Senin, 20 Januari 2014

Kozui

Hujan tak ada hentinya semenjak seminggu yang lalu. Hujan beserta petir dan angin begitu kencang masih mengelayuti desa ini. Para penduduk desa sedang sibuk mempersiapkan segala kebutuhan pokok selama banjir. Sebagian penduduk sudah mengungsi dari desa ini. Namun masih banyak juga yang tetap tinggal di desa yang sudah menjadi langganan banjir disetiap tahunnya. Disebuah rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bambu, tinggallah seorang wanita separuh baya dan 3 anaknya. Para penduduk memanggil Bik Narsih. Wanita itu bekerja sebagai buruh tani di sawah sewaan para petani kaya. Terkadang dia juga mencari hasil buah didalam hutan. Bik Narsih mempunyai 3 orang anak, Arga sisulung yang kesehariannya memancing ikan disungai, dan hasilnya dijual dan sisanya dimakan sendiri. Arsih, anak kedua yang memiliki keterbelakangan mental hanya bisa duduk manis dirumah. Dan si bungsu Maisaroh, hanya bisa membantu menjaga kakaknya yang memiliki keterbelakangan mental itu. Ketiga anak Bik Narsih tidak bersekolah, mereka hanya mengandalkan insting untuk bertahan hidup. Suami Bik Narsih adalah seorang kuli bangunan di ibukota. Sudah hampir 4 tahun tidak pulang-pulang dan tidak memberi kabar.
Dimalam yang mulai terasa dingin dan terdengar suara rintik hujan. Maisaro duduk didipan yang biasa mereka untuk tidur bersama. Maisaro sambip bernyanyi.
"Pelangi, pelangi, alangkah indahmu. Merah kuning hijau dilangit yang biru. Pelukismu agung siapa gerangan. Pelangi pelangi ciptaan Tuhan" Maisaro memberhentikan nyanyian yang dia tahu dari teman bermainnya yany bersekolah taman kanak-kanak.
"Coba sekali lagi nyanyinya, ibu mau dengar suara merdu dede"
"Ibu suka suara dede?" Tanya Maisaro semangat dengan mata berbinar-binar.
"Iya...lihat, kak Asrih tertidur pulas dengar suara dede" kata bik Narsih menunjuk kearah Asri yang sudah memeluk guling gepeng dan tertidur pulas.
"Kak, Asrih memang suka tidur, buk" kilah Maisaro
"Suara dede bagus kok" kata Arga yang baru keluar dari dapur.
"Kak Arga juga suka, suara dede" maisaro semakin berbinar.
"Iya, ayo nyanyi lagi"
Maisaropun bernyanyi dalam terangnya pelita dari minyak tanah itu. Arga dan Bik Narsih masih mendengarkan suara jernihnya Maisaro. Sampai tenaga Maisaro habis dan dia mulai kekelahan lalu tertelap tidur dipangkuan Bik Narsih.
Malam semakin larut, hujan petir dan berangin semakin menggila. Suara derikan rumah dan beberapa tetes air hujan memasuki ruang diaman mereka tidur. Arga yang sibuk membawa baskom untuk menampung air hujan tak terlelap untuk menjaga keluarga. Dia seorang anak laki-laki dan kakak tertua. Dia memiliki tanggung jawab besar soal urusan keselamatan keluarganya semenjak ditinggal bapaknya yang merantau.
Tok....tok...tok....
Pukul sudah menunjukkan 1 malam....
Suara ketokan bambu menandakan bahwa telah terjadi bencana. Arga terbangun diikuti Bik Narsih. Suara riuh sudah mulai terdengar sayup-sayup dirintiknya sisa hujan sepanjang malam itu.
"Arga keluar dulu buk, nyari tau sedang terjadi apa diluar" pamit Arga pada ibunya.
"Hati-hati bang. Segera kembali" cemas Bik Narsih
"Iya buk" Arga keluar memakai mantel plastik bekas jemuran padi.
Sebagian penduduk telah mendatangi pos kambling disudut perbatasan desa. Disitu terlihat Pak RT yang sedang memakai jaket tebal dan kelihatan seperti kedinginan. Disebelahnya ada buk RT yang masih sempat memakai bedak sehingga kulitnya terlihat berminyak dan silau. Lalu ada Mang Usep, kepala keamanan desa yang bertugas mengetok kentong bambu.
"Bapak-bapak, dan ibu-ibu. Heem..heem..saya baru saja mendapatkan kabar dari desa dekat sungai utara telah terendam banjir malam ini akibat luapan air sungainya yang melebihi kapasitas besar sungai. Heem..heem...jadi saya harapkan bapak ibu segara mengungsi ke rumah sanak saudara yang ada diperbukitan timur" jelas Pak RT yang jelas sekali dia sudah mempersiapkan barang-barangnya untuk mengungsi.
"Aku gak punya saudara" terdengar lirih salah satu warga
"Aku juga, gimana ini" saut yang lainnya.
"Yasudahlah, aku tetap disini. Mau mati tenggelam disini ya gak apa-apa"
"Gila kamu"
Setelah pemberitahuan informasi banjir itu, satu persatu penduduk desa mulai kembali kerumahnya masing-masing. Dengan beribu pemikiran yany berkecamuk dalam hati dan pikiran mereka. Tak terkecuali Arga. Kemana mereka harus mengungsi. Jelas mereka tidak ada saudara diperbukitan timur. Kepala Arga kembali pusing karena memikirkan kemana mereka harus pergi.
Sesampainya dirumah, Arga melihat keluarga tertidur pulas. Dan enggan membangunkan ibunya hanya sekedar memberitahukan informasi yang dia dapatkan dari Pak RT. Arga tak melanjutkan tidurnya, namun mempersiapkan alat pancing untuk besok pagi.
Pagi ini masih mendung dan awan gelap masih menyelimuti. Arga yang sudah bersiap-siap untuk mencari ikan disungai segera pamitan pada ibunya.
"Gak usah mancing hari ini, bang. Cuaca tidak mendukung"kata ibunya
"Mau makan apa kita hari ini, buk. Kalau aku tidak mancing dan mendapatkan ikan" Arga sudah siap dan hendak berangkat.
"Yasudah, hati-hati kamu" pesan ibunya yang tangannya sedang dicium lekat oleh anak sulungnya.
Suasana desa kelihatan berbeda. Sudah mulai sepi. Rumah Kek Yoyo biasnya rame anak kecil kini suara riuh itu tidak ada. Rumah Pak RT yang biasa selalu ribut masalah kerukunan atau sekedar minum kopi malah tidak terlihat dan terkunci rapat-rapat. Warung kak Ija juga sepi, walaupun dia membuka warungnya. Dan Arga mendatangi warung Kak Ijah membeli mata pancing yang baru.
"Sepi ya kak?" Tanya Arga duduk dibangku depan warungnya.
"Ya jelas sepi, Ga. Kan tadi malam sudah diumumkan sama Pak RT kalau desa ini bakalan banjir"
"Tapi, selama aku disini gak pernah banjir, Kak"
"Terakhir banjir ya, 5 tahun yang lalu, persis kejadiannya seperti ini. Sungai Utara meluap dan desa dibagian utara telah hampir tenggelam. Kalau hari ini hujan. Bakalan bencana nanti malam" papar Kak Ijah yang memang sudah lama tinggal didesa ini.
"Aku beli mata pancing kak, yang ukurannya kecil"
"Kamu mau mancing dicuaca seperti ini. Sungai timur itu berbahaya, Ga. Sebaiknya kamu pulang jaga adik-adik dan ibukmu!" Pesan Kak Ijah yang tidak mengambilkan mata pancing.
"Aku yakin tidak apa-apa kak, mana mata pancingnya. Aku hutang dulu, kalau dapat ikan aku bayar" kata Arga tidak menghiraukan pesan kak Ijah.
"Jangan sesumbar kamu, berani kamu melawan alam kalau sudah marah" kata kak Ijah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Arga tidak memperdulikannya, Arga terus berlalu ke arah sungai timur. Memang kelihatab tidak ada yang pergi memancing di hari yang tidak cerah ini. Warna air sungainya juga mulai keruh akibat hujan badai tadi malam. Air yang menetes dari langit mulai turun membasahi bumi saat itu. Dan tidak mengurungkan langkah Arga untuk memancing.
Dirumah ibuk sedang memasak singkong rebus yang baru saja dipanen dari belakang rumah. Sedikit garam dan parutan kelapa di campur panas-panas dengan singkong rebus, menjadi sarapan ternikmat pagi yang hujan itu. Maisaro yang baru saja membersihkan tubuh kakaknya berlari kaerah dapur karena mencium aroma songkong rebus.
"Ibuk, wangi sekali songkongnya" kata Maisaro sambil mencium aroma masakan ibunya.
"Kamu makan berdua dengan kak Asrih ya"
"Iya buk" Maisaro mengambil piring kaleng, dan meletakan 4 potong singkong dan taburan kelapa.
Dia menuju ke dipan dimana Asri diikat dengan bebapa helai kain agar dia tidak kabur dari rumah.
"Kak Asri mau makan?" Tanya Maisaro kepada kakanya lembut dengan suara jernihnya. Namun tidak ada jawaban dari Asrih yang terbaring dengan mata kosong sambil memeluk guling gepeng dan berbau tak sedan itu. Maisaro mulai menyupai singkong rebus itu kemulut Asri dengan sedikit demi sedikit. Tak ada respon apapun dari Asrih yang hanya mengunyah tanpa harus memberi reaksi, apakah makanan itu enak atau tidak. Yang Asrih tahu hanya mengunyah makanan itu dan menelannya agar dia tidak kelaparan. Bik Narsih yang telah selesai memasak mendatangi dipan dimana kedua putrinya.
"Buk, siapa yang menciptakan pelangi?" Tanya Maisaro melongo.
"Tuhan yang Maha Agung, dede"
"Kapan pelangi datang?"
"Setelah hujan turun dan ketika itu matahari timbul"
"Berarti setelah hujan ini pelangi ada ya, Buk"
"Mudah-mudahan ada" jawab ibunya lembut.

Tok...tok...tok....
Suara kentong bambu itu berbunyi lagi. Ini masih pukul 10 pagi. Penduduk desa yang masih tinggal berdatangan ke pos kamling di sudut desa ini.
"Semuanya mengungsi, sungai timur sudah meluap. Bawa barang yang diperlukan saja" teriak Kang Usep.
Bik Narsih yang baru saja tiba di pos kampling kelimpungan mendengar kabar banjir bah yang akan menuju desa.
"Sep...usep....si Arga masih di sungai"
"Bik...saat ini menyelamatkan diri masing-masing lebih penting, daripada menyelamatkan orang lain" kata Kang Usep berlalu pergi
Bik Narsih mulai kebingungna karena keadaan. Penduduk desa sudha sibuk kocar-kacir kerumahnya dan membawa barang seadanya. Bik Narsih masih mencari bantuan agar anak sulungnya diberitahukan bahwa banjir bah akan datang.
"Yan...tolong kamu jemput Arga dia sedang di sungai timur" pinta Bik Narsih kepada Piyan teman mancing Arga.
"Maaf Bik, aku harus ngurus keluargaku"
"Ibuk....ibuk...." suara teriakan yang jelas Bik Narsih kenal membuat hatinya sedikit tenang. Itu suara Arga. Itu suara putra sulungnya yang masih membawa pancingannya.
"Ibuk ayok kita pergi dari desa ini, aku melihat arus sungai dan warna sungai sudah berubah pekat"
Hujan semakin deras, tak ada yang bisa menghalangi alam ketika marah.
Arga menarik ibuknya, dan kerumah. Suara teriakan bahwa air sudah mendekati beteng-beteng persawahan. Membuat panik warga yang tidak memiliki transportasi untuk ke bukit utara. Arga yang sedang berlari kencang memgang erat tangan ibuknya semakin kencang berlari.
"Dede...buka ikatan kak Asrih" perintah Arga yang sudah ngos-ngosan.
Bik Narsih yang membawa bekal baju dalam segumpal kain. Maisaro gelapan dia tidak bisa kosentrasi membuka ikatan kain dikaki kakaknya. Maisaro mulai meneteskan airmata. Hujan semakin deras angin semakin kencang dan itu masih pukul 12 siang. Suara petir membahana membuat Maisaro semakin takut.
"Awas...biar abang potong" kata Arga yang membawa kapak kayu dan memotong ikatan kain. Salah sedikit, maka kaki Asrih akan terpotong.
"Ayok, Srih. Kita mengungsi. Kamu pasti bisa" kata Arga. Asrih masih belum mengerti ada apa sebenarnya. Yang dia tahu, bahwa dia telah bebas dan tidak diikat lagi, itu membuatnya gembira dan tersenyum.
"Ayok kita keluar" kaya Bik Narsih yang sudah siap dengan perbekalannya.
Sesampai didepan pintu, sebuah kereta sapi melaju pelan.
"War....aku butuh tumpangan untuk anakku ini. Tolong aku" kata Bik Nrasih memohon kepada tetangganya itu.
"Aku tidak bertanggung jawab kalau dia sampai loncat" kata Paman War
"Kau ikat saja kakinya, cepatlah nak naik. Tunggu kami di perbukitan Utara"
"Baiklah, cepat naik air sudah mencapai beteng terluar persawahan"
Suara gemuruh semakin membuat orang kalut. Banyak penduduk desa berlarian kearah yang lebih tinggi. Ada juga yang masih tinggal dirumahnya, seperti Kek Yoyo yang masih termenung di teras rumahnya dan memang sudah tidak sanggup lagi harus berjalan berkilo-kilo jauhnya.
Bik Narsih dan kedua anaknya melanjutkan perjalanan. Namun ketika lambaian tangan keluarganya mata Asrih meneteskan airmata. Rasanya dia ingin berteriak.
"Biarkan aku ikut bersama kalian, aku ingin bersama kalian" lambaian itu semakin terlihat jauh, dan airmata Asrih tak terlihat karena begitu derasnya hujan.
Arga langsung sigap membawa ibuk dan adiknya pergi daerah tertinggi, bajir deras tiba-tiba sudah sampai pos kamling. Suara gemuruh air sudah terdengar sampai kearah mereka.
"Ibuk masih bisa manjat pohon?" Kata Arga yang punya inisiatip memanjat pohon besar yang berada dipertigaan kearah perbukitan utara.
"Bisa, bang"
"Saat ini kita menunggu arus derasnya berlalu, dan caranya kita naik keatas pohon. Dede naik kepundak abang" suruh Arga yang mendorong ibuknya naik keatas pohon segera. Berkali-kali terpeleset karena kayunya licin akibat hujan. Walaupun itu beresiko tersambar petir setidaknya mereka tidak hanyut terbawa arus yang keberadaan jasadnya tidak akan ditemukan oleh siapa-siapa.
Benar saja perkiraan Arga, arus yang begitu deras membawa sebagian peralatan rumah yang masi tertinggal. Ada dinding tepas yang hanyut terbawa arus. Arus begitu deras suaranya seperti gemuruh yang tak terkalahkan. Memekakkan telingan, hujan yang mulai reda membuat keuntungan bagi Arga dan keluarganya untuk tetap diatas pohon. Arus itu masih saja mengalir, dan tingginya hingga 4 meter dengan kekuatan laju arus yang cepat. Maisaro masih memeluk ibuknya, menangis melihat itu semua.
"Dede takut buk"
"Jangan takut, dede mau melihat pelangikan. Setelah ini akan ada pelangi. Dede pasti suka"
"Abang pengen dengar dede, nyanyi lagu pelangi"
Mereka masih diatas pohon, dengan perut yang lapar. Tak ada pergerakan, arus sungai masih saja deras dan belum kelihatan menyurut. Maisaro dengan suaranya mengiringi sore itu dengan basah dan lapar.
Mata mulai terasa lelah, ketinggian air masih belum bisa tercapai kaki orang dewasa. Mereka bertiga masih bertahan diatas pohon, padahal malam semakin larut. Ada beberapa ikan di keranjangnya Arga, tapi percuma itu ikan masih mentah dan tidak bisa dimakan.
"Buk, dede lapar" diatas pohon yang gelap itu Maisaro mengeluhkan bahwa perutnya lapar.
"Sabar ya, Dede tidur saja, dan mimpikan berbagai makanan yang dede suka" kata Ibuknya mencoba menenangkan.
"Tapi perut dede sakit" rengek Maisaro yang menahan sakit perutnya.
Arga tidak tahan melihat rengekan Maisaro, Arga membuka keranjangnya.
"Ini ada ikan. Dede mau makannya" ikan itu masih mentah dan belum dimasak. Karena lapar dede melahap ikan itu dan tidak memperdulikan bau amis karena masih berdarah. Melihat Maisaro memakan dengan lahap. Bik Narsih dan Arga mencoba memakannya sambil menutup hidung.
"Enak bang" kata Maisaro senang sambil memegang perut. Setidaknya perutnya sedikiy tidak sakit. Arga yang sudah menangis sedari tadi melihat keluarganya seperti ini, dan tidak disadari oleh ibuk dan adiknya. Maisaro masih melahap sisa ikannya, dan Bik Narsih tidak sanggup memakan ikannya terasa ingin muntah. Namun, tidak mungkin dia memuntahkan dihadapan kedua anaknya. Betapa lemahnya dirinya saat ini. Sudah hampir malam, ketinggian air sudah mulai menurun, setidaknya sudah bisa dilewati oleh orang. Arga turun terlebih dahulu memastikan bahwa keadaan sudah aman. Tak ada penerangan, cuma berdasarkan insting saja.
"Bang, ibu membawa obor bambu" kata Bik Narsih yang sudah mempersiapkan obor bambu.
"Percuma buk, tidak ada korek"
Benar juga, tidak ada korek. Mengapa tidak terpikirkan oleh Bik Narsih untuk membawa korek api.
"Sudah aman buk, tingginya sepinggangku"
"Syukurlah" kata Bik Narsih sambil memeluk maisaro.
"Dede bisa turun sendiri nanti abang gendong" kata Arga mencoba memujuk Maisaro turun
"Dede takut bang"
"Dede mau lihat pelangi tidak?"
"Mau"
"Kalau dede ingin lihat pelangi, turun dede pelan-pelan ya"
Maisaro mencoba turun mengikuti bujukan Arga. Tapi semangatnya bukan karena ingin digendong Arga. Tapi karena ingin melihat pelangi diperbukitan utara yang katanya terlihat indah sekali. Dede berhasil turun dipundaknya Arga. Dilanjutkan Bik Narsih yang mulai sedikit pusing, karena belum makan. Agak sempoyongan, namun dia tetap mencoba untuk kuat dan menuruni pohon tersebut yang sebenarnya licin. Akhirnya mereka bertiga turun dengan selamat, dan mulai berjalan menelusuri jalan yang berair. Arga sebagai petunjuk jalan, hapal betul dimana harus berjalan. Sebatang kayu kecil hanyut terbawa oleh arus, segera diraih Arga sebagai pertanda apakah itu tempat yang bisa dilalui atau tidak. Mereka melewati malam yang rintik itu menyelusuri air banjir sepanjang jalan menuju perbukitan utara. Gelap, sangat gelap tak ada penerangan. Hanya insting seorang Arga diperlukan disini. Semakin keatas air semakin dangkal. Beberapa orang sedang berkumpul di bawah pohon rindang dan menyalakan obor. Arga mencoba mendekati kerumunan orang-orang itu. Ternyata Piyan dan keluarganya dan kereta sapi mereka.
"Piyan" teriak Arga
"Arga" sambit Piyan berlari kaerah teman karibnya itu.
"Mengapa kalian berhenti?" Tanya Arga.
"Kau lihat, kaki sapiku terluka, kemungkinan ada dua. Karena kayu yang berduri atau digigit buaya"
"Buaya??apa mungkin ada buaya disini" tanya Arga heran.
"Kau tahukan buaya sungai timur itu ada"
"Iya, aku tahu. Tapi itu tidak mungkin"
"Apa yang tidak mungkin didunia ini. Bahkan banjir bah ini juga kau tidak anggap mungkin. Setelah lima tahun kita bebas banjir bah"
"Sebaiknya aku melanjutkan perjalanan"
"Kau gila, ini sudah begitu malam. Jangan mencari mati. Tinggallah disini. Kita bergantian berjaga. Biarkan ibukmu dan adikmu naik keatas kereta. Aku, Kau dan bapakku akan berjaga ini malam" usul Piyan masuk akal.
"Apa kau melihat paman War, Yan?" Tanya Bik Narsih cemas.
"Paman War sudah didepan kami, aku rasa sudah sampai perbatasan desa dan bukit" jelas Piyan, dan itu menenangkan hati Bik Narsih. Karena anaknya yang memiliki keterbelakangan mental itu selamat.
Sampai pagi tiba dengan pencahayaan seadanya, mereka berisitirahat dibawah pohon rindang. Setidaknya melindungi dari tetesan hujan yang sudah mulai mereda itu.
Tak ada matahari, dipagi itu. Seperti hari kemarin. Hujan rintik-rintik masih menyelimuti perjalanan mereka. Arga, adik dan ibuknya berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Sedangkan Piyan menunggu kaki sapinya pulih akibat luka yang tidak tahu apa sebabnya. Ketinggian air banjir bah itu, sudah mulai menyurut, sekarang sepinggangnya Maisaro. Perut mereka yang lapar, masih mampu menopang tubuh mereka yang sudah mulai kelelahan. Walaupun ada roti yang diberikan oleh keluarga Piyan, tapi itu tidak cukup menganjal isi perut mereka.
"Buk...itu bukannya guling kak Asri" tunjuk Maisaro kearah guling yang tersangkut oleh kayu-kayu.
"Asrih...Asrih" Bik Narsih mulai panik ketika melihat guling itu tersangkut arus.
"Buk...buk...sudah...sudah. mungkin itu terlempar" kata Arga menenangkan ibuknya.
"Bukannya itu bak kereta paman War" tunjuk ibunya kearah timur terlihat jelas. Mata Arga terbelalak melihat gerobak kereta sapi paman War terbalik dipertengahan banjir bah itu. Dia memikirkan adiknya, dan mulai menyesalinya. Mengapa Asri tidak bersama mereka saja. Bik Narsih mulai menangisi dan membayangkan bahwa putrinya sudah tidak bernyawa lagi. Rasa lapar kini berubah menjadi rasa campur aduk. Sedih dan merasa menyesal telah membiarkannya berlalu bersama orang lain. Keinginan menyelamatkan putrinya yang tidak sehat itu, malah jadi buntung. Maisaro yang tidak mengerti mengapa abang dan ibuknya menangis.
"Ibuk dan abang mau dengar dede nyanyi pelangi-pelangi tidak?"
Tak ada sautan dari mereka berdua. Yang ada hanya linangan airmata dan semburat kenangan bersama putrinya yang memiliki keterbelakangan mental itu. Maisaro tidak perlu persetujuan dari ibuk dan abangnya. Dia langsung bermyanyi untuk menghibur keluarganya yang dicintainya itu.
"Pelangi, pelangi, alangkah indahmu. Merah kuning hijau dilangit yang biru. Pelukismu agung siapa gerangan. Pelangi pelangi ciptaan Tuhan" itulah cara Maisaro menghibur keluarganya. Namun dihatinya terdalam, dia harus kehilangan seorang yang telah lama dia urus. Tiba-tiba dia teringat ketika dia menyuapi makanan ke mulut kakaknya. Dia teringat dia harus membersihkan seluruh badan kakaknya. Dia juga mengingat senyuman terakhir kakaknya ketika ikatan kain itu dibuka. Sepertinya kakaknya sudah tahu bahwa dia akan bebas. Asrih sepertinya benar-benar bebas dan tidak merepotkan keluarganya. Sepanjang perjalanan penuh duka itu, Maisaro tetap saja menyanyikan lagu pelangi-pelangi. Sampai perbatasan bukit. Beberapa orang dari desa dimana Arga tinggal sudah menunggu.
"Kau selamat, Ga?" Peluk Kang Usep.
"Iya kang"
"Kalian semua selamat" kata Kang Usep senang.
"Tidak kang, Asrih sudah tidak ada lagi"
"Asrih??" Tanya Kang Usep memasang wajah heran.
"Ya kang"
"Itu siapa yang berlari-lari dengan Tias dan Wendi" tunjuk Kang Usep kearah kedua anaknya yang sedang kejar-kejaran dengan Asrih.
Mata Bik Narsih berbinar bukan kepalang. Rasa senang yang berbalut airmata. Berlari kearah Asri yang tertawa lepas. Bik Narsih memeluk erat anaknya itu.
Kang Usep menceritakan, bahwa dia menemukan seorang anak yang terapung diatas kayu yang digenggamnya. Namun, paman war dan keluraganya tidak ditemukan. Lalu Kang usep tanda, bahwa itu Asrih dan memungutnya dan membawanya kebukit utara.
"Bukannya kang Usep sudah duluan"
"Belum, aku harus mengungsikan seluruh warga. Masih saja ada yang ngeyel tidak mau pindah dan bertahan" jelas kang usep.
"Syukurlah kalau begitu kang"
Bik Narsih masih memeluk Asrih.
"Syukurlah kau selamat, Nak"
"I...ii..buuk" suara pertama itu didengar tepat oleh Bik Narsih dengan jelas.
"Arga, dede. Dengarkan Asrih bisa bicara" teriak ibunya. Arga dan Maisaro berlari kearah ibuknya. Mereka berpelukan dengan erat sekali. Musibah ini siapa yang tahu. Semua kisah itu ada hikmahnya. Bahwa setiap langkah dan keputusan itu adalah hal yang tak perlu disesali. Hanya dengan bersabar, maka pelangi itu akan datang dengan indahnya.
"Itu pelangi" kata maisaro senang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar