Senin, 31 Agustus 2015

Serial Ben dan coki - Petugas upacara -

Sambil berlari Ben menyusul Coki yang sudah hampir sampai kegerbang sekolah.
"Kenapa kau lari-lari?" Tanya Ben, yang ngos-ngosan kehabisan nafas.
"Aku hari ini baca undang-undang dasar. Kau tau kan itu penting kali kurasa" jawab Coki yang merapikan topi yang baru saja dicucinya hari minggu.
"Hahahaha...sok ganteng kau. Cuma baca undang-undangnya" Ben menepuk pundak Coki.
"Ish...itulah kau. Nanti kau bakalan merasa keren kalau kau jadi petugas upacara"
"Hahahaha....kelas kami uda minggu semalam. Tapi, aku cuma kena jadi petugas di ketua barisan aja"
"Ih...itu juga keren, Ben. Dengan membusungkan dada. Seolah-olah tentara yang hendak maju kemedan juang"
"Lebay, kau. Okelah. Nanti tempar wak Mail. Jangan lupa, kau ceritakan hasil pembacaan UUDnya"
"Oke!!"
Mereka berpisah digerbang sekolah Coki. Ben yang sangat ingin mendengar cerita sahabat karibnya itu. Karena dari sekolah dasar sampai SMP, Coki tidak pernah kebagian menjadi petugas upacara. Hanya karena dia selalu ketinggalan mengikuti upacara. Pernahpun ditunjuk menjadi petugas, Coki tak datang tepat waktu hingga membuat kesal teman sekelasnya. Tapi, kali ini sepertinya ada sesuatu yang beda dari Coki. Mungkinkah ada sesuatu dibalik semangatnya Coki menjadi petugas Upacara.
"Jadi, apalah motivasi kau jadi pembaca undang-undang?"
"Maksud kau apa, Ben. Gagal paham aku?"
"Iya, kok mau-maunya kau jadi petugas upacara. Biasanya gak mau kau".
"Hahaha...kenapa rupanya?"
"Kebiasaan kau. Ditanyak malah balik tanya. Aku uda kenal kau dari kecil. Pasti ada sesutu dibalik ini semua"
"Hahaha...tau aja kau ya. Mau tau kau??? Seseorang yang membaca janji siswalah yang buat aku mau membaca Undang-undang dasar"
"Siapa rupanya?" Tanya Ben penasaran.
"Putri" Coki menaik-naikkan alisnya semangat.
"Alahmakjang" Ben menepuk jidatnya
"Hahahaha....gerogi kali aku tadi. Banyak yang salah tadi aku bacanya"
Seluruh siswa sudah baris dengan rapi. Sang pembaca tata tertib upacara sudah memulai membaca butir pertama. Suasana hening tenang. Namun, lain halnya dengan Coki. Badannya panas dingin. Ini untuk kali pertamanya Coki menjadi bagian petugas upacara. Hanya karena seseorang yang membaca Janji siswa.
"Kamu sakit ya?" Bisik Putri yang melihat keringat Coki yang bercucuran seperti air terjun.
"Eh...gak kok!" Jawab Coki yang mencoba untuk tidak terlihat gerogi.
"Kamu gerogi, ya?"
"Eh...ga kok" Coki mengusap keringat yang bercucuran di dahinya.
"Hehehe...tenang aja. Jangan takut, ntar bacanya salah-salah loh. Tenang aja, ada aku disini" sebuah senyuman manis yang berlesung pipi itu tersembul dari wajahnya.
"Iya..." Coki mencoba untuk tidak gerogi.
Tapi, ternyata senyuman yang berlesung pipu itu tidak membuat Coki merasa tenang. Bahkan pada alenia pertama Coki sudah mulai tidak karuan membaca. Pembina upacara mulai risik mendengarkan kalimat yang tidak jelas Coki. Yang akhirnya Coki kena imbas dipanggil keruang guru.
"Kau bisa baca tidak?" Tanya pembina upacara tadi
"Bisa, Pak"
"Jadi kenapa pulak tadi membacanya kaya' orang mau mati!!!"
"Iya, pak. Namanya gerogi"
"Tak ada alasan gerogi itu. Macam baru pertama kali aja kau jadi petugas upacara"
"Ini yang pertama pak"
"Akh...yang parahan lah itu"
Wak Mail dan Ben yang menyimak cerita Coki. Tertawa terbaha-bahak. Wak Mail sengaja menghentikan menggoreng hanya untuk mendengarkan cerita sebagai petugas upacara yang pertama kali.
"Kaulah pulak gitu ajapub grogi"
"Kau kira, aku macam kau. Kok kau iyalah, udah biasa kedepan umum"
"Langsung gitu kau. Tapi, kan putri udah ngasi kata-kata mujarab. 'Tenang ada aku disini'. Apa gak paten kali itu"
"Hahahaha.....gak ngaruh"
Suasana hari yang bahagia. Tugas Coki selesai dengan mendapatkan senyuman termanis putri dan omelan yang guru pembina upacara. Tak masalah itu semua, asalkan kau mau mencoba. Salah itu biasa, yang salah ada yang tidak pernah mencoba sama sekali. Itu semua latihan untuk menumbuhkan percaya diri dan keberanian. Apapun yang ditugaskan haruslah dikerjakan sebagai rasa tanggung jawab. Bukan harus takut. Walaupun tidak ada yang memotivasi tapu, timbulkanlah sendiri rasa itu didalam diri sendiri.

Minggu, 30 Agustus 2015

Sorry, this is my fault

Sorry....
ini semua salahku
Membuatmu merasa nyaman kepadaku
Sorry...
Atas kenyamanan yang kuberikan
Yang ternyata berimbas kepada perasaanku
Sorry....
Aku yang telah membuat kesalahan yang terbesar
Sorry...
Yang akhirnya aku juga yang merasa tersakiti...
Sorry.... ^^

Kamis, 27 Agustus 2015

Serial Ben dan Coki - ketua OSIS dan Drama Teater -

"Selamat ya , Ben sudah terpilih menjadi Ketua OSIS yang baru" Ucap salah satu anggota OSIS yang terpilih untuk tahun ajaran ini.
"Makasi, ya" sambut Ben.
"Selamat, ya" sebuah uluran tangan mengarah ke Ben. Dengan sebuah senyuman manis.
"Makasi ya, Yu. Mohon kerja samanya" kata Ben yang juga memberikan senyuman ke sekretaris OSIS itu.
"Iya" Ayu mengangguk tersipu malu.
Terasa berbeda dengan Ayu yang pertama kali Ben jumpai ketika kepergok berduan dengan kakak kelas di gudang olah raga pada saat hari-hari masa orentasi siswa baru. Ayu terlihat lebih segar hari-hari ini. Dan dia mulai banyak teman. Ben juga senang akhirnya bisa berbincang-bincang dengan Ayu disekolah.
"Gimana, Cok. Mau ikutan Club Teater ga?" Tanya putri yang mendekati meja Coki.
"Hm...kapan latihannya?"
"Hari jum'at dan sabtu setelah pulang sekolah"
"Bukannya aku gak mau. Aku permisi dulu sama mamakku. Soalnya aku bantu mamakku buat batu bata dirumah setelah pulang sekolah"
"Oh...gitu. Pantesan aja"
"Pantesan kenapa?"
"Gak apa-apa!!" Putri tersenyum kearah Coki yang membuat Coki jadi salah tingkah.
"Hehehe"
"Pokoknya Club pengen kamu ikut gabung loh" Putri mengerlingkan matanya. Dan itu membuat jantung Coki mau copot rasanya.
Angin siang ini berhembus lembut. Bahkan dedaunan yang bergerak kesana kemari enggan untuk menjatuhkan dirinya. Suasana lembut seperti ini sangat jarang sekali ditemui di musim kemarau ini.
"Akkkkhhhh...kurasa indah kali dunia ini, Cok" kata Ben yang menelan sebiji kacang atom
"Kurasa iya, Ben" kata Coki meraih segelas teh manis dingin pesanannya.
"Aku terpilih pulak jadi ketua OSIS"
"Umaaaak...betolnya cakap kau tu,Ben"
"Iya...tadi aku dilantik jadi ketua OSIS"
"Kok bisa pulak kau yang terpilih"
"Mana tau aku. Kami disuruh ngerjain soal psikotes. Terus disuruh menggambar. Uda gitu diwawancarai. Uda gitu disuruh lari. Uda gitu disuruh buat cerita mengenai sekolah yang diidamkan"
"Terus"
"Diantara 500 siswa aku urutan ke 5"
"Terus"
"Dari 5 besar itu, ada tes lagi. Berbicara didepan siswa-siswa yang lainnya"
"Terus"
"Ya, disuruh nyari tema yang cocok untuk sekolah"
"Tema kau apa?"
"Aku buat kebersihan dan disiplin"
"Apalah yang kau cakapkan didepan orang itu"
"Haahahah....ya banyaklah"
"Asal kau tak berjanji aja orang itu"
"Tak ada janji di dalam pidato tadi. Takot aku ingkar. Bedosa itu, udahlah banyak dosaku makin pulak betambah"
"Hahahahhaha...kaya' nya kau semangat kali jadi ketua OSIS. Bisa sampe ke 5 besar"
"Karena ada Ayu, yang rupanya dia masuk jadi sekretaris OSIS"
"Umakjang...lengkap betollah bahagia kau tu ya"
"Hehehehe....eh....jadi cemana ikutnya kau club teaternya si putri"
"Nantilah, kutanyak dulu mamakku. Takotnya gak dikasi pulak aku"
"Iyalah...kau tanyakkam itu"
"Yoi....men!!!"
Wak Mail, keluar dari pintu warungnya. Dengan wajah sedikit lesu Wak Mail.meneruskan gorengannya.
"Kenapa, wak? Kutengok muakak uwak uda macam mau kebelet boker"
"Akh...kau ini. Inilah akibat tak kosentrasi itu. Bisa pulak kenak minyak panas tangan istriku. Akh....jadi pening kepalaku. Siapalah yang mau mengerjakan semuanya ini. Mencuci, menggosok....halah....buat makin runyam aja"
"Hahahahha...tak usah mengeluh wak. Kerjakan semua, beresnya itu"
"Mulai bijak kelen ya"
"Hahhahaha...namanya beguru sama uwak"

Serial Ben dan Coki - PR -

Bukan sekolah namanya kalau tidak banyak PR. Bukan sekolah namanya kalau tidak banyak tugas yang diberikan oleh guru. Bukan sekolah namanya jika tidak banyak diberikan latihan-latihan selama belajar dikelas. Begitu juga sekolah Coki dan Ben. Akhir-akhir ini mereka sudah banyak diberikan tugas rumah individu bahkan sampai tugas kelompok.
"Aikh...pening kalilah kepalaku, Ben! Banyak kali PR ku" keluh Coki garuk-garuk kepala
"Ya kau kerjakanlah"
"Mana sempat aku ngerjakan PR. Kau taulah, pulang sekolah aku terus bantu mamak ku buat batu sampe malam. Kapan lagi aku ngerjakannya"
"Eh...iya pulak. Jadi, tak siap-siaplah PR kau tu ya"
"Ya gak laaaah"
"Aikh...matilah kau, Cok. Kena hukum sama guru kau nanti"
"Entahlaaah"
Seperti biasa lambai tangan setiap pagi dan janji bertemu setelah pulang sekolah.
Kelas begitu Riuh, Coki yang masih mengerjakan PRnya disekolah itu sedang asik dengan hitungan-hitungan cepatnya. Sampai-sampai Coki tidak memperhatikan bahwa ada sepasang mata yang sedari tadi melihatnya dalam-dalam. Yang malu-malu hendak menghampiri Coki yang berfokus pada PRnya.
"Hai....Cok" sebuah suara lembut itu membuat Coki mendengakkan kepalanya.
"Haaaa....iii" dengan mulut yang masih melongo Coki mencoba menyadarkan diri. Bahwa dia tidak sedang bermimpi.
"Kamu mau ikut ekskul teater ga?"
"Aku??"
"Iya, Kamu" jawab seorang perempuan yang sangat diidolakan dulu ketika SMP.
"Apa hebatnya aku ini. Sampe-sampe kau ngajak aku maen teater"
"Feeling aja" jawab perempuan yang bernama Putri
"Akh...nantilah itu kupikirkan. Aku masih ngerjain PR. Bentar lagi guru Fisika kita masuk" Coki kembali berkosentrasi mengerjakan PR.
Sebenarnya itu tidak membuat Coki menjadi pusing tujuh keliling. Bukannya Coki tidak mengerti mengerjakan PR, hanya saja dia tidak punya waktu untuk.mengerjakannya. Tapi, sebaiknya PR itu ya dikerjakan dirumah.
Lain halnya dengan Ben. Buku PR ben, tidak tahu keberadaannya dimana. Hampir satu kelas melihat buku PR Ben yang telah dikerjakannya tadi malam sampai larut. Beda halnya dengan Coki yang tidak terlalu sulit untuk memahami soal PRnya. Sedangkan Ben harus belajar lebih giat lagi untuk mengerjakannya.
"Ben...terima kasih, ya" salah seorang teman sekelasnya yang sudah melihat hasil PR Ben.
"Hu um" jawab Ben sambil tersenyum.
Beda halnya ketika SMP dulu, Ben selalu kerumah Coki untuk mengerjakan PR sambil menunggui Coki membuat batu bata.
"Hei, Ben. Kau yang tulis ya. Nanti aku yang ngerjakannya di sini" Coki yang masih belepotan tanah merah itu menulis diatas sebuah cetakan besar.
"Iya....kau carik jawabannya"
"Iya...beres itu"
Tak lama mereka selesai mengerjakan PRnya. Dengan senyum senang Ben juga menyelesaikan PRnya.
Namun, sekarang Ben harus mandiri mengerjakan PRnya sampai larut malam.
"Akh...pening betollah kepalaku. Gilak ngasi PR guru-guru ini" keluh Coki di warung Wak Mail.
"Kerja kau ngeluh aja, Cok"
"Jadi, apalagi lah cobak. Disekolah kau ada PR ga Ben?"
"Ya adalah....mana ada sekolah yang tak buat PR gurunya. Enak kai gurunya itu makan gaji buta. Tak ada yang dinilai bisa pulak bagi rapot"
"Oih makjang...ngeri kalilah bahasa kau itu , Ben. Macam betol aja akh!!"
"Bukan macam betol aja. Tapi, memang betol. Cak lah ko jadi guru"
"Malas aku"
"Iya, ecek-eceknya aja itu. Kau jadi gur, Wak Mail muridnya. Cemana kau menilai Wak Mail?"
"Ehm...ya kutengok wak mail ini rajin atau ga, sopan atau ga"
"Darimana kau tau itu semua?"
"Ya dari kesehariannya"
"Ya..kesehariannya, memangnya kau terus-terusan ikut wak mail?"
"Ya ga sih...."
"Naaah...dari PR, dari tugas-tugas yang kau kerjakan"
"Kok gitu pulak?"
"Ya...iyalah...!!! PR itu menunjukkan kalok kau orang yang bertanggung jawab. Dan mampu diberikan amanah. Gitu kata guru Bahasa Indonesiaku.
"Wuiiih...mantap kali. Bisa pulak gitu ya"
"Ya...setelah kupikir-pikir memang gitu,Cok"
"Aissss...yang malasan aku berpikir Ben"
"Hahahahaha...yang penting kau kerjakan PR kau. Uda bisa dibilang orang yang bertanggung jawablah kau itu. Masalah kau mencontek atau tidak...itu urusan kau sama diri kau lah sendiri"
"Hahahahahaha....sok bijak kau, Ben"
"Hahahaha..." Wak Mail yang sedari tadi.mendengarkan percakapan mereka ikut tertawa.
"Betol yang di bilang sama guru kau itu, nak"
"Hahahahha....wak mail ni...ikut-ikutan ajalah"
Memang penilaian itu tidak harus dari seberapa mampu mengerjakannya PR yang diberikan. Akan tetapi, seberapa bisa mengerjakannya dengan tepat waktu dikumpulkannya PR. Jadi, tidak masalah bagaimana mengerjakannya. Namun, ada usaha untuk dikerjakan. Itu salah satu sikap bertanggung jawab dan mampu diamanahkan.
"PR ku banyak kali, Beeeeeen!!!!" Teriak Coki
"Jangan ngeluh, kau kerjakan aja itu. Tak ada gunanya kau ngeluh, tak siap-siaplah PR kau tu"
"Hahahahhahaa....sok bijak kau , Ben. Jijik aku"
"Hahahahha"

Selasa, 25 Agustus 2015

Serial Ben dan Coki - semangat -

"Kenapa kau, Ben. Gak enak kali kutengok muka kau tu?" Tanya Coki yang baru saja selesai mengikat tali sepatunya.
"Tak semangat aku kesekolah" jawab Ben yang terlihat lesu tak bersemangat.
"Bah...kenapa pulak kau?"
"Gak tau aku. Malas aja aku sekolah hari ini"
"Kau kenak marah mamak kau ya?"
"Gak...gak tau lah aku. Tak semangat ajalah aku sekolah hari ini"
"Aish...ya ceritalah sama ku, Ben. Ada masalah apa kau rupanya?"
"Gak, Cok"
Embun pagi ini terasa lebih menusuk daripada embun-embun hari yang lalu. Ada rasa kecemasan di hati Ben. Yang membuatnya tidak bersemangat kesekolah. Namun, Ben bingung harus dimulai darimana pembicaraan dengan Coki. Kali ini masalahnya tidak sepele. Masalah harga diri seorang laki-laki. Sepertinya Coki tidak tahu menahu penyelesaian.masalah harga diri seorang laki-laki.
Coki yang masih bertanya-tanya mengapa sahabat karibnya itu tidak mau cerita permasalahannya membuatnya menjadi gusar juga. Sepanjang jalan mereka hanya berdiam diri. Hanya berbicara dalam hati.dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada didalam benak mereka. Bahkan lambaian tangan mereka menunjukkan bahwa hari ini menjadi hari tidak semangat.
"Kenapa kau, nak. Wak liat dari tadi termenung aja"
"Gak apa-apa wak. Cuma lagi bingung aja wak"
"Bingung kenapa kau nak?" Wak Mail yang masih menggoreng mengecilkan apinya dan menganggkat seluruh gorengan yang ada di kuali.
"Hm...ada pulak yang buat aku resah wak"
"Apa itu nak???"
"Cemanalah ini wak. Payah cakappun aku wak. Tapi, uwak janji jangan bilang sama siapa-siapa ya!!!"
"Iya wak janji. Bahkan sama sahabat kau itu"
"Akh...si coki. Aku cuma tak mau membebani pikirannya wak. Anak itu uda banyak pikiran, tak mau aku menambahinya lagi"
"Owh...ceritalah nak"
"Sepertinya wak aku tak cocok masuk sekolah itu"
"Napa pulak?"
"Kawan-kawannya itu wak tak cocok"
"Sudah kubilang nak, niat utama sekolah itu belajar. Hambar rasanya tak ada si Coki, ya??"
"Hahahaha...iya sih wak. Tapi, aku memang butuh dukungan kawan kaya' si Coki"
"Oiii....Ben...!!!gak usah khawatir kau. Aku selalu dukung kau. Jangan tak semangat gitulah. Terharu aku dengar cerita kau itu" Coki yang sedari tadi mendengar cerita Ben dengan Wak Mail, ingin menitiskan airmata terharu.
"Kau, Cok"
"Ya...tau aku. Ada ataupun tak ada aku kau itu harus semangat Ben. Disana kau jumpai kawan baru. Bekawanlah sama orang tu. Semakin kau banyak kawan semakin baik kehidupan kau disekolah. Tapi, kau gak perlu nyari CS baru ya. Cukup aku aja"
"Hahahahhaa....jadi semangat aku jadinya. Makasi ya, Cok"
"Gak usah berlebihan kau, Ben. Jijik pulak aku liat ekspresi mukak kau itu"
Hahahahahahha.....
"Naaah....tak usah kau risaukan lagi ya nak. Kau liat cuma dialah yang mau menerima kau sebagai CSnya. Bekawanlah sama siapa saja disekolah asal itu tidak mengganggu niat utama kau pergi kesekolah" Wak Mail terlihat berkaca-kaca.
"Semangat kawan!!"
"Semangat"
Kadang memang salah satu pembuat semangat adalah teman-teman yang tau benar kondisi kita disekolah. Teman-teman yang bisa diajak bekerja sama, bermain bersama. Semua akan terasa indah dan menjadi pembangkit semangat ketika disekolah.

Serial Ben dan Coki - belajar atau nyari pacar -

Niat utama itu adalah belajar. Menempa ilmu. Mencari teman belajar dan bermain. Jikalah mencari pacar itu urusan ke seratus. Bukan urusan yang paling pertama.
"Kau mau dapatkan pacar?"
"Iya , Bang!" Jawab Ben
"Ada 2 cara" Bang Den menggebu-gebu
"Apa itu?" Tanya Ben penasaran.
"Pertama ka harus pintar. Yang kedua kau harus kaya. Kau pilih yang mana?"
"Aku...???"
Ben memikirkan percakapan Abangnya tadi malam. Mengenai mendapatkan pacar. Sepanjang jalan, ketika Coki berbicarapun Ben tidak kosentrasi menanggapi apa yang Coki bicarakan.
"Kau kenapa? Dari tadi kutengok angguk-angguk gak jelas"
"Hah!!" Ben memasang wajah bingungnya.
"Akh...yang kurang sajennya kau, Ben"
"Gak, Cok. Aku lagi memikirkan sesuatu"
"Sukak kalilah kau memikirkan sesuatu gak jelas. Apa yang kau pikirkan?"
"Kata Bang Den, kalok kita mau dapatkan pacar bisa dengan dua cara!"
"Apa itu?" Tanya Coki penasaran
"Pertama kau harus pintar. Yang kedua kau harus kaya"
"Alahmakjang....tak dapat-dapat pacarlah aku ni. Aku tak pintar, apalagi kaya. Mamak sama ayahku cuma tukang batunya. Aikh....aikh...bakalan kaya' Bang Den lah aku ni" Coki geleng-geleng kepala.
"Apalagi aku, Cok. Samalah kita"
"Tapi ayah kau pegawe, Ben. Bisanya kau minta duit sama ayah kau"
"Akh...malulah aku. Anak laki-laki minta duit sama ayahnya"
"Hahahaha"
Disekolah Ben, sedang diperbincangkan masalah kakak kelas yang kepergok pacaran dengan siswa baru di gudang peralatan olahraga. Dan alhasilnya membuat heboh satu sekolah. Terutama Ben, yang ikut menjadi saksi  kepergoknya kakak kelas dengan murid baru. Wajah Ben murung ketika ditanyai oleh satu guru. Ben hanya menjawab apa yang dilihatnya. Beberapa yang juga menjadi saksi memberikan keterangan. Dan itu semua menjadi rahasia sang guru dan murid yang menjadi saksi. Setelah perkara persaksian Ben selesai, Ben kembali kekelas. Melewati kelas sang murid baru yang kepergok sedang berduan di dalam gudang peralatan olah raga. Murid baru tersebut sedang duduk sendiri dibangkunya. Padahal disitu ada banyak teman-temannya. Sepertinya mereka tidak perduli dengan anak baru yang membuat heboh satu sekolah. Ben hanya memandang kasian. Jika dilihat lama-lama, wajah sang murid baru itu tidak begitu jelek, bahkan ada yang berdetak kecil di dadanya Ben. Getaran yang Ben tidak tahu apa itu. Rasa kasiankah atay rasa kagum karena parasnya.
"Cok..kau lihat ga tu" kata Ben sambil menunjuk arah seorang cewek dengan rambut di kuncir buntut kuda.
"Hah!!! Kenapa dia???"
"Cantik ga?"
"Cantiklah, masa' gitu ganteng. Masih bagus penglihatanku"
"Serius aku. Cantik ga?"
"Iya cantik" jawab Coki malas-malasan.
"Namanya Ayu"
"Terus"
"Kaya' nya aku suka sama Ayu"
"Apppppaaaaaa!!!" Coki tersedak sambil terbatuk-batuk
"Iya aku suka sama dia"
"Gilak kau. Apa mau dia sama kau? Sadar diri kau. Dia itu cantik. Kau liatlah kau macam kutu loncat gini. Udahlah kecil itam pulak. Wak Mail...cak uwak ambelkan cermin dulu, wak. Biar bekaca dulu si Ben ini"
"Gak kau ingat kata Bang Den. Pintar atau kaya"
"Laaah...kau dimananya. Pintarpun gak, kayapun gak"
"Aku akan berusaha pintar dan berusaha kaya"
"Ya kalok gitu, diapun berusaha juga buat jauh-jauh dari kau, Ben. Hahahahaha"
"Akh...kau lah pulak"
Wak Mail mendekat seraya membawa cermin. Dan menyodorkan kearah Ben.
"Nak...sekolah aja kau bagus-bagus. Pintar kau belajar. Sukses kau bekerja. Bahkan lebih dari si Ayu itu wajahnya bisa kau dapatkan" jelas Wak Mail kembali kepenggorengannya.
"Wuih....betol itu wak. Aku setuju"
"Tapi, wak lama kalilah kalok nunggy kaya' gitu. Masa mudaku sia-sia tak pacaran"
"Apa pulak kau bilang sia-sia. Kalok kau bisa mengurusnya sekaligus ya bagus. Sekolah kau lancar, pacaran kau lancar ya gak masalah. Ini tibanya belajar kau susah, pacaran kerjanya berantam aja. Apa gak pecah kepala kau tu"
"Hahahaha....dengar tu kata Wak Mail"
"Wak kasi taulah, tak ada penyesalan kau kalok kau tak pacaran. Ketimbang kau tak belajar, itu lebih menyesal lagi. Uwak uda merasakan itu. Tak menamatkan sekolah, jadi tukang goreng uwak. Kalok uwak sekolah mungkin uda lain ceritanya"
"Dulu uwak pacaran?" Tanya Coki
"Tidak, tapi uwak tak menyesal. Jumpa pulak sama Wak Desi. Nikah uwak langsung sama dia"
"Hm...."
"Jadi sekolah itu niatkan buat belajar bukan buat nyari pacar"
"Betol itu wak" setuju Coki
"Tapi kan"
"Aikh...tak ada tapi-tapian. Kalok kau suka sama dia tunjukkan kalok kau itu pintar atau kaya. Beres!!! Takotnya dia tak suka pulak sama kau. Aikh makjang, apa tak sakit kali itu. Belajar kau bagus-bagus rupanya dia tak suka sama kau. Kurasa sakit kalilah itu" Wak Mail sambil menepok jidatnya
"Hahahahhaha" mereka kembali tertawa bersama
"Iya pulak"
Siang itupun berlalu cepat. Niat Ben untuk berpacaran dengan Ayu sepertinya mengalami penurunan. Awalnya memang menggebu, tapi pada akhirnya setelah mendengarkan Wak Mail berbicara, Ben berpikir ulang untuk berpacaran dengan Ayu. Setidaknya niat untuk belajar disekolah bertambah menjadi 100 persen.

Senin, 24 Agustus 2015

Serial Ben dan Coki - cita-cita -

Karena masih baru, seperti biasa anak murid kelas X selalu memperkenalkan diri kesetiap guru yang masuk.
Maka mulailah para guru tersebut menanyai soal nama, asal SMP dan yang paling membuat kepala Ben dan Coki pusing adalah masalah cita-cita.
"Aikh...pening kali tadi aku ditanya sama guru Bahasa indonesia" keluh Coki
"Tanya apa dia?" Tanya Ben
"Ditanyaklah pulak cita-citaku" sambil mengenang kejadian tadi pagi sebelum pelajaran dimulai.
Suara riuh gaduh di kelas X-2 seketika reda ketika guru bahasa indonesia masuk kedalam kelas. Dengan wajah yang tegang dan mimik yang tidak menyenangkan. Guru tersebut memulai percakapaan dengan sapaan selamat pagi, dan disambut dengan suara gemuruh semangat anak baru. Dan sampailah disaat yang paling membuat hidup Coki berkesan. Hanya dengan sebuah kalimat, sepasang mata takjub memandang kearahnya dan itu membuat Coki malu-malu.
"Nah...kamu. Pemuda berambut ikal" jelas guru bahasa indonesia itu menunjuk kearah Coki.
"Saya, buk!!" Coki menunjuk dirinya
" iya. Sebutkan nama dan cita-citamu"
"Alahmakjang, apa pulak cita-citaku ini. Belum sempat pula kurangkai kata-kata yang mantap" keluh Coki dalam hati dengan memasang wajah heran.
"Hei..cepat. Kawanmu yang lain menunggu giliran"
"Eh...iya buk. Nama saya Coki. Cita-cita saya....." coki berhenti sejenak dan sedang memikirkan kata-kata selanjutnya. Yang terbayang hanya wajah ibunya.
"Cita-cita saya membuat senyuman diwajah ibu saya, buk. Kalau masalah kerja apapun saya siap. Asalkan itu membuat ibu saya bahagia"
Kelas mendadak sepi. Dan salah seorang dengan pandangan yang begitu bersemangat bertepuk tangan lalu diikuti teman-teman sekelasnya.
Coki salah tingkah. Dia bingung apa yang dia katakan barusan saja. Membuat tepuk tangan yang luar biasa dari teman sekelas.
"Hehehe...mantapkan cita-citaku. Ben!!"
"Hahahahha...mantap kalipun"
"Kalok kau, apa cita-cita kau, Ben"
"Akupun belum tau. Kurasa untuk saat ini cita-citaku mencarikan istri buat Bang Den lah"
"Hahahaha....kok kau pulak yang nyarikan. Itu urusan Bang Den"
"Hahahaha...kasian aku liat abangku itu"
"Mulai besok kita harus tau cita-cita kita Ben"
"Iyalah...tapi udah terpikir pulak ini aku mau jadi apa, Cok"
"Apa itu?"
"Aku mau buat robot"
"Umakjang...mantap kailah itu. Robot apa??"
"Robot perempuan"
"Hah!!!!"
"Iya buat istri Bang Den"
"Hahahhah...yang ada-ada ajalah cita-cita kau itu ya"
Hahahahhaa....
Wak Mail hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah dua siswa yang akan menjadi pelanggannya itu.
"Wak..wak...!" Tiba-tiba Coki memanggil wak mail yang sedang membersihkan meja depan
"Apa, nak!"
"Dulu cita-cita uwak apa?" Tanya Coki yang membuat wak mail menghentikan pekerjaannya.
"Hm...." wak Mail sepertinya berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Coki.
"Apa wak" seru Ben yang juga ingi tahu jawaban wak Mail.
"Hm...tapi janji ya,jangan kau kasi tau siapa-siapa"
"Iya wak" jawab mereka berdua semangat dengan anggukan kepala.
"Hm...uwak dulu ingin jadi tentara. Tapi, karena orang tua uwak miskin tak ada pula biaya untuk masuk tentara. Jadilah, tukang gorengan uwak sekarang. Akh...tapi pun kaloklah uwak jadi tentara tak jumpa pulak lah uwak sama wak Desi. Tak bahagialah idup uwak ni"
"Halah uwak ni, pande kali besilat lidah" kata Ben memukul meja pelan.
"Aikh...tapi, itu cita-cita uwak jadi tentara mantap juga wak"
"Udahlah nak. Apapun cita-cita kau itu, yang penting buat hidup kau bahagia. Jadi tentara uwakpun kalok tak bisa jumpa anak istri macam si Dollah itu, apalah enaknya"
"Hahahaha...iya pulak"
"Jadi, cita-cita tertinggi itu buat diri kau dan orang sekitar kau bahagia. Kurasa itu uda patenlah"
"Ikh...iya. Pantaslah kawanku betepuk tangan semua tadi. Mantap kali pulak cita-citaku." puji Coki sendiri
"Akh...masa'. Gitu ajapun, cok" kilah ben tak percaya.
"Dan kau mau tau ,ben. Yang betepuk tangan pertama kali siapa?"
"Siapa?"
"Putri, Ben. Idola SMP dulu. Dia pulak yang betepuk pertama kali. Buat aku cemana gitu jadinya"
"Jangan GR kau"
"Hahahaha...."
Cita-cita, jika ditanyakan itu kepada semua orang pasti akan berpikir keras menjawabnya. Tidak mungkin asal jawab. Yang jelas setiap orang yang berilmu memiliki cita-cita. Begitu juga Ben dan  Coki.
Mulai detik itu juga. Ben dan Coki sudah memikirkan cita-cita mereka berdua. Yang penting jika ditanya tentang cita-cita mereka dapat menjawab dengan lantang.

Serial Ben dan Coki -surat cinta-

"Uda dikerjakan sama bang Den surat cintaku, Ben?" Tanya Coki pagi ini sambil memasang wajah penuh senyuman.
"Udahlah....senang kalipun Bang Den kukasi tugas ini"
"Caklah kuliat"
"Tunggu ya" Ben membuka tasnya dan mengambil secarik amplop warna pink yang bergambar hati dimana-mana.
"Wuiiih....mantap kalilah, Bang Den ini. Totalitas kali dianya"
"Hahaha..kurasa banyak amplop kaya' gini dilaci meja kerjanya, cok"
"Kurasalah"
Hati Coki sedang bergembir. Karena Dia pasti akan menjadi siswa terbaik dalam menulis surat cinta. Secara, Bang Den lah yang mengerjakan. Lajang tua yang usianya sudah 35 tahun belum menikah juga. Tapi, jangan ditanya tentang cinta, dialah sang pujangga cinta. Bahkan, wanita mana yang tidak klepek-klepek dengan kata-katanya. Sangat disayangkan, wanita sekarang itu, sudah bosan dengan kata-kata yang Bang Den ucapkan atau tuliskan. Wanita sekarang itu butuh bukti.
"Mantap, Ben!!! Mantap kali pun" seru Coki girang.
"Hahahaha....Bang Den gitu loh!!"
"Akh...kalo surat cinta ini berhasil buat seniorku klepek-klepek samaku. Kucarikanlah Bang Den istri. Hahahahha"
"Gilak kau, cok"
Seperti hari sebelumnya. Setiap pagi selalu sejuk. Dan bahkan hari ini sedikit berkabut. Mungkin akan turun hujan. Tapi, perkiraan salah. Matahari langsung saja menyembul dari balik awan yang beriring di ufuk timur. Tidak ada yang salah hari ini. Dan lambaianpun terlihat sebagai simbol bahwa mereka berdua harus berpisah. Dan selalu mengikat janji di Warung Wak Mail.
"Heh...!!!bocah....berani kali kau ngasi surat cinta ini ke pacarku"
"Maaf , bang!! Aku gak tau kalok kakak itu pacar abang" Coki tertunduk pucat
"Gak usah sok paten lah kau disini. Gak kau lihat setiap pagi kami boncengan pigi sekolah"
"Ya, bang. Maaf. Aku kira kakak itu sodara abang"
"Kau kasi surat cinta ini ke senior lain. Milih yang cantik pulak kau ya" suara yang menggelefar itu membuat telinga Coki sakit. Dia berpikir, bahwa dirinya tidaklah tuli atau pekak.
Dengan jalan yang gontai, dia menemui kakak senior yang tidak cantik menurutnya. Coki berfikir bahwa senior yang cantiknya tertunda pasti belum punya pacar. Benar sekali, sebuah surat cinta dan cokelat silveraqueen mendarat manis ditangan seorang cewek bernama Rani. Dengan senyuman yang dilontarkan Rani, membuat hati Coki merinding ketakutan.
"Sial kali aku , Ben!!" Keluh Coki di warung Wak Mail.
"Kenapa?"
"Gara-gara aku salah ngasih surat cinta. Di marahin aku sama pacar seniorku"
"Hahahaha. Kenapa gak kau lepokkan aja mukanya"
"Gilak kau nyari matilah aku. Udahlah mamakku bersabda gak boleh bandal aku disekolah"
"Hahaha....baguslah kalo kau masih ingat sabda mamak kau"
Adapun isi surat cinta yang dibuat oleh Bang Den dan akhirnya jatuh ketangan Rani.
"Hai, cantik. Apakah aku yang tak berparas tampan ini boleh berkenalan denganmu. Aku paham betul siapa diriku ini. Maka dari itu aku hanya bisa berkata-kata lewat tulisan yang tidaklah puitis ini. Hai, cantik. Masih adakah waktumu untuk membaca isi hatiku beberapa hari ini yang membuatku tak terlelap tidur. Kuharap kau tak teburu-buru membacanya. Hai cantik yang membuat hatiku terusik. Bolehkah aku menghampirimu setelah pulang sekolah nanti. Alangkah baiknya jika kau mengabulkan harapan seseorang yang sedang jatuh hati ini. Cantik, tak banyak kata yang bisa aku tuliskan. Karena aku sangatlah bingung tak ada kata yang pantas untukmu selain kata cantik. Aku menunggumu digerbang sepulang sekolah"
"Cok, cak kau liat nanti senior kau nunggu pulak digerbang sekolah?"
"Mana mungkin"
"Itu bukan orangnya" Ben menunjuk kearah gerbang sekolah, ada seorang cewek berseragam putih abu-abu berkacamata dengan wajah polos sedang berdiri seolah-olah sedang menunggu seseorang.
"Alahmakjang, matilah aku. Kakak itulah yang ku kasi surat cinta. Ayoklah pulang Ben"
"Hahahaha....matilah kau"
"Uurrrrrgggh...mujarab betol surat cinta Bang den ini. Kurasa dikasi jampi-jampi sama dia"
"Hahaha...." Ben masih tertawa lepas. Melihat raut wajah Coki yang ketakutan ketahuan masih ada di warung wak Mail"

Minggu, 23 Agustus 2015

Serial Ben dan Coki - hari kedua Masa Oranggila Sekolah -

Pagi ini, dirumah coki sudah kena omelan ibunya. Karena harus membeli pete lagi di pasar.
"Cok, kau kira murah kali harga pete ini. Satu biji ini 3000. Itu kalok masih juga dibuang sama senior kau itu, bilang sama dia jumpai mamak kau ini. Dia kira nyari duit itu kaya' nyari daun pisang"
"Iya , mak" Coki hanya bisa menunduk lesu.
Ben sudah menunggu didepan rumah Coki. Omelan ibunya Coki terdengar samar-samar keluar.
"Merepet lagi mamak kau ya?" Tanya Ben yang melihat wajah lesu Coki yang baru saja mendapatkan omelan.
"Akh...udah macam sarapanku itu, Ben. Kalok tak merepet mamakku, hambar nasi goreng yang kumakan tadi"
"Hahahaha...ada-ada aja kau, Cok. Oh..iya Cok. Hari ini kau harus jadi anak baik budi. Gak usah betingkah kali disekolah. Nanti kaya' semalam, habis semua peralatan kau"
"Ish...gak betingkahnya aku. Entah kenapa pulak senior itu, gak sor kurasa dia samaku. Kurasa tersaingi ketampanannya. Kau tau sendirilah, kawan kau ini. Wajahnya mirip CR7"
"Mirip darimana, Cok"
"Kok kaulah. Gak mau kau mengakuinya. Kawan macam apa kau,Ben. Hahahaha "
Hari kedua ini, sepertinya akan berjalan lancar, begitulah yang diharapkan oleh Ben dan Coki. Sesampai di gerbang sekolah, Coki dan Ben melambaikan tangan seperti hari kemarin. Dan tetap membuat janji bertemu setelah pulang sekolah di warung Wak Mail.
Benar saja, hari ini berjalan lancar. Tidak seperti hari kemarin peralatan Coki yang dilempar oleh seniornya ke lobang sampah.
"Cemana hari, Cok?" Tanya Ben yang menyeruput teh manis dinginnya.
"Hari ini mantap kali, tapi ada pulak yang buat aku geram. Si Pandi itu, sok paten kali dianya"
"Kenapa pulak?"
"Iya, sok keras dianya. Sok garang. Masa' dia marah-marah samaku. Yang bodohnya lagi, gak pande baca kurasa dia. Dipanggilnya aku ke kedepan kelas. Terus sok kerennya si Pandi itu, nanyak pulak dia namaku. Padahal kau tau kan, uda tertulis namaku dipapan ini" cerita Coki berapi-api sambil memukul semangat papan namanya yang terbuat dari kertas karton warna merah muda itu.
"Hahahaha....gak kau pukol kan aja kepalanya"
"Manalah aku berani. Gilak aja kau, Ben. Kalok kau cemana hari ini?"
"Gak ada yang menarik, Cok. Sama kaya' semalam aja. Cuma hari ini, baru bisa aku liat cewek-cewek"
"Aikh....yang sedihan lah cerita kau, gak bisa liat cewek. Aku muak kali, sok cantik pulak semua orang tu"
"Kau tau lah, anak-anak SMK itu kebanyakan cap lonceng semua"
"Hahahaha...naseb kaulah Ben"
Hahahahaha...
Hari ini Wak Mail gak ikut campur dalam percakapan mereka berdua. Karena Wak Mail sedang sibuk berat masak gorengan yang sudah mulai habis. Sepertinya hari ini laris manis.
Ben dan Cokipun, tak berlama-lama di warung Wak Mail. Karena besok akan menjadi hari terakhir masa-masa menjadi orang gila.
"Ben, bantu akulah buat surat cinta" bujuk Coki
"Surat cinta?"
"Iya, pening kepalaku buat surat cinta. Ka tau sendirilah sejak kapan pulak aku pande buat-buat kaya' gitu. Cewek aja gak punya aku"
"Aikh, apalagi aku. Manalah aku pande buat surat cinta. Untuk siapa rupanya?"
"Buat kakak senior itulah. Malah disuruh beli cokelat silverqueen. Ikh...jijik pulak aku"
"Ada-ada senior kau itu. Apa udah gak laku lagi orang itu. Hahahahahaha"
"Manalah aku tau, Ben. Kau buatkan aja napa. Kau minya bantuan sama Bang Den. Diakan pernah punya cewek"
"Oh...iya. Nanti ku tanyalah sama dia"
"Aikh....tenang sikit aku jadinya"
"Kau mau ngasi sama siapa?"
"Gak tau aku. Hahahahhaha"
Sesampai dirumah, Ben langsung ke kamar Bang Den. Dan memintanya untuk membuat surat cinta. Benar saja, Bang Den seorang ahli pergombalan langsung menerima tugas yang menurutnya tugas yang sangat gampang sekali.
Akh...!!! Siang menjelang sore yang sibuk dan panas. Membuat gerah isi kepala dan badan. Saatnya beristirahat siang, tapi tidak untuk Coki. Dia harus bekerja paruh waktu. Dari pukul 3 sore sampai pukul 10 malam. Coki membantu orang tuanya membuat batu bata di halaman belakang rumahnya.
"Cemana sekolah kau tadi, Cok?" Tanya ibunya sambil membawa senampan teh manis panas dan roti.
"Aman aja, mak" jawab Coki singkat yang sedang asik mengolah tanah kuning itu dengan mencampurkan sedikit air lalu membentuknya persegi yang sudah ada cetakannya.
"Baek-baeklah kau disekolah, ya"
"Iya, mak!"
"Jangan mengulah kau ya, mamak gak mau dipanggil kesekolah cuma gara-gara kau bolos atau semacamnya"
"Iya, mamakku tersayang. Anak mamak yang satu ini bedalah. Anak yang baek budi"
"Iyalah, mulai banyak cakap kau. Betol aja, kalau mamak dipanggil kesekolah karena kai bandal. Mamak coret nama kau dari daftar kartu keluarga. Kau cari keluarga baru sana"
"Aikh...mamak inilah, ada-ada aja"
Hari yang melelahkan. Tidak juga, jika dijalani dengan semangat dan kesenangab. Semua akan berjalan lancar dan terasa ringan semua pekerjaan.

Serial Ben dan Coki -hari pertama masuk sekolah-

Hari pertama masuk sekolah. Ben dan Coki adalah sahabat sejak kecil. Namun, setelah lulus SMP mereka harus pisah sekolah. Ben melanjutkan ke SMK sedangkan Coki melanjutkan ke SMA. Sekolah mereka berdekatan. Walaupun sekolah mereka terpisah, akan tetapi mereka selalu pergi sekolah bersama.
Pagi ini, udara sejuk. Harum-harum baju baru sudah tercium sepanjang jalan. Dan bau-bau tak sedappun berhamburan.
"Kau bawa apa aja, Ben" tanya Coki melihat Ben yang membawa banyak peralatan tidak jelas. Salah satunya jengkol dan beberapa kaleng susu yang dirangkai dijadikan tali pinggang serta topi kerucut dan papan nama yang terbuat dari kertas karton.
"Hah...!!gak kau lihat apa aku bawa apa aja. Kau tengoklah ini, entah apa aja disuruh sama senior tu. Macam orang gilak aku dibuatnya" keluh Ben
"Hahaha...kau kira kau aja, Ben. Kau tengok juga punyaku. Lebih dahsyat. Pagi-pagi gini kusuruh mamakku ke pajak beli pete. Cuma untuk dijadikan dasi" Coki menunjukkan pete yang sudah terpasang rapi di lehernya dengan seutas tali plastik.
"Kurasa senior kau suka pete, Cok. Kalau senior kami sukanya jengkol pulak ini. Entah buat apa pulaklah sijengkol ini"
"Akh...kurasa senior-senior kita uda gilak semuanya"
"Hahahahaha..." mereka tertawa bersama.
"Tapi, Cok. Kalau lah aku jadi senior nanti. Mau kuhapuskanlah masa pembodohan ini"
"Akh...mana sedap kalok gitu. Gak bisa kau balas dendam nanti sama junior kau"
"Buat apalah kaya' gini. Inikan pembodohan namanya. Dijadikan orang gilak kita sama senior kampret itu"
"Hahahaha...itulah kau, Ben. Gak gaul kali lah kau itu. Ini masa-masa lagi trend di negara yang kau cintai ini"
"Apalah gaulnya macam ini, hah!!!. Kutengok gak ada manfaatnya. Lumayan kalok jengkol ini dimakan bersama nanti. Takotnya malah dibuang pulak karena busuk"
"Iya pulak. Akh...yakinnya aku ada manfaatnya ini. Masa' senior kita sebodoh itu gak tau untuk apa ini semua"
"Betul pulak kata kau. Karena sanking pintarnya senior kita ini. Makanya dibuatnya kita jadi orang gilak"
"Hahahahaha"
Akhirnya mereka harus terpisah di gerbang sekolah. Sambil melambaikan tangan dengan janji akan bertemu lagi setelah pulang sekolah di warung wak Mail.
Wak Mail masih sibuk dengan dagangannya. Tapi, Ben sudah menunggu Coki di warungnya. Kadang-kadang mata wak Mail melirik kearah Ben yang terlihat aneh dengan ornamen-ornamen perlengkapan MOS disekolahnya.
"Tak kau copot itu, nak?" Tanya wak Mail
"Selama masih dilingkungan sekolah tak boleh di copot, wak. Nanti aku kena hukum" jawab Ben
"Owh...seram betul sekolah kau tu ya"
"Iya gitulah wak"
Akhirnya Coki datang dengan wajah yang kusut. Peralatan MOSnya sudah tak terpakai lagi. Dengan wajah yang kusut dan muram membuat tanda tanya besar di benak Ben.
"Kenapa kau?"
"Ikh...gilak kali seniorku. Habis aku dikerjainnya"
"Kenapa pulak"
"Entah apa salahku, di lempar semua peralatanku. Kasianlah mamakku kalok tau dianya pete yang dibeliknya tadi di campakkan ketong sampah"
"Nanti kau yang nyari gadoh sama senior kau"
"Gilak aja kau. Aku baru masuk uda nyari gadoh"
"Akh...mana aku tahu. Biasanya juga gitu kau kan. Anggar sok paten. Hahahahhaa"
"Akh...beselemak kalipun mulut kau, Ben"
"Ada cerita lain gak"
"Ya...kaulah. Uda pulang sekolah gini, kenapa pulak masih kau pake barang-barang gak jelas gini"
"Gak boleh dilepas, selama masih dilingkungan sekolah. Nanti ketauan seniorku bahaya kalilah"
"Aikh...yang takutan lah kau sama senior kau. Kalo ada yang tak sor sama kau, bilang samaku"
"Hahaha...itulah kau. Keluar sok paten kau"
Hahahahahaha..... mereka tertawa bersmaa lagi.
"Akh...kalo kupikir-pikir, cok. Uda besar kita ya"
"Mals aku berpikir, Ben"
Wak Mailpun selesai membuat pesanan mereka berdua. Dua gelas teh manis dingin dan 6 buah bakwan yang baru selesai digoreng.
"Wak...kutanyaklah smaa uwak, zaman uwak dulu ada kaya' gini"
"Kaya' apa maksud kau?"
"Ya kaya' ginilah. Baru pertama masuk sekolah udah kena plonco"
"Zaman uwak dulu, sukur kali ada yang mau sekolah. Tak ada pulak istilah macam sekarang ni. Aneh uwak rasa"
"Hahaha...uwak ini gak gaul" Coki langsung nimbrung.
"Bukan tak gaul. Zaman dulu tu, sekolah susah Nak. Kau kira macam sekarang ini. Enaklah, kelen sekolah udah dekat. Uwak dulu besepeda ngelewati sunge lagi. Perjuangan hidup. Tapi, uwak nyesel pulak tak menamatkannya"
"Halah, wak. Sayang kali lah kalo gitu wak"
"Uwak pulak betingkah kali. Hahahhaa" coki tertawa terbahak-bahak.
Hari pertama sekolah berjalan lancar untuk Ben, tak ada masalah. Lain halnya dengan Coki yang masih terlihat kesal sepanjang jalan karena peralatannya harus dibuang oleh seniornya. Terpkasa Coki harus membuat ulang dan meminta ibunya lagi untuk membeli pete di pasar besok pagi.

Rabu, 05 Agustus 2015

One year

- you lie on april -

Sejak kejadian dibulan maret itu. Evan belum menghubungiku lagi. Jika dihitung sudah hampir 3 minggu. Bahkan sebuah pesan singkatpun tidak ada. Aku kuatkan hati. Bahwa selama ini aku yang terlalu berharap banyak. Terlalu percaya kata-katanya yang tidak akan meninggalkanku. Akulah yang terbaik dan spesial. Akulah wanita yang paling nyaman yang pernah ditemuinya. Akulah tempat yang paling enak untuk curhat. Dan anehnya aku percaya hal itu. Karena, selama ini tidak banyak lelaki seperti itu kepadaku. Aku yang sangat cuek begini. Bahkan tidak perduli. Tapi, entah mengapa ketika Evan datang semua begitu berubah.
Sepertinya Evan mengajarkanku untuk merasakan kekecewaan yang teramat dalam dan itu yang membuatnya adalah diriku yang terlalu salah paham.
Pekerjaanku menumpuk. Pikiranku resah. Tidak bersemangat. Tidak bergairah untuk pergi kerja. Rasanya ingin liburan saja. Ketempat yang paling jauh. Yang tidak ada yang berhubungan dengan Evan.
Layar komputer yang didepanku terasa hampa dengan wallpaper gambar pantai.
Handphoneku bergetar...
Sebuah pesan singkat masuk. Dan aku melihat dari nomor tidak dikenal.
"Hai, Seira. Aku tyas sahabat Evan. Maaf mengganggu. Apa kabarnya? Boleh kita bertemu?"
Mataku terbelalak. Ada angin apa, Tyas mengirim pesan seperti itu. Ada apa? Tanyaku dalam hati. Lalu aku membalas pesan singkat itu.
"Hai juga Tyas. Kabarku baik kok. Ada apa ingin bertemu denganku?"
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu"
"Mau bicara apa?"
"Penting, Sei. Bisakan! Hari minggu ini, di kafe bintang kecil. Jam 10 pagi ya"
"Hm...ok"
Kok perasaanku menjadi aneh begini. Waktunya tinggal 2 hari lagi. Ada apa Tyas ingin berbicara denganku. Aku mengernyitkan dahiku. Apa jangan-jangan Evan dan Tyas akan memberitahukan padaku tentang hubungan mereka. Sebenarnya aku tidak mau ambil pusing. Tapi, kepikiran terus. Ada apa ya???
Dan minggupun tiba. Hari-hari sebelumnya membuat hari-hari sangat tidak bersemangat. Tibalah hari yang sudah dinantikan. Aku sudah duduk dibawah tenda warna warni dengan secangkir kopi latte. Menunggu Tyas yang molor dari jam yang dijanjikan.
"Maaf ya, aku terlambat" kata Tyas ngos-ngosan dengan dandanan full.
"Iya, gak apa-apa kok" jawabku sambil tersenyum.
Tyas duduk, dan meraih menu. Tyas memesan jus jeruk dingin dan kentang goreng.
"Pasti kamu nunggu lama ya?" Basa basi Tyas. Dan itu tidak penting bagiku.
"Eh...emangnya kamu mau bicarakan hal penting apa?" Tanyaku pada sasaran mengapa aku mau bertemu dengan Tyas pada hari ini yang seharusnya libur.
"Hahaha...ya ampun, Sei. Kamu kok gak ada basa basi ya. Bener banget deh, kata Evan kamu itu kaku dan ga bisa basa basi"
Aku mengernyitkan dahi seolah tidak senang. Berarti Evan sudah cerita banyak tentangku kepada Tyas.
"Eh...kok begitu?"
"Kami tau gak. Setiap Evan menghubungiku yang diceritakannya hanya kamu dan kamu loh. Sepertinya dia sedang kasmaran denganmu" papar Tyas sambil mengibaskan rambutnya.
"Eh..." aku terdiam. Ada rasa menusuk didada. Tidak terima dengan pernyataan Tyas. Tapi, pertanyaan itu juga membuat sisi hatiku yang lain berdebar lebih kencang.
"Iya, Sei. Aku serius. Baru dua hari yang lalu di menghubungiku. Dia rindu banget sama kamu" Du hari yang lalu. Evan bisa menghubungi Tyas. Bahkan aku tidak pernah dihubunginya selama 3 minggu. Aku menundukkan kepalaku.
"Hehehe" aku cuma bisa memasang wajah tersenyum. Aku tidak ingin Tyas tahu perasaanku.
"Kalau kamu rindu gak dengan Evan?"
Apa yang harus aku jawab. Jawab jujur atau bohong. Pikiranku mulai bimbang.
"Tidak" jawabku tersenyum.
"Masa' sih. Kasian banget si Evan rindunya ga terbalas"
Aku mulai muak dengan percakapan ini. Terlalu di lebih-lebihkan. Jika Evan rindu denganku. Mengapa dia tidak memberitahuku saja secara langsung. Evankan juga punya nomor handphoneku. Mengapa harus ada perantara orang ketiga. Aku benar-benar tidak suka.
"Jadi, hal peting apa yang ingin kamu sampaikan?" Tanyaku yang sedari tadi tidak diberikan jawaban secara lugas.
"Hehehe...kamu suka gak sama evan?" Tanya Tyas membingungkanku. Mengapa Tyas ingin sekali tau dengan perasaanku.
"Memangnya kenapa? Ada yang ingin kamu pastikan, ya?" Aku sengaja memberikan jawaban gantung seperti itu. Dan Tyas memasang wajah aneh kearahku.
"Tyas...jika kamu menyukai Evan. Kamu bisa kok leluasa memilikinya. Aku bukan siapa-siapanya Evan. Aku hanya teman sekolahnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Dan jika kamu bertanya aku suka atau tidak dengan Evan. Kamu tidak perlu tahu. Cukup Evan saja yang tahu dengan hal itu" aku bangkit dari kursiku dan berlalu meninggalkan Tyas. Aku tidak melihat raut wajah Tyas. Aku tidak perduli dengan itu. Setidaknya aku tidak suka percakapan yang menghabiskan waktu yang berharga ini.
Sesampai dirumah, aku mematikan handphoneku. Aku tidak ingin menerima telpon atau pesan singkat dari siapapun.
Aku terbangun, sudah pukul enam sore. ada sebuah ketukan dari luar pintu kamarku yang membuatku terbangun.
"Sei, ada tamu." Suara sepupuku terdengar jelas
"Siapa?" Tanyaku yang masih mengumpulkan nyawa.
"Evan"
"Hah!!!" Aku terkejut mendengar kata itu. Ada Evan di ruang tamu. Apa yang harus aku lakukan. Mengapa dia tidak mnghubungiku terlebih dahulu. Aku meraih handphoneku dan mengaktifkannya. Ternyata ada 10 pesan singkat yang belum aku baca.
Dan semuanya dari evan dengan isi yang sama. Bahwa dia ingin kerumahku. Alasannya datang ke kota ini, karena dia ada proyek dengan kliennya untuk 1 minggu.
Tak perlu mandi ataupun mencuci muka. Ini trikku, apakah lelaki itu akan mundur aray

Selasa, 04 Agustus 2015

One Year

- March on sky -

Maret ini aku dan Evan berjanji bertemu di sebuah tempat makan yang berada di lantai paling atas sebuah kondominium. Evan berkunjung di kota dimana aku bekerja untuk urusan pekerjaannya.
Hari yang kami janjikan itu, adalah besok. Aku tak mampu memejamkan mata. Hanya karena pikiranku kembali tidak berhenti untuk memikirkan kejadian besok. Aku benar-benar tidak bisa tidur.
Sabtu pagi, yang membuat aku terlambat bangun karena aku tidak bisa tidur. Mataku baru terpejam pukul 3 pagi. Dan sekarang sudah pukul 9 pagi. Sinar matahari sudah memasuki kamar tidurku dari celah-celah lubang pentilasi udara.
Aku melihat jam sudah pukul 9 lewat. Sedangkan aku berjanji pukul 11 dengan Evan bertemu di Kafe Bintang Kecil. Lalu, kami akan bersama ke tempat makan yang paling menjadi favorit bagi pasangan kekasih.
Dengan mata masih mengantuk, aku menuju kamar mandi. Membersihkan diri. Dan ini juga aneh, biasanya ketika hari libur aku tidak pernah mandi. Tapi, kali ini aku dipaksa untuk mandi.
Mencari pakaian yang pas dengan hari ini. Apakah ini kencan??? Kurasa begitu. Tapi, kami cuma berjanji ingin bertemu untuk makan siang di Restoran yang bernama Rooftop itu. Setelah itu kami akan jalan-jalan kepantai melihat sunset. Aku tidak mau salah sangka atas perjalanan hari ini.
Sebuah lagu terdengar dari dalam kamarku. Yang aku tahu itu bunyi ringtoneku yang baru. Sebuah lagu cinta yang paling aku favoritekan. Aku mengabaikannya. Karena aku masih dikamar mandi. Setelah selesai, aku melihat siapa yang menelpon. Ternyata tebakanku salah. Aku kira dari Evan. Itu telpon dari Yana, yang tak lama mengirimku pesan singkat.
"Jangan lupa hari senin, ada rapat di kantor pusat"
Ya, ampun. Ini masih hari sabtu juga. Sudah diingatkan oleh Yana. Aku bergegas menandai Noteku pada hari senin.
Kali ini, sebuah pesan yang aku nantikan.
"Aku kerumah sekarang, ya!!"
"Iya"
Mulailah, aku kebingungan memakai baju apa. Aku tidak tertarik untuk memakai gaun atau semacamnya. Gaya terbaikku adalah menjadi diriku sendiri. Tidak berdandan dengan penuh editan di alis, dimata, dihidung bahkan dibedak. Menurutku, apakah Evan akan tetap berada dekat denganku jika aku menjadi aku apa adanya.
Tin...tin...
Suara klakson mobil terdengar jelas dari luar rumah. Evan bersam mobil sedannya sudah terparkir di halaman depan rumahku. Aku melihat dari balik jendela kamarku. Sepupuku yang berkebetulan tinggal bersamaku membuka pintu rumah. Dan terdengar menyuruh Evan menunggu di bangku teras.
"Maaf, ya. Lama nunggu" kataku selesai berpakaian. Yang akhirnya memakai celana jeans yang tidak ketat dan baju babydoll.
"Gak kok" kata Evan tersenyum
Ya, ampun hampir dua tidak bertemu. Evan kihatan semakin cakep. Hatiku berdebar kencang sekali. Rasanya bahagia itu datang dan aku dibuatnya pergi kelangit yang ketujuh.
Didalam mobil, kami tak banyak bicara. Aku terlihat canggung. Aku takut membuat percakapan terlebih dahulu. Begitu juga Evan yang kosentrasi menyetir mobil. Aku yang berada disebalahnya merasa kami ini adalah sepasang kekasih yang sedang berkencan. Laju, mobil yang tidak begitu cepat.
"Eh...bukannya kita mau janjin di cafe lagit biru kemaren ya"
"Rencananya gitu. Karena ada temanku yang mau ikut. Jadi, kita kerumahnya ya"
"Oh..."
"Kamu gak marahkan?" Tanya Evan kepadaku yang memandang jauh keluar yang tidak tahu kemana arah pandanganku.
"Gak kok" aku mencoba tersenyum manis. Sebenarnya di balik senyum itu aku menyembunyikan rasa kecewa. Ini tidak sesuai dengan harapanku. Aku kira akan jalan-jalan berdua dengan Evan. Hatiku melongos begitu drastis turun kebawah. Tiba-tiba moodku sepertinya sedang berubah. Tapi, aku menyembunyikannya dari Evan.
Dan akhirnya, kami berangkat 3 orang ke Rooftop. Temannya itu adalah teman dia ketika berkuliah dahulu. Evan mengenalkannya, bahwa Tyas adalah teman terbaiknya selama dikampus. Aku mencoba untuk tidak memperlihatkan senyum kecutku. Tidak apalah, mungkin hanya aku saja yang begitu ke-GR-an yang berharap terlalu lebih dari seorang yang spesial.
Kami bertiga pun berbincang-bincang mengenai hal-hal umum. Bahkan bergosip selebritis. Tapi, aku lebih banyak diam. Melihat Evan begitu akrab dengan Tyas membuatku merasa sesak. Sepertinya aku ingin sekali memisahkan mereka berdua. Apakah Evan tidak bercerita tentangku kepada Tyas.
"Eh...aku ke toilet dulu ya" aku pamit ke toilet. Bukan karena aku ingin buang air. Hanya karena mataku tidak tahan dengan tingkah Tyas yang begitu dominan terhadap Evan.
Sekembalinya aku dari toilet aku sengaja menguping pembicaraan mereka dari balik bangku yang berada dibelakang mereka.
"Van, itu gebetan kamu, ya?" Tanya Tyas yang dimaksud adalah aku
"Gak akh. Dia hanya teman biasa saja. Dia teman sekolahku. Tidak lebih dari itu"
"Hahahaha....kirain kamu uda lain selera. Cewek seperti itu mana bisa dibawa kemana-mana. Lihat aja deh cara berpakaiannya. Gak modis banget"
"Hahahaha...kamu gak boleh gitu. Oh, ya besok kita jadikan jalan-jalannya"
"Iya, jadi donk. Aku cuma pengen kita berdua aja perginya, ya"
"Iya"
Aku tak percaya. Aku sedang dilempar keatas langit lalu dihempaskan ke bumi. Berasa tulang kakiku tidak mampu bergerak.
Tidak ada alasan aku harus tetap tinggal bersama mereka berdua disini. Tanpa pamit aku pergi ke luar rooftop. Menangis, sebenarnya ingin menangis. Tapi, aku harus menahan itu semua. Aku tidak ingin semua orang tahu bahwa aku sedang tercampakkan. Aku tak ingin orang tahu bahwa ada orang sejahat Evan. Yang berkata manis didepanku ternyata dibelakangku beraninya dia berkata seperti itu. Apakah yang spesial dariku yang selama ini dia sampaikan. Bahkan aku meyakini bahwa orang spesialnya bukan hanya aku saja.
Sesampai dirumah, aku kekamar dan tidur. Aku memutuskan untuk mematikan handphoneku. Tidak ingin diganggun. Sepertinya aku sedang berada dilangit yang melayang-layang. Tak ada yang dapat menarikku ke bumi. Pejamkan mata dan mulai menangis didalam mimpi.
Aku begitu terlalu berharap banyak dari Evan. Padahal aku sudah meredakan perasaanku ini untuk tidak berharap lebih. Tapi, perhatian dan kata-katanya di telepon begitu meyakinkanku untuk berharap lebih. Aku tertipu.
Mataku sepertinya membengkak karena airmata yang mengalir perlahan. Kulihat jam sudah pukul 8 malam. Kuaktifkan kembali handphoneku. Dan kumelihat tidak ada pesan suara atau pesan singkat dari Evan.
Aku memutuskan untuk tidak menghubunginya terlebih dahulu.

One Year

- love in February -

Tak terasa dari pertemuanku dengan Evan sebulan lalu. Membuat hidupku menjadi berubah sedikit demi sedikit. Ada hal yang tidak bisa aku ungkapkan dengan akal. Semua begitu mengalir saja. Rutinitas Evan yang sering menghubungiku terlebih dahulu. Menanyakan kabarku setiap hari. Bahkan terkadang Evan suka bercerita mengenai pekerjaannya yang menurutnya begitu melelahkan. Aku tahu benar, menjadi pengacara itu tidak mudah. Terkadang Evan juga memberikan motivasi untukku dan beberapa nasehat. Rasanya, kami sudah akrab sekali. Aku tahu sekali hobinya. Evan membuka semuanya kepadaku. Bahkan sampau hal terkecil apapun itu.
Lalu, tibalah disebuah malam yang berangin. Aku sedang mendengarkan lagu-lagu favoritku sambil mengerjakan tugas kantorku yang masih menunpuk dimeja kerjaku. Bahkan aku belum kerja pukul 9 malam. Sebuah getaran berasal dari atas meja kerjaku mengusik pekerjaanku. Aku melihat nama yang tertera di layar handphoneku. Evan. Aku langsung menganggkat cepat telponnya.
"Hallo!" Sapaku
"Malam, lagi ngapain kamu, Sei?"
"Aku masih dimeja kerjaku. Dikantor. Tugasku numpuk" keluhku
"Jadi, aku ganggu gak?"
"Eh...gak kok" respek aku langsung menjawabnya tanpa berpikir bahwa kerjaanku masih menunpuk banyak.
"Sudah makan belum. Jangan terlalu diporsir banget kerjanya. Kalau lelah, ya istirahat" perhatian Evan yang seperti ini jarang sekali aku temukan dari teman-teman sekantorku. Aku merasa spesial ketika ngobrol dengan Evan.
"Sudah, kok. Ya, ini juga lagi istirahat"
"Jadi, apa yang bisa aku bantu?"
"Hehehe..bantuin doa aja deh. Semoga tugas ku selesai malam ini"
"Kalau itu selalu aku lakukan kok. Berdoa untukmu" rasanya telingaku sedikit membesar.
"Hehehe...jangan gombal akh!"
"Aku serius kok, Sei"
"Tapi itu berlebihan. Emangnya aku siapa kamu. Kok kamu mau ngedoain aku segala"
"Kamu spesial buatku"
"Spesial?"
"Iya"
Aku terdiam sejenak. Aku spesial. Bukankah kita hanya teman sekolah. Yang baru sebulan yang lu bertemu di lobby hotel langit biru. Mataku memandang jauh menembus dinding kantorku. Aku, baru sekali bertemu denganny. Bahkan itu adalah pertemuan pertama, dan sampai sekarang juga belum bertemu lagi. Karena jarak tempat Evan bekerja berjauhan dengan tempat kerjaku. Aku terbengong beberapa saat dalam pikiran yang aneh-aneh.
"Seira!" Panggil Evan dari balik teleponnya
"Ya..." sahutku kaku
"Kok diam aja. Emang kenapa? Sibuk ya?"
"Eh..gak kok..!!! Aku sedang berpikir aja"
Apa aku harus mengatakan apa yang ingin aku katakan. Tapi, aku ragu. Aku takut suasananya menjadi berubah. Jadi, aku biarkan saja permainan yang Evan buat itu dimulai. Aku adalah orang spesial baginya.
"Berpikir apa?"
"Berpikir apa ya....hehehehe"
"Hehehe...yauda deh. Kamu sibukkan. Ntar kalo uda pulang kerja kasi tau aku ya?"
"Hehehehe..iya"
"Malam!"
"Malam juga"
Aku menghempaskan tubuhku disandaran. Mencoba melegakan pikiranku. Berhenti memikirkan kata-kata spesial yang keluar dari mulut Evan. Sebenarnya itu membuatku shock seketika. Mati rasa, tapi aku tidak mau salah paham dengan kata-kata spesial itu. Sepertinya aku harus mengikuti permaianan spesial dari Evan.
"Cie..cie..Seira. Sedang jatuh cinta" bisik Yana yang sedari tadi menguping pembicaraan Aku dan Evan
"Jatuh cinta?" Aku terheran dengab kata itu. Kapan terakhir aku jatuh cinta. Kurasa ketika aku sekolah dulu.
"Iya...kamu lagi kasmarankan.  Dari tadi kok nelponya pake senyum-senyum melulu. Siapa cowo itu?"
"Eh...dia teman sekolah aku"
"Pas deh kalo gitu. Ceritanya teman sekolah yang membuat jantung berdebar-debar" Yana mulai meledekku.
"Eh...ga kok. Aku biasa-biasa aja"
"Seira...kamu itu mudah ditebak. Bahkan orang juga bakalan tay kalau kamu itu sedang jatuh cinta"
"Eh...ga kok"
Aku juga sedang bingung. Apakah aku memang benar-benar jatuh cinta atau sedang apa ini.
Tapi, ketika Yana menjelaskan ciri-ciri orang yang sedang kasmaran. Aku lebih banyak mengangguk setuju daripada menggelengkan kepalaku. Yana, juga membicarakan apakah Evan juga sedang kasmaran. Ternyata, apa yang dikatakan Yana ada benarnya. Kepalaku dipenuhi hal-hal aneh.
Tapi, aku rasa Yana berkata benar. Aku sedang kasmaran kepada teman sekolahku dulu. Yang baru berjumpa sebulan yang lalu. Akibat seringnya kami berkomunikasi. Bahkan sehari bisa 3 kali menelpon bahkan untuk pesan singkat setiap jam selalu ada saja dari Evan. Dan aku merasa senang sekali. Bahkan terkadang aku merasa kehilangan ketika Evan tidak mengirimkan pesan singkat padaku di waktu yang sama.
Apakah ini cinta???
Aku juga tidak tahu...
Apakah aku sedang kasmaran??
Aku juga tidak tahu...

One year

- i saw you on January -

Ini pertama kalinya aku mengikuti pelatihan di lingkungan kerjaku. Aku yang kaku terhadap orang-orang sekitar sengaja di ajukan oleh pimpinan perusahaan mengikuti pelatihan ini. Menurutku ini pelatihan yang sangat membosankan. Karena seperti biasa aku adalah orang yang tersingkir jika dalam kelompok seperti ini. Dan biasanya aku hanya sebagai orang yang gagu dalam menjelaskan ide-ide yang ada didalam kepalaku.
Aku segera membenahi semua keperluan pelatihan. Terutama bahan yang akan di jadikan materi selama pelatihan. Memerikasa kembali barang bawaan. Lalu, membuka kembali koper yang berisi pakaian. Dan memeriksanya, mana tahu ada yang ketinggalan. Ternyata semua sudah lengkap. Perlengkapan mandi juga sudah tersusun rapi didalam koper.
Menghela nafas sejenak. Dan melihat jam sudah pukul 8 pagi. Menurut surat tugas yang diberikan padaku. Bahwa para peserta pelatihan harus melapor ke panitia terlebih dahulu. Setelah itu check in ke hotel yang sudah tertera didalam surat tugas itu. Disitu tertulis jam 12 paling lama sudah melapor kepanitia.
Koper yang penuh dengan perlengkapanku sehari-hari ku geret keluar rumahku. Sembari menunggu taxi, aku mengirimkan pesan singkat ke salah satu rekan kerjaku yang menurutku bisa di percaya.
"Yan...kantor aman, kan?"
"Aman kok, Sei" balas Yana
"Syukur deh"
Sebuah taxi berwarna biru yang berlambangkan burung itu menghampiriku. Sebuah taxi yang aku pesan dari jam 7 pagi tadi. Si supir segera turun dan membawa koperku dan meletakkannya di bagasi yang berada di belakag mobil. Si supir tersenyum ramah kepadaku. Sambil bertanya.
"Mau kemana, mbak?"
"Ke hotel langit biru,pak"
Dan si supirpun melaju dengan kecepatan sedang.
Hari ini, jalanan tidak begitu macet. Tidak seperti biasanya. Lagitpun tidak terlalu cerah. Seperti aku yang sedang merasa bimbang memikirkan. Bagaimana aku dipelatihan nanti. Apakah aku akan mendapatkan teman, atau aku akan langsung dikeluarkan dari kelompok pelatihan. Begitu banyak pikiran yang hilir mudik didalam kepalaku sehingga membuat aku merasa mual.
"Sudah sampai , mbak" supir taxi itu membuyarkan lamunanku
"Oh...iya, Pak" aku mengeluarkan uang seratus ribu dan membayarkannya ke si supir taxi itu.
"Makasi ya , mbak"
"Iya, pak"
Ternyata sudah ramai di lobbi para peserta pelatihan. Mereka memadati meja resepsionis. Pandanganku keliling lobbi, mencari tempat duduk. Ada bangku kosong yang berada di sebelah kiri meja respsionis. Sembari menunggu giliran, aku melapor ke meja panitia yang bersebelahan dengan bangku kosong itu. Memberikan surat tugas yang aku bawa. Lalu aku diberikan secarik kertas yang akan diberikan ke resepsionis.
Ramai sekali. Dan tak ada satupun yang aku kenal. Mataku tak hentinya melihat sekeliling ruangan lobby itu.
"Seira?" Sebuah suara datang dari depanku. Pandanganku mengarah suara itu. Mataku menyipit, mencoba mengingat siapa yang memanggil namaku itu.
"Eh..." aku tersenyum menampakkan gigiku
"Aku Evan. Teman sekolah kamu dulu. Tapi, kita tidak sekelas"
"Evan?" Aku mencoba mengingat sebuah nama, dan itu adalah Evan.
"Lupa, ya"
"Iya. Hehehehe"
"Aku Evan, yang pernah di sukai sam teman sekelasmu si Rena"
"Oooohhh....." aku baru mengingat Evan yang dimaksud.
"Inget?"
"Eh...iya..iya. kok kamu beda banget ya. Sepertinya waktu sekolah dulu kamu kurus banget deh"
"Hehehe...pertumbuhan dan pertambahan usia juga ini"
Hatiku, sedikit lega. Setelah bertemu dengan Evan. Setidaknya ada teman mengobrol sambil menunggu check in kamar. Kami banyak mengobrol. Aku juga heran, mengapa aku bisa mengobrol banyak dengan Evan. Biasanya aku paling tidak bisa mengobrol lama dengan orang lain, apalagi dengan laki-laki. Sepertinya kisah sekolah dulu terulang lagi. Aku sering tertawa ketika Evan mulai meceritakan mengenai guru-guru. Terkadang Evan juga tertawa lepas mendengarkan keluhanku mengenai guru-guru yang suka memberikan PR banyak.
"Hehehe...senang deh ketemu teman sekolah dulu" kataku mengakhiri tawaan kami yang mulai mengundang pandangan aneh dari orang-orang sekitar.
"Iya...rasanya bernostalgia kembali. Oh..iya. Ngomong-ngomong aku boleh minta nomor handphone kamu?" Evan mengeluarkan handphonenya dari saku baju.
"Eh...boleh" aku menyebutkan angka-angka yang dimaksud. Dan Evan mulai menyentuh layar handphonenya. Dengan cepat jempol-jempolnya menari di atas layar sentuh itu.
"Kapan-kapan bolehkan aku menelponmu?"
"Eh...boleh kok"
Evan beranjak bangkunya. Kedatangan Evan ke hotel ini adalah untuk menghadiri pesta temannya yang berada dilantai 5 hotel. Dan dia melihatku yang sedang duduk sendiri, makanya dia menghampiriku. Dan akupun ke meja resepsionis mengambil kunci kamarku. Setidaknya pelatihan kali ini, aku mendapatkan kisah yang seru. Bertemu dengan Evan, teman sekolahku.
"Hai..." sebuah pesan singkat menggetarkan handphoneku. Ternyata dari nomor baru yang tidak bernama.
"Hehehe...hai juga Evan"
"Kok tau aku, Evan"
"Feeling aja!"
"Ok...simpan ya nomorku"
"Iya"
Aku langsung menyimpan nomor Evan. Sambil tersenyum-senyum aneh sepanjang lorong hotel menuju kamarku.
Sebuah tempat tidur yang sepertinya empuk itu sudah memanggil-manggilku untuk aku tiduri. Rasanya, kok beban sedikit berkurang. Aneh sekali, seperti ada yang menyihir semuanya. Bahkan tadi aku kelihatan resah dengan pelatihan ini. Tiba-tiba saja semua terasa lebih ringan.
Hei...apa yang terjadi padaku.