"Ben...kau sebagai ketua osis harus bantu kami" Ajak Jefri yang merupakan teman sekelas Ben
"Ngapain?" Tanya Ben Heran
"Udah ikot aja kau. Ini membela nama baik sekolah"
Ujar Jefri yang segera menarik tangan Ben.
Ben masih bingung. Ada apa gerangan. Teman-teman sekelasnya sudah pada ngumpul di gudang olah raga. Ada juga beberapa para senior yang terlihat kekar, yang pasti mereka di klub Karate.
"Ada apa sih Jef?" Tanya Ben masih heran.
"Nah...kau bawa ini" Jefri memberikan sebuat pemukul kasti.
"Kita mau maen kasti?"
"Pokoknya kau ikut aja, ini demi membela nama baik sekolah"
Ben mengira ini merupakan pertandingan kasti abtar sekolah. Dengan melihat mata Jefri yang berbinar-binar, tumbuhlah rasa semangat Ben. Padahal hari ini, Ben dan Coki sudah berjanji seperti biasa di tempat Wak Mail. Coki yang sudah menunggu dan memesan pisang goreng dan teh manis dingin masih bercerita dengan Wak Mail.
"Lama kali si Ben ini pulang!" Keluh Coki berbicara sendiri. Mendengar keluhan itu Wak Mail angkat bicara.
"Uwak tengok uda pulang dari tadi orang tu, Nak"
"Hah!!tapi, kok lama kali si Ben keluar"
"Tak tau lah wak Nak" jawab wak Mail yang sedari tadi juga tidak melihat keberadaan Ben.
Hari semakin sore, Coki merasa tidak enak hati. Ada apa gerangan. Tidak ada kabar. Bahkan sepucuk surat singkatpun tak ada. Masalah Handphone, mereka tidak tertarik dengan barang canggih itu. Bagi Coki uangnya bisa dibelikan makanan untuk sehari-hari saja sudah cukup. Karena Ben teman yang baik dan setia makanya tidak ikut membeli handphone.
Coki mulai gelisah, dia melihat-lihat kearah gerbang sekolah. Sepertinya penghuni sekolah sudah tidak ada lagi. Cokipun permisi pulang.
"Wak...aku pulang duluan ya. Nanti kalau-"
Suara sirine mobil polisi meghentikan Coki untuk melanjutkan pembicaraannya dengan Wak Mail. Matanya tertuju pada sebuah mobil yang mengangkut beberapa anak sekolah. Mata Coki terbelalak, dia sangat mengenal sosok yang sedang duduk lesu dengan tas ransel berwarna merah itu.
"Ben itu wak...itu Ben!" Teriak Coki yang masih berdiri di depan warung Wak Mal.
"Mana nak?"
"Itu wak, di mobil polisi tadi"
"Ngapain pulak si Ben di mobil polisi?"
"Aikh...tak taulah aku wak!! Aku kekantor polisi dulu lah kalok gitu"
"Iya...ati-ati kau nak"
Coki berlari menuju kantor polisi yabg jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah mereka. Dengan nafas yang masih ngos-ngosan akhirnya Coki sampai didepan kantor polisi itu. Terlihatnya begitu banyak siswa yang mukanya sembab, kepalanya berdarah dan beberapa tergelatak tak berdaya. Begitu matanya tertuju pada Ben, Coki langsung mendekatinya. Dan melayangkan sebuah tinju kemuka Ben.
"Sakit, gilak!"
"Lebih sakit lagi, kalok ayah kau liat keadaan kau sekarang, ngerti kau"
Ben hanya terdiam, tidak membela diri. Benar yang dikatakan sahabatnya itu.
"Ini bukan urusanmu, Cok" akhirnya Ben angkat bicara.
"Kau bilang ini bukan urusanku. Jelas ini urusanku juga. Apa yang kubilang nanti kalok jumpa sama ayah kau. Ku bilang kalok kau jatoh dari pohon sampek babak belur kaya' gini"
"Ini demi nama baik sekolah"
"Persetan itu semua, Ben. Nama baik sekolah. Jadi, masuk kantor polisi kaya' gini nama baik sekolah maksud kau. Ini namanya buat malu nama sekolah kau. Sapa yang maksa kau ikot?"
"Ga ada yang maksa"
"Gak mungkin, jujur kau. Biar kuhajar dulu orangnya"
"Ga ada yang maksa aku ikut loh"
"Masih bongak kau samaku" Coki semakin geram
"Udahlah, yang penting aku gak apa-apa"
"Gak apa-apa, gilak kau!!siapa yang ngajak kau, hah!!"
"Jefri" akhirnya Ben mengakuinya
"Mana orangnya?"
"Itu yang teduduk lesu disana" tunjuk Ben kearah Jefri yang mukanya penuh lebam dan beberapa luka ditangan dengan seragam yang berdarah-darah.
Coki mendekati Jefri.
"Oi...bos!" Sapa Coki dengan wajah geramnya.
"Oi..." jawab lemas Jefri memandang kearah Coki dengan mata sipit membiru.
"Kuperingatkan sama kau ya, gak usah kau ajak lagi si Ben tawuran kaya" gini. Berani-berani lagi kau ajak dia. Kau yang kucincang, bos! Ngerti kau!" Kepalan tangan Coki sebagai tanda peringatan keras untuk Jefri.
"Bukan urusan kau itu bos!"
"Hm....memang bukan urusanku nama baek sekolah kelen. Urusanku cuma si Ben. Ingat itu ya. Aku tak main-main!!!" Coki langsung berpindah ke Ben.
Membawa Ben masuk ke kantor polisi. Dan berbicara kepada beberapa petugas disitu. Coki membawa pulang Ben dengan persyaratan dan surat peringatan pertama. Coki yang mengaku sebagai abangnya Ben, mempercepat proses keterkaitan Ben atas tawuran antar sekolah.
"Udahlah, Cok. Aku bukan anak kecil lagi. Aku tak apa-apa"
"Kepala kau tak apa-apa!!udah pulang kita. Gak usah banyak cingcong kau"
Mereka berdua pulang. Sesampai didepan rumah Ben. Coki membiarkan Ben sendiri yang menghadapi orang tuanya. Coki tak ingin ikut campur, karena bagi Coki ikut campur dengan keluarga orang lain itu adalah hal yang tabu. Tidak baik. Biarlah Ben dihajar sampai babak belur oleh ayahnya. Biarlah Coki tidak melihat airmata ibunya Ben mengalir karena tingkahnya. Itu lebih baik untuk Ben, harga dirinya tidak tercabik-cabik.
"Kau...melalak kemana kau, hah!" Teriak ibunya Coki
"Dari kantor polisi aku"
"Hah!!! Ngapain kau dari kantor polisi? Buat masalah apa kau?"
"Gak ada, cuma maen-maen aja, mak" bohong Coki yang tidak ingin orang tuanya tahu kalau Ben yang bermasalah dengan kantor polisi.
"Yaudah....kau bantuin itu angkat batu ke mobil pick up-nya nkong Asun"
"Iya"
"Tapi, makan dululah kau"
"Iya, mak"
Memang segala sesuatu hal itu terkadang bukan merupakan urusan kita namun ada juga yang memang itu perlu kita ikut campur didalamnya. Pandai-pandailah memilih. Mana yang memang urusan kita, mana yang kita tidak boleh mencampurinya.
kumpulan-kumpulan tulisanku yang sebenarnya tak berupa tulisan...hahahaha selamat membaca!!! semoga bermanfaat eaaah....
Jumat, 11 September 2015
Serial Ben dan Coki - ini urusanku juga -
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar