Jumat, 08 Februari 2019

Cinta Bagaikan Angin - ch 9 -

                   Cinta bagaikan Angin
                             Chapter 9
                           Meraih Angin
                       By : gherimis kecil
=================================
Suara riuh para penonton yang meneriakkan nama tim baseball favoritnya mengambang ke udara. Tepukan meriah bersamaan dengan kedatangan tim favorit yang sambil melambaikan tangannya membuat suasan semakin meriah. Lampu sorot yang menerangi seluruh lapangan, membuat bayangan hitam yang akan membawa meraka ke sebuah pencapaian tertinggi.
"Mommi, ayo buruan. Pertandingannya sebentar lagi dimulai" teriak Molly menarik tangan Asha yang masih terlihat berantakan setelah sibuk mengurus kafe dan galerinya.
Ibas yang baru saja turun dari mobilnya menghampiri Asha dan Molly. Mereka tidak bisa pergi bersama-sama malam ini. Ibas harus lembur di kantor untuk membuat artikel mengenai kejuaraan baseball yang bergengsi nasional ini.
"Sabar, Molly. Mommi lagi mau pakai lipstik" jawab Asha yang mencari lipstiknya didalam tas yang isinya sungguh berantakan.
"Gak perlu pake lipstik, memangnya kamu mau terlihat cantik di depan siapa?" Tanya Ibas yang langsung mengikuti langkah Asha dan Molly.
"Papi...." Peluk Molly menghambur ke Ibas.
"Hai, Molly"
"Senang lihat Papi bisa datang"
Di depan pintu masuk, Cerryl dan Arga sudah menunggu ibu Manejernya. Mereka melambaikan tangan ke arah Asha yang masih sibuk membenarkan penampilannya.
Mereka masuk bersamaan ditengah suara penonton yang menggema. Bangku-bangku penonton sudah hampir penuh. Mereka mencari tempat duduk sesuai nomor yang tertera ditiket mereka.
"Sengaja ya pilih kursi yang didepan?" Tanya Asha pada Ibas yang sedang merapikan peralatan kerjanya.
"Biar kamu bisa motret dengan bagus dari sini" jawab Ibas yang selesai merapikan peralatannya.
"Kok jadi baik begini setelah pisah"
"Kamu aja yang baru sadar kalau aku memang baik, Sha. Semua orang juga bilang kalau kamu itu aneh. Suami baik begini minta pisah"
"Kamu itu baru kelihatan baik setelah kita pisah. Waktu kita bersama kamu itu cuek banget"
Pertengkeran seperti ini sering terjadi disaat mereka masih bersama dulu. Mereka berduapun saling memasang wajah tidak senang.
Suara peluit tanda dimulai pertandingan hari itupun terdengar ke seluruh stadion. Kemeriahan pertandingan berskala nasional itu menentukan jejak baru bagi sebuah tim baseball yang akan menjadi tim terkuat seluruh negeri. Hingga akan melanjutkan keseruan pertandingan sampai ke internasional. Impian Kai adalah menjadi pemain baseball terbaik dinegeri ini. Bermain bersama tim yang dicintainya membuat Kai semakin yakin bahwa dia tidak sendirian untuk menjadi yang terbaik. Ada anggota tim, ada Ayah dan ada teman-teman yang selalu mendukungnya. Kai melambaikan tangan kearah penonton. Hampir seluruh pendukungnya berteriak memanggil nama Kai. Degupan jantung Kai semakin kencang, perasaan yang dia tidak tahu meletakkannya dimana selain disebuah pengharapan besar untuk mewujudkan impiannya.
Bola melambunhg tinggi, hingga homerun. Pukulan Hara sebagai pukulan pembuka yang memukau. Kembali sorakan meriah terdengar dari kursi penonton. Hara berlari menuju titik awal, menerjang angin dan debu ditengah nafas yang dia coba kendalikan. Mata Kai tertuju pada sipelempar bola. Menajamkan mata demi menyeimbangkan kecepatan bola yang dia tidak tahu kapan akan muncul dihadapannya. Dan, pukulan itu nyaris tak terkena. Walaupun tidak begitu jauh. Kai mampu berlari ketumpuan kedua. Menunggu temannya bermain Kai memandang kursi penonton. Terlihat wajah yang tidak asing lagi baginya. Asha dengan seluruh kesederhanaannya bersama keluarga dan anak buahnya di Kafe Family membuat Kai semakin bersemangat.
"Lambaikan tanganmu, Kai sedang melihat kesini" kata Ibas sedikit menggoda. Asha menyikut lengan Ibas. Dan membuat Ibas tertawa. Dan seperti biasa sedetik kemudian merekapun berbaikan kembali.
Ditengah keseruan pertandingan Asha merasa iri terhadap Kai yang rela membenamkan keegoisannya untuk berhenti dan memilih bangkit kembali. Asha juga merasa tersindir, mengapa ada pemuda yang begitu mengharapkan diri bisa meraih impiannya.
Ponsel Asha bergetar. Dia melihat layar ponsel, dan membaca pesan singkat dari Senja.
"Besok datang ke galery, aku sudah mempersiapkan tempat untuk hasil kerjamu. Dan aku memintamu untuk mendapatkan hasil yang super wow untuk kuletaklan di frame terbesar. Semangat"
Kamera yang merupakan hadiah dari Kai itu dipegang Asha erat-erat. Impian dia membuka galeri adalah hal yang sudah lama diinginkannya. Dan pertandingan itu membawa Asha dalam sebuah perasaan yang sama dengan Kai. Perasaan yang tidak bisa diungkapkan.
Cekreeeeek.....
Foto itu berhasil tersimpan dalam bingkai terbesar di galeri itu. Semua tamu-tamu berhamburan datang memberikan selamat kepada Asha yang berhasil memajang karya miliknya di galeri milik Senja. Aneka makananan terhindang di meja, semua mata memandang kagum pada hasil jepretan Asha.
"Selamat, bu Manejer" ucap Kai yang tiba-tiba berada disampingnya sambil memandang foto yang diberi judul The Winner.
"Eh, terima kasih" jawab Asha dengan wajah bersemu merah.
"Aku terlihat ganteng disitu" kata Kai sambil menunjuk foto yang ada dihadapannya.
"Dan aku terlihat cantik disitu"
Mereka berdua tertawa.
Sebuah foto Kai dan Asha yang dipadukan dengan ekspresi wajah yang begitu bahagia sebagai seorang pemenang.
"Bulan depan aku akan berlatih bersama tim nasional Korea"
"Wah..sungguh. Aku senang mendengarnya"
"Mau temanin aku selama latihan disana?"
Deg...deg...deg....
Asha terdiam, dan lebih memilih diam. Suara degupan jantung itu semakin liar.
"Ajak Molly, dia fans beratnya Kim Jung Si"
"Hehehehhehe....ok" jawab Asha meredakan degupan jantungnya.
Impian itu tidak boleh dirusak oleh perasaan egois dan emosi yang sebenarnya bisa mengontrol situasi didalam diri. Biarkan impian itu terletak ditempat semestinya, tidak perlu memaksanya keluar. Karena waktunya akan tiba dengan sendirinya. Sampai impian itu menyapa kita dengan "hello!".

Tamat

Cinta Bagaikan Angin - ch 8 -

                   Cinta Bagaikan Angin
                               Chapter 8
    Pengharapan datang bersama angin
                      By : gherimis kecil
================================
Minggu pertama ini membuat Kai harus berusaha penuh untuk terapi, lalu minggu berikutnya Kai berusaha kuat untuk ikut latihan di lapangan. Hara sangat senang sekali ketika Kai memakai baju latihan mereka.
"Kantong plastiknya masih Papa simpan di gudang. Ambillah" kata Papa Kai pagi tadi.
Langit mendukung semangat Kai pagi itu, dengan senyuman Poppy dan kabar baik. Bahwa Poppy dan Hara sedang menjalin sebuah hubungan spesial. Kai merasa senang mendengarnya.
"Jadi, mulai besok aku tidak boleh lagi pergi ataupun pulang sekolah denganmu bahkan belajar bersamamu"
"Kaaaiiii.....jangan membuatku kesal. Kau tetap berada ditempat istimewa dalam hidupku"
"Tapi tidak seistimewa Hara, kan!" Goda Kai sambil tersenyum bahagia.
Sudah lama sekali bagi Poppy untuk melihat Kai tersenyum seperti itu bersamanya. Mungkin karena harapan Poppy yang terlalu tinggi terhadap Kai, sehingga menutupi semua kekurangan Kai.
Bus melaju menuju halte bus berikutnya, seperti biasa Hara datang dengan sebuah lambaian tangan yang bersamangat. Hari ini posisi tempat duduk itu berubah. Hara berada diantara Poppy dan Kai. Mereka bercerita mengenai impian dan pengharapan di akhir tahun mereka sekolah. Membicarakan ujian dan remedial yang harus segera mereka kerjakan. Merencanakan latihan dan belajar bersama seusai sekolah. Serta membuat jadwal mingguan untuk berkunjung ke Kafe Family diakhir pekan.
"Aku iri pada mereka" kata Asha kepada Arga dan Cerryl.
"Kenapa bu?" Tanya Cerryl memandang ketiga sahabat itu sambil belajar dan bercanda.
"Mereka begitu bersemangat sekali. Akh....aku rindu masa sekolah dulu" Asha membayangkan masa indah dia selama menjadi siswa.
"Bu...mereka memanggil ibu" kata Arga menunjukkan lambaian tangan Poppy dan Kai.
Asha mendekati ke meja ketiga sahabat itu.
"Bu Manejer terima kasih" Poppy dan Hara berdiri sambil membungkukkan badannya.
"Loh...ada apa ini?"
"Aku lupa memberikan ini " kata Kai mengeluarkan goodie bag berwarna merah dan menyerahkannya kepada Asha.
"Terima Kasih semuanya" kata Asha terharu. "Boleh aku buka?" Sambungnya dengan rasa penasaran.
Mereka serempak menggangguk.
Sebuah bungkusan berwarna merah dengan pita yang merayu Asha untuk ingin segera membukanya. Asha terharu melihat isi dari bungkusan merah itu, sebuah lensa kamera yang selama ini Asha inginkan dan belum kesampaian karena tidak mudah mendapatkan lensa kamera yang sangat terbatas dijual.
"Darimana kalian mendapatkan lensa ini?" Tanya Asha dengan mata yang berkaca-kaca karena terharu. Cerryl dan Arga berlari mendekati Asha.
"Wow" kata Cerryl dan Arga serempak.
"Ra...Ha...Si..a" jawab Kai.
"Hahahaha....hahahahaha...." mereka serempak tertawa.
Hari berganti hari, latihan demi latihan. Terapi demi terapi. Akhirnya dokter memberikan sebuah jawaban bahwa Kai bisa ikut pertandingan musim ini bersama timnya. Kai kembali ke lapangan disambut meriah oleh anggota timnya. Mereka saling berpelukan karena rindu seorang Kapten yang luar biasa memiliki semangat yang tinggi. Memberikan aura positif disekelilingnya.
"Selamat datang Kapten!" Kata seluruh anggota tim.
Hara menyerahkan kain berwarna kuning yang bertanda bahwa Kai adalah kaptennya untuk musim ini.
Airmata haru membuncah ke langit-langit ruang ganti di sekolah. Tidak banyak lagi waktu sampai akhirnya mereka harus bergerak cepat untuk terus latihan.
"Hari ini kita akan kedatangan seorang jurnalis dari majalah olahraga. Dia akan mewawancarai kita selama 2 jam. Meliput latihan kita serta menerbitkan tim baseball kita di majalah Sport Today" jelas Anung, selaku pelatih mereka.
"Sport Today??? Majalah olahraga nasional?"
"Iya benar sekali" Jawab Anung.
"Yeeeeeaaaaah.......hahahahhaha" mereka semua tertawa bahagia.
Tim mempersiapkan diri untuk ke lapangan. Memakai seragam lengkap. Disana sudah ada jurnalis majalah olah raga bersama kru lainnya. Ibas menyunggingkan senyumannya ketika melihat sosok yang membuat Molly dan Asha begitu mengagguminya. Ibas mendekati Pelatih dan bersalaman.
"Saya ingin mewawancarai kaptennya terlebih dahulu" kata Ibas memandang ke arah Kai.
Kai mengangguk setuju. Dan anggota tim lainnya diminta untuk melakukan sesi foto terlebih dahulu.
"Perkenalkan saya Ibas"
"Saya Kai"
Wawancara itupun dimulai. Angin bertiup lembut membawa harum semangat Kai disiang itu. Namun pandangan Kai tertuju pada kamera yang tergantung di leher Ibas.
"Boleh aku bertanya?" Tanya Kai.
"Ya"
"Hm...sepertinya aku mengenal kamera itu" tunjuk Kai melihat kamera dengan lensa yang dia yakin itu miliknya Bu Manejernya.
"Hahahaha....ini milik mantan istriku yang juga Ibu Manejermu yang kau ajak kencan beberapa waktu yang lalu" jawab Ibas sambil tertawa.
"Eh...." Kai terkejut, ternyata dia sedang berhadapan dengan mantan suami Asha.
"Ok...pertanyaan terkahir untukmu, Kai. Apa yang membuatmu kembali ke lapangan?"
"Yang membuatku kembali adalah sebuah pengharapan dari orang-orang yang aku sayangi. Membuat mereka melihatku bahagia menggapai mimpiku, serta mewujudkan impian-impian mereka sekaligus" jawab Kai.
"Baiklah...terima kasih untuk wawancarannya hari ini, Kapten Kai. Titip salam Molly untukmu. Dan Asha memintaku untuk memotretmu ketika latihan, katanya demi galerinya"
"Terima kasih" mereka saling berjabat tangan. Ada semangat yang luarbiasa muncul tiba-tiba ketika Ibas menyebutkan impian Asha.
Kai kembali ke lapangan bersama tim untuk di foto bersama. Setelah itu mereka mulai latihan, dan membiarkan mata lensa yang menangkap angin-angin yang melaju dengan kecepatan tinggi. Melambungkan bola ke angkasa, melampui batas keinginan. Ada harapan dan impian disana. Dan bola itu kembali dalam sebuah genggaman keoptimisan meraih impian.
"Mommi...." kata Molly di sebuah telepon umum di sekolahnya.
"Ya, Molly" jawab Asha.
"Aku ingin Mommi dan Papi kembali bersama" jawab Molly mengisakkan tangis yang tertahan.
"Molly, Mommi dan Papi tidak bisa bersama lagi. Tapi, kami selalu ada untuk Molly" jawab Asha dengan nafas yang tercekat di lehernya. Rasa perih menusuk hatinya. Mendengar isakan anak yang disayanginya.
"Mommi, aku mohon" kata Molly dengan airmata yang berderai.
"Molly..."
Dan mereka berdua menangis bersama diantara jaringan yang terhubung oleh ikatan perasaan yang orang lain tidak akan tahu namun mereka bisa rasakan.
Asha menutup ponselnya, kembali berbaring di kasurnya sambil menatap langit kamarnya. Malam itu, Asha mencoba mencari tempat dikesendiriannya. Dia keluar apartemennya, dan menuju taman tempat dimana dia bersembunyi bersama luka serta keperihan hatinya.
Sekaleng soda dan 2 bungkus roti menemaninya malam itu dibawah taburan bintang dilangit gelap.
"Mengapa sendirian , bu Manejer" tiba-tiba Kai mendekati bangku panjang di sisi kiri taman itu.
"Kau kesini juga?"
"Iya, ingin mencari angin. Bu Manejer mengapa kesini?"
"Sama. Aku juga mencari angin"
Mereka berdua serempak tertawa bersama.
"Bu Manejer!"
"Ya"
"Aku menyukaimu"
"Terima kasih" jawab Asha yang terdengar biasa saja. Dan Kai tidak terima dengan ekspresi datar Asha yang menganggap perasaan Kai itu hanya bercanda.
"Aku menyukaimu sebagai seorang pria" jawab Kai.
Asha memandang wajah Kai.
"Hai, Kai. Disini pertama kali kita bertemu. Melihatmu menitiskan airmata aku tahu kau sedang dilanda kesedihan yang mendalam. Disitu aku merasa harus menghiburmu dengan sebuah rasa perduli. Karena memang sepertinya saat itu yang kau butuhkan kasih sayang dari rasa keperdulian orang lain" Asha berhenti sejenak sambil meminum minuman sodanya.
"Dan aku sudah menganggapmu seperti anakku sendiri. Kau tahu, kau itu hebat. Memiliki semangat yang luar biasa, memiliki tujuan hidup yang terencana. Sedangkan Aku, seorang wanita berumur 40 tahun yang baru bisa menggapai impiannya dipenghujung tahun ini. Terkadang aku iri, mengapa kau begitu mudah untuk melangkah hanya dengan pengharapan-pengharapan orang lain, dan aku masih suka bercanda menanggapai hal seserius itu"
Asha memandang langit hitam yang berbintang.
"Jadi, aku yakin bahwa kau menyukaiku karena sosok seorang ibu yang hilang darimu, Kai"
Kai memandang takjub ke arah Asha.
"Boleh aku memelukmu, Bu Manejer"
"Boleh, pelukan sebagai seorang ibu" jawab Asha menghapus airmata harunya.
Mereka terdiam bersama sambil memandang langit hitam berbintang.
"Tadi siang aku bertemu dengan mantan suamimu"
"Oh ya. Terus apakah kalian saling berkelahi memperebutkanku" canda Asha.
"Hahahaha....jangan narsis"
Mereka berdua ketawa bersama.
Terkadang pengharapan datang bersama angin yang katanya numpang lewat.

Bersambung chapter 9.....

Cinta Bagaikan Angin - ch 6 -

                     Cinta Bagaikan Angin
                              Chapter 6
        Kejutan itu datang bersama angin
                      By : gherimis kecil
================================
Langit biru bercahaya pagi ini, kicauan burung bersahut-sahutan. Seraya semesta sedang menyambut sebuah usia kedewasaan. Disana, diperjalanan menuju sekolah. Poppy mengikuti langkah kaki Kai yang jenjang.
"Kai...." panggil Poppy dari belakang.
"Ya" Kai menoleh kebelakang.
"Selamat ulang tahun" Poppy menyerahkan kado berwarna biru langit kepada Kai sambil tersenyum kearah Kai.
"Terima kasih" balas Kai melontarkan senyuman terima kasihnya.
Poppy tetap menjadi orang pertama mengucapkan selamat ulang tahun kepada Kai setiap tahunnya.
"Boleh aku buka?" Tanya Kai membolak balik dan menggoyang-goyangkan kadonya itu.
"Tidak boleh. Kau boleh membuka kadonya setelah pulang sekolah"
"Baiklah. Aku akan mentraktirmu makan di kafe Family tempat aku bekerja paruh waktu"
"Benarkah!!" Betapa bahagianya Poppy mendengar ajakan Kai itu.
"Iya, ajak juga Hara ikut bersama kita" pinta Kai.
Seketika itu juga raut wajah Poppy berubah. Kai tidak mengetahui bahwa hubungannya dengan Hara tidak sedang berjalan baik. Sudah hampir seminggu Hara dan Poppy tidak saling berkomunikasi. Semua itu disembunyikan agar Kai tidak khawatir dengan mereka berdua. Baik Hara dan Poppy sama-sama memilih untuk diam dan tidak menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu.
"Ok" jawab Poppy langsung berlari ke kelas.
Cerryl dan Arga tiba lebih awal dari jam kerja mereka. Janji hari ini adalah membuat kue untuk ulang tahun Kai. Cerryl dan Arga menunggu Asha di dapur, mereka sudah menyiapkan peralatannya dan tinggal menunggu bahan-bahan yang dibeli oleh menejer mereka. Asha tergesa-gesa berlari masuk ke dalam kafe dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Mengapa ibu manejer berlari?"
"Aku takut terlambat. Maaf ya, aku harus menjemput kado ini terlebih dahulu" Asha menunjukkan sebungkus kado berwarna biru langit yang dia keluarkan dari dalam tasnya.
"Waah...ibu sudah membeli kado ya"
"Hu um...." jawab Asha sambil memberikan seluruh bahan-bahan membuat kue.
"Isinya apa bu?" Tanya Cerryl penasaran.
"Ra...ha...si...a. hahahahhaha" jawab Asha menuju dapur.
Mereka mempersiapkan dengan hati yang gembira. Kafe hari ini dibuka lebih lambat daripada hari biasanya. Pelanggan juga belum ada terlihat berdatang karena memang mereka memasang tulisan close didepan pintu kafe.
Kai terkejut bahwa kafe Family hari ini tidak buka. Keheranan Kai juga terlihat ketika Poppy hanya datang sendirian tanpa Hara.
"Dimana Hara?" Tanya Kai pada Poppy.
"Aku tidak tahu" jawab Poppy resah atas kebohongan pertamanya ini.
"Ternyata kafenya tutup"
"Apakah mereka tidak memberitahumu bahwa hari ini tutup?"
"Seharusnya mereka memberitahuku"
"Tapi, mengapa pintu samping terbuka" kata Poppy mencoba mencari tahu sambil menunjuk pintu samping yang terbuka sedikit.
Kai masuk dari pintu samping dan mengajak Poppy juga mengikutinya. Suasana ruang kantor Asha begitu sepi. Lalu Kai menuju dapur, tak terlihat siapapun disitu. Tiba-tiba saja lampu mati. Kai dan Poppy terkejut.
"Selamat ulang tahun, Kai" teriak Arga dan Cerryl bersamaan. Tak lama kemudian lampu kembali menyala.
Sebuah kue berbentuk baseball mengundang tanda tanya besar didalam benak Kai.
"Ayo Kai potong kuenya" seru Arga semangat.
Namun Kai tidak menghiraukan permintaan Arga. Matanya sibuk mencari seseorang yang ingin dilihatnya hari ini.
"Selamat ulang tahun, Kai" terdengar suara Asha dari balik pintu dapur.
Kai tersenyum lebar melihat Asha datang bersama sebuah kado berbungkus biru langit. Poppy yang melihat itu merasa cemburu. Bagaimana ada orang lain yang tahu warna kesukaan Kai selain dirinya.
"Terima Kasih, manejer"
"Boleh aku buka?" Tanya Kai.
"Sebelum kau membukanya, lebih baik kau potong dahulu kuenya. Arga sudah kelaparan karena ingin mencicipi kue ini"
Kai pun menuruti permintaan Asha. Sambil memotong kue Poppy melihat raut wajah Kai begitu berubah drastis. Kai yang dingin begitu bersemangat menyunggingkan senyumannya berkali-kali. Poppy merasa ada persaan yang disembunyikan oleh Kai selama ini. Mereka memakan kue berbentuk bola baseball itu. Poppy tahu perasaan Kai ketika melihat yang berkaitan dengan baseball. Poppy yakin bahwa baseball akan membuat Kai terluka. Maka kado yang diberikannya bukanlah hal yang berkaitan dengan baseball. Tapi, sore ini Kai begitu menikmati kue baseballnya.
Asha pamit ke toilet membersihkan wajahnya yang berlumur cream putih. Keisengan Kai itu semakin membuat Poppy iri. Seberapa dekatkah hubungan Kai dengan wanita yang baru dikenalnya itu.
Poppy mengikuti Asha ke toilet. Sesampai di toilet, Poppy langsung bertanya kepada Asha.
"Boleh aku tahu, hubungan anda dengan Kai?"
"Eh, jangan buat kaget seperti itu. Seharusnya kau mengetuk pintunya dulu"
"Maaf"
"Hubunganku dengan Kai adalah sebagau seorang manejer dan karyawan"
"Tapi aku tidak pernah melihat Kai tersenyum dengan nyaman seperti hari ini"
"Kau sahabatnya Kai?"
"Iya"
"Apakah kau tahu Kai sangat menginginkan baseball?"
"Iya aku tahu. Tapi, semua itu menjadi benci karena cidera tangannya"
"Dia tidak pernah membenci baseball. Yang dia takutkan ketika orang-orang membencinya karena baseball. Kau belum memperkenalkan dirimu. Aku Asha, usiaku sudah 40 tahun. Dan kalian lebih pantas menjadi anakku"
Poppy terdiam, penjelasan Asha ada benarnya.
"Poppy, 17 tahun"
"Oh iya Poppy, apakah kau tau boyband yang lagi booming dikalangan remaja?"
"Eh...itu"
"Dua bulan lagi anakku ulang tahun, aku ingin mengajaknya menonton konser boyband yang lagi disukainya. Tapi, sayangnya dia tidak terbuka denganku. Aku ingin membuat kejutan"
Poppy tersenyum. Lalu dia membisikkan nama boyband yang lagi populer dikalangan remaja itu.
"Terima Kasih"
"Tante!" Panggil Poppy.
Asha melongos ketika mendengar kata tante keluar dari mulut Asha.
"Panggil aku ibu menejer saja. Kami juga lagi butuh seorang karyawan. Apakah kau bersedia mengajukan lamaran?"
"Benarkah!!!"
"Iya"
"Terima Kasih bu manejer"
"Terdengar menyenangkan dipanggil seperti itu daripada yang tadi"
Mereka berdua saling tertawa.
Suasana dapur menghening. Kai mematung ketika melihat isi kado yang diberikan oleh Asha. Sebuah bola baseball bertanda tangan pemain favorit Kai dan secarik kertas bertulis tangan. Kai membaca isi surat itu, dia menangis. Melihat Kai menangis Cerryl dan Arga juga ikutan menangis.
Asha dan Poppy melihat kejadian itu ikutan mematung.
"Bu manejer" isak Kai menghapus air yang keluar dari hidungnya.
"Ya" jawab Asha mendekati Kai.
"Terima Kasih" Kai menghamburkan pelukannya kepada Asha. Sehingga membuat Asha terkejut. Bahkan Cerryl , Arga dan Poppy juga terkejut.
"Sudah...sudah...jangan menangis", bujuk Asha sambil menepuk punggung Kai dengan pelan.
"Bagaimana ibu bisa mendapatkan ini?" Tanya Kai menunjukkan bola dan secarik kertas.
"Hm...itu....ra...ha...si..a. hahahahaha"
"Ibu manejer memang hebat, Kai. Tahun lalu dia memberikan aku kado sebuah CD album limited edition milik penyanyi favoritku"
"Betul-betul.....aku juga diberikannya benang wol yang warnanya itu harus dipesan dengan harga yang fuantastis. Tapi, ibu menejer mendapatkannya secara gratis"
Arga dan Cerryl memeluk Asha dengan kehangatan cinta mereka.
Mereka menghabiskan malam itu bersama kebahagiaan sebuah mimpi yang hampir punah. Kejutan itu memang menyapa seperti angin menyapa hari dengan lembut dan melindungi raga daei teriknya sinar mentari.
Setibanya di rumah Kai melihat Papanya sedang memasak sesuatu. Aroma yang dikenal Kai langsung tercium.
"Bubur pedas" Kai menebak. Diapun berlari menuju dapur.
"Pa..." panggil Kai.
"Makanlah. Selamat ulang tahun"
"Terima Kasih, Pa"
"Ada kado besar untukmu di kamar"
"Oh ya...."
"Tapi, makanlah dulu"
"Ok"
Suasana hati Kai yang selama ini tersembunyi sepi. Kini seperti berwarna kembali. Sebuah carik kerta yang berisi kalimat yang mampu membuatnya kembali bersemangat.
Suap demi suap, bubur pedas buatan Papanya berhasil Kai habiskan. Rasa penasarannya akan kado besar yang diberikan oleh Papanya itu membuatnya ingin segera masuk ke kamarnya. Dibukanya pintu kamarnya dan dinyalakannya lampu. Kai berdiri mematung melihat kado besar itu.
Semua anggota tim baseballnya berkumpul dikamarnya. Hara memimpin didepan. Mereka memakai seragam tim baseball sekolah mereka.
"Selamat Ulang Tahun , Kapten" semua mengucapkan secara bersamaan.
Mata Kai berkaca-kaca melihat seluruh anggota tim baseball berkumpul dikamarnya. Udara semangat semakin menguap ke langit-langit kamarnya. Mereka satu persatu memeluk Kai.
"Kapten mengapa kau menangis?" Tanya salah seorang junior di tim mereka.
"Kapten itu sedang terharu, Jun" jawab salah seorang dari mereka.
Malam bahagia itu dihabiskan dikamar Kai yang cukup sempit untuk ditempati 10 orang bertubuh tinggi.
" Ada yang ingin aku katakan padamu, Kai" kata Hara menarik lengan Kai menuju ke balkon kamar.
"Apa itu?"
"Sebenarnya Aku dan Poppy sedang kacau. Hubungan kami dalam kerumitan"
Kai mengerutkan dahinya. Dia tidak paham dengan kalimat yang Hara lontarkan.
"Ada apa sebenarnya? Dan mengapa kau tadi tidak ikut bersama Poppy?"
"Tadi Poppy menurunkan egonya demi mengajakku. Aku dan Poppy sedang dalam kerumitan. Jadi, kami memutuskan untuk tidak saling menyapa, berkomunikasi ataupun bertatapan langsung"
"Aku tidak mengerti"
"Dengarkan aku. Aku menyukai Poppy, tapi Poppy selalu melihat ke arahmu."
"Maksudmu?"
"Poppy lebih memilih perasaan yang tak terbalas dibandingkan aku yang jelas nyata baginya"
"Kau dan Poppy?"
"Kai, apakah kau pernah menyukai seseorang?"
"Saat ini aku sedang menyukai seseorang"
"Apakah seseorang itu menyukaimu?"
"Dia belum menjawab, tapi dia selalu berkata bahwa kami tidak cocok karena jarak yang begitu tidak memungkinkan"
"Itu berati secara tidak langsung dia menolakmu"
"Jika dia menolakku, mengapa dia memberikan aku kado yang begitu spesial!"
Hara terdiam.
"Begitu juga Poppy, Kai. Aku pernah mengatakan padanya sebaiknya dia memilihku daripada kau. Sejak itulah Poppy menghindar dariku"
Sekarang Kai yang terdiam. Dia lebih mencerna perkataan Hara mengenai hubungannya dengan manejernya itu. Daripada harus memikirkan kerumitan kalimat tentang hubungan Hara dan Poppy. Kai, tahu posisinya sebagai sahabat diantaranya. Dia tidak memihak siapapun, karena dia yakin kedua sahabatnya itu sebenarnya sudah tahu jalan keluarnya.
Ponsel Asha berdering beberapa kali, nama Senja tampil dilayar ponselnya.
"Halo, sahabatku" sapa Asha yang masih di ruang kerjanya.
"Tugasmu cari momen yang paling berkesan. Sehingga hasil jepretanmu layak masuk ke galeriku" ujar Senja di balik ponsel.
"Maksudmu, hasil jepretanku boleh masuk ke galerimu jika aku menemukan momen yang berkesan"
"Iya, bukan hanya sekedar kodok melompati paret ataupun kupu-kupu dimakan laba-laba. Lebih dari itu"
"Benarkah!!!" Seru Asha dengan senang.
"Waktumu 6 bulan, Sha. Aku tidak ingin kau membuat para pengunjungku kecewa"
"Tapi....bagaimana aku bisa mendapatkanya"
"Anak SMA itu"
"Anak SMA? Maksdumu Kai?darimana kau tahu aku....jangan-jangan aku memerikasa isi laptopku yang berisi jepretan Kai?"
"Kau menyukai anak itu, kan!"
"Apa kau bilang, bukannya kau membenci anak SMA itu. Kau bilang tidak ada manfaatnya menghabiskan waktu dengn remaja yang merepotkan. Kita ini bukan babysitter mereka. Kau...kau ini"
"Hehehehe, aku memang tidak setuju kau berhubungan dengannya dalam hal asmara. Tapi, aku setuju memanfaatkan perasaanmu untuk memgambil gambarnya"
"Kau, jahat sekali. Senja"
"Demi impianmu, Sha. Tidak masalah kau memanfaatkan perasaanmu itu"
Kejutan - kejutan itu datangnyaa bersama angin. Berlahan tapi pasti menyejukkan.

Bersambung chapter 7.....

Cinta Bagaikan Angin - ch 7 -

                    Cinta Bagaikan Angin
                               Chapter 7
       Jalinan angin itu bernama impian
                         By : gherimis kecil
=================================
"Papa sudah konsultasi dengan doktermu kemarin. Jika kau ingin ikut pertandingan di musim terkahirmu ini, kau harus rajin terapi ke rumah sakit" Kata Papa Kai yang sedang membaca koran pagi ini.
"Aku tidak ingin bertanding lagi, Pa"
"Apakah kejutan mereka saat kau ulang tahun belum cukup menyakinkamu untuk kembali bertanding?"
Ternyata Poppy yang sedang menunggu dipintu luar tak sengaja mendengar percakapan mereka di ruang santai. Tangan Poppy mengepal, Dia kesal mengapa Kai begitu lemah seperti ini.
"Mereka menaruh harapan besar kepadaku. Tapi aku tidak yakin dengan kondisiku" jawab Kai meraih tas sekolahnya yang terletak di sofa santai.
"Papa berharap kau bisa ikut bermain musim ini" Papapun beranjak dan pergi meninggalkan Kai yang mematung.
Impian Papa adalah ingin melihat Kai menjadi Atlit Baseball seperti adiknya dahulu. Kai juga mengenal Baseball dari pamannya Aru. Adik Papanya itu merupakan atlit baseball nasional, namun karena kecelakaan pesawat ketika pergi bertanding ke luar negeri. Harapan Papanya pun pupus bersama angin berita itu.
Poppy yang sudah lama menunggu diluar terkejut melihat kedatangan Kai yang tiba-tiba.
"Kau menungguku?" Tanya Kai pada Poppy.
"Iya"
Merekapun pergi bersama ke sekolah. Seperti pagi-pagi biasanya. Poppy akan bercerita mengenai tugas dan PR yang belum dia kerjakan. Memburu Kai untuk berlari segera ke halte bus agar datang lebih awal. Tapi, pagi ini Poppy ingin sekali berkata bahwa dia menginginkan Kai kembali ke lapanagan.
"Hara sudah cerita kepadaku" tiba-tiba perkataan Kai itu menyekat keinginan Poppy pagi ini.
"Itu...." Poppy menghentikan langkahnya.
"Mengapa kau tidak mencobanya?"
"Aku belum bisa"
"Hara pria yang baik. Kita sudah saling kenal sejak kecil. Apa salahnya kau mengabulkan permintaannya. Jika tidak cocok untuk menjadi sepasang kekasih, lebih baik menjadi sahabat"
"Tidak semudah itu, Kai"
"Segalanya lebih mudah kalau memang saling menerima"
"Aku tak ingin egois, Kai. Kau kira mudah mencoba menyukai seseorang. Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta kepada siapapun. Karena aku...."
"Busnya datang...ayo naik"
Poppy paham bahwa Kai juga mengerti posisi Poppy. Dia tidak ingin persahabatan mereka hancur karena keegoisan masing-masing. Kai mampu menempatkan dirinya sebagai sahabat, bukan sebagai seseorang yang ingin ikut campur dalam segala hal.
Hara melambaikan tangannya ketika menaiki bus yang sama dengan Kai dan Poppy. Mereka mengambil bangku paling belakang untuk dijadikan tempat terbaik berbagi cerita.
"Kai, bagaimana hari ini kau ikut latihan bersama kami?" Tanya Hara memandang wajah Kai yang melihat luar jendela.
"Kai....oi...Kai" Hara mencoba membuyarkan lamunan Kai.
"Hari ini aku harus bekerja paruh waktu"
Jawab Kai. Dan pandangan Poppy berubah tidak senang.
"Bukankah Papamu menyuruhmu untuk terapi, Kai" Poppy ikut dalam percakapan Hara dan Kai.
Hara melihat ke arah Kai yang masih melihat luar jendela.
"Jika kau sepesimis ini bagaimana aku bisa menyemangati junior kita" Hara membungkukkan bahunya karena sudah merasa lelah harus mengurus sendiri timnya.
"Masalah kemarin lalu, apakah sudah selesai?" Tanya Kai.
"Tak perlu kau bertanya Kai. Kalau hanya sepintas lalu saja" Hara memalingkan pandangannya ke luar jendela disebelahnya. Poppy yang berada diantara mereka juga merasa sedih melihat kedua sahabatnya masih bergumam dalam kedinginan rasa egois yang terlalu tinggi.
Ibas mengunjungi Molly yang sedang istirahat di asramanya. Molly terkejut melihat Ibas bersama seorang wanita yang bukan dia kenal.
"Hai, Molly!" Sapa Ibas bersamaan dengan wanita yang bernama Niken.
"Hai, Pa. Hai....tante!" Jawab Molly memandang lama wajah Niken.
"Dia Niken. Dia akan menjadi Birthday Organisermu nanti. Jadi, kalian mengobrollah dulu"
"Papi, Molly tidak butuh tante Niken. Molly butuh Papi dan Mommi saja. Molly ingin nonton bersama Papi dan Mommi"
Niken memasang wajah aneh, rancangan acara yang luar biasa sudah dia bicarakan dengan Ibas. Niken menggebu-gebu sekali, karena ajang itu akan menjadi momen yang tepat untuk menempatkan dirinya bersanding bersama Ibas.
"Niken, bisa tinggalkan kami berdua" pinta Ibas , dan Niken menurutinya Ibas. Meninggalkan Ayah dan anak itu menikamti waktu rahasia mereka dengan pembicaraan yang tidak boleh diketahui oleh siapapun, termasuk Niken.
Penampipan Asha yang memang urakan selalu membuat orang lain merasa bahwa dia tidak pantas menduduki jabatan sebagai menejer di Kafe Family itu. Senja berulang kali mengingatkan bahwa sebagai seorang manejer itu harus berpenampilan baik dan modis ketika sedang rapat personalia.
"Sudah kukatakan padamu, udah selera busanamu" Senja melirik kesal melihat sahabatnya itu.
"Memangnya ada masalah jika aku berpakaian seperti ini?"
"Salah sekali, Sha. Kau tahu, model berbusanamu ini buat sakit mata yang melihatnya"
"Benarkah, apakah matamu sakit? Aku lihat matamu baik-baik saja"
"Asha....ingat umurmu sudah 40 tahunan. Tidak pantas melakukan hal kekanakan seperti in"
Senja menampis tangan Asha yang hendak memeriksa mata Senja.
"Sebentar, Ibas menelpon" kata Asha yang menjauh dari Senja.
"Hai"
"Hmm...baiklah"
"Ok...ok..."
"Da...."
Asha mengakhiri pembicaraannya dengan Ibas.
Hari sudah sore, Asha harus kembali ke Kafe Family. Menyapa setiap karyawan. Disana sudah ada Poppy berbalutan seragam Kafe Family.
"Poppy, cantik sekali. Aku suka kau memakai seragam ini"
"Terima Kasih, Bu Manejer"
Bersama Senja Asha masuk ke dalam kantor. Senja beberapa kali mencoba melirik ke arah ruang karyawan, Namun dia tidak melihat yang dia cari.
"Kemana anak SMA itu?"
"Siapa?"
"Gebetanmu"
"Husssst....Kai. Aku lihat jadwal, sepertinya dia libur hari ini" Asha menunjukkan tabel jadwal harian karyawan yang masuk setiap harinya.
"Sayang sekali. Padahal aku mau merayunya. Entah apa yang dilihatnya darimu, Sha" Senja geleng-geleng kepala.
"Sebenarnya aku cantik dan menawan hanya kau saja yang buat aku terlihat kusam"
"Baiklah...aku pulang dulu. Persiapkan dirimu untuk inovasi Kafe yang baru dan rencana kita akhir tahun ini. Ga...Le...Ri"
"Ok..ok....hati-hati dijalan" Senja memeluk Asha dan berpamitan untuk pulang.
Ketika Senja keluar, terlihat Kai sudah berdiri di depan pintu ruangan Asha. Sambil mengerling ke arah Kai, Senja berbalik ke arah Asha yang sedang melongo melihat adegan Senja yang terkejut.
"Permisi, tante!" Kata Kai kepada Senja.
"Hah...!!! Tante.....Asha...!!!"
"Sudah sana kau pulang saja. Jangan mencari keributan disini, tante Senja. Hahahaha" Asha tertawa lepas melihat ekspresi wajah Senja yang terlihat kesal, karena Kai memanggilnya tante.
Kai masuk dengan membawa goddie bag berwarna merah. Pintupun tertutup ketika Senja keluar dari ruangan.
"Bagaimana kabarmu?" Tanya Asha pada Kai yang mencari tempat duduk yang nyaman.
"Aku sehat, bu Manejer. Ada hal yang ingin aku katakan"
"Apa itu?"
"Bolehkah aku bekerja setiap hari disini seusai pulang sekolah?"
"Eh, tentu saja boleh. Mengapa tidak" jawab Asha.
"Terima kasih"
"Tapi, tunggu dulu. Jika kau bekerja disini bagaimana dengan Baseball?"
Kai menunduk saat Asha melontarkan pertanyaan yang Kai sendiri malas untuk menjawabnya. Kai terdiam lama.
"Kai....bisakah kau membantuku?" Tanya Asha yang mendekati Kai.
Kai menegakkan kepalanya , melihat senyuman manis yang dia hampir lupa bahwa seseorang yang dihadapannya adalah orang yang membuat dirinya terpesona beberapa waktu lalu. Wajah yang teduh, penuh semangat, mata yang selalu berbinar dan senyuman yang selalu melengkung kapanpun.
"Sepertinya kau sedang bimbang?" Pertanyaan Asha tepat sekali, seperti terbaca dari ekspresi wajah Kai.
"Aku sedang bimbang, apakah aku harus melanjutkan impianku atau aku harus berhenti?"
Asha merasa terkejut mendengar Kai begitu pesimisnya.
"Kau masih muda Kai. Lanjutkan impianmu. Kau tahu, dari dulu aku menginginkan memiliki galeri sendiri. Tapi, karena aku lebih memilih mundur daripada maju aku tertinggal jauh dari teman-temanku. Aku menjadi minder ketika harus bertemu dengan mereka. Kepercayaan diriku semakin turun. Tapi, aku beruntung punya Senja yang selalu menyemangatiku untuk terus menggapai impianku. Dari dia aku berhasil mendapatkan impianku. Senja mengajakku untuk memenuhi isi galeri miliknya. Dan Dia menginginkan aku memotretmu, Kai. Sebelum mantan suamiku memberitahu keinginan Molly, Aku belum tahu kapan saatnya kau bisa di potret. Setelah aku mengetahuinya, saat yang tepat adalah ketika kau menggapai impianmu. Aku memberi judul folderku Kai is a Winner"
Kai terdiam, ada tujuan yang tersembunyi disana. Mata Kai berair karena terharu. Asha mewujudkan impian anaknya, ketika Kai menggapai impiannya dan Asha akan berhasil menggapai impiannya juga. Semua saling memiliki keterkaitan.
"Aku akan mewujudkan impian anakmu, impianku dan impianmu" kata Kai menggebu-gebu.
"Dasar anak muda, sering plin-plan. Harus ada korek yang harus membakar semangatnya!" Asha memukul pundak Kai lumayan membekas.
"Aduuuh....sakit bu Manejer"
Dibalik pintu Poppy menangis terharu mendegar percakapan mereka.
Tali yang saling memiliki keterkaitan itu adalah sebuah angin bernama impian.

Bersambug chapter 8.....

Cinta Bagaikan Angin - ch 5 -

                     Cinta Bagaikan Angin
                               Chapter 5
               Keinginan itu bersama angin
                        By : gherimis kecil
=================================
Malam kedua festival obor, malam puncak ini akan diadakan pawai obor sepanjang jalan raya. Festival merayakan hari pahlawan ini merupakan kegiatan wajib diseluruh penjuru negeri. Untuk mengenang kegegalapan penjajahan menuju terangnya kemerdekaan. Semua rakyat bergembira mengikuti pawai obor luarbiasa ini. Turis-turis asing juga tidak mau kalah memeriahkan festival ini.
Kai sedang menunggu Asha di gerbang masuk perayaan Festival Obor. Melihat Asha datang bersama seorang wanita yang seumuran dengannya, Kai tersenyum. Berlahan- lahan tanpa disadari Kai diperkenalkan pada kehidupan lain milik Asha.
"Lama menunggu?" Kata Asha tiba dihadapan Kai. Kai menjawab dengan gelengan kepalanya.
"Eh, ini senja. Sahabtku waktu kuliah. Dia seorang photografer handal. Bahkan dia sudah membuat galeri foto sendiri. Aku iri" kata Asha memperkenalkan Senja kepada Kai.
"Kau sendirian?" Tanya senja kepada Kai.
"Tidak, aku bersama teman-temanku"
"Dimana mereka"
"Sebentar lagi datang"
"Kalau begitu kami masuk duluan ya" kata Senja menarik tangan Asha.
"Iya...baiklah" walaupun tidak enak hati Kai tetap membiarkan Asha bersama Senja mengikuti iring-iringan obor malam itu. Kai kembali ke rumah dan membiarkan tubuhnya terbaring di kasur empuknya sambil memandang ponselnya. Sebuah pesan singkat dari Hara mesuk ke kotak pesannya.
"Besok ada pertandingan persahabatan di sekolah. Aku harap kau ikut menonton dan menyemangati juniormu di lapangan"
Pesan singkat itu seperti hantu saja. Menakuti Kai malam ini. Jaringan tubuhnya menggigil harus menjawab permintaan Hara.
"Akan aku usahakan"
"Tidak perlu menghindar. Kau hanya butuh terapi dan latihan saja. Kau pasti bisa. Kau tetap kapten di tim ini"
Kai tak membalas pesan itu lagi dan memilih untuk memejamkan matanya.
Sorak-sorak dari tim pemandu sorak menggema diseluruh lapangan. Walaupun hanya pertandingan persahabatan, ini merupakan pertandingan pertama bagi para junior. Disini bisa ditemukan anggota tim yang pantas untuk mengikuti pertandingan akbar dipertengahan tahun ini. Dibangku penonton Poppy memandang ke arah Hara. Pernyataan Hara kemarin lalu membuat Poppy berupaya menghindari Hara. Tapi, bukan masalah penghindaran. Poppy takut jika dia menerima pernyataan Hara saat itu akan ada tercium pengkhianatan didalam perasaannya.
Tiupan peluit bertanda pertandingan akan dimulai pun berbunyi. Semua bertepuk tangan ingin menyaksikan pertandingan yang luarbiasa itu. Pukulan pertama Hara begitu mengagumkan , home run didapatkan oleh Hara dan mampu mengitari keliling lapangan hingga kembali keposisi awal. Satu poin untuk tim Hara. Pemandu sorak berteriak sambil menggerakkan seluruh tubuh mereka sebagai tanda penyemangat.
Kai yang melihat permainan Hara, menahan kakinya untuk melangkah ditengah-tengah para penonton. Dia memang merindukan suara penyemangat itu menggema di udara. Dia juga merindukan wangi peluh yang bercucuran karena kemenangan. Kai memegang pundak tangan kanannya. Masih ada sisa kenangan kemenangan disana. Dan dia merindukannya.
"Cerryl...cerryl....bisakah kau bawakan senampan jus jeruk ke meja 12" kata Asha kepada karyawannya itu.
"Baik , bu Menejer" Cerryl langsung mengambil nampan diatas meja dapur menuju ke meja 12.
"Arga, lihat sampah yang didapur sudah dibuang atau belum"
"Siap buk" Arga langsung melihat isi tong sampah didapur dan membuangnya ke pembuangan sampah.
"Akh....lelah juga jika satu karyawan telat hadir ya" keluh Asha melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 4 sore. Kai belum juga menampakkan dirinya, seharusnya sejam lalu Kai sudah sampai disini.
"Bu menejer....bu menejer" panggil Cerryl yang membuyarkan lamunan Asha.
"Ada apa Cerryl?"
"Ehm...besok Kai ulang tahun. Bagaimana kalau kita beri kejutan"
"Kejutan?"
"Hu um....kita buat kue. Tapi kue kesukaan Kai apa ya?" Cerryl mencoba berfikir. "Kira-kira hobi Kai itu apa ya?"
Asha terdiam, mengingat pembicaraannya dengan Molly sebelum Molly kembali ke asrama. Malam diperjalanan pulang ke rumah Papanya, Molly bercerita tentang Kai.
"Mengapa Mommi mengenal kapten Kai?"
"Hm....karena dia adalah karyawan paruh waktu di Kafe Family, Molly. Mengapa sedari tadi Molly memanggilnya dengan sebutan Kapten"
"Ya....ampun Mommi. Dia itu adalah seorang Kai. Kapten tim baseball yang keren dan namanya juga terkenal disekolah-sekolah. Sebagai contoh siswa berprestasi dibidang permainan baseball"
"Wow...luar biasa"
"Tapi, aku mendengar rumor bahwa dia tidak akan bermain di tahun terkahirnya ini karena cidera tangan kanannya"
"Heh....kok bisa!" Asha terkejut.
"Dibabak terakhir, Kai melakukan kesalahan yang fatal. Itulah yang membuat tangan kanannya cidera. Lemparannya luar biasa, itulaha lemparan maut yang dipertontonkannya. Dan lemparan itu juga membawa tropi kemenangan tahun lalu, Mom"
"Hem....jadi Kai adalah seorang atlit baseball"
"Hu um"
Asha tersenyum kecil mendengar pertanyaan Cerryl mengenai kue yang disukai Kai.
"Kue bola Baseball" gumam Asha yang terdengar lirih ditelinga Cerryl.
"Kue Bola Baseball" Cerryl mengulang kalimat Asha untuk penjelasan ulang.
"Iya...bagaimana kita buat kue bola baseball"
"Ok....!!!" Teriak Cerryl dan Arga bersamaan.
Sesampai di rumah Kai bertemu dengan Papanya yang sedang menonton televisi.
"Bagaimana pertandingan persahabatan hari ini?" Tanya Papanya ketika melihat Kai memasuki ruang keluarga.
"Luar biasa" jawab Kai seadanya dan menghindar dari pertanyaan berikutnya. Pertanyaan yang selalu sama setiap kali selesai menonton pertandingan baseball.
"Apa kau tidak ingin bermain dilapangan lagi?" Pertanyaan inilah yang membuat Kai mengemaskan semua peralatan baseballnya dan memesukkan ke kantong plastik untuk segera dibuang. Sepatu kebanggannya, bola baseball kemenangannya, glove pemberian Papanya saat ulang tahun ke 16 tahun lalu. Dan seragam tim sekolahnya, harus benar-benar dia buang malam itu.
"Pa....tolong buangkan sampah ini" pinta Kai pada Papanya ketika keluar dari kamarnya.
"Mengapa tidak kau buang sendiri saja"
"Aku mohon" kata Kai menyerahkan sekantong plastik berisi kenangan kemenangannya.
"Baiklah...letak saja disitu"
Kai meletakkan kantong plastik itu disebelah sofa. Papanya melirik ke dalam kantong plastik itu dan melihat punggung Kai berlalu masuk ke dalam kamarnya.
Asha masih berbelanja keperluan membuat kue ulang tahun untuk Kai. Sambil berbelanja Asha menelpon Ibas, mantan suaminya sebagi seorang jurnalis olah raga. Ibas tak banyak berkomentar tentang keinginan mantan istrinya itu.
"Anggap saja permintaanku ini sebagai lelucon yang memaks" Asha memohon kepada mantan suaminya itu.
"Bagaimana kau bisa sesantai itu meminta permintaan yang sulit seperti ini kepada mantan suamimu"
"Kau hanya mantan suamiku, Bas. Bukan berarti aku harus menjauhimu. Aku akan tetap bergelantungan dipelupuk matamu hingga Molly benar-benar menerima keputusan kita ini"
Ibas terdiam sejenak. Hasil keputusan perpisahan mereka bukanlah untuk saling menyakiti akan tetapi untuk saling membenah diri ke arah yang lebih baik. Namun, menuju arah yang lebih baik itu malah membuat perasaan orang lain terluka, Mollylah yang terluka saat keputusan itu terlontar dari bibir mereka berdua.
"Baiklah...baiklah....malam ini juga aku akan bertemu dengan orang itu"
"Terima kasih Ibas!"
Keinginan itu seperti angin yang datang tiba-tiba diantara permintaan-permintaan yang terkadang tidak masuk akal. Namun, itulah rasa yang terkadang membawa luka yang tak terlihat.

Bersambung chapter 6...

Cinta Bagaikan Angin - ch 4 -

                     Cinta Bagaikan Angin
                               Chapter 4
                      Merasa Canggung
                      By : gherimis kecil
================================
Hari libur seperti ini Asha lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersama anaknya yang berusia 12 tahun. Anak remaja yang sedang duduk dibangku SMP. Seorang gadis manis mirip dengan Asha.
"Mom...hari ini kita mau kemana saja?"
"Hm....enaknya kemana ya!!!" Asha berpura-pura berpikir.
"Ayolah , Mom....waktuku hanya 18 jam bersama Mommy. Nanti malam Papi akan menjemputku dan mengantarku ke asrama"
"Bagaimana kalau kita berbelanja ke Mall membeli buku, terus makan, lalu nonton bioskop, dan malamnya kita melihat festival obor bersama. Bagaimana?"
"Waaah...seru...seru....!" Teriak Molly, anaknya.
Segera Asha mengambil kamera dan kunci mobilnya, lalu mereoa pergi berdua menghabiskan waktu bersama disebuah Mall dan melakukan hal yang sesuai dengan rencana mereka hari ini.
Hara menunggu Kai dan Poppy untuk nonton bersama. Sedari tadi Hara terus melihat jam tangannya. Beberapa Hara menghubungi Kai, namun tak ada jawaban. Terlihat Poppy melambaikan tangan dari kejauhan. Hati Hara merasa senang melihat kehadiran Poppy tanpa Kai. Hara berpikir inilah saat yang tepat untuk melancarkan keegoisan perasaannya.
"Maaf terlambat, ini semua salah Kai. Dia meninggalkan ponselnya di rumah. Terpaksa kami harus kembali lagi ke rumah"
"Lalu, dimana Kai?"
"Sedang membeli minuman"
Ada celah merasa tidak nyaman dihati Hara.
Kai datang membawa tiga minuman kotak rasa buah. Lalu dibagikannya kepada kedua sahabatnya itu. Dan mereka melanjutkan perjalanan bersama menuju bioskop. Sebelum menuju bioskop Hara meminta ditemani ke toko olahraga untuk membeli glove baseball baru kareba miliknya sudah mulai tidak nyaman dipakai. Ditempat itu, Kai merasa tidak nyaman. Bagian hatinya terasa sakit, menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu egois untuk digemakan namanya pada saat pertandingan dilapangan. Ingin dianggap sebagai pahlawan bagi teman satu timnya, sehingga membuat cedera ditangannya.
"Aku temanin" Kata Poppy senang.
"Aku menunggu disini saja" kata Kai.
"Ayolah...bantu aku mencari glove yang bagus, Kapten!" Kata Hara mencoba bercanda kepada Kai. Namun, Kai tetap dingin tidak bersemangat. Poppy mengguit tangan Hara dan mengajaknya masuk ke dalam.
Asha melihat adegan itu langsung menghampirinya.
"Mengapa tidak ikut masuk?"
"Kapten Kai" teriak Molly melihat Kai yang sedang berbicara dengan Ibunya.
"Molly mengenal Kai?"
"Aku fans beratnya, Mom. Hai, Kapten Kai senang bertemu denganmu" Molly mengulurkan tangannya, tanpa senyuman Kai bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Asha dan Putrinya. Kedua orang yang memiliki ikatan darah itu saling pandang. Ada rasa tidak enak yang muncul dihati Asha.
"Molly, bisakah kau membeli buku sendiri. Ibu harus menelpon seseorang dulu. Dan penting" kata Asha tersenyum pada Molly.
"Pekerjaan. Ini liburan Mom...." Molly kesal.
"30 menit saja. Bisa!"
"Oke...oke" Molly menghempaskan kekesalannya dengan wajah cemberutnya dan berlalu ke toko buku sendirian. Waktu 30 menitnya akan terasa sepi tanpa ibunya.
Asha berlari menuju arah Kai yang punggungnya sudah menghilang. Dia tidak melihat lagi jejak langkah Kai yang berlalu tanpa permisi itu. Sekali lagi, Asha merasa kesal terhadap dirinya sendiri. Mengapa dia tidak menambahkan segera semua daftar kontak karyawan di Kafe Family. Asha mencari dilantai bawah, Mall sebesar ini mana mungkin dia menemukan Kai yang berada dilautan manusia yang sedang menikmati hari libur.
Suasana hiruk pikuk seperti ini bukanlah tempat yang cocok untuk bersemedi. Asha langsung berfikir bahwa Kai akan pergi ketempat yang sepi. Taman Atap, dilantai paling atas. Mall ini menyediakan sebuah lahan lantai paling atas tanpa atap untuk dijadikan taman bunga. Hanya untuk sekedar bersantai disore hari atau berbincang-bincang dengan seseorang. Segera Asha menuju lift dan menekan tombol Taman. Lift melaju sedang kelantai paling atas. Terbukalah pintu lift tersebut, cahaya sinar matahari menyilaukan itu membuat Asha harus mengernyitkan matanya sembari mencari keberadaan Kai. Benar saja, Kai berada disebuah bangku yang terletak disudut taman. Dibawah pohon buatan yang rindah itu Kai melamu menuju arah yang tidak dia ketahui.
"Berlari tanpa permisi itu tidak baik. Jika kita tidak merasa nyaman dalam situasi, seharusnya yang kita lakukan itu belajar mengendalikan rasa egois kita" Asha mendekati Kai dan duduk disebelahnya.
"Maaf bu menejer"
"Sebenarnya aku mencarimu ingin mendengar cerita darimu. Tapi, sepanjang jalan menuju lantai atas ini aku berpikir. Bahwa setiap orang memang terkadang harus mempunyai waktunya sendiri. Tanpa harus dimintai penjelasan apapun"
Kai melihat ke arah Asha yang wajahnya lurus memandang ke depan.
"Dulu aku juga pernah mengambil sebuah keputusan. Menikah muda, lalu setelah 14 tahun menikah bercerai. Tapi, setelah aku telusuri tidak ada sesal disana. Semua sudah terjadi. Mungkin aku akan lebih menyesal jika aku hanya berdiam diri tanpa melangkahkan kakiku" Asha mencoba mengenang kisah dirinya dan suaminya, Ibas. Betapa begitu bergeloranya dulu dia menikahi Ibas. Setalah 14 tahun mereka memutuskan untuk bercerai dengan alasan bahwa sudah tidak ada lagi rasa yang bergelora didalam hati keduanya. Dan keputusan itu bukanlah ringan. Mereka bediskusi mengenai Molly yang sudah meranjak remaja. Mengenai segala hal yang seharusnya mereka kerjakan bersama kini harus dilakukan sendiri. Awalnya memang sulit, akan tetapi selalu saja ada jalan untuk menyelesaikan masalah itu.
"Bu Menejer punya impian?"
"Hm...dulu waktu aku TK, aku ingin jadi guru seperti nenekku. Ketika SD aku ingin menjadi designer. Em...SMP dan SMA impianku tetap sama yaitu menjadi Arsitektur. Dan ternyata aku harus menjadi Menejer disebuah Kafe Family yang akhirnya aku bertemu denganmu" Asha tersenyum.
"Apakah akan jadi masalah jika impianmu tidak sesuai dengan impian orang tuamu?'
"Em....aku tidak tinggal bersama orang tuaku. Mereka sudah meninggal akibat kecelakaan pesawat"
"Oh....maaf aku tidak tahu"
"Tapi, kata nenekku jika impianmu itu diberkahi oleh orang tuamu itu akan menjadi impian yang luarbiasa menakjubkan"
Kai terdiam, 20 menit bersama menejernya itu membuat Kai merasa dia sedang diperdulikan oleh seseorang.
"Bu Menejer!"
"Ya"
"Bagaimana kalau aku menyukaimu"
Asha menahan teriakannya dengan menarik nafas dalam-dalam.
"Apa kau selalu jujur seperti ini. Semua kejujuran mu itu membuatku kualahan Kai. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Tapi, menurut Senja aku harus menyadarkanmu mengenai kesenjangan diantara kita. Kau lebih pantas menjadi anakku, Kai"
Kai tersenyum mendengar pernyataan Asha.
"Terima kasih"
"Ya...maaf. Aku harus menemui anakku. Sudah 30 menit. Dia akan mengomel karena aku terlambat"
"Ok..."
"Daaaa....."
"Bu Menejer" teriak Kai.
Asha menoleh.
"Terima Kasih"
Asha melambaikan tangannya dan sebuah senyuman menghantarkan Kai menuju sebuah semangat baru. Kai tidak tahu kalimat yang mana yang membuatnya begitu bersemangat kembali. Tapi, Kai mengerti sekarang ada yang begitu perduli dengannya.
"Dimana Kai?" Tanya Poppy melihat ke arah bangku kosong tempat Kai menunggu mereka.
"Sebentar aku hubungi dia" kata Hara membuka layar ponselnya dan menekan nama Kai dikontaknya. Suara panggilan terhubung. Perbincangan Hara dan Kai itu membuat Hara merasa senang.
"Kemana Kai?" Tanya Poppy.
"Dia harus pulang duluan. Perutnya bermasalah"
"Ya ampun, Kai!. Aku juga merasakannya tadi pagi kalau perutnya bermasalah. Tapi, dia gak percaya sih" kesal Poppy dan itu membuat kesal Hara. Betapa tahunya Poppy mengenai hal terperinci itu tentang Kai. Namun, rasa kesal itu terhapus sudah dengan ketidakadaan Kai disitu. Akhirnya, mereka menonton berdua dan makan siang bersama. Tidak ada yang menganggu kenangan yang indah menurut Hara.
Disebuah restoran italia, Hara memesan tempat khusus  untuk dirinya dan Poppy. Disebelah jendela kaca besar yang dapat memandang keadaan luar dengan pemandangan langit yang biru dan awan yang saling berarakan.
"Pop....!"
"Ya"
"Jika kau disuruh memilih, hubungan yang bagaimana yang kau pilih. Sahabat atau kekasih"
"Hm...kalau aku bisa mendapatkan keduanya mengapa tidak" Poppy menatap mata Hara. Gelombang itu hampir sampai dihati Hara.
"Tapi, jika sebuah hubungan persabahatan rusak karena sebuah perasaan yang tak terbalas maka aku akan memilih tetap menjadi sahabat"
"Jikalau .... seandainya kau menyukai Kai dan Kai tidak menyukaimu. Bagaimana?"
Poppy terdiam.
"Seandainya, loh"
"Jika itu hanya seandainya aku akan memilihmu. Hahahahaha" Poppy tertawa.
"Aku juga akan memilihmu"
Poppy terdiam.
Keheningan itu terbuat karena canda yang serius. Menguap kelangit-langit dan menghembuskan rasa yang harumnya tak boleh tercium oleh siapapun. Ini rahasia, rahasia yang harus mereka simpan dibalik kecanggungan yang akan terjadi nantinya.

Bersambung chapter 5....

Cinta Bagaikan Angin - ch 3 -

                       Cinta Bagaikan Angin
                                  Chapter 3
                              Kisah itu Angin
                            By : gherimis kecil
===============================
Hara berlari cepat ke arah lapangan latihan baseball. Pagi itu dia harus bertemu dengan Leo, junior yang membuat masalah kemarin malam. Disana sudah ada Kai yang berdiri memandang langit biru pagi ini. Kai tak sendiri, dia bersama Poppy. Selalu ada Poppy disampingnya. Itu yang membuat Hara merasa sedikit cemburu. Hara mengira perasaannya tidak akan terbalas selamanya, jika Poppy masih saja selalu berada disamping Kai.
"Pagi semua!" Sapa Hara kepada Kai dan Poppy.
"Pagi" jawab mereka bersamaan. Hara lebih memilih melihat senyuman Poppy daripada wajah dingin Kai.
"Leo belum datang, ya!" Hara melihat sekitar hanya ada Kai dan Poppy.
"Belum datang. Aku rasa sebentar lagi dia akan tiba di lapangan" kata Kai masih memasang wajah dinginnya.
Tak lama Leo datang sendiri dengan wajah yang masib membiru. Akibat perselisihan Leo dan Azka, terbentuknya dua kubu yang saling berselisih.
"Kita harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku tak ingin ke kompakkan kita selama ini menjadi hancur hanya gara-gara perselisihan kalian kemarin malam"
"Maafkan, aku senior. Aku berjanji tidak akan mengulang lagi" kata Leo merasa bersalah.
"Kau tak perlu meminta maaf. Yang kita perlukan hanyalah menurunkan keegoisan kita selama di dalam tim. Ok"
"Siap Senior" Leo menegakkan badannya memberi hormat kepada Hara.
Kai melihat itu ada rasa cemburu dengan Hara. Seharusnya tahun ini Kai akan menjadi Kapten Tim Baseball. Namanya akan menggema di lapangan baseball di pertandingan bergengsi tingkat nasional musim tahun ini. Mata Kai masih memandang sosok Hara yang begitu gagah dan berwibawa.
Setelah Leo permisi kepada Hara dan Kai, Poppy mengaja mereka masuk kelas.
"Mengapa kau diam saja?" Tanya Hara pada Kai yang berjalan disampingnya.
"Tidak apa-apa. Tapi, rasannya hawa kekaptenanmu begitu membuat auraku kalah terlihat" jawab Kai seadanya.
Hara berhenti melangkah sejenak.
"Kai"
"Ya" jawab Kai berbalik kebelakang.
"Jika tanganmu sudah benar-benar pulih. Aku ingin bermain bersamamu lagi" tangan Hara mengepal, dan Poppy melihat itu membuatnya merasa sedih dan terharu. Bagaimana bisa dua sahabat ini begitu saling mendukung. Walaupun sedang berkecamuk dengan emosi remaja yang sangat terlihat dari kedua mata mereka.
Siang yang damai tapi panas terik membakar kulit Asha yang harus mencari tempat untuk memotret.
"Manejer!" Sapa Kai yang masih berseragam sekolah.
"Akh....!!!" Asha terkejut dan membuat hasil jepretannya terlihat jelek.
"Memotretnya disini?" Tanya Kai.
"Eh, gak...Eh, iya" Asha terlihat gugup, karena sudah 3 hari berlalu ajakan Kai belum juga dijawabnya.
"Menejer kenapa?"
"Eh...itu...gak apa-apa. Oh ya, sedang apa kau disini?"
"Aku sedang ingin mencari angin"
"Jauh sekali. Apa kau lagi ada masalah?"
"Apa harus punya masalah baru mencari angin?"
"Eh....hahahahaha"
"Kenapa ketawa?"
"Kai, kau itu tidak cocok diusia 17 tahun. Seharusnya kau sudah berumur 40 tahun sepertiku"
"Jadi, apa keputusanmu?" Pertanyaan Kai membuat Asha kebingungan harus menjawab pertanyaannya.
"Aku...." ada jeda disana, tak ingin menolak karena takut Kai akan pergi. Tidak ingin juga menerima karena Asha tahu perbedaan mereka begitu jauh.
"Malam festival obor aku akan pergi bersama anakku. Tapi, jika kau ingin bertemu disana. Tidak jadi masalah"
Kai menyungingkan senyuman. Entah mengapa Asha juga merasa lega. Asha menjawab pertanyaan itu agar Kai paham bahwa Asha bukanlah anak remaja sepertinya. Tanggung jawab yang lebih besar sudah berada dihadapannya. Sedangkan Kai berpikir, bahwa jawaban Asha merupakan jalan untuk melanjutkan sebuah kisah bersama seseorang yang membuatnya terpesona.
Disebuah bangku halte Poppy menunggu Kai pulang bekerja. Rutinitas ini menjadi sebuah kewajiban bagi Poppy. Ditengah penantian Kai turun dari bus. Hara sedang memperhatikan Poppy dari seberang, setiap malam. Langkah kakinya harus terhenti melangkah ketika bus yang mengantarkan Kai pulang kerumah berhenti di depan halte itu. Tidak untuk malam ini, waktu pulang Kai sudah telat. Bus yang sudah beberapa kali berhenti tidak juga urung menurunkan Kai dihalte itu. Kaki Hara juga sudah lelah untuk berhenti diseberang sana. Hara melangkahkan kakinya menuju halte. Menyapa Poppy yang sedang risau.
"Apa yang sedang kau lakukan disini, Poppy?" Tanya Hara yang duduk disebelah Poppy. Bangku besi itu terasa mendingin ketika Hara harus melihat wajah khawatir Poppy yang bukan untuknya. Kapankah wajah khawatir itu berpihak kepadanya, Hara yang bisa menunggu waktu itu atau melupakan akan datangnya waktu itu. Hembusan angin malam membuat Poppy semakin gelisah.
"Kai...Kai belum juga pulang. Biasanya dia tidak selarut ini" jawab Poppy semakin menunjukkan rasa cemasnya.
"Mengapa tidak kau telpon saja?"
"Ponselnya mati, Hara. Apa yang harus aku lakukan?" Poppy semakin cemas.
"Pulanglah bersamaku" Hara mencoba memberikan saran yang menurutnya itu hanya ke egoisan Hara.
Angin malam itu, ada raga yang merasakan dinginnya rasa cemas. Ada raga yang merasakan kegundahan  yang membeku. Ada rasa yang menyenangkan diantara jawaban yang rancu.
"Aku tunggu di gerbang festival obor" kata Kai melambaikan tangan kepada Asha yang masih terdiam atas keputusannya itu.
Hari berlalu bagaikan angin yang bergerak mengisahkan sebuah cerita yang pada akhirnya semu.

Bersambung chapter 4....

Cinta Bagaikan Angin - ch 2 -

                        Cinta Bagaikan Angin
                                  Chapter 2.
                              Dia Seperti Angin
                           By : gherimis kecil
=================================
"Kai...Kai....tunggu sebentar" kata Poppy berlari dari belakang Kai.
Kai berhenti, dan menunggu Poppy yang terlihat kelelahan.
"Ada apa?" Tanya Kai bersikap dingin.
"Hara mencarimu beberapa hari ini. Biasanya kau sering ke club melihat latihan mereka" jawab Poppy.
"Aku sedang sibuk. Aku harus bekerja paruh waktu"
"Eh....untuk apa? Bukannya Papamu sudah kaya raya?" Kata Poppy heran.
"Ada kebahagiaan disana" jawab Kai meninggalkan Poppy ditengah rasa heran.
Kai bukan anak yang kekurangan materi, Papanya adalah seorang pengusaha bengkel mobil besar dikota itu. Akan tetapi, ada yang dia tidak dapatkan selama ini dari Papanya. Sebuah kata keperdulian yang Kai cari selama ini sudah dia temukan disebuah Kafe bernama Family.
Kai memakai seragam berwarna kuning putih, sebagai tanda bahwa Kai merupakan karyawan paruh waktu di kafe Family itu.
"Hai, Kai selamat sore!" Sapa Cerryl centil.
Kai tak membalas sapaan Cerryl.
"Mengapa kau begitu genit Cerryl?" Tanya Arga yang sedang membuat minuman.
"Kau iri dengan Kai,kan!"
"Untuk apa aku iri dengan anak SMA. Hahahahaha" Arga meletakkan minumannya diatas nampan yang sudah berisi makanan.
"Ish...Arga tidak sopan. Memangnya kenapa dengan anak SMA. Kai tidak terlihat seperti anak-anak"
Bel, meja pelanggan berbunyi. Kai segera mengambil buku menu dan mempersilahkan pelanggan memilih menu yang diinginkan, lalu Kai mencatat menu tersebut disecarik kertas pesanan.
"Aaaarrrrrrgghhhhh.....kameraku" teriakan dari luar itu membuat Kai terkejut. Dilihatnya Asha berteriak kepada seseorang yang sedang berlari membawa kameranya kabur. Segera Kai keluar kafe sambil membawa nampan. Dengan kekuatan tangan kanan yang mulai sembuh, Kai mencoba melempar nampan tersebut ke arah maling yang mengambil kamera Asha, ibu menejernya. Nampan melayang udara, melesat jauh dan dengan kecepatan yang didorong oleh angin nampan tersebut mengenai kaki si maling yang tersungkur. Kai berlari kearah maling tersebut dan mengambil kembali kamera milik menejernya itu. Dengan tersenyum menang Kai menyerahkan kamera milik menejernya.
"Kai...kau seperti angin. Cepat dan lemparan mu luar biasa!" Puji Asha membuat pipi Kai memerah malu. Kai hanya menunduk.
"Oh, iya...terima kasih. Sebagai balasannya kau bisa minta satu permintaan dariku" kata Asha.
"Aku ingin berkencan denganmu dimalam festival obor"
Mata Asha membesar, melotot karena terkejut.
"Kau serius dengan permintaanmu itu. Aku ini sudah tua, usiaku sudah 40 tahun. Dan kau masih 17 tahun. Apa kata orang lain melihat kita berjalan berdua. Aaakkkh....tidak bisa aku bayangkan itu. Permintaan yang lain saja"
"Aku serius, bu menejer. Aku ingin berkencan denganmu"
"Kai...kalau itu aku harus berpikir terlebih dahulu. Aku tak bisa menjawab permintaanmu segera"
Kai diam, melihat Asha masuk ke dalam kafe dengan tergesa-gesa.
Di dalam ruangan yang ber AC, Asha merasa masih kepanasan. Dia tidak tahu apakah Asha kepanasan karena terbakar gelora yang dulu pernah muncul dan sudah lama sirna. Dibuka ponselnya dan segera dia menelpon mantan suaminya.
"Hai, Bas" Sapa Asha kepasa Ibas, mantan suaminya.
"Ya, Sha. Bagaimana kabarmu?"
"Aku...aku terbakar"
"Apa yang terbakar?"
"Hatiku, Bas. Seorang anak SMA mengajak aku berkencan. Bagaimana ini?. Aku takut menolaknya"
"Kalau kau takut menolaknya, mengapa tidak kau terima saja"
"Bas, usiaku sudah 40 tahun. Dan aku berkencan dengan anak berusia 17 tahun. Apa kau masih waras?"
"Hahahaha....tentu saja aku masih waras. Cobalah membuka hatimu, Sha. Siapa tahu dia memang yang kau inginkan"
"Ibaaaassss.....aku serius"
"Kau tak pernah serius, Sha. Sampai kapanpun itu. Kau tetaplah Asha yang menghadapi kehidupan dengan kebercandaanmu. Seperti saat ini, kau sedang bercanda dengan seorang anak SMA. Mengapa tak kau terima saja keseriusannya untuk kau jadikan bahan candamu"
Asha terdiam. Kata-kata mantan suaminya itu sungguh menusuk hatinya. Terasa sakit, tapi itulah kebenaran yang harus diterimanya hingga dia harus berpisah dengan suami yang nikahi selama 14 tahun itu. Telpon itu menggantung diantara kediaman Asha yang tak ingin lagi mendengar celotehan mantan suaminya itu.
Poppy masih menunggu Kai di depan halte bus. Menantikan Kai pulang dari kerja paruh waktu menjadi rutinitas baru Poppy. Sebagai sahabat Poppy termasuk setia. Dikala Kai sedang dirundung sedih, Poppy selalu berada disamping Kai untuk menemani walaupun hanya sekedar melihat wajah muram Kai.
"Kai...Kai...." suara khas Poppy sudah terdengar ketika Kai turun dari bus.
"Sedang apa kau disini?" Tanya Kai.
"Sudah lama kita pulang bersama, Kai. Sejak kau sibuk di Club baseball dan sekarang kau bekerja paruh waktu. Tidak ada lagi waktu yang untuk saling bercerita seperti dahulu" Poppy berjalan disamping Kai.
"Kau ingin bercerita apa?" Tanya Kai melihat layar ponselnya yang bergetar.
"Aku ingin memberitahumu, kalau aku..."
"Sebentar....Hara menelponku" Kai menjauh dari Poppy.
Percakapan Kai dengan Hara tidak begitu terdengar oleh Poppy yang merasa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan selama ini.
"Poppy....maaf aku harus kembali ke sekolah. Club baseball sedang ada masalah. Kau, pulanglah dulu. Tidak perlu menungguku. Oke!" Kai berlari kearah halte bus dan menunggu bus ke sekolahnya tiba.
Poppy mematung seketika, lidahnya terasa kelu untun berkata " tetaplah disini, aku ingin aku tahu bahwa aku menyukaimu". Tapi, kenyataannya Kai menghilang secepat angin dan berlalu pergi ditengah dinginnya rasa yang menghampiri hati Poppy.
Asha kembali melihat galeri foto hasil jepretannya di layar komputer jinjingnya. Apartemennya begitu sepi malam ini. Hanya ada suara desiran angin AC yang semakin mendingin. Foto itu, kembali mengusik Asha. Seorang anak SMA sedang menyembunyikan kesedihannya sehingga tanpa disadarinya airmata mentes dipipinya. Kesedihan seperti apa yang harus disembunyikan oleh anak SMA itu.
"Akh, aku belum punya nomor ponselnya. Seharusnya aku mencatat semua nomor ponsel karyawanku disini" keluh Asha malam itu.
Ting nong....suara bel apartemen milik Asha berbunyi.
"Akhirnya datang juga" gumam Asha pada dirinya sendiri.
"Sebentar" Asha menuju pintu utama dan membuka pintunya dan langsung memeluk tamu yang datang.
"Senja.....aku rindu" kata Asha kepada sahabat kuliahnya itu.
"Aku lapar, kau memasak apa malam ini?"
"Apa kau tidak merindukanku, Senja?" Tanya Asha dengan wajah cemberut.
"Kita sudah berumur 40 tahun, jangan kau anggap masih ada rindu disana. Sudah hambar"
"Kau jahat sekali" bibir Asha meruncing cemberut.
Dia seperti angin, melaju cepat tanpa harus permisi terlebih dahulu. Hingga membuat segala yang rentan berterbangan ke angkasa.

Bersambung chapter 3

Cinta Bagaikan Angin -ch 1-

                     Cinta Bagaikan Angin
                                  Chapter 1
                Angin membawa kebetulan
                         By : gherimis kecil
=================================
Awal masuk sekolah, aroma seragam baru dan udara pagi yang menyatu dalam semangat menyambut hari baru, kenangan baru dan rutinitas baru. Murid-murid baru yang masih malu-malu, canggung dan merasa kikuk melihat pemandangan sekolah. Tingkat dua yang harus berkutat dengan pemilihan jurusan. Sedangkan tingkat tiga harus berjuang untuk menyelesaiakn segala tugas-tugas yang akan menumpuk setiap harinya, memilih universitas yang diinginkan dan belajar lebih keras untuk mendapatkan tropi kemenangan bahwa sudah selesai melaksanakan kewajiban belajar.
Pagi yang indah, dengan angin yang menyapa mereka-mereka yang sedang duduk diantara kursi-kursi kebahagiaan. Suara bel berdering kencang, seperti dijadwal hari ini adalah upacara penyambutan murid baru. Hara, sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk memperkenalkan club baseball yang dirintisnya sejak tingkat satu. Berjuang bersama teman timnya meraih piala tertinggi tahun lalu menjadi beban yang menambah berat dipundaknya. Hara berjalan menuju ruang belakang panggung.
"Kai, sedang apa kau disini?" Tanya Hara kepada sahabatnya yang sedang berdiri dengan tangan yang masih diperban.
Kemenangan mereka tahun lalu harus mengorbankan tangan Kai yang tidak ikut dalam kompetensi dimusim pertengahan tahun ini.
"Aku ingin membantumu" jawab Kai mencoba meraih tongkat pemukul dengan tangan kirinya.
"Sudah...sudah...mereka sebentar lagi datang. Kau duduk disitu, dan perhatikan caraku menarik adik-adik kelas nanti. Ini tahun terakhir kita disini. Aku tak ingin tahun ini menjadi tak berkesan untuk kita" Hara begitu bersemangat, namun semangat Hara begitu hampa ketika sahabatnya tidak bersamanya tahun ini.
"Mengapa kau selalu bersemangat, Hara. Aku terkadang iri denganmu"
"Karena aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa menghentikan api yang membara di setiap semangatku. Baiklah, kau tetap disini, duduk dan lihatlah aku. Aku akan sepertimu ditahun lalu. Pesonamu, bisa merekrut banyak anggota. Begitu juga tahun ini, percayakan padaku"
Kai hanya mengangguk takjim pada sahabatnya Hara. Akan tetapi didalam hatinya dia merasa bersalah telah membuat Hara harus lebih bekerja keras sendirian. Tak tahan melihat Hara dengan semangatnya, Kai diam-diam meninggalkan Hara di belakang panggung dan memilih untuk pergi kesuatu tempat yang tak seorangpun tahu keberadaannya.
Disebuah taman dekat sekolah, Kai duduk disebuah bangku kayu yang lembab karena embun pagi. Sekotak minuman rasa apel dan sebungkus roti menemani Kai dengan rasa kesal dihatinya.
"Hei...anak muda. Apakah kau sedang membolos dihari pertamu masuk sekolah?" Tiba-tiba terdengar suara wanita dari sebelah kanan Kai.
Kai terkejut melihat penampilan wanita itu. Berkacama hitam, bertopi dan membawa kamera. Kai berpikir bahwa wanita itu adalah seorang paparazi yang menyembunyikan jati dirinya.
Kai tak membalas pertanyaan wanita aneh itu. Dia memalingkan wajahnya ke arah lurus yang dia tidak tahu kemana jalan pikiran dan hatinya melangkah.
Wanita itu masih tetap duduk disebelah Kai sambil memotret langit, awan, serta pemandangan taman bunga yang indah dipenuhi bunga warna-warni serta kupu-kupu yang sedang menari-nari mengitari cerhanya bunganya.
Mata lensanya mengarah kepada Kai, dengan lensa yang digerakkannya tanpa sadar wanita itu memotret wajah Kai dari samping. Kai beranjak pergi, hatinya sudah mulai membaik. Rasa kesal yang menyulutinya hari ini sudah mulai tergerus oleh angin pagi.
Wanita aneh yang memotret Kai sedang asik melihat hasil jepretannya pagi ini. Ketika dia melihat pada sebuah foto terakhir, wanita yang sudah berumur 40 tahun itu terkejut. Ternyata dia menangkap momen yang membuat dirinya terharu. Dilihatnya punggung Kai semakin menjauh.
"Ternyata dia sedang bersedih" gumamnya sendiri setelah melihat airmata Kai yang mengalir dipipinya.
Wanita aneh itu membuka topi dan kacamata hitamnya. Menggeraikan kunciran rambutnya dan memoles bibirnya dengan lipstik merah.
"Aaaakkhhh....saatnya bekerja. Semangat!!!" Asha, mencoba menyemangati hari-harinya sebegai manejer disebuah kafe keluarga milik temannya.
Sesampainya di sekolah Kai langsung menuju kelas. Disambut oleh Poppy dengan wajah cerianya.
"Kai, darimana saja kau?" Tanya Poppy dengan manja. Teman sejak TKnya ini memang sangat populer. Tak sedikit, dan hampir semua murid di SMA ini pernah mencoba mendekatinya. Namun, tak satupun yang Poppy terima.
"Tidak kemana-mana" jawab Kai seadanya.
"Kai, bukannya hari ini kau berjanji padaku untuk menemaniku belanja kue ulang tahun Papaku?" Poppy meruncingkan bibirnya, cemberut.
"Maaf, aku lupa"
"Kau membolos satu harian ini, dan sekarang sudah pukul 3 sore. Jam belajar juga sudah selesai. Mengapa kau kembali lagi ke kelas?" Poppy sedikit kesal karena Kai melupakan janjinya yang mereka sepakati tadi malam.
"Aku harus mengambil tasku" jawab Kai semakin terlihat dingin.
"Kai, kau kenapa hari ini? Kau terlihat dingin sekali" kata Poppy menaruh curiga kepada teman TKnya itu.
"Tidak apa-apa. Aku pulang duluan. Maaf aku tidak bisa menemanimu hari ini. Salam untuk Paman Bram, selamat ulang tahun" Kai berlalu keluar kelas meninggalkan Poppy dengan rasa yang amat kesal menyelimuti diri Poppy.
Sebuah kafe keluarga terlihat sepi, pengunjung hari ini tidak terlalu banyak. Mungkin karena cuaca yang cukup panas membuat mereka enggan untuk makan diluar rumah. Asha yang masih berkutat didepan layar komputer milik kafenya itu masih sibuk dengan angka-angka yang harus dia masukkan kedalam kolom-kolom. Asha harus mengisi semua pemasukan dan pengeluaran kafe yang bersama Family itu selama sebulan.
Tok...tok...sebuah ketukan pintu terdengar dari luar.
"Masuk!" Kata Asha yang masih menatao layar komputernya.
"Buk Menejer, ada masalah dikafe" kata Cerryl gugup.
"Ada apa?" Tanya Asha dengan wajah heran.
"Itu...itu....Arga membuat menu yang salah. Pelanggan marah-marah. Merasa tidak terima Arga juga marah-marah. Cepat buk...."
Mendengar penjelasan Cerryl itu, Asha meninggalkan pekerjaannya untuk sementara dan berlari kedalam kafe. Suasana kafe yang tidak banyak pengunjung membuat Asha merasa sedikit lega. Karena tidak banyak yang akan melihat kejadian ini.
"Anda menejernya disini?" Tanya pelanggan itu dengan wajah marah-marah.
"Iya benar"
"Anda harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh karyawan Anda. Dia menumpahkan makanan ini kemuka saya."
"Maaf sebelumnya" Anda membungkkukkan dirinya. "Saya tidak tahu apa yang terjadi disini. Sebelumnya saya mohon penjelasan Anda, mengapa karayawan saya sampai menumpahkan makanan ini ke wajah Anda"
"Saya tidak mau tahu, Anda harus memecatnya sekarang juga"
"Maaf, Pak. Saya butuh penjelasan dari Anda" Asha melihat kearah Arga, wajah pucat terlihat jelas diwajah Arga.
"Buk Menejer saya tidak sengaja menumpahkan makanannya" Arga memberanikan bicara.
"Awal kejadiannya bagaimana, Pak? saya tidak bisa sembarangan memberikan keputusan. Sebaiknya Anda ceritakan lebih dahulu" Asha mencoba menahan emosi pelanggannya itu dengan cara membungkuk rasa bersalah.
"Karyawan Anda tidak bersalah, bapak ini yang tidak tahu diri. Dia memesan menu sesuai yang dicatat karyawan Anda. Mungkin dia ingin makan gratis makanya dia marah-marah kepada karyawan Anda karena telah salah membuat menu dan meminta menu lain. Ketika karyawan Anda ingin mengambil menu yang salah, pelanggan Anda ini tidak rela makanan itu diambil kembali, terjadilah rebutan piring sehingga menunpahi wajah pelanggan ini" sebuah suara datang dari bangku pelanggan. Seorang berseragam SMA, bertubuh tinggi mencoba membela Arga yang tidak dikenalnya.
"Kau siapa anak ingusan!!" Tampak kesal diwajah pelanggan itu dan berlalu pergi keluar dari kafe dengan wajah kesal dan malu.
Asha masih mematung memandang wajah anak berseragam SMA itu.
"Bukankah kau yang tadi pagi bolos sekolah?" Mata Asha mendadak membesar karena terkejut.
"Aku yakin kau anak SMA tadi pagikan??" Asha mulai berteriak riang.
"Buk Menejer, sebaiknya anda ucapkan terima kasih kepadanya terlebih dahulu" Cerryl mengguit siku tangan menejernya itu.
"Ah...iya...iya...aku lupa. Terima kasih banyak. Hm...silahkan duduk. Aku akan mentraktirkmu es cream yang paling enak di kafe ini. Duduklah...duduk" Asha segera ke dapur dan meminta Leon membuatkan es cream andalan kafe Family.
Kai masih kebingunga melihat tingkah Asha. Bagaimana bisa dia begitu tenang tadi menghadapi pelanggan yang sudah marah-marah. Harus meminta maaf atas kesalahan orang lain, Kai mulai terpesona dengan kemampuan Asha itu.
"Silahkan, dimakan" kata Asha sambil menyunggingkan senyumannya. Ada rasa manis disana.
"Aku tidak suka es cream"
"Makanlah, es cream bisa menyembuhkan kesedihan yang tak terlihat" kata Asha sambil memakai kacamata hitam, dan topi yang dia kenakan tadi pagi sebelum berangkat kerja.
"Anda...Anda yang tadi pagi di taman"
"Hehehehe....iya benar sekali. Makanlah, agar airmata sedihmu membeku" Asha berpamitan dan menyelesaikan tugasnya yang tertunda tadi.
Kai terdiam, bagaimana dia  tahu bahwa Kai sedang bersedih?. Bagaimana dia tahu bahwa Kai sedang menangis?. Kai mencoba mengingat runtutan kejadian tadi pagi. Kai yakin tak seorangpun melihat airmatanya pagi tadi.

Bersambung Chapter 2....