Kamis, 15 Mei 2014

We are friend, aren't we?

Aku duduk disudut taman sekolah yang sepi. Memang enak sekali untuk menyendiri. Diterpa angin pagi yang masih sejuk, bahkan sehabis hujan tadi malam. Memejamkan mata sejak dan memikirkan apa yang harus aku lakukan pagi ini. Meyingkap semua permasalahan yang akhir-akhir aku dengar dari mulut-mulut mereka yang aku anggap teman. Dan akhirnya aku tersingkir lagi dalam hubungan yang tidak aku mengerti ini. Aku terkucikan kembali untuk kesekian kalinya, dan itu menjadi suatu kebiasaan ketika aku mengalami perubahan dalam diriku.
"Hei, lihat sekarang kau tidak mau lagi bermain dengan kami sepulang sekolah" celetuk Amina
"Aku sedang sibuk dirumah" jawabku sekenanya dengan wajah memerah.
"Sedari dulu kau memang sibuk dengan urusan dirumahmu, tapi kali ini kau berbeda saja. Kau terlihat sombong. Apa karena usaha orang tuamu sedang sukses pesat" Aya juga ikut menghakimiku dengan pemikiran mereka yang alu anggap salah itu.
"Apa aku terlihat sombong, akhir-akhir ini?" Tanyaku heran.
"Buktinya kau tidak pernah mau bermain lagi dengan kami setelah sepulang sekolah" Amina mulai merasa kesal
"Maaf, aku benar-benar tidak bisa ikut bermain lagi akhir-akhir ini"
"Aya, sebaiknya kita mencari orang baru lagi yang bisa diajak bermain" Amina dan Aya berlalu dihadapanku.
Mereka berdua adalah teman pertamaku ketika aku masuk sekolah ini. Mereka sangat baik padaku, mereka selalu mengajakku kemana saja mereka pergi. Bahkan aku merasa senang ketika mereka ada disampingku. Mereka selalu bahagia dan membuat orang lain bahagia. Tapi, mengapa kali ini mereka sangat tidak menyakaiku. Udara semakin menunjukkan bahwa hari semakin siang. Dan semuanya kembali lagi ke awal. Aku harus masuk kelas, dan melanjutkan pelajaran hari ini. Aku melihat mereka berdua sedang berbicara dengan teman-teman yang lain. Dan aku semakin terkucilkan. Aku tidak berani menyapa mereka berdua, aku takut mereka tidak mengenal siapa aku lagi.
"Ehem...." deheman yang membuat aku terkejut.
"Ya...ada apa?" Tanyaku pada ketua kelasku itu
"Latihan matematikanya belum kau kumpul"
"Oh...ya...maaf! Ini...." aku menyerahkan buku latihan matematikaku
"Sepertinya mereka meninggalkan kau ya?"
"Heh...." aku terkejut ketika Tera ketua kelasku mengetahui situasi yang aku hadapi.
"Sudahlah, seperti itulah hubungan yang disebut teman. Mereka akan memanfaatkan apa yang kita punya, ketika kita tidak memilikinya lagi mereka akan mencari alasan yang tepat untuk menyingkir dari kita atas keslahan yang sebenarnya kita tidak pernah lakukan. Tapi mereka menganggap kita yang salah"
"Hm..." aku menunduk sedih "Aya dan Amina tidak seperti itu, memang kali ini aku yang salah. Karena terlalu sibuk dirumah, daripada mengahbiskan waktu untuk bermain dengan mereka lagi" jelasku sedih.
" sebagai teman itu memang harus saling pengertian, kan!" Tera berlalu dan pergi membawa setumpuk buku latihan matematika.
Saling pengertian, aku memang tidak memahaminya. Aku kira hubungan kami sudah di puncak saling pengertian. Ketika Amina sakit, dan ketika itu juga aku sedang merayakan ulang tahun. Dan kami merayakannya dirumah sakit, padahal seharusnya merayakannya di restauran chinese yang dipilih oleh Aya. Tapi, bagiku dan Aya, menemani Amina dirumah sakit lebih menyenangkan daripada kami harus menikmati masakan china yang terlezat hanya berdua. Seperti ada yang kurang saja. Aku menjadi memikirkannya sampai pulang sekolah tiba. Biasanya Aya dan Amina selalu saja datang kebangkuku dan mengajakku bermain.
"Kali ini kita bermain dimana?"
"Ke mall yang di distrit timur aja" ajak Aya yang memang suka ke mall itu, karena ada wahana permainan yang lengkap.
"Oke...aku juga suka toko bukunya" kataku senang karena toko bukunya lengkap.
"Aku juga mau kesalon langgananku" senang Amina.
Dan kamipun pergi mall bersama, tertawa riang sepanjang perjalanan. Kami hanua berjalan kaki, bukan karena kami menghemat ongkos. Tapi, karena memanh mall-nya tidak terlau jauh dari sekolah. Dan berjalan kaki kami mampu menghabiskan cerita kami sepanjang perjalanan. Bukankah itu menyenangkan sekali. Aku menikmati hari-hari bersama mereka.
Hari ini, sepulang sekolah mereka tidak datang kebangkuku. Mereka berlalu dan mengabaikanku seperti tidak melihatku. Aku hanya bisa menunduk sedih. Aku tidak pernah bertanya pada mereka "apa yang terjadi dengan kalian?" Aku hanya diam menerima semuanya. Terkucilkan dan menjadi penyendiri. Aku memang harus menerima ini semua, teralihkan oleh hal baru bahkan menemukan pengganti yang lebih menyenangkan. Berjalan sendiri sepulang sekolah, menjadi rutinitasku sekarang.
"Hei...mau pulang bareng?" Ajak Mika yang sama sekali aku tidak pernah menegurnya.
"Hu um" senyumku membalas ajakannya.
"Rumah kita saling dekat, tapi kita tidak pernah pulang bareng ya?" Ajak Mika yang berbeda kelas denganku. Aku sedikit canggung harus ngobrol dengan orang yang jarang aku ajak obrol.
"Iya juga sih" jawabku seadanya.
"Kamu kok sendirian?" Tanya Mika yang membuat aku bingung harus menjawab apa.
"Memang ingin sendirian saja" jawabku.
Aku dan Mika berjalan dalam kediaman, dan berkahir dirumahku. Kami saling melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.
"Besok kita pulang bareng lagi ya!" Ajak Mika senang.
"Hu um" jawabku tersenyum kearahnya.
Ada yang aneh sekali. Biasanya aku selalu paling banyak cerita ketika berkumpul dengan Aya dan Amina. Tapi, ketika dengan Mika, aku lebih banyak berdiam diri daripada harus mengobrol tentang hal-hal disekitar. Biasanya yang kami obrolkan tentang mode fashion terbaru, mencela setiap orang yang aneh, cowo, bahkan menceritakan gosip yang lag hot disekolah. Aku harus membiasakan diri untuk tidak mengingay hal yang menyenangkan itu. Aku terabaikan.
"Kalian tau, Yurri itu sombong sekali sekarang, hanya karena usahanya sukses. Kami berdua diabaikan" celetuk Amina kepada sekumpulan teman-teman sekelasku
"Kan sudah biasa kalau orang kaya itu sombong" sambung Rifa menyetujui
"Jangan gitu dong, kalau sudah kaya jangan sombong. Dia tidak mau bermain lagi dengan kami berdua, hanya karena kami dari keluarga yang miskin" Aya juga ikut-ikutan.
"Hahahaha....lupakan saja teman seperti itu. Orang kaya memang akan lupa atas segala orang miskin perbuat" Nina juga ikut menyambut perkataan yang tidak berguna itu.
"Hahahaha...." mereka tertawa dengan sangat senang sekali.
Aku yang tidak sengaja mendengarkannya dibalik pintu kelasku, menunduk sedih dan hampir menangis. Aku baru menyadari bahwa seperti inilah hubungan yang mereka anggap teman. Hanya karena aku sedang sibuk dirumah, aku sudah dikatakan seperti itu. Rasanya malas sekali aku masuk kelas. Aku membolos, ketaman penyendiri dibelakang sekolah sambil membaca buku yang baru aku beli seminggu yang lalu. Ditemani kicauan burung dan harumnya rerumputan aku memulai membaca bukuku. Airmataku menetes tanpa kusadari. Betapa penakutnya aku ini, tidak berani membantah apa yang mereka katakan tentang hal buruk itu kepada teman-teman yang lain. Bahkan bukan hanya mereka yang akan mengucilkan aku, tapi kali ini satu kelas akan mengucilkanku.
"Kau ketahuan membolos" sebuah suara yang aku kenal itu terdengar lantang sekali.
"Hehehe" aku hanya tertawa malu dan menghapus airmataku.
"Kenapa membolos?" Tanya Yuda, lelaki yang diam-diam aku menyukainya dan dia sangat terang-terangan menyukaiku.
"Cuma ingin membolos aja, aku suntuk dikelas"
"Aku dengar Aya dan Amina. Kalian bertiga sudah tidak berteman lagi ya? Apa sedang bertengkar?"
"Tidak kok, aku baik-baik saja dengan mereka" senyumku memperkuat pernyataanku agar Yuda percaya.
"Tapi kata mereka, kau mulai sombong"
"Eh.." Yuda sudah mulai terpengaruh oleh perkataan Aya dan Amina. Dan itu membuatku semakin sedih.
"Kenapa?" Tanya Yuda
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja kok dengan mereka. Yakin deh"
"Terus kenapa sekarang jarang sekali kalian pulang bareng"
"Aku cuma ingin sendirian aja"
"Oh...begitu"
"Hu um" jawabku
"Kalau suntuk dikelas bolosnya ke sini ya. Lain kali kalau aku suntuk dikelas sepertinya memang aman bolos disini"
"Darimana kau tahu kalau aku ada disini?"
"Insting kepangernanku datang, karena dia tau putrinya sedang suntuk"
"Hahahaha...." walaupun Yuda tidak memberi solusi, dan aku memang sengaja sengaja tidak memberitahu ke Yuda tentang permasalahanku. Tapi, bagiku ini sudah cukup menyenangkan. Dia membuatku tertawa saja. Walaupun tidak ada Aya dan Amina, masih ada Yuda yang terkdang dia tidak selalu denganku, tapi dia akan ada untukku kapan saja.
Aku sengaja menyembunyikan kejadian yang sebenarnya, agar Yuda tidak khawatir atas hubunganku dengan Aya dan Amina. Tapi, mereka sudah mengatakannya. Namun Yuda tetap mau berteman denganku. Beginikah pertemanan itu. Hanya karena aku sibuk dirumah membantu orang tuaku usaha. Hanya karena aku jarang bermain dengan mereka. Hanya karena aku tidak memenuhi mau mereka. Aku rasa lebih baik aku disini bersama diriku sendiri, dalam kesendirian. Dan aku lebih percaya pada diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar