"Kau lama sekali, Jiro!" Kesal Panca melihat jam digital ditangan kirinya.
"Aku...hosh....aku...hosh....!!" Belum sempat Jiro menyelesaikan penjelasannya. Panca sudah memukul perut Jiro.
"Ooouuuuggghhh" Jiro mengaduh kesakitan.
"Kau lambat! Aku masih bingung apa yang spesial dari kau, Jiro"
"Aku pun juga tidak tahu"
"Apa yang kau lakukan sampai terlambat"
"Aku harus memcari Sijji. Aku melihatnya di Map. Dan dia terus bergerak. Aku harus menyampaikan pesan ketua dari klan Alphabet"
"Lalu, apa kau sudah menemukan Sijji?"
"Belum" Jiro menundukkan kepala.
"Mengapa?"
"Aku harus menemuimu"
"Hahahaha...seharusnya kau tahu mana yang prioritas, Jiro"
"Tapi...."
"Ya sudahlah. Kita lajutkan perjalanan kita"
Panca mengajak Jiro kedepan pintu gerbang pelataran timur. Ini adalah tempat terluar dari klan Numeral. Disini alat transportasi keluar masuk, termasuk Jet Super Satu. Jet terbesar dan tercanggih yang mampu menempuh 60 menit keruang angksa. Lalu ada Tank Amphibi Atom. Tank yang ringan mampu berada di darat dan di air. Dan ada banyak kendaraan yang bertengger. Ada yang sedang di perbaiki. Ada yang sedang diperbaiki. Ada juga yang sedang merakit transportasi baru.
"Hai, Panca. Kau sedang bersama siapa?" Tanya Kapten Binomial.
"Hai, Kapt. Aku sedang bersama Jiro. Jiro, ini Kapten Binomial, dia pemimpin disini"
"Hai Kapten" Jiro menjulurkan tangannya, namun Kapten Binomial meletakkan tangan disamping dahinya tanda hormat. Jiro, sektika mengukuti gerakan Kapten Binomial.
"Maaf kapten, kami tidak bisa mengobrol lama. Aku harus membawanya kembali keperjalanan kami"
"Tidak masalah, Panca. Silahkan"
Panca dan Jiro kembali keperjalanan. Mereka ke Pelataran Selatan. Yaitu, pelataran terbawah Klan. Dimana semua sistem berada disini. Sistem komunikasi. Sistem kelistrikan dan seluruh tenaga daya di Klan.
"Panca, boleh aku bertanya?" Jiro tiba-tiba bertanya, membuat langkah Panca terhenti.
"Apakah mereka semua manusia?"
"Jelas, Jiro. Hanya mereka berbeda dari kau dan aku"
"Bedanya?"
"Nanti kau akan tahu sendiri. Kita lanjutkan perjalanan kita. Ok"
Jiro mengangguk pelan, menurut apa yang dikatan Panca. Mereka melanjutkan perjalanan ke Pelataran Barat. Pelataran paling indah. Disana ada taman dan air mancur. Beberapa burung berterbangan, bunga-bunga tumbuh mekar. Kupu-kupu hilir mudik diatas bunga yang berwarna warni. Ada pohon besar ditengah taman itu. Pohonnya bercahaya dengan akar yang menjuntai-juntai kebawah, seperti pohon beringin.
"Ini tempat favoritku, Jiro. Aku menyukai tempat ini. Karena damai sekali. Tanpa kebingan suara listrik dan mesin" Panca merentangkan tangannya menikmati udara disana.
"Masih ada oksigen disini?"
"Hahahaha....jelas ini oksigen buatana. Oksigen palsu"
Jiro tercengang. Sudah sejauh inikah perkembangan teknologi di bumi ini.
Mereka kembali ke koridor A. Disana sudah ada Sijji dan Tiluh sedang bermain pedang. Sijji melompat menghindar dari tusukan pedang Tiluh. Namun, Sijji hampir tertusuk ketika Sijji kurang jeli atas pedang kedua yang berada ditangan kiri Tiluh.
"Wow...wow....kau curang Tiluh" kata Sijji menghindar.
"Dalam hal ini tidak ada kata curang, Sijji"
Tiluh kembali menyerang setelah terhenti dengan teriakan Sijji yang hampir terkena tusuk pedang.
Prok...prok....tepukan dari Panca menghentikan permainan mereka.
"Kalian hebat sekali. Kau tadi terbang ya , Sijji?" Tanya Jiro dengan mata berbinar binar.
"Aku hanya melompat" kata Sijji yang berjalan kearah lemari tempat baju mereka di gantungkan.
Sijji membuka bajunya. Ada tanda aneh dibelakang leher Sijji, warna hitam, seperti tahi lalat.
"Ada serangga di lehermu, Sijji!" Teriak Jiro yang hendak memukulnya.
"JANGAN.....!!!!" Teriak Tilluh dan Panca.
"Ada apa?" Jiro menghentikan langkahnya dan melihat wajah aneh di antara mereka.
"Jika kau ingin tahu kematian, kau cukup telan tombol itu"
"Tombol?"
"Buka bajumu, dan lihat lah. Kita semua memiliki tombol itu"
Jiro membuka bajunya dan, dia tidak mendapati benda yang sama dengan mereka. Panca, Tilluh dan Sijji tercengang. Mereka memelototkan matanya. Rasa tak percaya. Seorang Jiro tidak memiliki tombol yang sama dengan mereka berlima. Suasana menjadi tegang. Keringat dingin mengucur di tubuh mereka. Namun, Jiro lebih merasa heran atas reaksi mereka yang mematung tiba-tiba.
"Apa ada yang salah?" Tanya Jiro memecahkan patungan mereka.
"Kau ini apa?" Tanya Sijji.
"Aku ?" Jiro kembali bertanya, tidak paham dengan maksud kata 'apa'.
"Ya. Tombol power kehidupanmu tidak ada. Bagaimana kau bisa bernafas disini. Kau tahu kan Jiro, disini kita menghirup oksigen palsu" Panca merinding menjelaskannya.
"Bagaimana kau bisa bertahan?" Tillu mencoba mencari tombol power kehidupan di seluruh tubuh Jiro. "Aku tak menemukannya" Tilluh menyerah.
Pertanyaan besar semakin besar tertanam di pikiran Jiro. Ada apa dengan semua ini. Mengapa dia berbeda dari kelima rekannya. Dia harus bertanya kepada siapa.
Sebuah suara bel berbunyi 2 kali. Itu bertanda bahwa hari sudah pukul 12 siang. Saatnya untuk makan bersama di kantin klan. Tempat yang menjadi pusat berkumpulnya seluruh bagian-bagian dari klan.
Suara sepatu yang bersamaan, membentuk sebuah irama yang membunyikan rasa semangat. Langkah yang tidak terburu-buru namun terkesan keras.
Beberapa orang dari bagian mesin sudah sampai terlebih dahulu, karena kantin memang dekat dengan koridor bagian mesin. Tak berapa lama kemudian kantin sudah dipenuhi orang-orang dengan seragam warna warni sesuai bagian yang di tempatinya.
Mereka mengatri mengambil makanan dari mesain vending food. Menyediakan banyak makanan, minuman, buah-buahan dan makanan penutup. Namun, ada yang aneh disana. Semua jenis itu berbentuk pil dan tablet. Kecuali minuman. Setelah mendapatkan pil dengan rasa sesuai dengan keinginan mereka langsung memakannya di kantin yang tidak memiliki meja panjang dan bangku panjang itu.
Kantin disini hanya sebuah ruang berukuran 6 x 6 meter, yang berisi 2 mesin vending makanan, 2 mesin vending minuman, 1 mesin vending buah-buahan, dan 1 mesin vending makanan penutup.
Seseorang berkacamata menghampiri Sijji.
"Selamat siang, ketua!" Sapa pria berkacamata itu.
"Ampex. Kemana saja kau?" Tanya Sijji
"Aku menemani profesor Komplex"
"Aku tahu dia pamanmu, tapi tadi kita sednag bertugas menguji Jirro"
"Aku tahu"
"Ada yang aneh dengannya?" Bisik Sijji ketelinga Ampex
"Apa itu?"
"Dia tidak memiliki tombol power kehidupan"
"Apaaaaaaaa!!!!!!" Pekik Ampex yang membuat pandangan mata kearah Sijji dan Ampex
"Aku juga tidak yakin"
"Gila...! Numeral memang gila. Aku akan bicarakn soal ini dengan Numeral setelah makan siang"
"Baiklah. Aku pergi dulu, ada yang harus aku kerjakan dengan Tilluh"
"Ok!" Ampex tersenyum kepada Sijji.
kumpulan-kumpulan tulisanku yang sebenarnya tak berupa tulisan...hahahaha selamat membaca!!! semoga bermanfaat eaaah....
Selasa, 26 April 2016
Numeral
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar