02 Agustus 2003, tepatnya pada hari senin 10 tahun yang lalu. Merupakan hari terakhir dimana aku dapat melihat senyum manis dan tegar itu, dimana aku mendapatkan wasiat yang sangat luar biasa itu. Dimana aku sampai saat ini tak pernah melihat wajahnya lagi dan sekedar mengucapkan “happy birthday, Mom”. Senin pagi itu, yang kebetulan aku permisi dari sekolahku hanya untuk menemani ibu yang sedang sakit di rumah sakit umum. Aku bersama tanteku yang merupakan sepupu ayahku menjaganya malam itu. Hari sebelumnya, ibuku mengalami muntah-muntah. Dan yang dikeluarkannya bukanlah muntahan pada umumnya. Kali ini ibuku mengeluarkan cairan berwarna cokelat seperti habis minum kopi. Awal muntanya sedikit, lalu hampir sebaskom kecil. Lalu dokter memeriksa keadaan ibuku yang perutnya juga ikut membesar. “kok tiba-tiba muntah seperti itu, dok?” tanya ayahku yang datang menjenguk ibuku. “mungkin hatinya sudah tidak dapat menerima makanan lagi, pak” jawab dokter itu. Ya…kami dahulu tidak mengerti soal penyakit seperti itu. Bayangkan saja selama kami hidup pada masa itu tidak pernah masuk rumah sakit bahkan sampai menginap. Ya…ibuku menjadi awal dikeluarga kecil kami sebagai pasien terberat peratama. Ayahku tampak mulai resah dengan jawaban dokter itu yang tidak memuaskan tanda tanyanya. Setiap kali ibuku diberikan makanan, pasti langsung muntah dan perutnya terasa sakit sekali. Dan begitu seterusnya sampai pada malam senin itu. Aku dipanggilnya, dengan senyuman yang aku tahu dipaksa agar tidak terlihat sedang menahan sakit. “kak!” panggil ibuku “iya mak” sahutku sambil bergerak mendekati tempat tidurnya “mamak mau kekamar mandi”pintanya yang mencoba bangkit dari tidurnya. Aku membopong ibuku kekamar mandi, ternyata ibuku sedang mengambil wudhu untuk sholat isya’. Selasai wudhu, beliau memintaku untuk mengenakan mukenanya. Aku hanya mampu melihat dan berdoa “ sembuhkan dia Ya ALLAH”. Selesai salam ibuku berdoa dengan menitiskan airmata, aku juga hendak menangis, namun tertahan oleh keadaan sekelilingku. Selesai berdoa ibuku memanggilku. “kak” “iya mak” “pesan mamak, jaga adik-adik ya. Jangan pernah tinggalkan sholat 5 waktu. Dan setiap malam jum’at baca surrah Yassin, ya Nak” “iya, mak” Ya…aku mengiyakan pesan ibu itu yang kutak tahu bahwa itulah pesan terakhirnya untukku. Lalu diapun tidur. Keesokan paginya, Aku dan tanteku sedang mencari sarapan yang berkebetulan ibuku masih tidur. Disaat dia tidur kami berkesempatan keluar dan aku membeli pembalut yang pas sekali aku menstruasi sudah 3 hari. Sekembalinya kami dari belanja, kami mendapati ibuku masih tertidur. Aku membangunkan beliau karena sarapan dari rumah sakit sudah tiba dan beliau juga harus meminum obat. Dan diapun terbangun dan mencoba bangkit dan tidurnya namun agak sulit karena tertahan oleh perutnya yang membesar. Entah mengapa pagi itu ibuku lahap sekali makan, dan tidak susah meminum obat, tidak seperti hari-hari yang sudah. Tanteku yang menyuapinya merasa senang karena ibu menghabiskan bubur nasi yang diberikan oleh dapur rumah sakit. “mau sehat kakak ini ya. Lahap kali makannya”cetus tanteku “ya kali en, enak kali kakak rasa nasinya pagi ini” kata ibuku sambil mengelap sisa makanan dimulutnya. “ini kak, minum obatnya” suruh tanteku. “iya” angguk ibuku. Setelah minum obat ibuku tertidur lagi. Selama tertidur kamipun melakukan aktipitas lain. Mandi dan mencuci pakaian di rumah sakit bersama-sama. Tak lama kami menyelesaikan pekerjaan kami. Datanglah rombongan oom dan istrinya beserta anak-anaknya. Ayahku yang memang bersama kami dari tadi pagi menjaga ibuku. Entah mengapa ayahku seperti orang panik berlari kearah ruang perawat. Dia berteriak meminta dipanggil dokter. Aku dan tanteku langsung berlari kearah kamar ibuku dirawat.. ibuku muntah banyak sekali sampai baskom stainless stellnya penuh dan tumpah ruah ke pakaian ibuku. “mamak kenapa?” tanyaku Namun tak ada jawaban, aku hanya diberi muntahan lagi. Muntah yang sama berwarna cokelat sepreti kopi. “kak, minum air ini” saran tanteku yang mencoba memberikan segelas air putih Diminum air namun dimuntahkan lagi dan semakin banyak. Seorang berseragam putih datang menghampiri tempat tidur ibu. Dia memeriksa jantung ibuku, nadi ibuku dan beserta perut ibu. “pak, sebaiknya dibawa kerumah sakit yang lebih bagus lagi di medan” kata dokter itu setelah memeriksa keadaan ibuku. “di rumah sakit mana pak” tanya ayahku. “di rumah sakit ….” Dokter tersebut memberikan rujukan kerumah sakit tersebut, dan dengan sigap para perawat itu membuat surat rujukan ke rumah sakit tersebut. Oom dan istrinya beserta anak-anaknya datang dengan heran. Istri oomku langsung bertanya kepada kami ada apa yang sebenarnya. Lalu tanteku menceritakan kejadiannya dan ibuku harus dibawa kerumah sakit di medan. Setelah selesai adminitrasinya kamipun segera bergerak menuju kerumah sakit yang dimaksud. Dari rumah sakit memberikan saran agar ibuku dibawa pakai ambulance rumah sakit, namun ayah dan oomku tidak mau. Mereka menggunkan mobil pribadi yang kebetulan mobil uwakku. Lalu kamipun berangkat, sebelumnya ayahku menelpon tetanggaku untuk datang membawa adik-adikku datang. Setibanya adik-adikku maka berangkatlah kami, namun adikku yang nomor dua tidak ikut karena menemani tanteku untuk membereskan barang-barang yang tertinggal dirumah sakit. Pukul 11.55 wib tanggal 02 agustus 2004. Dalam mobil kijang itu ada, oomku sebagai supirnya, lalu istrinya. Ayahku, adikku yang paling kecil dan kedua sepupuku beserta aku. Aku dan ketiga saudaraku duduk paling belakang. Sedang kan ayah dan ibuku duduk bangku tengah. Posisi ibu terbaring dipangkuan ayahku. Sepanjang jalan. Ibuku merasa kehausan. “panas bang, panas kali. Haus” kata ibuku “iya tahan ya dek” jawab ayahku Padahal jendela saat itu sudah dibuka, dan kami tidak merasa kepanasan sama sekali. “astagfirullahhaladzim, astagfirullahhaladzim, astagfirullahhaladzim” ayahku mencoba membantu ibu melafadzkannnya. Lalu ibuku mengikuti. “Laillahaillallah, Laillahaillallah, Laillahaillallah” kata ayahku dan diikuti oleh ibuku. “Allahuakbar, Allahhuakbar” terdengar suara adzan. Tepat pukul 12.15 wib ibuku mengerang, dan nafasanya mulai satu persatu dan dalam hitungan detik badanya menjadi dingin. Dan dengan gemetar ayahku berkata “kakak sudah tidak ada lagi, rat” “ Allahuakbar, Allahuakbar” teriak oomku yang sudah mulai tak terkendali lagi laju mobilnya. Dan diikuti oleh istri oomku. “innalillahi wainnalilaihi ro’jiun” sambil meneteskan air matanya. Aku yang melihat ibu pada saat sakaratul maut, hanya terdiam. Tak mampu menangis dan masih bingung dengan keadaan yang terjadi. Apakah aku sedang bermimpi atau benar-benarkah ini terjadi. Lamunan ku panjang memandangi tubuh ibuku yang mulai mendingin. Dan khayalku di buyarkan oleh adikku. “kak, nanti kita tinggal sama siapa?” tanya adikku “…” aku Cuma bisa diam dan tak mampu berkata-kata “ mamak, mamak, mamak” teriakku. Ya teriakan itu membuat seluruh seisi mobil menangis tersedu-sedu. Oomku menahan marah yang merasa menyesal yang kutahu aku tidak mengetahui mengapa dia marah-marah seperti itu. Dan sepupu mulai bertanya. “uwak kenapa kak?” tanyanya polos. “uwak udah meninggal din” jawabku Dan tercurah lah semua air mata sepanjang perjalan 1 jam itu menuju rumahku. Lalu ayahku menelpon tetanggaku untuk segera mempersiapkan semua kebutuhan yang akan dipergunakan. Sesampai dirumah, kami disambut oleh para tetangga dengan tangisan. Para ibu-ibu yang merupakan teman ibuku, memelukku dan adikku. Mereka merasa iba atau sedih atas kejadian ini. Yang aku tahu rasanya sangat kering, ya kering sekali tenggorokan ini. Hampa terasa hampa, dan sangat hampa sekali. Tidak enak mau berbuat apa. Aku lemas sekali, tak mampu berkata apa-apa. Rombongan mobil adikku sampai setelah 1 jam kami sampai. Adikku yang nomor dua itu menangis sambil menciumi wajah ibuku. Tetangga-tetangga meleraikan adikku dari samping ibuku. Adikku marah-marah sperti tidak mau menerima kenyataan ini. Lalu ayahku berkata : “:rasulallah saja dari bayi menjadi yatim, namun dia mampu bertahan hidup. Tidak perlu sedih kali ya nak, ayah dan adik2 ayah juga sudah menjadi yatim sejak kecil. Sudah-sudah jangan menangis lagi. Kasian mamak” nasehat ayahku. Kami bertiga berada di sisi kanan mayat ibuku. Sambil membaca al-qur’an. Para pelayat sudah ramai sekali berdatangan ingin melihat keadaan ibuku. Setiap kali pelayat datang semua melihat iba kearah kami bertiga. Mungkin mereka memikirkan nasib kami kedepan tanpa seorang ibu. Ketika itu aku masih duduk dibangku kelas 2 SMA, lalu adikku yang nomor dua duduk di bangku kelas 3 SMP dan adikku yang paling kecil masih kelas 5 SD. Dan adik-adik ibuku sudah berdatangan, saudara-saudara dari pihak ibuku sudah pada datang. Karena permintaan nenekku yang merupaka ibunya ibuku agar menunggu dia datang baru dimakamkan, maka ibukupun di makamkan keesokan harinya. Ada keajaiban yang terjadi padaku, sepanjang malam aku berpikir aku tidak dapat mensholatkan ibuku karena terhalang oleh tamu bulanan. Dan apa yang terjadi, tamu bulananku berhenti. Allah mendengar doaku, agar aku bisa mensholatkan ibuku untuk terakhir kalinya. Saat dimandikan aku mendapatkan tugas membaca surrah Yassin, ketika membaca aku tak mampu menahan air mataku yang mengalir begitu saja. Ketika air terkahir yang dipergunakan untuk wudhu ibuku dan tangisku terpecah belah dan membahana. Aku hampir mau pingsan rasanya. Airmata tak henti-hentinya mengalir dari mataku. Sampai-sampai bengkak mata ini. Selesai dimandikan lalu ibuku dikafankan. Ada tradisi sebelum kafannya menutupi mukanya, maka kami berziarah dahulu, seperti melihat untuk terakhir kalinya. Kami dilarang menangis karena airmata begitu menyiksa bagi sang mayit. Ayahku mencium kain kafan yang ada di dahi ibuku, lalu aku dan menyusul kedua adikku. Dan dilanjutkan kesaudara-saudara yang hendak berziarah. Terdengar lembut namun membahana seluruh relung hatiku membuat hatiku teriris-iris. Sebuah lagu yang dinyanyikan oleh anak-anak murid ibuku. “terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru…namamu akan selalu hidup dalam sanubariku….” Ya …lagu hymne guru, sebagai lagu terakhir yang dipersembahkan oleh siswa-siswanya. Airmataku mengalir semakin deras. Setelah selesai berziarah. Mayat ibuku, dimasukkan dalam kerenda untuk disholatkan. Subhanallah, sekitar 100 orang pelayat mensholatkan ibuku. Sekali lagi aku menitiskan airmata, mampukah aku seperti ibuku. Wanita yang baik, ramah, dan pekerja keras. Mampukah aku seperti dia yang banyak mensholatkannya untuk yang terakhir kalinya. Selesai sholat, hatiku sudah mulai merasa tenang. Aku ikut kepemakaman dan menjadi rumah terakhir ibuku. Awalnya aku dilarang untuk ikut, karena ditakutkan aku akan meraung-raung dipemakaman, karena aku tahu hal itu diharamkan. Namun, aku meyakinkan mereka aku tidak seperti itu. Aku sudah menampakkan ujungnya bahwa aku sudah mulai bisa menerima keadaan ini. Karena aku terigat pesan guru agamaku ketika SMP “ jika salah satu orang tuamu meninggal, ataupun siapapun yang meninggal. Janganlah terlalu berlarut-larut atau sampai meratapinya. Karena itu cukup sangat menyiksanya. Dan ketika orang tuamu yang meninggal juga sperti itu, jangan sampai berlarut-larut tangisnya, karena itu bukan ciri-ciri anak yang soleh” Aku hanya ingin menjadi anak yang solehah, anak yang berbakti kepada ibuku. Maka kuhentika acara tangis-menagisku disaat ibuku mulai dimasukkan keliang lahat. Ya aku melihat semua itu. Semua prosesi ketika seorang muslim meninggal dunia. Sebenarnya Allah telah memberikan firasat kepadaku tiga malam terakhir sebelum ibuku meninggal melalui mimpi. Namun, pada saat itu aku tidak menegrti arti firasat mimpi itu. 1. aku bermimpi cincin pemberian ibuku hilang, namun aku tidak dapat menemukannya. 2. aku bermimpi salah satu anting-antingku copot dari telingaku dan terjatuh kedalam sumur. 3. aku bermimpi bahwa akan ada acara besar mengundang banyak orang kerumahku dan saat itu aku sedang memasak sate yang merupakan masakan terakhir ibuku pada saat ada pengajian dirumah kami. Kejadian-kejadian aneh setelah ibuku dimakamkan,,, 1. pada saat malam ketiga, bisanya akan ada acara kenduri dan para ibu tetangga memasak, dan mereka mencium wangi pandan. Wangi khas ibuku yang suka sekali membuat kue bolu. 2. saat itu kami memelihara kucing bernama “dubby”. Si dubby selalu melihat kearah dapur dimana ibuku sering berdiri dan dia mengeong-ngeong terus seolah-olah dia melihat ada orang didepan dan meminta makan. Seperti yang dia lakukan semasa ibuku hidup. 3. ketika aku tertidur sendiri, namunku tak mampu tertidur nyenyak. Lalu kursi belajar bergerak sendiri dan aku merasa nyaman sekali, seperti ada yang memijat tubuhku bagian belakang. 4. seluruh keluarga dimimpikan untuk ikhlas melepaskan kepergian ibuku. Awal tahun pertama kami ditinggal ibu dan merupakan menjadi puasa pertama tanpa ibu. Keadaan isi rumah itu menjadi aneh. Ayahku menjadi cepat esmosi dan selalu marah-marah. Dan yang menjdai teman berantemnya adalah aku. Tahun kedua suasana itu mulai mengurang, suasana esmosi mulai mereda. Tahun ketiga masalah hilir berganti datang, tangis hanya tangis yang bisa kami perbuat. Dan 4 tahun sampai seterusnya ras ikhlas itu dan kesabaran mulai kami pelajari. Dan insyaallah sampai saat ini kesabaran itu sudah didapatkan oleh ayahku dan kami bertiga. Kami mampu bertahan pada dunia tanpa ibu Kami mampu bertahan pada fana tanpa ibu.. Lihat Mak… Ayah sekarang sudah menjadi pejabat di kabupaten serdang bedagai. Membuat waktunya bersama kami menjadi berkurang. Lihta Mak… Anak mamak yang paling nakal dulu, sekarang sudah menjadi pegawai negeri sipil dan mengikuti jejak mamak, manjadi guru matematika. Lihat Mak… Anak mamak yang paling mamak sayangi. Dia sudah menamatkan D3 nya di politeknik negeri medan, namun rasa sayang mamak memang lebih besar daripada kami sehingga mamak menginginkan dia menemani mamak disana. Lihat Mak… Anak mamak yang paling itam ini, sudah kuliah mengambil jurusan yang sama dengan mamak.. Mak,,,ayah telah mampu mengurus kami tanpa teman selama 8 tahun ini. Dia sendiri yang mengurus kami. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih #membaca doa ibu bapak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar