Jumat, 28 Oktober 2016

Peri Kecil

Apa yang sedang kau lakukan peri kecilku.
Kau selalu saja melayang-layang dipikiranku.
Bahkan ketika aku sibuk.
Tak luput juga ketika melamun.
Kau sungguh menguras pikiranku.
Semua daya energiku.
Peri kecilku, datanglah malam ini.
Aku membutuhkan bahumu untuk menopang masalahku.
Malam senyap menyelimuti ruang kerja Fagra. Sebagai wakil direktur yang baru ini baginya masalah besar. Tidak tanggung-tanggung, tugasnya menumpuk hari ini. Mulai dari masalah penanganan kinerja karyawan, upah pekerja pabrik yang ingin minta dinaikkan dan perusahaan pusat meminta untuk segera melaporkan program kerja tahun depan.
Sibuk sekali. Kertas-kertas berserakan dimeja kerjanya. Kepalanya pusing. Matanya sudah mulai perih menatap layar komputer. Rambutnya berantakan tidak karuan. Bahkan dasi mahalnya terselempang acak-acakan di lantai. Ini mustahil akan selesai besok. Fagra terus menggeleng-gelengkan keplanya.
Peri kecilku, datanglah...
Datanglah kesini....
Temani aku dikala gundah....
Peri kecilku....
Sebuah ketukan halus terdengar dari balik pintu. Fagra membuka kuncinya melalui remot kendali yang berada dilaci meja kerjanya.
Seorang bertubuh mungil. Berwajah teduh. Memberikan aura baru malam ini. Grisa, datang menjenguknya malam ini di kantornya.
"Ada yang bisa aku bantu?"tanya Grisa sambil melihat sekeliling ruangan yang berantakan.
Fagra tersenyum.
"Jadi ini ruang wakil direktur itu?"
Kembali Fagra tersenyum. Seperti ada semangat baru yang tersalurkan ke seluruh tubuhnya yang lelah itu.
"Mengapa dari tadi tersenyum terus?" Tanya Grisa memungut kertas satu persatu dan menyusunya rapi diatas meja kerja Fagra.
"Luar biasa. Bagaimana bisa. Aku sedang memikirkanmu. Tiba-tiba kau muncul"
"Bukannya kita memiliki telepati yang dihubungkan benang merah, Fagra?" Grisa tersenyum kecil.
"Tunggu aku, ini akan segera selesai. 2 jam lagi"
"Baiklah. Aku paling suka menunggumu sedari dulu"
Grisa membaringkan tubuhnya diatas sofa empuk berlapis kulit dan memmbaca novel yang selalu dibawanya. Fagra yang masih berkutat dimeja kerjanya dengan kembali lancar meneruskan tugasnya yang tertunda. Tak ada pembicaraan malam itu. Kedua insan tersebut larut dalam kehingan masing-masing.
Terima kasih peri kecilku....
Kau yang paling tahu apa yang aku inginkan...
Kehadiranmu , bahkan senyuman itu bagaikan cambuk mesra untukku bekerja malam ini....
Menghabiskan waktu semalaman dikantor Fagra itu adalah hal yang biasa. Entah dimulai dari kapan telepati itu selalu muncul tiba-tiba. Tergerak. Bergetar. Dan terasa aneh , namun itu menyenangkan bagi Grisa.
"Kau , ada yang aneh di matamu?" Kata Fagra membangunkan Grisa yang terlelap dalam novelnya.
"Kotoran mata!" Cemberut Grisa.
"Hahahahaha....jika aku mengatakan ada pelangi. Itu terkesan gombal, kan!"
"Hahahhaha.....ini masih pagi, Gra. Aku sebaiknya pulang. Aku harus kerja. Bagaimana pekerjaanmu?"
"Sudah selesai"
"Kau berhutang budi lagi padaku. Seharusnya kau traktir aku makan di restoran italia"
"Baiklah. Besok malam" kata Fagra melihat kalender mejanya.
Grisa tersenyum, tapi pahit. Ketika janji sebelumnya juga begitu. Ketika semua janji terdahulu tak terpenuhi. Semua lenyap seketika bersama alasan yang klise. Lupa. Itu semua alibi bagi Fagra untuk tetap bisa bertahan dalam lingkran ternyamannya masa ini. Akan tetapi, bagaimana bisa Grisa tetap bertahan di posisinya sebagai peri kecil yang kuat. Padahal kenyataannya begitu menyiksa. Ini tidak seperti kisah dalam drama-drama favoritnya. Tidak seperti kisah-kisah romansa dalam novel sastra terbaik. Tidak seperti itu.
Jalanan mulai ramai, tak sempat untuk mandi. Grisa mencuci mukanya dan menuju kantornya menggunakan taxi pesanannya tadi. Lambaian tangan Fagra menyiratkan, tunggu aku besok itu membuat Grisa menantikan hari besok dengan semangat dan senyuman.
Peri kecilku, sungguh aku bahagia.
Bahagia bersama senyum dan semangatmu...
Ini seperti lantunan piano berbisik indah ditelingaku....
Aku tak sanggup menggapaimu....
Kau begitu sempurna dengan mimpi-mimpimu.
"Bu Grisa , saya mohon segera terbitkan artikel yang saya tulis kemajalah ibu"
"Maaf, Wen. Aku tak bisa. Tulisanmu sangat bagus. Akan tetapi, majalah kita adalah majalah netral. Tidak untuk hal ini. Maafkan aku"
"Bukankah ibu tidak suka ketidak adilan"
"Aku tahu" jawab Grisa singkat sambil berpikir, bagaimana caranya tulisan Wenna tidak terlalu mencolok atas keperpihakannya atas suatu partai politik.
"Bu, aku mohon"
"Baiklah. Aku akan mengedit ulang tulisanmu. Ini tidak mudah, Wen. Harga diri majalah ini taruhannya. Tapi, ini keadilan untuk semuanya"
"Terima kasih, bu" Wenna meraih tangan Grisa dan menggenggamny penuh harapan.
Tak ada waktu untuk melamunkan mimpi besok. Tugas Grisa didepan mata. Mengedit tulisan itu hal yang tidak mudah. Bukan juga hal yang sulit baginya sebagai seorang penulis. Ini semua berasal dari kerja kerasnya, hingga tercapai di puncak tertinggi perusahaannya. Majalah wanita ternama seantero nusantara. Gedung 10 lantai berdiri megah menjadi simbol betapa hebatnya si pendiri majalah ini.
Berkali-kali Grisa melihat ponselnya. Tak ada pesan ataupun telepon. Yang ada hanya layar hamparan bunga matahari yang menjadi wallpaper ponselnya.
Tak ada Fagra hari ini. Sibuk. Bisa jadi. Pikirnya.
"Grisa. Kau dimana?" Tanya Fagra malam itu. Sudah pukul 7 malam. Malam ini, janji itu.
"Aku masih dikantor. Karyawanku ngotot ingin menerbitkan tulisannya. Ini akan menjadi petaka jika aku tidak mengeditnya"
"Kau sibuk?"
"Tidaklah. Aku tidak pernah sibuk. Kau, ada apa?'
"Proposalku di tolak perusahaan pusat!"
"Bagaimana bisa?"
"Kata mereka itu terlalu mengancam perusahaan. Bisa-bisa aku akan turun jabatan besok"
"Ayolah, semangat. Aku tak suka mendengar keluhanmu"
Peri kecilku, maafkan aku.
Aku sengaja melupakan janjiku padamu hanya untuk menepati janji lainnya....
Maaf....
Aku yakin kau selalu memaafkanku...
"Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin sendiri"
"Baiklah. Aku tahu itu. Hubungi aku jika kau sudah bisa diajak bicara"
"Iya"
Telepon ini adalah alasan untuk Fagra melupakan janjinya kepada Grisa. Dan Grisa mengetahuinya. Ini sangat menyakitkan. Tetes airmatanya turun lembut membasahi pipinya yang mengering karena AC. Ini sungguh terlalu. Grisa menyiksa dirinya terus menerus. Diperdayakan perasaan yang dia tidak tahu sampai kapan ini akan berakhir. Tak muda untuk mengakhirinya.
Peri kecilku, aku sedang tidak sendiri.
Aku takut jujur padamu...
Bukan hanya kau yang di hati....
Tapi, wanita ini lemah tanpaku...
Ini bukan mengkhianatimu, kan. Peri kecilku.
Tawa gelak itu, suasana itu. Tidak terlihat masalah bagi Fagra. Malam ini, dia sedang menyenangkan hati seorang gadis dalam selipan kehidupannya saat ini. Senyum sumringah dari wajah gadis ayu itu melingkar tulus. Genggaman tangannya menghangatkan suasana di restoran italia yang bercahaya redup ini. Sungguh romantis.
"Apa kau tidak sibuk, Fagra?"
"Tidak, demi kau"
"Gombal"
"Ini jujur"
"Serius?"
"Sungguh"
"Aku suka matamu, bagaimana bisa mata itu menyihirku malam ini"
"Kau ternyata lebih gombal dariku"
Mereka berdua saling pandang dan masuk kedalam sebuah perasaan yang menggetarkan.
Peri kecilku, ini bukan penghianatankan.
Aku masih butuh kau...
Tapi, dia terlalu menggoda ku...
Maafkan aku....
Tak ada pagi yang tak indah. Karena pagi adalah awal dari segalanya. Senyuman bertebaran dimana-mana. Sapaan semangat selalu membuncah langit-langit bagi pekerja keras. Dan setiap orang berharap bahwa hari ini akan selalu pagi untuk selamanya. Begitu juga Grisa, hatinya sedang senang bukan kepalang. Terbitan majalahnya bulan ini meningkat pesat. Artikel yang ditulis Wenna begitu memukau.
"Selamat , Wenna. Kau akan dapat bonus bulan ini"
"Terima kasih , buk. Seharusnya aku yang berterima kasih kepada ibu karena sudah memberikan izin untuk artikelku"
"Sudahlah. Bagaiman malam ini kita makan malam di retoran italia. Apa kau bisa?"
"Maaf, buk. Malam ini aku tidak bisa. Aku sudah ada janji dengan seseorang" kata Wenna tersenyum tersipu malu.
"Kekasihmu?atau pujaan hatimu?"
"Apa bedanya, bu?"
"Kekasih itu sudah pasti pujaan hatimu. Akan tetapi pujaan hati belum tentu kekasihmu"
"Ibu, luar biasa. Wajar ibu menjadi penulis nomor satu di negeri ini. Untuk saat ini masih pujaan hati, bu"
"Baiklah. Aku turut senang. Aku menunggu kabar gembira darimu"
Wenna mengangguk dan segera pamit untuk kembali ke ruangannya.
Langit cerah menjelang tengah hari. Warna biru terlihat jelas dari balik kaca ruangan Fagra. Tatapan kosong, bingung dan bersalah. Semua bercampur dalam tugas yang tak urung selesai. Deadline sudah didepan mata. Proposal program kerja ditolak mentah-mentah.
Peri kecilku, aku mohon hubungi aku saat ini. Aku ingin mendengar suaramu.
Tawamu memmbawa semangat bagiku.
Pemikiranmu, daya dengarmu yang tulus.
Peri kecilku, aku mohon.
Sebuah deringan ringtone ponsel milik Fagra terdengar jelas. Ringtone itu berbeda dari nada dering lainnya. Itu spesial. Tanda dari langit memberi keberkahan baginya. Jika ingin maka dapat.
"Hai, sedang apa?" Tanya Grisa dibalik telepon kantornya.
"Kau memakai fasilitas kantor untuk urusan pribadi?"
"Siapa bilang ini urusan pribadi. Minggu depan aku akan menemui direktur perusahaanmu. Aku ingin mewawancarainya"
"Tapi ini akan menjadi perbibcangan pribadi pada akhirnya"
"Sudahlah, kau catat tanggal di kalendermu sekarang. Aku tahu betul kau pelupa akut"
Tidak untuk hal ini peri kecilku...
Sungguh aku ini pengingat...
Mengingat semua janjiku padamu....
Tapi, sungguh aku tak sanggup menggapaimu....
Dihadapan seribu mimpimu...
"Aku sudah mencatatnya di kalenderku"
"Baiklah, terima kasih"
"Hanya itu?"
"Iya"
"Tidak ada yang lain?"
"Tidak"
"Misalnya kau rindu aku, gitu"
"Hahahahahhaa....ini sudah siang, Fagra. Sebaiknya kau cuci mukamu. Mungkin kau kelelahan"
"Aku memang merasa lelah, Grisa"
"Aku tahu maksudmu. Nanti malam aku kan ke kantormu"
"Tidak untuk malam ini"
Maaf, peri kecilku. Aku menolakmu untuk kali ini.
Karena ada janji istimewaku pada wanita spesial itu.
"Oke...oke...."
Terasa ada sesak didalam hati. Tercekat dalam menahan emosi. Ini tidak bisa di tolerir, perasaan yang mengambigu ini tidak seharusnya hadir saat ini. Marah. Untuk apa. Bukan salag siapa-siapa. Tak ingin salah sangka Grisa langsung menutup teleponya dengan rasa kecewa.
Suara itu menumbuhkan semangat baru untuk Fagra melanjutkan tugasnya dan segera menyelesaikannya. Akan tetapi ada seorang yang merasa hampa ketika melihat laya komputernya, terlamun dalam kekecewaan pada pengharapan besar. Ini sudah semakin salah.
"Bagaimana, kau suka cincinya?" Kata Fagra memberikan cincin berbatu saphire ungu.
"Suka. Terima kasih"
"Kau cantik sekali malam ini"
"Sudah jangan menggombal. Aku tidak terlalu suka. Itu terdengar menggelikan"
Peri kecil, dia mirip denganmu. Tak suka aku gombalin.
Senyum tulusnya juga mirip denganmu...
Aku....
"Aku serius. Ini jujur"
"Aku sudah terlalu bosan dengan kata-kata itu"
"Tidak akan bosan jika kata-kata itu keluat dari mulutku. Aku kangen sekali denganmu"
"Hehehehe....kangenmu itu bukan hanya untukku, kan!"
Lihatlah peri kecilku, dia mirip sekali denganmu. Menebak tepat pada sasarannya. Bahwa dia tahu aku juga merindukanmu peri kecilku.....
Namun, aku tak sanggup menggapaimu...
Malam ini menjadi malam panjang kebahagian bagi Fagra. Tidak halnya dengan Grisa yang sedang duduk sendiri menatap langit hitam berbintang diatas gedung miliknya. Berasama beberapa kaleng minuman ringan dan sekotak donat cokelat, malam ini Grisa lupa akan dietnya. Rindu ini begitu menyiksa. Sudah hampir seminggu dia tidak bertemu dengan Fagra. Ingin menelponya, Grisa tahu ini akan membuatnya merasa terganggu dengan kesibukannya malam ini untuk menyelesaikan tugasnya. Angin malam berhembus pelan kedasar sebuah rasa yang menghampa. Tak lama sebuah pesan singkat mendarat dilayar ponselnya.
"Datanglah kekantor, aku sedang sendirian. Ada yang ingin aku bicarakan padamu"
Bergegas Grisa segera menuju kantor perusahaan dimana Fagra bekerja. Berlali menuruni anak tangga, karena semua eskalator dan lift sudah tidak beroperasi lagi. Tak peduli kakinya lecet karena menahan beban tubuhnya. Pertanyaan pertanyaan bermunculan didalam pikirannya. Segera Grisa memesan taxi melalui ponsel pintarnya. Tepat Grisa sampai digerbang kantornya, begitu tepat juga taxinya menjemputnya.
"Royal Properti ya, Pak"
"Iya, mbak"
Taxi membelah kegelisahan Grisa. Perasaanya berbunga-bunga. Rindu yang terpendam akan membuncah malam ini. Lalu lalang kenderaan tak membuatnya merasa terganggu, suara klakson yang membahan ketika lampu merah terasa amat merdunya.
Dan pintu itupub terbuka. Fagra sedang duduk menghadap jendela. Grisa masuk keruangan dengan rasa yang bergetar. Hening. Fagra bangkit dan berbalik. Sebuah tetesan airmatanya terurai lembut dipipinya.
"Kau, ada apa?" Tanya Grisa mendekati Fagra.
Fagra terduduk dilantai, kakinya lemah. Tak sanggup berdiri.
"Tugas ini menyiksaku" jawab Fagra menutup wajahnya yang penuh airmata.
Maaf, maafkan aku peri kecilku.
Ini bukan tangis karena tugasku....
Ini tangisku karena sudah merasa bersalah padamu...
Bersalah karena aku membohongimu....
Bukankah aku begitu kejam....
Tapi, mengapa kau masih berada disisiku...
Sungguh aku tak sanggup menggapaimu....
"Selemah itukah, kau sampai menangis karena tak selesaikan tugasmu?"
"Iya, aku bingung"
Bukan karena tugasku, akan tetapi dengan perasaanku....
Aku butuh kau peri kecilku...
Tapi wanita itu butuhku..
"Huft!!! Kau banyak berhutang budi padaku. Aku akan membantumu untuk menyelesaikan tugas-tugasmu. Mari kita kerjakan bersama"
"Terima kasih" Fagra mengusap airmatanya dan tersenyum senang. Itu sudah cukup membuat Grisa bahagia, hanya senyuman itu yang membuat tanda tanya besar dalam dirinya terjawab sudah. Grisa sangat mencintai pria ini, tulus dari dalam hatinya.
Grisa memegang kendali keyboard komputer milik Fagra, sedangkan Fagra berkutat mencari informasi dari berkas-berkas program kerja beberapa tahun yang lalu. Bukankah ini sebuah team kecil yang sangat kompak dan harmonis. Saling mendengarkan, menerima pendapat lain. Tersenyum semangat ketika sudah merasa lelah. Dan melakukan tos pada akhir tugasnya. Ini lebih romantis dari kisah drama-drama favorit Grisa.
"Uurrrrrggghhhhh....sudah jam 5 pagi. Aku harus segera pulang"
"Aku antar"
"Tidak perlu. Aku tidak semanja itu, Fagra. Sebaiknya kau mandi, dab istirahatlah sejenak. Agar kau segar kembali ketika rapat kerja nanti. Semangatlah. Aku selalu mendukungmu, selalu berada disisi terbaikmu" Grisa tersenyum.
Energi baru itupun muncul kembali. Ini bukan masalah perasaan lagi. Ini sudah masuk ke ranah energi hebat yang merasuk kedalam diri Fagra dan membuat hidupnya kembali hidup.
Kembali pagi, suasana kantor majalah wanita itu kembali ramai. Beberapa jurnalis sibuk mengetik artikel-artikel untuk diterbitkan bulan depan. Majalah bulanan yang bergengsi, tidak hanya membahas tentang belanja ataupun perhiasaan dab fashion , lebih mengarah kepada independen female. Grisa mulai sibuk membaca artikel-artikel yang dikirim oleh penulis-penulis dikantornya melalui email. Memberikan catatan-catatan kecil di setiap tulisan. Apa yang harus diubah atau sekedar mengurangkan kata-kata mubazir.
Wenna masuk membawakan secangkir teh manis dingin.
"Bagaimana kau tahu, aku suka teh manis dingin?"tanya Grisa heran.
"Dari dulu aku menyukai tulisan-tulisan ibu. Di tulisan itu selalu ada kata teh manis dingin menjadi minuman favorit si tokoh utama. Aku rasa ibu menyukai teh manis dingin"
"Hahahaha...cerdas sekali"
Wenna meletakkan teh manis dinginnya diatas meja kerja milik Grisa.
Tak sengaja Grisa melihat kearah jemari Wenna.
"Dari pujaan hatimu?" Tanya Grisa langsung menatap layar komputernya.
"Iya. Katanya batu shapire berwarna ungu itu membawa aura semangat"
Grisa melayang jauh kebeberapa tahun yang lalu. Disebuah kafe tempat dimana Fagra dan Grisa yang masih meniti karir diawal pekerjaan mereka. Grisa membawa majalah tentang perhiasaan.
"Lihat, lihat. Cincin berbatu saphire ungu ini cantik sekali ya"
"Iya. Apalagi kalau punya uang. Hahahaha"
"Hahahaha...manusia kere seperti kita mana bisa membeli ini"
"Kau menginginkannya?"
"Hu um"
"Tenang saja, jika aku menjadi direktur di perusahaan itu ( sambil menunjuk kearah gedung Royal Properti ) aku akan membelikanmu cincin shapire berwarna ungu ini"
"Hahahahaha...kau berjanji?"
"Iya aku janji"
Dan itu akan menjadi pahit untuk dikenang. Dan menjadi butir-butir kekecewaan beriktunya.
Peri kecilku, kita berhasil....
Proposalku diterima....
Sungguh aku membutuhkanmu....
Aku tak ingin kehilanganmu...
Akan aku singkirkan segala rasa dari arah manapun....
Malam ini, aku menunggumu...
Aku tak ragu lagi...
Aku akan meraihmu...
Suara klakson mobil dari arah belakang itu membuyarkan lamunan Fagra yang sedang mengemudi. Lampu hijau menyala. Segera Fagra melajukan mobilnya menuju sebuah restoran italia.
Memesan tempat duduk yang paling strategis untuk melihat pemandangan dimalam hari dari lantai 10. Ini akan menjadi makan malam romantis untuknya. Mengutarakan hatinya, kepada peri kecilnya yang sudah membantunya menyelesaikan tugasnya. Dengan perasaan bahagia, Fagra mengirimkan pesab singkat untuk Grisa.
"Malam ini, pukul 7. Meja nomor 24. Restoran Italia, favoritmu. Berdandalah, aku ingin melihatmu memakai gaun Merah. Buat aku terpesona malam ini"
Grisa tercengang, ini bukan ilusi. Fagra mengirim pesan singkat ini kepadanya. Tak tahu harus membalas apa. Grisa masih terdiam dibalik meja kerjanya. Tak tanggung-tanggung Grisa meninggalkan kantornya sesiang ini. Memesan taxi menuju kesebuah salon ternama di kota. Grisa mulai memanjakan dirinya. Ini malam akan menjadi malam istimewa untuk Grisa. Harus tampil cantik dan mempesona, itu pesan Fagra dalam smsnya.
Membeli gaun merah yang menawan, membeli high heels dengan warna yanh senada, tas tangan serta perhiasaan permata yang melingkar di leher dan tangannya serta jemarinya . Grisa menarik perhatian orang lain, pukul 7 wib. Grisa sudah duduk manis dengan sejuta rasa. Menunggu, begitulah Grisa yang sedari dulu selalu menunggu.
Sebuah telepon membuat Fagra membanting setir kemudinya. Menuju sebuah apartemen sederhana di kawasan pinggir kota. Fagra cemas, wajahnya tak karuan. Ini mustahil. Apa yang terjadi setelah percakapan tadi siang. Ternyata memunculkan masalah baru.
"Maaf, aku tak ingin membohongi perasaanku lagi. Aku tak ingin mengkhianatinya"
Gadis bercincin shapire ungu itu terdiam di dalam ruang kerjanya.
"Maafkan aku. Aku menyesal telah membuatmu merasa nyaman"
Gadis itu masih diam. Senyum tulusnya memudar.
"Maafkan aku"
Dan teleponpun terputus. Sedih, kecewa, sakit bahkan ini akan menjadi gila. Gadis itu segera kembali ke apartemennya dan menagis sejadi-jadinya. Rasanya hancur berkeping-keping. Ini keterlaluan. Bagaimana bisa pujaan hatinya membohonginya selama ini. Dia tertipu, hatinya hancur, terpuruk dalam kesedihab sehingga tak sadar mana yang nyata dan ilusi. Tak ada harapan hidup lagi, cintanya telah dikhianati. Bahkan daun-daun itu menggugurkan dirinya sendiri. Dan tersadar sekarang gadis itu sedang berada dirumah sakit , terbaring lemah tak berdaya. Selang infus yang membalut tenaganya tak mengembalikan energi dalam dirinya. Sayatan luka itu sebagai bukti dia menyerah untuk kali ini.
Grisa mulai gelisah, sudah hampir setengah jam dia menunggu Fagra sendiri. Seperti patung dalam diam. Apakah Fagra melupakan janjinya lagi. Tidakkah ini menjadi kebiasaan buruk yang terbiasa. Marah, tidak bisa. Grisa tak dapat melakukannya. Kecewa, sudah menjadi makanannya sampai saat ini. Hanya karena sebuah perasaan yang disebut tuluslah dia bertahan pada posisinya yang sekarang. Menunggu dan akhirnya kecewa.
Ponsel Grisa bergetar, segera dibukanya pesan singkat yang diharapkannya dari Fagra, ternyata pesan itu tak seperti yang diharapkannya.
Grisa langsung bergegas memenuhi panggilan pesan singkat itu.
Peri kecilku, aku....
Aku sudah banyak bersalah kepadamu...
Aku ingin bersujud meminta maaf padamu...
Namun lidahku kelu...
Bahkan malam ini ketika ku berjanji mengabaikan perasaan yang lain...
Aku tak bisa...
Sungguh aku tak bisa...
Aku mohon, maafkan aku peri kecilku...
Hatiku terasa sesak dengan rasa bersalahku...
Aku sungguh-sungguh dengan perasaanku....
Ingin memiliku bukan yang lain...
Janjiku....
Fagra sampai dikamar dimana gadis yang baru saja merasa tersakiti olehnya terbaring lemah tak berdaya. Fagra mendekati tempat tidur itu. Melihat wajah sendu gadis yang pucat itu membuat hatinya luluh lantah tak beraturan, bertebaran kepingan-kepingan penyesalan-penyesalan.
"Hai, selamat malam" kata Fagra pelan, membuat gadis itu terenyum melihat wajah Fagra.
"Apa kau baik-baik saja?"
Gadis itu mengerjabkan kedua matanya.
"Maafkan aku" kata Fagra meraih tangan dingin itu.
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalnya sambil tersenyum.
"Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu"
Peri kecilku....
Aku, aku kembali terperosok...
Bantu aku untuk kembali....
Peri kecilku, bantu aku....
Langkah itu terhenti tepat di bibir pintu kamar inap pasien. Gaun merah itu berkibar lembut dengan megahnya. Tak satupun dari mereka melihat keperihan ini. Grisa menahan airmatanya.
"Bu, aku sedang dirumah sakit. Aku sudah tidak kuat lagi. Pujaan hatiku mengkhianatiku. Maafkan aku buk direktur"
Segala rasa cemas terhadap penulis terbaiknya berubah menjadi rasa kecewa yang tak terbendung. Pujaan hatinya sama persis dengan pujaan hati si penulis terbaik di kantornya. Batu shapire yang diinginkannya ternyata melingkar dijari manis penulis terbaiknya. Langkah ini harus mundur sebelum mereka tahu bahwa ada seorang wanita yang sedang menangis menahan perih dihatinya. Ternyata kesigapan mata Wenna begitu tajam.
"Buk Direktur"
Wajah Fagra berpaling, memandang wajah wanita yang hendak dilihatnya malam ini. Jantungnya berdegup kencang.
Peri kecilku, apakah itu kau...
Cantik sekali....
Cantik sekali, gaun itu cocok dengamu...
Tapi...
Mengapa kau begitu cepat tahu akan keadaan ini...
Peri kecilku...
Aku mohon jangan pergi dariku....
Jangan menangis dihadapanku...
Aku tak ingin melihat airmatamu...
"Mengapa ibuk menangis?" Tanya Wenna yang masih menggenggam tangan Fagra.
Mereka bersandiwara dihadapan gadis yang sedang lemah ini.
"Kau begitu bodoh , Wenna. Selalu berpikir pendek. Keras kepala. Hanya ingin didengarkan. Seharusnya kau sadar untuk hal semacan ini. Masih banyak yang menginginkanmu"
Ini bukan airmata sedih karena melihat karyawan terbaiknya melakukan hal bodoh, akan tetapi pemandangan tangan itu tergenggam erat. Penuh semangat, dan itu menyakitkan.
"Aku tahu itu, buk. Tapi aku sangat mencintai pria ini. Dia yang diam-diam selalu memberiku semangat. Dia yang selalu memberiku kejutan kecil. Aku sangat mencintainya"
Grisa hanya mengangguk , membiarkan airmatanya mengalir. Tak juga Fagra mengeluarkan airmatanya. Tak ada sesal.
Peri kecilku..
Aku mohon berhentilah menangis....
Aku tahu itu tangisan bukan untuknya....
Aku tersiksa sekali....
Aku tak sanggup....
Hentikanlah....
Aku mohon....
Kau masih merajai pikiran dan perasaanku...
Separuhnya milikmu...
Sampai saat ini....
Tapi, aku tak tega melihat gadis rapuh ini terkulai lemah...
Maafkan aku....
Fagra pamit untuk ketoilet, dia tidak sanggup melihat keadaan Grisa yang menangis menatap hampa.
"Ibuk cantik sekali, gaunnya indah"
"Apa kau menginginkannya?"
"Untuk apa?"
"Berkencan dengan pujaan hatimu"
"Sekarang dia bukan hanya pujaan hatiku, buk. Sekarang dia sudah menjadi kekasih hatiku" bisik Wenna yang terdengar perih itu.
Grisa tersenyum. Lidahnya kaku. Tak sanggup bicara. Hanya memandang kosong.
"Ibuk sedang berkencan ya. Siapa pria beruntung itu?aku ingin sekali berkenalan dengannya. Kapan-kapan kita jalan-jalan bersama yuk, buk"
Grisa hanya tersenyum. Pria beruntung itu sudah ada disini, sedari tadi.
Grisa mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku harus kembali, tubuhku sangat lelah, Wenna"
"Iya, buk. Terima kasih"
"Cepat sembuh. Katakan kepada kekasihmu, jika dia melakukan hal ini lagi. Aku akan membawanya ke Neraka"
"Hahahahaha...." Wenna tertawa terbahak-bahak. Inspiratornya memberikan jawaban yang begitu menambah energinya malam ini.
Grisa meninggalkan kamar Wenna dengan sejuta rasa sedih dan kecewa. Ini memilukan untuknya. Ketegaran ini sudah sampai di ambang batas.
"Bawa saja aku ke Neraka, Gris. Bawa saja" suara Fagra terdengar lembut dilorong rumah sakit yang mulai sepi itu.
Grisa menghentikan langkahnya.
"Masa lalu ketika saling kenal, hanya saat ini kita saling mengenal, dan bahkan masa datang kita juga tidak saling mengenal. Bukankah seperti itu roda kehidupan ini, Gra?"
"Gris...."
"Jagalah dia. Aku akan nenyeretmu di neraka paling dalam jika kau melukainya. Ini sungguh-sungguh. Aku serius"
"Gris...."
Peri kecilku...
Inikah jawabanmu....
Sebeginikah perasaanmu...
Mengapa kau tak memintaku untuk tinggal bersama disisimu....
Peri kecilku....
Berbaliklah....
Beritahu aku bahwa kau mencintaiku....
Menginginkanku...
"Fagra, aku mencintaimu. Sungguh tulus dari dalam hatiku" Grisa membanjiri pipinya dengan airmata keperihannya. Begitu juga Fagra yang tak sanggup melangkah meraih Grisa yang berlalu.
Aku tak mampu melangkah....
Aku tak mampu....
Bantu aku peri kecilku...
Jangan pergi....
Bagian terdalamku ada bersamamu....
Peri kecilku...
Aku...
Aku juga mencintaimu....
Kelu bibirku tak sanggup ucapkan....
Lihatlah aku yang sudah terpuruk dalam....
Jangan tinggalkan aku....
Grisa tak mendengar lagi isi telepati itu. Benang merah itu telah terputus dengan sendirinya. Membuat jarak yang begitu lebar. Hingga diantara merak sudah tak terjadi apa-apa lagi. Saling melupakan dalam heningnya malam. Membiarkab waktu berlalu dengan kesibukan masing-masing. Tak ada kabar dengan telepati itu.
Tapi tida untu malam ini. Sudah hampir berlalu selama setahun. Suara telepati terdengar lagi. Benang merah itu kembali muncul.
"Buk, hari ini adalah hari jadian aku dengan kekasihku"
Ya, tepat setahun sudah airmata itu mengering.
"Selamat, ya" Grisa tersenyum senang, tidak dihatinya.
"Aku dan kekasihku mempunyai rencana liburan ke pulau. Ibu ingin ikut bersama pujaan hati ibu"
"Eh....aku tidak bisa janji, Wenna. Pujaan hatiku sedang sibuk saat ini" Grisa berbohong, belum ada pujaan hati miliknya saat ini.
"Ayolah, buk. Please!" Mohon Wenna sungguh-sungguh.
"Huft!! Baiklah, akan aku pikirkan"
Ketik Fagra mendengarkan perkataan Wenna melalui ponselnya. Fagra terdiam sejenak. Sudah hampair 365 hari dia tak bertemu langsung dengan peri kecilnya.
Apakah kau sudah memiliki kekasih peri kecilku??
Masih ada rasa sesak didada ketika kabar seperti ini terdengar olehnya.
Akhirnya Grisa menyetujui untuk ikut liburan kepulau bersama Wenna. Grisa segera menghubungi Banzo, temannya ketika kuliah dulu dan juga teman Fagra.
"Apa kau sudah gila, Gris. Menerima ajakan si Wenna" kata Banzo menyeruput kopi lattenya.
"Iya" jawab Grisa lemas.
"Ayolah, kau ini gak perlu berpura-pura tegar. Jujur katakan pada Wenna bahwa Fagra adalah orang yang kau cintai. Aku aku benci orang itu saat ini" kata Banzo dengan mata berapi-api.
"Sebenarnya aku juga tak ingin ikut. Tapi, Wenna ngotot" jawab Grisa semakin bingung.
"Baiklah. Kita ikut. Tapi, kau harus ikut rencanaku"
"Aku tak ingin balas dendam , Banzo. Bukankah balas dendam terbaik itu adalah membuatnya menyesal. Bukan melakukan hal yang sama seperti dirinya"
"Hahahaha....itulah mengapa aku selalu setia berteman denganmu. Kau jenius"
"Hahahahaha....sudahlah. kau bersediakan untuk ikut"
"Iya" kata Banzo bersemangat.
Apa kau sudah bisa menerima kenyataan ini, peri kecilku...
Mengapa kau tega menyakiti perasaanmu...
Aku tak ingin melihat kau menangis lagi dihadapanku....
Peri kecilku....
Aku merindukanmu...
Lamunan Fagra terbuyar lagi ketika , tangan Wenna menyentuh wajahnya.
"Kamu kenapa?" Kata kau berubah menjadi kamu, klise disetiap hubungan.
"Tidak apa-apa!"
"Aku sudah buat rencana liburan kita bersama ibu direkturku. Lihatlah!"
Fagra melihat tulisan-tulisan indah Wenna yang menambah kekosongan dipikirannya.
Fagra menjadi tidak fokus membacanya. Membayangkan hal-hal yang akan membuatnya merasa bersalah. Ini tidak akan menjadi liburan yang nyaman baginya.
Pagi itu, menjadi awal baru benang-benang merah itu terajut kembali. Telepati itu juga terdengar samar-samar dilangit-langit biru. Awan yang berarak membawa perlindungan di tengah sinar matahari. Deburan ombak memecahkan keheningan pagi ini.
"Sayang, bolehkah aku berenang bersama Wenna?" Tanya Banzo yang kedengarannya seperti mengejek Fagra.
Fagra tertawa dalam hati. Fagra tahu betul hubungan Banzo dengan Grisa. Sahabat karib sejak kuliah dahulu.
Grisa mengangguk. Begitu juga Wenna meminta izin ingin berenang dilaut bersama Banzo.
"Pasangan kekasih yang romantis ya"
Entah mengapa ada kelegaan dihati Fagra sejak melihat Banzo adalah orang dibawa liburan ke pulau.
"Tak perlu mengejekku seperti itu"
"Hahahahaha.....apa kau tidak rindu padaku, Gris"
Grisa terdiam. Memandang laut yang membiru. Deburan ombak menghempaskan nyawanya kembali kebumi.
Grisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan beranjak pergi meninggalkan Fagra sendiri di payung malas tepi pantai.
Ini akan lebih baik untuk dihindari.
Malampun tiba, Wenna membuat panggangan menyala. Malam ini mereka memanggang cumi-cumi, udang dan beberapa hewan laut yang mereka pesan dari restoran hotel tempat mereka menginap.
Wenna senang sekali. Melihat suasana yang begitu dia inginkan. Liburan bersama kekasihnya dan inspiratornya selama ini.
"Ouuucch" teriak Grisam ketika mengeluarkan kepitingnya dari dalam box.
"Kenapa sayang!" Segera Banzo bangkit dari tempat duduknya. Fagra kalah cepat dari Banzo, dan diapun mengurungkan niatnya untuk melihat keadaan Grisa.
"Sudah...aku merasa geli kau panggil sayang" lirih Grisa
"Biar keliatan kita seperti pasangan sungguhan"
"Itu menjijikkan, Banzo"
Wenna duduk disebelah Fagra langsung berkata.
"Mereka pasangan yang mesra ya"
Fagra mengangguk menahan tawa melihat tingkah Banzo yang begitu mencolok sekali.
"Apa kau tidak lihat, Fagra menahan tawanya atas tingkahmu" lirih Grisa.
"Hahahhahahah...." tiba-tiba saja tawa Banzo membuat Wenna dan Fagra terkejut. Mereka langsung mendekati Grisa dan Banzo.
"Ada apa?" Tanya Wenna heran.
"Kau lihat ini, Wenna. Bosmu yang begitu jenius terkadang amat sangat bodohnya. Dia melepaskan tali pengikat capit kepiting ini"
"Ya, ampun buk"
"Hahahahahhaha.....dia memang bodoh dari dulu" Fagra melepaskan tawa dan mengeluarkan kalimat yang membuat Wenna bertanya
"Dari dulu?" Herannya.
Fagra segera terdiam.
Suasana menjadi hening. Tatapan ingin tahu Wenna kepada Fagra begitu tajam. Fagra salah tingkah.
"Apa kamu mengenal buk Grisa dari dulu"
Banzo ingin bergerak, namun ditahan oleh Grisa.
"Kami jalan-jalan dulu ya" kata Grisa tak ingin suasana menjadi kaku.
"Ayok, sayang" kata Banzo kesenangan.
Grisa menarik Banzo ketepi laut.
Peri kecilku....
Mengapa kau tinggalkan aku dengan masalah ini....
Kemana perginya peri kecilku dahulu...
Yang selalu ada membantuku....
Bahkan tidak ku memberitahumu, kau sudah mengerti itu....
Peri kecilku....
Bantu aku....
Fagra bingung harus berbuat apa. Lidahnya terasa terjepit benda keras. Fagra mematung, wajah ingin tahu Wenna masih berkelebat di hadapannya.
"Aku dan Grisa adalah teman kuliah. Begitu juga Banzo"
"Jadi, Banzo itu teman kuliah kamu dan Ibuk Grisa"
Fagra mengangguk.
"Wah, beruntung Banzo, sahabat menjadi kekasih. Bukankah itu terdengar sangat romantis. Seperti drama favoritku"
Fagra mengangguk pelan.
"Apakah kamu mengenal ibu direkturku dengan baik"
Fagra mengangguk pelan.
Bagaimana aku tidak mengenal peri kecilku....
Aku lebih mengenalnya dari siapapun dimuka bumi ini....
"Kira-kira makanan apa yang disukai buk Grisa?"
"Dia sangat rakus dalam makanan. Semua makanan dia sukai"
"Oh....terus dia suka hadiah apa?"
"Hadiah apapun dia terima"
Fagra teringat beberap tahun yang lalu. Ketika mereka sedang berada diwarung pinggir jalan. Saat itu Grisa baru saja diterima sebagai penuli artikel disebuah koran harian. Begitu juga Fagra yang baru diterima sebagai marketing di perusahaan Royal Properti.
Tapi ada yang lebih istimewa dari hal itu. Malam itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun mereka berdua.
"Selamat ulang tahun" kata Grisa menyerahkan kadonya kepada Fagra.
"Selamat ulang tahun juga" tak ada kado dari Fagra.
"Bukalah" kata Grisa tersnyum.
Sebuah dompet kulit asli yang masih dipakai Fagra sampai saat ini.
"Kau mau apa?"
Grisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bilang saja"
Kembali Grisa menggelengkan kepalanya.
"Hm....baiklah jika kau tak ingin memberitahuku. Kita keatas atap royal properti. Aku akan memberikanmu kejutan.
"Benarkah" hati Grisa senang bukan kepalang.
Sesampainya diatas tingkat tertinggi gedung royal properti. Pemandangan menakjubkanpun terlihat sangat indah sekali. Lampu-lampu kota yang seperti bintang dilangit. Dan ketika memandang langit bertaburan bintang-bintang.
Ini seperti sedang berada diantara dua dunia. Melayang-layang bersama hembusan angin malam.
"Terima kasih"
"Aku akan selalu berada disampingmu dan selalu mendukungmu"
"Fagra...hei...fagra" kata Wenna mencoba menyadarkan Fagra dari lamunannya.
Fagra terhenyak.
"Akhir-akhir ini kau selalu melamun. Apa ada masalah?"
"Tidak"
"Besok ibu direktur ulang tahun. Aku ingin memberi kejutan untuknya!"
"Besok?"
Akh, Fagra baru ingat. Bahwa tanggal ulang tahun Grisa selama ini adalah tanggal ulang tahun yang di palsukan untuk menambah umurnya.
"Jadi, bantu aku membuat kejuatannya"
"Iya"
Grisa dan Banzo kembali dari jalan-jalanya.
"Ayo, Wenna tidur" ajak Grisa.
"Loh, seharusnya ibu tidur bersama kekasih ibu dong"
Mata Fagra terbelalak. Bahkan Banzo juga terkejut.
"Wenna, sebaiknya kau melakukan hal itu setelah menikah. Ayo tidur" ajak Grisa.
"Baik, buk direktur" Wenna menurut.
Banzo dan Fagra saling pandang menahan tawa. Grisa yang mereka kenal seperti itulah, tidak ada yang berani membantah perintahnya. Wajar jika Grisa menjadi direktur disebuah majalah bulanan ternama seantero negeri.
"Akhirnya kita punya waktu berdua untuk bicara" kata Banzo menyerahkan sebotol minuman penambah energi.
"Kau apa kabar?aku kira kau masih diluar negeri" kata Fagra.
"Aku memang masih di luar negeri. Grisa memintaku pulang. Kau tahu, kan. Perintah Grisa itu adalah titah"
"Hahahahahaha......" Fagra tertawa. Sudah lama mereka tak berbincang seperti ini.
Terakhir ketika mereka tamat kuliah , dan Banzo harus pergi melanjutkan studynya keluar negeri.
"Aku sudah mendengar semua cerita dari Grisa. Aku tak memihak manapun. Itu soal perasaan"
"Sampai saat ini aku juga masih bingung, Banzo. Padahal sudah ada Wenna disisiku. Kucoba menahan tak memikirkannya, aku selalu memikirkannya"
"Dari dulu kau juga begitu, kan. Pengecut"
Fagra terdiam memandang laut hitam.
"Sudahlah. Kalau boleh aku meminta, serhakan Grisa kepadaku. Aku tidak main-main"
Fagra terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.
Aku tak ingin peri kecilku berada di pikiran orang lain....
Hanya aku....
Aku tak akan membiarkan pikiran lain menghantui peri kecilku....
Masih ada aku disini....
Yang membutuhkanmu....
"Besok Grisa ulang tahun palsu. Berpura-puralah terkejut untuk menyenangkan hati Wenna"
"Hm...baiklah"
Akan terasa perih ketika aku tahu bahwa orang yang sangat kukenal menginginkanmu , peri kecilku....
Sakit sekali...
Lebih baik aku mati saja....
Suara terompet kecil terdengar ribut di bibir pantai itu. Malam yang seru. Sebuah blackforest membumbubg tinggi dengan sebuah angka yang sudah tidak pantas lagi dirayakan seperti ini. Balon-balon berwarna-warni berserakan di atas pasir putih itu. Angin membawanya terbang tak tentu arah.
Nyanyian ulang tahun untuk Grisa terdengar meriah. Fagra dan Banzo menpuk nepuk tangannya dengan keras. Dipikiran mereka berdua ada ide keisengan. Mata Banzo memberi kode kepada Fagra untuk segera melakukan aksi jahil mereka. Banzo menarik tangan Grisa dan Fagra menarik kaki Grisa sehingga Grisa terjatuh ke pasir. Banzo memegang tangan Grisa , lalu Fagra menarik kaki Grisa dan membawa tubuh Grisa ke tepian laut.
Banzo dan Fagra mengangat Grisa, dan menganyunkan Grisa lalu melemparnya ke lautan.
"Satu..dua...tiiiiiii...ga" teriak Fagra dan Banzo.
Byuuuuuurrrrrr.....Grisa terlempar kedalam lautan. Terseret ombak. Dan tubuhnya terasa kedinginan. Fagra dan Banzo tertawa bersama.
"Gila kalian ya. Dingin tau!!!" Grisa senang sambil tertawa.
Tidak dengan Wenna. Melihat Fagra berlari mengambilkan handuk untuk Grisa dan membalutkannya ketubuh Grisa. Pemandandanga yang membuat sakit mata. Mereka begitu akrab sekali. Sesekali handuk kecil yang ditangan Fagra mengeringkan rambut Grisa yang basah. Lalu ketika Grisa menolak Fagra hingga terjatuh kedalam lautan dan basah. Serta tawa mereka yang begitu renyah sekali. Membuat rasa cemburu tumbuh di hati Wenna. Malam ini akan menjadi nostalgia bagi Grisa, Fagra dan Banzo yang sudah lama tidak bertemu.
"Apa hubunganmu dengan ibuk Grisa?" Tanya Wenna didalam kamar hotel yang sepi.
"Aku dan Grisa teman kuliah"
"Tapi, aku melihatnya lebih dari itu"
"Jangan suka mengada-ngada. Aku hanya teman kuliahnya"
"Kau menyukainya, kan" tiba-tiba kata itu membuat sesak di hati Fagra. Dia tak ingin larut dalam emosinya disaat yang bahagia ini.
Ya, aku memang benar menyukainya....
Tapi, aku sadar aku tak mampu meraihnya...
Hingga aku menyerah dan mencoba melupakannya...
Bagaimana aku bisa bertahan sejauh ini tanpa peri kecilku....
Fagra terdiam. Tak ingib menjawab dan segera keluar kamar menemui Banzo.
"Apa yang terjadi, wajahmu muram seperti itu" kata Banzo membuka pintu kamarnya. Grisa langsung berdiri dari duduknya yang sedang menonton tv.
Plak....sebuah tamparan mendarat dipipi Fagra. Banzo tercengang. Grisa menarik tangan Fagra untuk segera masuk ke dalam kamar.
"Sudah kubilang. Jangan pernah kau menyakiti penulis terbaikku itu. Aku akan menyeretmu keneraka"
Fagra mematung memegang pipinya yang untuk pertama kali di tampar oleh Grisa, peri kecilnya marah.
Pukul aku lagi, peri kecilku...
Tamparan ini adalah kado terbaik untukku...
Inilah balasan yang pantas untukku yang sudah membuat airmatamu menetes kala itu....
Terima kasih, peri kecilku...
Kau kembali...
Banzo hanya menyaksikan adegan itu terdiam. Tak ingin membela siapa-siapa lebih baik diam. Membiarkan kedua sahabatnya bertengkar hebat. Bukan untuk kali pertama Grisa dan Fagra bertengkar seperti ini. Ketika masih kuliah dahulu mereka sering menengkarkan masalah hal sepele, berdebat tak ada yang mau mengalah. Dan Banzolah sebagai penengah. Tidak untuk malam ini, Banzo memilih diam diantara perasaannya itu.
"Wenna, apa kau sudah tidur?" Tanya Grisa sekembalinya dari kamar Banzo dan Fagra.
Tak ada jawaban dari Wenna yang belum tidur itu.
"Baiklah, ada sesuatu yang harus kau ketahui tentangku. Karena kau penulis terbaikku. Aku akan menceritakan segalanya kepadamu. Bagaimana aku mengawali kisahku ini"
"Aku bertemu Fagra ketika , kami melihat pengumuman hasil tes masuk universitas. Kala itu, aku melihat seorang pria yang sangat canggung dengan keadaan keramaian. Dia bingung. Memutar-mutar kearah yang bisa dibilang tersesat dikeramaian. Aku mendekatinya. Dia malu, menundukkan kepalanya. Aku bertanya apa yang dia cari. Ternyata dia ingin tahu hasil lulusan tes untuk fakultas ekonomi. Akhirnya aku membantunya melihat hasil tes ujian untuk fakuktas ekonomi. Tapi, bodohnya aku tidak menanyakan siapa namanya. Lalu akupun berbalik kepadanya dan bertanya.
"Namamu siapa?" Tanyaku saat itu.
"Fagra Wentaru"
Nama yang asing. Aku kira dia adalah blasteran bule. Ternyata tidak sama sekali.
Namanya terpampang berada di peringkat pertama untuk jurusan ekonomi. Aku memberikan selamat pada atas hasil tesnya. Dan setelah itu kami bersama-sama mendaftar ulang. Mencari kos-kosan. Hingga akhirnya kami bertemu Banzo dari Fakultas Arsitektur yang secara tak sengaja takdir kami bertemu dikantin. Lambat laun kami menjadi akrab. Hingga Banzo yang orang kaya raya memberikan tumpangan hidup gratis selama kuliah. Kami tinggal satu apartemen mewah milik Banzo. Semakin hari kami semakin akrab. Kami sering bertengkar hal-hal sepele, lalu Banzo datang menengahi antara kami. Dan setelah kami lulus kuliah, dan Banzo keluar negeri. Hubunganku dengan Fagra semakin dekat. Ada rasa aneh yang tumbuh di hati kami berdua. Kami berteman, bersahabat dan perasaan kami berubah menjadi cinta. Kami tak pernah menyatakan perasaan kami. Tapi, kami tahu bahwa kami saling mencintai. Kami menyebutnya telepati benang merah. Namun , rasa memiliki yang aku rasakan tidak seperti yang kau rasakan, Wenna. Aku membiarkan Fagra berkelana kesana kemari mencari apa yang dia inginkan. Aku tak pernah menuntutnya untuk tetap tinggal disisiku. Mungkin itu juga kesalahanku membiarkannya terlalu lama berkelana sehingga dia berpikir aku tak membutuhkannya. Sampai kau datang dikehidupan kami, Wenna. Aku meninggalkanya" airmata Grisa menetes membasahi bantal.
Tiba-tiba saja, pelukan Wenna berhambur ketubuh Grisa.
"Maafkan aku, buk direktur. Maafkan aku. Aku tidak tahu hal itu"
"Sudahlah. Bahagialah bersamanya. Aku baik-baik saja"
Wenna bersedih mendengar kata-kata itu. Wenna menanangis sejadi-jadinya. Dalam isak dia merasa menyesal.
Terima kasih peri kecilku....
Kau hebat....
Aku mencintaimu....
Kau kuat....
Maka dari itu aku selalu ingin bersamamu....
Kau mengajarkanku ke tegaran....
Semangatmu membara....
Aku ingin bersamamu selamanya....
Suara deru mesin pesawat terdengar. Suara operator informasi yang membacakan jadwal penerbangan keluar negeripun terdengar merdu.
Banzo dengan tas ransel favoritnya. Dan Wenna dengan koper Pinknya. Mereka berdua melambaikan tangan kearah Grisa dan Fagra. Banzo kembali kekampusnya, karena waktu liburan sudah usai. Dan Wenna harus ke Amerika untuk mengambil hadiah terbaiknya atas tulisan artikel bahasa inggrisnya yang secara diam-diam Grisa mengirimkannya ke majalah wanita ternama di dunia.
"Apa kau tidak merasa sedih, kekasih pergi keluar negeri?"
"Kau tidak perlu menyindirku seperti itu. Secara tidak langsung kau menyindir dirimu sendiri" kata Grisa masih melambaikan tangan kearah Wenna dan Banzo.
"Semoga kalian bahagia!" Teriak Wenna
Grisa dan Fagra terkejut.
"Apa kau memutuskannya?"
"Tidak. Dia yang meminta putus. Dia mencampakkanku"
"Bohong"
Wenna dan Banzo memasuki ruang check ini.
"Sepertinya kekasihmu selingkuh dihadapanmu. Lihat itu"
Banzo membuat dua jari bertanda peace diudara seraya tangan kanannya merangkul pundak Wenna.
"Hahahahhaa... gawat sifat playboynya mulai kambuh" kata Grisa geleng-geleng kepala dan tertawa.
Grisa dan Fagra tertawa bersama.
"Hahahahahaha...."
"Uurrrrrgghhhhh.....!!!!" Teriak Grisa.
"Ada apa?" Tanya Fagra terkejut.
"Itu .... lihat itu... pilotnya ganteng banget" Grisa kesenangan.
"Gris...."
"Cari tahu akh, siapa pilot itu" Grisa tersnyum senang.
"Grisaaaaaa.....!!!!" Teriak Fagra.
Kau tetap peri kecilku....
Tidak akan ada yang bisa mengubahmu....
Takdir kita dibenang merah telah menyatu....
Aku ingin kau, peri kecilku....
Terima kasih peri kecilku....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar