siapa saja yang sudah menjengukmu?"
"Tidak ada yang menjengukku, hanya kau saja"
"Bukankah kau sangat populer"
"Aku tidak sepopuler yang kau kira. Mereka hanya ada maunya mendekatiku"
"Tidak boleh berprasangka buruk seperti itu"
"Tapi memang benar, sekarang aku lagi sakit. Mereka tidak ada yang menjengukku"
"Mungkin mereka sedang sibuk"
"Apa kai tidak sedang sibuk. Bukankah hari ini kita les bahasa inggris?"
"Itu....itu lain cerita" aku tak mampu menjawab. Mungkin ini saat yang tepat sebelum aku terlambat mengatakan padanya
"Kau ini selalu berbohong"
"Tidak untuk kali ini" aku memasang wjaah serius dan menatap matanya
"Kau kenapa?" Tanyanya memasang wajah heran
"Aku ingin berteman denganmu tidak ada maksud lain. Aku bukan ada maunya mendekatimu. Aku benar-benar ingin berteman denganmu sejak dulu"
"Kau berbohong"
"Aku tidak berbohong, aku jujur. Itu yang ingin aku katakan"
"Bukan itu yang ingin kau katakan"
"Benar" aku menundukkan wajahku
"Lihat aku, Ken. Kau inging mengatakan hal yang lain. Bukan sekedar itu" katanya lembut
"Tidak, hanya itu" jawabku sebagai pencundangpun terjadi. Dia tahu benar bahwa aku sebenernya bukan ingin mengeluarkan hanya sekedar teman, tetapi lebih dari itu. Dia jelas tahu betul itu. Aku ini seorang pengecut Garsi. Mengapa kau memancing sipengecut ini untuk mengatakan hal yang tidak sepantas itu. Sore itu aku sebagai silemah terbukti sudah, sebagai pengecut.
"Aku tak ingin kau menyesal karena telah memilihku sebagai teman, namun aku juga tidak ingin melihat kau menyesal jika kau tak mampu mengatakan yang sebenarnya" kata itu membuatku ingin menangis, betapa bodohnya aku. Dia memberikan kesempatan untuk aku berbicara apa yang kurasakan saat ini. Tapi aku hanya diam dan takut. Sampai senja berwarna orange itu tenggelam dalam pekatnya hitam sang malam.
Hari 5 :
Aku tidak beranikan diri untuk muncul dihadapannya. Aku hanya memberikan buah-buahan yang aku beli dan aku titipkan ke suster yang merawat dia hari ini.
"Apa kau yakin tidak ingin melihatnya dulu"
"Tidak, sus"
"Kau ini terlalu takut"
"Aku tidak ingin menggangu dia lagi istirahat"
"Baiklah"
"Sus, sekarang saja ngasi buah-buahannya. Aku ingin tahu keadaanya melalui suster"
"Hehehe....baiklah anak muda"
"Terima kasih sus..."
Aku menunggu suster itu kembali dari kamar Garsi. Sangat sebentar sekali, dia berlari terburu-buru dan mengabaikanku begitu saja. Apa yang terjadi sampai suster itu berlari sekencang itu. Dan suster yang berada di ruang piket juga keluar dan masuk kekamar Garsi. Aku harus melihatnya tapi kakiku kaku sekali tidak mampu digerakkan. Seorang dokter dan suster itupun berlari masuk kedalam kamar Garsi. Aku benar-benar tidak bisa bergerak sama sekali. Aku hanya terduduk dibangku ruang tunggu, dan melihat Garsi dibawa oleh kedua suster itu menggunakan tempat tidur dorong dan membawanya masuk keruang ICU. Aku melihat wajah kekhawatiran dari wajah ibunya.
"Bu..." aku mencoba menyapa ibunya yang duduk dibangku tunggu didepan ruangan ICU.
"Hiks...hiks..,hiks..." ibunya menangis tersedu-sedu
Aku diabaikan oleh ibunya. Aku mengurungkan diri untuk bertanya lagi sampai seorang dokter keluar dari ruang ICU.
"Dok...bagaimana keadaan Garsi?"tanyanya cemas sekali
"Dia butuh istirahat penuh"
"Apa dia baik-baik saja?"
"Iya, dia baik-baik saja"
"Syukurlah"
"Sebaiknya ibu istirahat juga, biarkan dia istirahat sejenak diruang ICU sampai kondisinya membaik total"
"Baiklah dok"
Aku hanya bisa melihatnya dari jendela kamar yang sengaja dibuka agar aku dan ibunya dapat melihatnya.
"Kau tahu kenziro?"
"Ya bu"
"Dia itu anak yang periang, senyumnya selalu mengembang. Dia tidak pernah mengeluh, apapun yang terjadi dia tidak ingin merepotkan orang lain"
"Aku tahu itu bu"
"Banyak hal yang tidak ibu ketahui tentang dia. Ibu selalu sibuk dengan butik ibu. Bahkan ibu tidak tahu dia berteman dengan siapa saja. Bahkan siapa pria yang disukainya juga ibu tidak tahu"
"Hm...." aku hanya diam ketika ibunya bercerita, aku hanya menjadi pendengar yang baik seperti biasanya.
"Dia pernah bilang ke ibu ada seorang pria yang disukainya, tapi ibu malah menagacuhkannya. Seharusnya ibu bertanya siapa pria itu. Agar ibu datangkan dia malam ini juga. Kau menyukainya ken?"
Hatiku tersentak ketika ibunya bertanya seperti itu. Aku harus jawab apa. Tapi malam hari ini aku harus menjawab yang sebenarnya.
"Ya bu. Aku menyukaianya semenjak kami bersekolah yang sama, dan aku bertemu dengannya lagi di les bahasa inggris"
"Sepertinya kau pria yang baik"
"Aku masih seorang anak laki-laki bu"
"Tapi, kau sepertinya seorang yang pemberani"
"Aku ini pencundang bu. Bahkan Garsi tidak tahu tentang aku menyukainya. Aku tidak berani mengatakannya"
"Kau ini. Mengapa kau berani mengatakannyanpada ibu. Kau meminta dukunganku ya"
"Heh....hehehehehe gak seperti itu bu"
"Terimankasih sudah mau menemani Garsi beberapa hari ini. Ibu sudah lama tidak melihat dia tersenyum"
"Sama-sama bu"
"Jika dia tersadar, berjuanglah untuk mengatakannya. Walaupun kemungkinan buruk itu ada, tapi sebaiknya kau ungkapkan apa yang kau rasakan, itu lebih baik daripada kau harus diam. Dan kau hanya mengira-ngira sebuah jawaban yang belum tentu seperti yang bayangkan. Semangatlah"
"Hehehe...terima kasih banyak bu"
Aku mendapatkam dorongam dam kekuatan besar dari ibunya. Dia persis seperti ibunya, si pemberi semangat. Aku benar-benar berterima kasih kepada ibunya yang sudha memberikanku semangat untuk menagatakannya. Besok akam aku mengatakannya bahwa aku menyukai dan menyayanginya.
Hari 6 :
Aku pergi kerumah sakit untuk menjenguknya dan membawkan bunga kertas yang aku buat sendiri untuk menghiburnya. Seorang suster yang sudah mengenalku langsung mendekatiku.
"Hai....sebaiknya kau pulang"
"Kenapa?"
"Dia, sudah tidak disini lagi"
"Dia dimana?" Tanyaku heran
"Dia sudah pulang"
"Pulang kerumah?" Hatiku senang sekali kalau dia sudah diperbolehkan pulang kerumah.
"Iya" suster itu berlalu cepat keruang piket
Hatiku senang sekali, dia sudah sembuh. Aku berlari dan menaiki motorku menuju rumahnya. Rasa senang yang luar biasa ini membuatku tarasa lama menikmati waktu yang berlalu ini. Ingin segera melihatnya dengan kondisi yang sehat. Luar biasa sekali dan aku tidak menyangka secepat ini dia sembuh dari penyakit parah itu. Dan sekelebat pikiran negatifku muncul, apa jangan-jangan dia telah tiada. Aku mencoba menepiskan pikiran negatifku itu. Aku melaju sedang kearag rumahnya. Dan aku sampai didepan rumahnya. Sekumpulan orang memakai baju hitam sedang berada didepan rumahnya. Perasaankupun bercampur aduk. Apa yang sedang terjadi dirumahnya.
"Permisi pak, ada apa dirumahnya Garsi?"
"Dia sudah meninggal, nak"
Bagaikan disambar petir saja, aku mematung mendengarkan perkataan bapak itu. Aku harap ini hanya mimpi. Kakiku lemas bukan main, aku tidak sanggup untuk memarkirkan motorku. Tubuhku lemah sekali, bahkan aku hampir jatuh. Aku belum sempat berkata apa-apa padamu Garsi. Aku benar-benar pengecut. Aku memasuki rumahnya dan melihat ibunya yang meangis terisak-isak disebelah mayat Garsi. Ibunya melihatku dan memelukku dengan erat.
"Lihat senyumannya, Ken. Kau tahu itu senyum terbaiknya selama ini"
"...." aku hanya terdiam menahan tangisku, namun airmataku mengalir begitu saja.
"Kau lihat itu Ken"
"Ya bu. Dia selalu memberikan senyuman terbaik kesemua orang"
"Ada sesuatu untukmu"ibunya mengeluarkan secarik kertas padaku dan aku menerimanya tanpa membukanya terlebih dahulu. Aku hanya ingin melihat wajahnya untuk terakhir kalinya. Aku hanya ingin melihat senyuman terindahnya untuk terakhir kalinya. Airmataku tidak terbendung, mengalir bagaikan air sungai yang deras. Ingin berteriak bahwa aku seorang yang pengecut yang tak mampu mengucapkan sepatah katakan pun tentag perasaanku. Aku bodoh. Aku kehilangan dia yang belum tahu bahwa aku menyukainya. Malam ini begitu lama berlalu. Perih dan kecewa bahkan aku ingin membunuh diriku sendiri karena aku tidak berani untuk mengatakan hal yang biasa itu. Aku menyesal sekali.
Hari 7 :
Tepat dipusaranya, di tempat dia terakhir mengistirahatkan jasadnya. Aku membuka secarik kertas itu dan membacanya lirih.
"Kenziro, apa kau baik-baik saja. Aku tahu kau akan menjawab baik-baik saja. Namun aku tahu kau tidak baik-baik saja saat ini. Tidak perlu bersedih melihat keadaanku sekarang. Maafkan aku yang berpura-pura tidak mengenalmu ketika kau bercerita ketika kita masih di SMP yang sama. Aku berbohong saat itu, aku tertarik sekali mendengarkan ceritamu jadi aku tak ingin kau menghentikan ceritamu itu. Kau juga berbohong ketika aku bertanya 'apa ada yang lain ingin kau ungkapkan'. Aku benar-benar tertarik pada kau yang menyebunyikan segalanya dariku tapi aku mengetahuinya itu semua dari raut wajahmu dan perkataanmu. Aku sudah memberikan kesempatan padamu, namun kau juga tidak bisa mengatakannya. Aku sedikit kecewa terhadapmu, tapi tak apalah yang aku tahu ada yang ingin kau ungkapkan padaku.
Baiklah, aku saja yang duluan mengatakan apa yang ingin aku ungkapkan. Sebenarnya aku juga ingin mengungkapkan secara langsung padamu saat kau menjagaku malam itu. Tapi, aku seorang yang bergengsi tinggi. Aku tidak akan mengatakan secara terang-terangan. Aku menyukaimu, aku benar-benar ingin berteman dan mengobrol denganmu sejak aku melihatmu diperpustakaan sekolah ketika kita di SMP dulu. Aku suka kepadamu yang senang menolong orang lain dan baik kepada siapapun. Makanya aku tidak ingin tinggi rasa atau keGR-an. Hanya karena kau mau menjengukku dan menemaniku untuk mengobrol. Aku rasa itu hanya rasa biasa sebagai seorang teman yang menolong temannya yang sedang sakit.
Aku mencoba menepiskan semuanya. Dan sampai senja itu, aku benar-benar ingin sekali mendengarkannya darimu. Namun kau juga tidak mengatakannya. Padahal aku menunggu kau berkata jujur saat itu. Tapi yasudahlah. Sedikit nasehat untukmu : ungkapkan apa yang kau rasakan kepada orang yang kau sayangi. Karena itu akan menjadi pengobat rasa rindu yang teramat ampuh. Jujurlah pada dirimu sendiri. Jangan pernah menyesal atas yang terjadi ini. Setidaknya kau telah membuktikannya selama 5 hari ini. Aku berharap kita bertemu didunia yang lain. Aku merasakan kaulah pria yabg ditakdirkan untukku. Five days' wonder. I love you so much. Thank you for your attention, your care, your smile. I love you, kenziro"
Aku hanya bisa menangis dan menyesalinya semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar