Selasa, 03 Mei 2016

Short

Aku memiliki ingatan yang aneh. Setiap kali aku mengenal orang baru, hanya akan bertahan sampai hari itu saja.
Sebenarnya aku juga ingin mengingat mereka semua. Akan tetapi aku tidak bisa.
Aku sudah berusaha mengobati penyakit aneh ini. Para ahli otak sudah memberiku sebuah pernyataan bahwa ingatanku sangat pendek. Memori hanya pada saat itu saja.
Tak banyak yang mengetahuinya. Hanya kedua orang tuaku. Mereka sangat terpukul atas hasil tesku.
Aku duduk diatas sebuah bangku panjang di sebuah taman kota. Menikmati angin sore yang sejuk. Menulis semua kejadian pada hari ini di sebuah buku harian dan memotretnya dalam sebuah lensa polaris.
"Hari ini, tepat di hari ke 100 aku menuliskan catatanku untuk kesekian kalinya. Tak ada yang istimewa hari ini. Hanya saja angin berhembus pelan di taman kota ini. Sangat damai dan sejuk. Lihat lah foto ini, pohon-pohon bunga yang sedang menari lembut. Mereka sedang berdendang. Seperti kumpulan nada angin itu membuatku bernyanyi indah dalam hati"
Aku menyudahi tulisanku hari ini.
Aku beranjak pulang dengan sepedaku. Mengumpulkan hasil jepretanku sore ini.
Kukayuh pedal sepedaku dengan pelan sambil menikmati pemandangan senja yang indah.
Bruuuk.....aku menabrak sesuatu. Disana ada sebuah kaki yang menjulur dari balik pohon pagar.
"Aduuuuh!!" Teriaknya
Aku menghentikan kayuhanku. Menyandarkan sepedaku bangku taman.
"Maaf!" Kataku mencoba mencari sumber suara aduh itu.
Seseorang mencoba bangkit. Pohon pagar itu bergrasak grusuk. Keluarlah seorang laki-laki dengan rambut acak-acakkan. Matanya seperti bangun tidur.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyaku
"Aku sedang tidur" jawabnya membenarkan tataan rambutnya
"Mengapa disini?"
"Anginnya sejuk"
Aku memandang jurus kematanya yang berwarna cokelat terang. Mungkin dia blasteran. Rambut hitam yang tebal itu tertiup angin , aroma shampo yang mencolok.
"Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau ada kaki disitu" kata ku sambil menunduk sesal
"Tidak apa. Aku juga yang salah tidur sembarangan. Habisnya aku lelah sekali"
"Baiklah. Aku pamit dulu. Sudah sore" aku minta diri dan mengayuh sepedaku kembali.
Disekolah, aku tidak mempunyai banyak teman. Hanya satu, karena hanya dia yang aku ingat. Chiki, aku memanggilnya seperti itu. Karena dia sangat suka sekali dengan makanan ringan itu. Dia tidak ada masalah dengan panggilan itu.
Pagi ini seperti biasanya, aku pergi kesekolah bersama sepedaku. Mengayuh pelan masih menikmati angin pagi yang sejuk. Memandangi langit biru yang mulai menderang. Mentari yang indah.
"Pagi, Chiki" sapaku kepada Chiki. Bagaimana aku tahu dia Chiki. Karena setiap pagi kebiasaan chiki selalu sama. Duduk dibangku kelas paling belakang, sambil memegang jajanan ringan itu. Chiki selalu menggantungkan headset di lehernya.
"Pagi, Flo. Bagaimana tidurmu?"
"Tidurku nyenyak"
Kode setiap pagi lainnya adalah tidur. Chiki selalu bertanya tentang tidurku. Setiap hari dan setiap pagi.
Kelaspun dimulai. Mengenai pelajaran aku memang kalah jauh dari teman-temanku yang lainnya. Karena memang aku tidak begitu cepat mengingat. Namun, aku terbantu oleh catatan-catatanku.
Jam istirahatpun tiba. Aku bersama Chiki menghabiskan cemilan kami hanya di taman sekolah. Chiki sambil mendengarkan musik, sesangkan aku dengan kamera polarisku memotret suasana sekolah.
"Chiki, aku hendak ke toilet"
"Mau aku temani?"
"Tidak perlu"
Perjalananku terhenti pada sebuah suara.
"Hoi...hoi..." teriak sebuah suara itu yang mulai mendekat. Tepat di depan toilet wanita aku berdiri.
Aku heran, siapa dia. Yang sedang berdiri dihadapanku. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan anak rambut yang di ikat kebelakang.
"Hei, kamu yang kemarin sore nabrak kaki aku ya?"
"Hm"
Aku heran siapa dia. Menabrak kakinya. Kemarin sore. Aku mengernyitkan dahiku.
"Kamu gak ingat ya?"
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tapi, tunggu dulu mengapa aku tidak asing dengan mata cokelat terang itu. Aku pernah melihatnya. Namun, dimana.
Laki-laki bertubuh tinggi itupun tesenyum pahit padaku. Sepertinya dia kecewa. Mungkin saja aku pernah bertemu dengannya. Aku mencoba mengingat, tapi tidak ada satupun memoriku yang tersangkut dengannya.
"Tunggu dulu!" Teriakku
Lelaki itu berhenti.
"Siapa namamu?" Tanyaku
"Alan"
"Aku, Flo. Bisa aku memotret wajahmu?"
"Heh...untuk apa?"
Aku terdiam. Aku juga tidak tahu untuk apa aku memotretnya. Tetapi, aku hanya ingin memotretnya. Untuk saat ini aku hanya ingin memotretnya saja.
Aku mengangkat bahuku "aku hanya ingin memotretmu saja"
"Hm...apa karena wajahku yang keren" katanya mencoba menggoda
"Tidak. Aku hanya ingin memotretmu"
"Baiklah. Aku harus bagaimana gayanya?"
"Coba kamu berdiri tepat di depan pintu itu"
"Hei, ini toilet wanita. Kamu pikir aku ini mesum. Atau jangan-jangan kamu mau menyebarkan fotoku keseluruh murid disini untuk kami bully ya"
"Tidak...tidak....!" Jawabku segera menyanggah. Aku juga tidak tahu mengapa aku harus memotretnya didepan toilet wanita.
"Sebuah lembar cetak kertas putih keluar dari dalam kamera. Aku mengibas-ngibaskannya keudara. Fotonya jadi.
"Tulis namamu disini"
"Baiklah"
Aku kembali ketaman, disana masih ada Chiki sedang menikmati musik. Aku mengguit bahu Chiki pelan dan memperlihatkannya sebuah foto yang baru saja aku potret.
"Alan!" Katanya langsung ketika melihat objek didalam foto itu
"Kamu mengenalnya?"
"Siapa yang tidak mengenalnya, Flo. Hanya kamu disekolah ini yang tidak mengenalnya. Dia siswa jenius di sekolah. Sudah 4 piala juara satu diraihnya. Juara olimpiade sains antar sekolah, olimpiade matematika dua kali dan yang terakhir juara olimpiade sains dunia. Ingatannya tajam. Tidak seperti kamu"
"Hehehehe...."
Hanya aku sendiri yang tidak mengenalnya disekolah ini. Begitu kejam sekali, bukan.
Terkadang aku suka benci dengan keadaanku. Terkadang aku juga iri dengan mereka yang banyak teman. Saling bercanda ketika perjalanan pulang sekolah. Saling berbagi mengerjakan tugas sekolah. Aku sedikit cemburu dengan hal itu.
Sore ini, sekembalinya aku pulang sekolah. Kembali aku menikmati senja ditaman. Aku membuka buku harianku dan meletakkan foto Alan disalah satu halamannya.
"Jahat sekali ya, aku tidak mengenal pria jenius ini. Tidak tahu siapa dia. Sepertinya dunia menyembunyikannya dariku. Hanya aku yang tidak tahu keberadaannya. Alan, yang mengaku pernah bertemu denganku kemarin sore....~"
Tulisanku terhenti, kemarin sore. Aku membuka halaman sebelumnya. Membaca ulang. Dan tidak ada disitu tertulis aku telah bertemu dengan Alan ataupun menbsraknya. Aku mencoba mengingatnya kembali namun tidak bisa. Berusaha. Tetap berusaha. Akh! Aku memang tidak bisa mengingantnya.
"Hei..." sapa seorang pria berambut acak-acakan itu.
"Hei..." balasku
"Ingat aku!"
Aku mengernyitkan dahiku. Aku pernah melihatnya. Tapi, dimana.
"Apa itu?" Tanyanya sambil menunjuk buku harianku.
"Ini. Ini memoriku"
"Eh....memori?"
Aku mengangguk pelan
"Boleh aku lihat?"
"Tidak" aku menggelengkan kepalaku beberpa kali.
"Okelah. Apa kamu tidak ingat aku. Tadi pagi, di toilet"
"Toilet?" aku langsung membuka buku harianku. Dan disitu terlihat foto Alan.
"Itu" Dia menunjuk ke foto tersebut
"Kamu?"
"Iya"
"Alan?"
"Iya"
Aku tersenyum padanya. Aku mengingatnya. Dia Alan. Yang tadi pagi aku memintanya untuk ku potret. Aku melanjutkan lagi tulisanku dibuku harian.
"Aku bertemu lagi dengan lelaki di toilet tadi pagi disore ini. Namanya alan. Dia memiliki mata yang indah. Aku menyukai matanya. Ternyata kami satu sekolah. Dia siswa jenius itu. Selalu memengkan juara olimpiade dan yang terakhir aku ingin memotretnya"
"Wow...lengkap sekali" Alan melihat tulisanku
"Eh...." segera aku menutup bukunya
"Kenapa?"
"Ini rahasia. Tidak boleh ada yang tahu"
"Maksudku, kenapa harus ditulis begitu rinci?"
"Tidak apa - apa?" Jawabku yang tak ingin Alan tahu apa penyebabnya aku selalu menulis buku harian.
"Kamu boleh memotretku kapan saja"
"Eh" aku terkejut mendengar pernyataan Alan yang membuat jantung berdegup aneh.
"Kalau kamu ingin memotretku silahkan. Besok temui aku dilapangan bola kaki diseberang taman ini. Aku ada pertandingan. Bawalah kamera digital. Kamu boleh memotretku"
"Eh...!"
Alan meraih buku harianku. Dia menulis sesuatu disana. Aku tidak bisa membacanya.
"Baca buku harianmu. Aku tunggu besok"
Alan beranjak dari bangku taman itu. Meinggalkan sebuah catatan di buku harianku. Aku membukanya, dan membaca tulisan itu. Hatiku, terasa aneh. Senang memiliki teman baru. Alan.
Sore ketika pertandingan Alan dimulai. Aku sendiri mengayuh sepedaku menuju lapanngan bola kaki. Membawa buku harianku dan kamera digital. Seperti sebuah janji yang harus aku tepati. Ini janji pertamaku dengan teman baruku, Alan.
Disana Alan sudah memakai pakaian bola. Dia keren sekali.
"Hai....dia melambaikan tangannya kearahku"
Aku membalasnya dengan sebuah lambaian dan senyuman.
"Aku mencarimu. Aku kira kamu tidak datang" Alan menghampiriku di deretan duduk penonton
"Aku telat, ya?"
"Tidak. Kami masih pemanasan"
Jepret....!!! Tanganku langsung bergerak memotretnya. Refleks.
"Wow!!!kamu langsung memotretku. Semangat sekali. Membuatku jadi salah tingkah"
"Eh....maaf, maaf. Aku tidak tahu. Refleks saja ingin memotretmu seperti ini"
Senyum itu, mata itu aku tak ingin lupakan semuanya. Itu yang membuat jantungku terasa aneh. Dan itu juga yang membuatku bersemangat.
Aku menyaksikan Alan bertanding. Pertandingan yang seru. Alan di penuhi peluh disekujur tubuhnya. Seragamnya basah. Sesekali Alan mengibas-ngibaskan bajunya karena gerah. Aku memotret kejadian itu semua. Semunya tidak sedetikpun aku melewatnya. Alan sedang istirahat dibangku cadangan. Alan sedang meraih umpan bola. Alan sedang meminum air mineral dari botolnya. Alan mengelap keringatnya.
Aku seperti orang aneh saja. Kutuliskan itu semua didalam buku harianku.
Dan ini juga menjadi awal, aku mulai berteman dengan Alan.
Disekolah, Aku dan Alan selalu bertemu di taman sekolah untuk menghabiskan cemilan kami. Chiki, juga sudah mengetahuinya. Chiki menerima Alan sebagai temanku. Namun, yang aku anehkan sikap Chiki ke Alan.
"Chiki, sepertinya kamu benci Alan, ya?" Tanyaku
"Tidak"
"Lalu kenapa sikapmu seperti membencinya"
"Itu hanya perasaanmu saja, Flo"
"Oh..."
"Sudahlah. Mau pulang bareng?"
"Tidak, Alan ingin mengajakku ke sebuah kafe pancake"
"Hm....baiklah. selamat bersenang-senang"
Alan sudah menungguku di parkiran sepeda. Ternyata Alan juga bersepda kesekolah. Kami mengayuh sepeda kami masing-masing menuju kafe pancake yang baru saja buka. Ramai sekali. Antrian panjang. Alan menyuruhku untuk tetap duduk dikursi pengunjung.
"Aku saja yang mengantri. Kamu mau pancake rasa apa?"
"Strawberry"
15 menit aku menunggu Alan. Dua pancake sudah berada ditangannya. Rasa strawberry dan rasa melon.
"Kamu mau coba?" Tanya Alan menawarkan pancake miliknya
"Tidak"
"Tidak apa-apa. Makanlah. Enak kok"
"Tidak"
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tiba-tiba saja secuil pancake melon sudah mendarat di mulutku.
"Makanlah, enak kok" katanya memakan pancake miliknya.
Deg...deg....
Aneh sekali. Apa ini, aku belum pernah seperti ini. Aku tidak sanggup memandang wajah Alan berlama-lama.
"Kamu mau coba pancakeku"
"Boleh" jawab Alan
Aku memberinya cuilan agak besar kearahnya. Namun, Alan membuka mulutnya.
Aku terhenti, bagaimana ini. Apa kau harus menyuapkan pancakeku ke mulutnya. Aku gugup. Belum sampai kemulutnya, tangan Alan sudah meraih tanganku dan langsung menyuapkannya kemulutnya.
Ya, ampun jantungku sepertinya sudah hampir mau gila detakannya. Aku gugup sekali.
"Terima kasih untuk hari ini" kata Alan
"Seharusnya aku yang terima kasih"
"Mana buku harianmu?"
"Didalam tas"
"Aku mau menulis sesuatu disana. Janji kita berikutnya"
"Eh"
Aku terkejut. Janji berikutnya. Aku mengeluarkan buku harianku dan menyerahkan kepada Alan. Dia menulis sesuatu disana.
Malam ini sebelum tidur aku membaca buku harianku. Membaca ulang semua tulisanku hari ini.
"Terima kasih Alan, atas hari ini. Aku menyukai hari ini. Alan membawaku makan pancake bersama. Ternyata rasa melon juga enak. Tapi, aku merasa aneh dengan diriku. Mengapa aku begitu senang sekali ketika berada di dekat Alan. Dia baik. Aku membaca janjiku dengannya. Besok aku akan bertemu dengannya di taman kota. Hari yang indah. Jantungku berdegup kencang , seperti tornado saja"
Badai ini, aku tidak tahu namanya. Badai gila ini, aku tidak bisa menghindarinya. Hari ini, sekolah terlalu sibuk dengan ujian tengah semester. Aku tidak ads bertemu dengan Alan hari ini disekolah. Seperti tidak bersemangat.
"Chiki, hari ini aku berjanji dengan Alan ditaman kota. Apa kau mau ikut?"
"Boleh. Aku juga tidak ada kerjaan sore ini. Apa aku tidak mengganggu?"
"Tidak..tidak...... malah aku  jadi Senang!" Aku senang sekali. Berkumpul bersama kedua temanku.
Sore itu, seperti biasa. Langit agak mendung. Seperti mau hujan. Aku bersama Chiki sedang duduk dibangku taman yang biasanya aku tempati. Aku mulai bercerita kepada Chiki kegiatanku setiap harinya ditaman ini. Memotret alam, bunga-bunga, kupu-kupu yang hinggap. Bahkan memotret Alan setiap kali bertemu ditaman.
Chiki senang mendengar ceritaku.
"Kamu jatuh cinta pada , Alan ya?"
"Jatuh cinta?"
"Iya"
"Mengapa setiap kali menyebut kata Alan, pipimu merona dan senyummu aneh"
"Tidak...tidak. aku tidak jatuh cinta dengannya"
"Flo, kamu bisa membohongi orang lain. Tapi, catatan ini. Apa yang bisa kamu bohongi disini"
Chiki membaca buku harianku. Aku tidak pernah marah ketika Chiki membaca buku harianku. Karena dia temanku.
Aku terdiam. Jatuh cinta, kata itu belum pernah aku rasakan sebelumnya.
"Flo, aku tahu kamu mengaguminya. Tapi, aku harap kamu jangan terlalu berharap pada Alan. Dia itu banyak penggemarnya"
"Jadi"
"Tidak ada jadi-jadi, Flo. Cukup hanya mengaguminya. Tidak boleh lebih dari itu. Ntar, kamu sendiri yang menderita"
Mendengar pernyataan Chiki itu. Aku terdiam sejenak. Memikirkan dan mengolah proses pernyataan itu dengan benar. Mungkin saja yang dikatakan Chiki itu benar. Aku tidak boleh jatuh cinta pada Alan.
"Lama sekali. Sudah hampir malam" kata Chiki melihat jam tangannya.
"Tunggu sebentar"
"Ini mau hujan, Flo. Sebaiknya kita pulang"
"Tapi, aku sudah berjanji dengan Alan"
"Sudahlah. Dia tidak mengingat janjimu"
"Tidak mungkin. Aku tetap menunggu disini"
"Flo, jangan keras kepala. Sejak kapan kamu sekeras ini. Alan mengubahmu menjadi aneh" kata chiki beranjak dari duduknya.
"Aku akan menunggu Alan"
"Ini sudah rintik-rintik, Flo. Ayo pulang"
"Tidak!!!" Teriakku.
Aku tak ingin membuat Alan kecewa hanya karena aku tidak menunggunya. Tidak menepati janjinya.
"Baiklah. Aku pulang dulu. Ini hampir hujan. Aku tak ingin sakit" Chiki berlalu meninggalkanku.
Suara geluduk hilir mudik ditelinga. Kilatan petir terlihat dimana-mana. Hujanpun tiba. Aku meneduh disebuah bangunan beratap dekat bangku taman. Hari sudah malam. Alan belum datang juga. Pakaianku sedikit basah, rambutku juga. Dingin. Sangat dingin. Angin kencang menyerbu. Suara petir menggelegar. Tapi, terasa sepi. Hampa. Angin yang masuk kedalam hatiku terasa tak bernyawa. Ada apa ini. Apa yang terjadi denganku. Ada yang sakit dibagian tertentu yang aku tidak tahu apa namanya. Sesak, panas didada ini yang membuat udara dingin menjadi panas. Seperti ada yang sedang mendidih. Aku kecewa.
Aku pulang hujan-hujanan. Aku tak ingin ayah dan ibuku khawatir. Dan ini pula yang menyebabkan aku tidak masuk kesekolah pada hari ini.
Aku terbaring dikamar. Memandangi langit-langit kamarku. Sebuah ketukan dari luar kamarku terdengar.
"Masuk, bu!"
"Ada tamu"
"Siapa, bu?"
"Chiki"
Ternyata sudah pulang sekolah. Chiki yang masih berseragam sekolah memasuki kamarku sambil membawa sekantong plastik yang aku tidak tahu apa isinya.
"Pancake strawberry. Alan menitipkannya kepadaku. Dia minta maaf kemarin tidak menepati janjinya"
"Kemarin? Janji apa?" Tanyaku heran.
"Apa yang menyebabkanmu sakit, Flo?"
"Aku tidak tahu, tadi pagi aku bangun badanku panas. Ibu melarangku sekolah"
"Mana buku harianmu?"
"Didalam tas"
Aku tidak sempat membaca ulang buku harianku tadi malam.
Chiki mulai membuka lembar terakhir kali aku menulis. Chiki mengernyitkan dahinya.
"Semalam kau tidak menulis apa-apa, Flo?"
"Aku tidak tahu"
Wajah Chiki berubah aneh. Ada apa? Apa yang terjadi kemarin sore. Aku lupa mencatatnya.
Chiki tidak bisa berlama-lama menjengukku. Dia harus bekerja paruh waktu di toko pamannya.
Malam ini, aku membaca kembali buku harianku. Disitu tertulis,
"Tunggu aku ditaman. Jangan pergi kemana-mana sampai aku datang. Aku akan memberikanmu kejutan" janji Alan
Hatiku berdegup. Kejutan apa itu yang membuatku senang. Mengapa aku bisa menuliskan kejutan yang membuatku senang. Besok, akan aku tanya kepada Alan. Aku membuat tanda tanya besar di halaman janji Alan.
Malam berganti. Pagi ini, Aku pergi ketaman sekolah sendiri. Chiki harus menyerahkan formulir peserta sebagai voli putri mewakili sekolah. Menanti kedatangan Alan. Namun, Alan tidak menampakkan dirinya. Hanya angin yang menemaniku pada saat jam istirahat itu. Sepi, tak ada senyuman dan tawa Alan. Dimana dia. Aku memberanikan diri mencarinya kekelasnya. Namun, aku juga tidak menemukannya. Bertanya kepada temannya. Mereka juga tidak tahu dimana Alan. Dimana Alan?. Aku mencoba mencarinya di klub olimpiade, tidak ada. Di lapangan bola kaki, tidak ada. Dimana Alan?. Aku mulai aneh, aneh sekali. Seperti ada yang hilang di hariku. Aura semangat itu tidak muncul hari ini. Aku mulai melamun. Inikah rasanya kehilangan. Aku pernah kehilangan kucing kesayanganku, tetapi tidak seperti ini. Aku ingin menangis tapi, tidak tahu airmataku tidak mengalir. Tidak seperti kehilangan kucing kesayanganku yang aku meraung-raung melihat tubuh kecilnya terbujur kaku. Ini, apa yang membuatku sedih. Menangis untuk siapa?.
"Flo, sadarlah. Alan jauh dari jangkauanmu. Dia menghilang"
"Alan dimana?"
"Dia menghilang. Aku kira dia berbeda. Ternyata dia lelaki pengecut. Tidak meminta maaf langsung padamu"
"Maaf untuk apa?"
"Flo, mana buku harianmu. Ada halaman yang tidak kai tulis. Sini" Chiki mengambil buku harianku.
Dia menuliskan sesuatu. Chiki mengembalikan buku harianku.
"Bacalah sebelum tidur malam ini. Kamu akan tahu Alan itu seperti apa"
Aku mengangguk-angguk.
"Ingat, baca malam ini"
"Iya"
Terasa begitu lama siang berganti malam. Aku sudah tidak sabar ingin membaca tulisan Chiki.
Seusai mandi, aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidurku. Meraih buku harianku. Dan membaca tulisan Chiki.
"Sore ini, aku Chiki dan sahabatku Flo sedang menunggu janji Alan. Kami berbincang-bincang. Yang baru aku sadari ternyata Flo jatuh cinta pada Alan. Sebenarnya aku tidak terkejut dengan perasaan Flo terhadap Alan. Karena hanya Alan, lelaki yang selama ini yang mendekati Flo. Tapi, aku tidak yakin dengan perhatian Alan selama ini dengan Flo. Aku mencoba menjelaskan kepada Flo tentang perasaannya, namun Flo tidak begity yakin dengan alasanku. Sore, semakin mendung bahkan sudah turun rintik hujan. Aku menyuruhnya untuk pulang kerumah. Akan tetapi, Flo menolak. Flo tetap menunggu Alan, yang aku tahu inilah keanehan yang terjadi pada Flo. Keras kepala, tidak menuruti kataku. Aku sedih sebenanrnya melihat perubahan Flo. Tapi, aku membiarkannya sendiri. Aku hanya tak ingin Flo terluka. Aku tahu, perasaan Flo begitu tulus menunggu janji Alan. Tapi, lihatlah pada akhirnya Alan tidak datang. Hingga hujan pun turun, Flo pulang dengan basah kuyup dan sakit. Hanya kata maaf tanpa alasan yang terucap dari Alan yang tidak menemui Flo secara langsung. Alan itu pengecut"
Tulisan Chiki berakhir yang membuat air mataku mengalir. Inikah rasanya sakit namun tidak ada luka yang terlihat. Aku tidak mengerti tentang perasaan ini. Begitu singkat sekali. Serasa masih begitu singkat aku merasakan kesenangan yang luar biasa. Aku memandang foto Alan dengan senyuman yang aku sukai. Kemana pergi senyuman ini. Hilang begitu saja. Seperti tornado. Perasaan ini seperti tornado. Mengacak-ngacak seisi hariku dan menabrak kesegela arah dan pada akhirnya luluh lantah.
Lalu aku buka halaman berikutnya.
Halaman berikutnya. Halaman berikutnya.
Dan mataku terhenti pada tulisan yang aku tidak tahu kapan tulisan itu tertulis dihalaman itu.
"Maaf....aku minta maaf. Chiki bercerita kepadaku tentang perasaanmu terhadapku. Sebenanrya aku ingin membalasnya. Tapi, aku tidak bisa. Maaf, aku tidak bisa memberikan alasannya. Aku belum bisa bercerita kepadamu. Tapi, suatu hari nanti aku akan menceritakannya padamu. Aku berjanji. Maaf, aku tidak datang sore itu. Aku tak ingin menyakitimu lebih dalam lagi. Maaf, aku tak sengaja menyakitimu. Maaf. Alan"
Aku menangis, menahan rasa sakit yang membuat hatiku luluh lantah. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Alasan yang begitu tidak ku mengerti. Foto-foto Alan, aku lepas dari buku harianku. Aku membuangnya ke tong sampah. Yang aku tahu dia jahat saat itu. Jahat sekali.
Sebulan berlalu, aku bersama Chiki sedang duduk ditaman. Bercanda ria. Tertawa melihat kucing yang sedang berlarian. Hari yang indah. Aku memotret kejadian hari ini. Senyum Chiki berkembang dengan semangat.
Aku akan merindukan hari ini.
Angin yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar