Selasa, 04 Agustus 2015

One Year

- March on sky -

Maret ini aku dan Evan berjanji bertemu di sebuah tempat makan yang berada di lantai paling atas sebuah kondominium. Evan berkunjung di kota dimana aku bekerja untuk urusan pekerjaannya.
Hari yang kami janjikan itu, adalah besok. Aku tak mampu memejamkan mata. Hanya karena pikiranku kembali tidak berhenti untuk memikirkan kejadian besok. Aku benar-benar tidak bisa tidur.
Sabtu pagi, yang membuat aku terlambat bangun karena aku tidak bisa tidur. Mataku baru terpejam pukul 3 pagi. Dan sekarang sudah pukul 9 pagi. Sinar matahari sudah memasuki kamar tidurku dari celah-celah lubang pentilasi udara.
Aku melihat jam sudah pukul 9 lewat. Sedangkan aku berjanji pukul 11 dengan Evan bertemu di Kafe Bintang Kecil. Lalu, kami akan bersama ke tempat makan yang paling menjadi favorit bagi pasangan kekasih.
Dengan mata masih mengantuk, aku menuju kamar mandi. Membersihkan diri. Dan ini juga aneh, biasanya ketika hari libur aku tidak pernah mandi. Tapi, kali ini aku dipaksa untuk mandi.
Mencari pakaian yang pas dengan hari ini. Apakah ini kencan??? Kurasa begitu. Tapi, kami cuma berjanji ingin bertemu untuk makan siang di Restoran yang bernama Rooftop itu. Setelah itu kami akan jalan-jalan kepantai melihat sunset. Aku tidak mau salah sangka atas perjalanan hari ini.
Sebuah lagu terdengar dari dalam kamarku. Yang aku tahu itu bunyi ringtoneku yang baru. Sebuah lagu cinta yang paling aku favoritekan. Aku mengabaikannya. Karena aku masih dikamar mandi. Setelah selesai, aku melihat siapa yang menelpon. Ternyata tebakanku salah. Aku kira dari Evan. Itu telpon dari Yana, yang tak lama mengirimku pesan singkat.
"Jangan lupa hari senin, ada rapat di kantor pusat"
Ya, ampun. Ini masih hari sabtu juga. Sudah diingatkan oleh Yana. Aku bergegas menandai Noteku pada hari senin.
Kali ini, sebuah pesan yang aku nantikan.
"Aku kerumah sekarang, ya!!"
"Iya"
Mulailah, aku kebingungan memakai baju apa. Aku tidak tertarik untuk memakai gaun atau semacamnya. Gaya terbaikku adalah menjadi diriku sendiri. Tidak berdandan dengan penuh editan di alis, dimata, dihidung bahkan dibedak. Menurutku, apakah Evan akan tetap berada dekat denganku jika aku menjadi aku apa adanya.
Tin...tin...
Suara klakson mobil terdengar jelas dari luar rumah. Evan bersam mobil sedannya sudah terparkir di halaman depan rumahku. Aku melihat dari balik jendela kamarku. Sepupuku yang berkebetulan tinggal bersamaku membuka pintu rumah. Dan terdengar menyuruh Evan menunggu di bangku teras.
"Maaf, ya. Lama nunggu" kataku selesai berpakaian. Yang akhirnya memakai celana jeans yang tidak ketat dan baju babydoll.
"Gak kok" kata Evan tersenyum
Ya, ampun hampir dua tidak bertemu. Evan kihatan semakin cakep. Hatiku berdebar kencang sekali. Rasanya bahagia itu datang dan aku dibuatnya pergi kelangit yang ketujuh.
Didalam mobil, kami tak banyak bicara. Aku terlihat canggung. Aku takut membuat percakapan terlebih dahulu. Begitu juga Evan yang kosentrasi menyetir mobil. Aku yang berada disebalahnya merasa kami ini adalah sepasang kekasih yang sedang berkencan. Laju, mobil yang tidak begitu cepat.
"Eh...bukannya kita mau janjin di cafe lagit biru kemaren ya"
"Rencananya gitu. Karena ada temanku yang mau ikut. Jadi, kita kerumahnya ya"
"Oh..."
"Kamu gak marahkan?" Tanya Evan kepadaku yang memandang jauh keluar yang tidak tahu kemana arah pandanganku.
"Gak kok" aku mencoba tersenyum manis. Sebenarnya di balik senyum itu aku menyembunyikan rasa kecewa. Ini tidak sesuai dengan harapanku. Aku kira akan jalan-jalan berdua dengan Evan. Hatiku melongos begitu drastis turun kebawah. Tiba-tiba moodku sepertinya sedang berubah. Tapi, aku menyembunyikannya dari Evan.
Dan akhirnya, kami berangkat 3 orang ke Rooftop. Temannya itu adalah teman dia ketika berkuliah dahulu. Evan mengenalkannya, bahwa Tyas adalah teman terbaiknya selama dikampus. Aku mencoba untuk tidak memperlihatkan senyum kecutku. Tidak apalah, mungkin hanya aku saja yang begitu ke-GR-an yang berharap terlalu lebih dari seorang yang spesial.
Kami bertiga pun berbincang-bincang mengenai hal-hal umum. Bahkan bergosip selebritis. Tapi, aku lebih banyak diam. Melihat Evan begitu akrab dengan Tyas membuatku merasa sesak. Sepertinya aku ingin sekali memisahkan mereka berdua. Apakah Evan tidak bercerita tentangku kepada Tyas.
"Eh...aku ke toilet dulu ya" aku pamit ke toilet. Bukan karena aku ingin buang air. Hanya karena mataku tidak tahan dengan tingkah Tyas yang begitu dominan terhadap Evan.
Sekembalinya aku dari toilet aku sengaja menguping pembicaraan mereka dari balik bangku yang berada dibelakang mereka.
"Van, itu gebetan kamu, ya?" Tanya Tyas yang dimaksud adalah aku
"Gak akh. Dia hanya teman biasa saja. Dia teman sekolahku. Tidak lebih dari itu"
"Hahahaha....kirain kamu uda lain selera. Cewek seperti itu mana bisa dibawa kemana-mana. Lihat aja deh cara berpakaiannya. Gak modis banget"
"Hahahaha...kamu gak boleh gitu. Oh, ya besok kita jadikan jalan-jalannya"
"Iya, jadi donk. Aku cuma pengen kita berdua aja perginya, ya"
"Iya"
Aku tak percaya. Aku sedang dilempar keatas langit lalu dihempaskan ke bumi. Berasa tulang kakiku tidak mampu bergerak.
Tidak ada alasan aku harus tetap tinggal bersama mereka berdua disini. Tanpa pamit aku pergi ke luar rooftop. Menangis, sebenarnya ingin menangis. Tapi, aku harus menahan itu semua. Aku tidak ingin semua orang tahu bahwa aku sedang tercampakkan. Aku tak ingin orang tahu bahwa ada orang sejahat Evan. Yang berkata manis didepanku ternyata dibelakangku beraninya dia berkata seperti itu. Apakah yang spesial dariku yang selama ini dia sampaikan. Bahkan aku meyakini bahwa orang spesialnya bukan hanya aku saja.
Sesampai dirumah, aku kekamar dan tidur. Aku memutuskan untuk mematikan handphoneku. Tidak ingin diganggun. Sepertinya aku sedang berada dilangit yang melayang-layang. Tak ada yang dapat menarikku ke bumi. Pejamkan mata dan mulai menangis didalam mimpi.
Aku begitu terlalu berharap banyak dari Evan. Padahal aku sudah meredakan perasaanku ini untuk tidak berharap lebih. Tapi, perhatian dan kata-katanya di telepon begitu meyakinkanku untuk berharap lebih. Aku tertipu.
Mataku sepertinya membengkak karena airmata yang mengalir perlahan. Kulihat jam sudah pukul 8 malam. Kuaktifkan kembali handphoneku. Dan kumelihat tidak ada pesan suara atau pesan singkat dari Evan.
Aku memutuskan untuk tidak menghubunginya terlebih dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar