Jumat, 08 Agustus 2014

Looking for mr. Rainbow

Mr. Gombal -2-
Keesokan pagi.
Aku terbangun karena hujan turun. Tubuhkj terasa kedinginan. Dan menarik selimut lagi. Hari ini aku masuk pukul 10 pagi. Tidak banyak yang harus aku kerjakan. Menjadi pembimbing dan konsultan keuangan disalah satu perusahaan properti terbesar di negeri ini. Aku hanya mengikuti ritme suara hatiku saja. Tidak ada tekanan aku harus bekerja disini. Walaupun aku sering mendengar desas desus bahwa aku mendapatkan pekerjaan ini dengan menjual diriku kepada salah satu pemberi saham diperusahaan itu. Tapi, tak pernah aku anggap kicauan itu suatu masalah. Aku bekerja dengab caraku dan aku menyukai. Masalah aku mendapatkan darimana itu urusanku dengan sipemilik perusahaan. Terkadang ketika aku membela diri, semakin mereka yakin bahwa aku memang seperti apa yang mereka bicarakan. Makanya, kebenaran itu tidak perlu di perjelas dab dibela karena akan terkuak dengan sendirinya.
Aku melaju dengan motor maticku ditengah hujan. Aku menuju sebuah gedung kondominium yang berada diperempatan simpang jalur ring road. Digedubg itu terdapat bermacam-macam perusahaan. Termasuk salah satunya tempat aku bekerja. Satpam gedung itu selalu menyapa dan memberikan senyuman paginya.
" Pergilah mengejar mimpimu, sampai kau merasa lelah..."
Ponselku berbunyi. Dan terlihat jelas tertera nama Awan. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Baru juga tadi malam menelponku sampai aku tertidur.
"Hallo" jawabku
"Lagi kerja, ya?" tanyanya yang aku tahu itu hanya basa-basi.
"Ya" jawabku singkat
"Ganggu gak?"
"Hm...gak" terpaksa jawab seperti itu hanya untuk menghargai dia yang pagi-pagi sudah mengingatku
"Kok tiba-tiba aku teringat sama kamu. Kangen kamu"
"Hah...." aku kaget sekali, aku kira ini sudah pukul 12 malam. Ini masih pukul 10 pagi. Apa berlaku gombalan kata 'kangen' di jam-jam sibuk begini.
"Kenapa? Gak percaya ya?"
"Eh...itu...kenapa bisa gitu?" tanyaku berpura-pura heran.
"Aku juga ga tau. Aku gak sabar nunggu hari sabtu ini, kalau kamu?"
"Hm...." aku harus jawab apa. Sebenarnya aku juga menunggu momen dihari sabtu nanti. Tapi, aku tidak suka terlalu berlebihan gitu.
"Pasti gak ya"
"Eh...ga juga kok. Aku juga uda gak sabar" haduh rasanya itu seperti makan buah durian buah yang paling aku tidak sukai. Berat banget buat menelan ludah. Tapi biarlah. Aku jalani saja, menerima keanehan pada laki-laki yang mencoba mendekatiku ini. Mungkin disini ada kesempatan untuk mendapatkan pencerahan statusku.
"Aku seneng banget dengernya"
"Hehehehe....aku kerja dulu ya" aku menyudahi percakapan yang sangat biasa itu dan terkesan basi.
Diruanganku sudah ada Brian. Rekanku bekerja. Dan beberapa karyawan lainnya. Brian juga masih berstatus sendiri. Tapi, entah mengapa aku tidak ada rasa ketertarikan pada Brian. Secara tampang Brian itu lebih macho. Bahkan blasteran rusia. Brian terlihat sibuk, dan aku melewati mejanya tanpa menyapanya. Aku memulai pekerjaanku dengan setumpuk berkas-berkas yang menggunung. Perincian biaya. Input dan output pembiayaan perusahaan kami adalah tugasku untuk mencatatnya. Aku bergulat dengan angka setiap harinya. Memang terlihat amat sangat membosankan. Hanya duduk didepan layar komputer dan mengetik lalu mengedit lalu memprint out datanya dan menyerahkan ke HRD. Terkadang aku juga dipanggil untuk berdiskusi masalah pendanaan yang harus dikeluarkan perusahaan untuk menbesarkan sayapa perusahaan ini. Konsultan keuangan, menjadi penasehat keungab itu tidak mudah. Aku harus pandai mengakumulasikan segala kejadian yang mungkin akan terjadi bahkan aku harus jauh lebih berpikir maju daripada pemberi ide. Dan itu membuat kepalaku pusing.
"Makan siang dulu" ajak Brian yang sudah berada didepan meja kerjaku
"Heh..."kagetku
"Serius amat. Sudah waktunya makan siang. Aku mau kekantin, ikut ga?"
Treet...treet...ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Aku membukanya, dan membaca pesan singkat yang dikirim oleh Awan.
"Jangan lupa makan siang ya, Ra"
"Iya. Kamu juga ya. :)" balasku
Brian yang masih berdiri di depan mejaku kerjaku dan menanti jawaban dariku atas ajakannya kekantin.
"Ok...bentar aku beresin berkas ini dulu"
"Sepertinya kau sedang senang" tiba-tiba Brian bertanya dengan pertanyaan seolah-olah dia sedang tahu apa yang aku rasakan sekarang.
"Jangan sok tahu" jawabku ketus menghempaskan berkas terakhir yang aku tumpuk-tumpuk didepan komputerku.
"Kalau jawabnya sambil marah, itu pasti benar. Siapa lagi yang mencoba pdkt denganmu?"
"Jangan sok tahu" Brian, pasti tahu apa yang aku rasakan sekarang. Dia juga tahu kalau aku sebenarnya sudah malas berkenalan-berkenalan seperti itu.
Nada dering ponselku berbunyi. Aku melihat nama sipenelpon. Awan. Awan lagi.
"Halo!" jawabku sedikit lemas karena memang kelelahan melihat layar komputer.
"Kamu lagi apa?" tanya Awan sepertinya bersemangat sekali.
"Sedang menuju kekantin" jawabku mengaruk-garuk kepalaku karena salah tingkah, Brian yang melihat tingkah anehku ini.
"Mati kau!" kata Brian tanpa suara sambil membuat tanda sedang menotong lehernya sendiri.
Lalu aku balas dengan genggaman tanganku yang ingin meninjunya.
"Mau makan ya...selamat makan ya" kata Awan dengan sangat lembut sekali.
"Ya....makasi. Kamu juga jangan lupa makan" balasku.
"Hahaha...." tawa Brian membuat aku segera mematikan ponselku tanpa mengucapkan kata "daaah".
"Berisik banget sih" kesalku
"Kau tidak muda lagi Zora. Kau sudah pantas menggendong anak 3. Tapi, tingkahmu seperti bocah ABG saja"
" bukan aku. Tapi, dia selalu menelponku setiap saat. Kau tahu aku kan. Sebenarnya aku paling tidak suka hal seperti itu" paparku mengambil sayuran kedalam piring.
"Menyiksa diri saja" Brian berlalu dari sampingku dan menuju bangku kosong yang berada dekat jendela kaca besar itu.
"Kau ini..." aku mengejar pelan dibelakangnya.
Kantin kelihatan sepi, karena waktu istirahat hanya tinggal beberapa menit lagi. Hanya beberapa orang saja yang masih menikmati makan siang yang diburu waktu. Melihat pemandangan kota dari lantai 10 itu membuat nafsu makanku bertambah. Siang yang terik, padatnya lalu lintas. Ramai dengan kerumunan pejalan kaki. Dan itu terlihat seperti semut pekerja yang sibuk mencari tempat untuk istirahat. Tapi, bagiku panas diluar tidak ada pengaruhnya. Karena AC di kantin lebih dingin daripada udara diluar.
"Kuberitahu padamu" tiba-tiba Brian berbicara setelah fokus dengan santapan didepan matanya
"Apa itu" aku melihat matanya
"Kau itu sudah tua"
"Terus"
"Ya udah itu aja" Kata Brian seraya bangkit dari duduknya dan berlalu ke arah mesin minuman ringan.
"Heiii...hei..." teriakku, namun Brian tidak perduli. Apa maksud perkataannya itu. Aku tahu kalau usiaku tidaklah muda lagi. Bahkan aku sudah diujung tanduk. Tapi, aku tak pernah mempermasalahkannya.
Treet...treeet...ponselku bergetar.
"Kok aku kepikiran kamu terus sih,Ra. Aku kenapa ya"
Awan lagi. Tak apalah mungkin dia memang tipe laki-laki seperti ini. Akan aku coba menerimanya.
"Hehehe...mungkin karena aku cakep kali, Wan" aku akan keluarkan jurus menggombalku.
"Ya sih. Kamu itu ngangenin"
"Hehehe....ngangenin. Masa' sih. Aku jadi malu" sebenarnya aku mau memuntahkan isi yang ada didalam perutku ini ketika membaca pesan singkat dari Awan.
Awan mulai rutin setiap menit mengirim pesan singkat kepadaku. Terkadang, aku juga merasa malas untuk membalasnya. Karena menunggu hari sabtu itu terlalu lama sekali. Setelah kuhitung-hitung hari ini Awan sudah mengirim sms kepadaku sebanyak 100 kali. Dan itu masih terhitung sore. Dan sms terakhir yang aku terima adalah.
"Hati-hati dijalan"
Karena aku memang hendak pulang kantor. Badanku terasa lelah sekali. Bahkan rasa kantuk itupun melanda. Naik motor dengan keadaan seperti ini membuat tidak nyaman pengendara lainnya. Jadi, aku urungkan untuk pulang ke rumah.
Pukul 19.00 wib.
Aku masih dikantor, tepatnya di ruang istirahat kantor. Aku tertidur selama 1 jam. Kulihat Brian juga tertidur disebelah tempat tidur yang aku baringi. Ingin membangunkannya. Kuabaikan saja. Brian, kalau saja dia itu tidak pilih-pilih kriteria seorang wanita. Aku rasa dia sudah memiliki 4 istri. Wajah tampan, tinggi layaknya model, blasteran lagi. Secara fisik tidak ada yang kurang darinya, namun dia meminta kesempurnaan dari seorang wanita. Ya, dia memiliki wanita impian. Seperti Carol Jones, seorang penyanyi wanita amerika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar