Minggu, 29 Mei 2016

Si paras Semangat

Siara, gadis yang penuh semangat. Gadis yang setiap harinya memulai pagi dengan salam matahari.
"Selamat pagi mentari"
Sapa Siara pada hari ini, pagi yang indah. Hari yang di mulai dengan senyuman. Udara pagi yany dingin membuat segar seluruh raga. Semangat yang masih penuh. Gairah melakukan aktifitas hari ini mencapai puncaknya.
Saira, memakai seragam sekolah. Menyandang tas ranselnya yang dipenuhi buku sekolah. Tak seperti anak biasanya, kali ini Saira lebih banyak membawa buku.
Karena hari ini ada perlombaan cerdas cermat sains SMA seluruh wilayah satu. Ini kali pertamanya Saira mengikuti lomba ini.
Saira sudah berlatih beberapa hari ini. Menjawab cepat seluruh pertanyaan. Menggunakan daya pikir yang extra. Berhitung lebih cepat dari kalkulator. Semua itu Saira lakukan demi sebuah kata "menang".
Ya, menang.
Saira menaiki bus yang menuju kearah ke sekolah. Sudah banyak yang mengantri di halte bus. Disana juga ada Qey, sedang mendengarkan dialog percakapan bahasa inggris melalui eraphonenya. Serius.
"Hei!" Siara menepuk pundak Qey pelan. Qey menoleh dan tersenyum
"Pagi si semangat dunia!"
"Gak usah lebay gitu akh!!!"
"Hahahaha....tapi emang bener loh"
Saira tertawa menahan suaranya, sambil memukul pelan lengan Qey.
Bus tujuan sekolah sudah tiba. Tak banyak yang naik, sisa penumpang yang mengantri masih tersisa banyak. Qey menyilahkan Saira duduk di sebelah jendela.
Saira mengeluarkan buku latihan cerdas cermatnya. Berisi kumpulan soal-soal beserta jawabannya. Mengulang kembali pembahasan selama beberapa hari ini. Menjadi makanan untuk isi dalam otaknya.
Bus sekolah melaji sedang, angin bertiup pelan. Melayangkan  helaian rambut Saira. Sesekali Saira membenarkan rambutnya. Mata Qey sesekali melirik dari sudut matanya.
"Jangan terlalu sering memandangku, entar kamu tertarik"
"Sudah"
"Sudah apa?" Tanya Saira melototkan matanya kearah Qey
"Sudah jangan ke GR-an gitu kamu. Hahahahaha"
"Hm....awas aja kalau kamu tertarik sama aku, ya"
"Emang!!!"
"Emang apa?"
"Emang aku pikirin"
"Ish....!!!jangan ganggu aku. Masih belajar!"
"Hahahahha....semangat ya!!! Aku yakin kamu menang. Juara satu" Qey mengacungkan jari telunjuknya ke udara.
"Terima kasih" Saira tersenyum senang.
Pagi yang indah berganti siang yang mulai penat. Saira duduk bersama dua temannya yang masih mengikiskan peluh bercucuran di dahi mereka. Mereka di jejerkan dengan pertanyaan yang silih berganti. Masih 3 pertanyaan yang di jawab sempurna, sisanya hanya mendapatkan nilai setengah. Wajah Saira melihatkan ketegangan di pikirannya. Mungkin predikat "menang" akan didapatkannya.
Untuk 10 pertanyaan hanya itu yang bisa diperoleh skornya memang masih mengguli di group ini. Tepuk tangan penonton bergemuruh ketika nama sekolah Saira masuk semifinal. Tinggal menunggu untuk babak berikutnya.
Jantung Saira semakin tak terhenti. Rasa gerogi itu muncul. Saira memejamkan matanya sejenak. Menghembuskan nafasnya perlahan-lahan. Membuka kembali matanya dan semua akan baik-baik saja.
"Dwooor!!" Kejutan dari Qey yang sudah berada di kursi belakang peserta.
"Aku takut!"
"Takut sama hantu?"
"Gak"
"Jadi?"
"Kalah"
"Hei...hei, apa perlu aku memberikan ceramah pada saat seperti ini!"
"Perlu"
"Menggunakan bahasa inggris atau"
"Qey, aku butuh ceramah dalam bahasa apapun itu"
"Okey, listen to me. Just close your. You see someone make you happy. Like your parents. Look their smile, look their laugh, just because of you. Never mind about your score, you have to reach what you want. Trust me!!!"
"Hehehehe...never mind about score. I have a goal"
"Right!"
"Terima kasih"
Memang selamanya apa yang di impikan selalu menghadirkan sebuah kenyataan yang instan. Tidak semudah itu, ini adalah bukan akhir. Pengumuman itupun di bacakan. Melihat dari skor perolehan, Saira sudah menundukkan kepalanya. Semangat yang menggebu-gebu yang sengaja di isi full, kini hanya tinggal setitik. Gairah yang diisi mencapai batas atas, kini merosot ke batas bawah. Mungkinkah ini akhir dari kerja keras yang selama ini Saira lakukan.
Apa yang kurang Saira lakukan. Tidak ada. Belajar melebihi pelajar yang lain. Ketika akhir pekan teman-teman bermain di mall ataupun menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama teman-teman yang lainnya. Berbeda dengan Saira, dia menghabiskan waktunya belajar dan belajar. Mengisi nutrisi otaknya dengan soal-soal sains. Menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dengan cepat.
Tapi, dunia tak berpihak padanya hari ini.
Dunia begitu kejam baginya. Apakah dunia tidak melihat kegigihannya untuk mencapai kata "menang" itu. Apakah dunia buta atas apa yang dilakukannya selama ini.
Menyahlahkan dunia, menyalahkannya lagi hingga puas. Posisi kedua, hanya berada di posisi kedua jauh dari kata "menang". Airmata Saira terjatuh pelan mengalir dipipinya. Bukan karena bahagia, akan tetapi meratap dalam hati. Betapa kecewanya Saira terhadap dirinya.
Sore itu, hanya sebagian serpihan kegagalan di kehidupannya. Kegagalan yang di perlihatkannya pada dunia. Kegagalan menguasai materi. Tapi, bukan hanya itu. Ada kegagalan yang sebenarnya sedang menunggunya. Kegagalan menguasai dirinya.
"Aku gak rela kalau aku berada di posisi kedua, Qey"
"Hei...hei....relakan saja. Jalan mu masih panjang"
"Sehari berapa kali kamu mendengarkan percakapan bahasa inggris, Qey"
"Aku tidak tahu pasti, seperti mendengarkan musik saja"
"Mungkin aku harus membaca buku sains seperti membaca novel" kata Saira memandang kosong bangku halte bus didepan sekolah.
"Hahahhahaha....hayolah!!kemana si semangat yang setiap paginya selalu menyapa mentari. Apa semangatnya dimakan ikan hiu, ya?"
Saira yang mengkerucutkan mulutnya.
"Apa perlu aku mengejar hiunya untuk mengembalikan semangat itu"
Saira masih cemberut.
"Hei...hei...lihat. Kali ini aku kan menyapa senja. Sore mentari!!"
Warna oranye melanyapkan kekecewaan Saira dalam tenggelamnya mentari di ufuk barat. Saira mulai kembali kedalam semangat barunya.
"Yang perlu kamu ingat. Tak penting skor berapa itu, yang penting kamu sudah meraih apa yang kamu usahakan"
"Aku belum meraih kemenangan"
"Kamu sudah menang"
"Menang apanya?"
"Menang dari juara 3. Hahahahhaahhahaa"
Qey tertawa meledek Saira.
"Hahahhahaha" Saira tertawa keras.
"Benerkan! Kamu meminta menang?"
"Seharusnya aku meminta juara satu"
"Hahahahahhahaa!!!"
Terkadang apa yang diinginkan benar-benarlah terkabulkan. Akan tetapi, hanya karena ketidak syukuran maka terjadilah kekecewaan.

Selasa, 03 Mei 2016

Short part II

Aku adalah teman terbaik bahkan sahabat Flo. Aku mengenal Flo sejak SMP. Ada yang aneh dari anak perempuan itu. Dia terlalu pendiam. Tak banyak ingin berteman dengannya. Aku sempat heran dan ingin bertanya kepada, apa yang menyebabkan dia begitu aneh. Namun, tidak ada kesempatan yang pas untuk bertanya kepadanya. Akan tetapi, takdir berkata lain.
Sore itu, aku bertemu dengan seorang wanita yang anggun dan cantik sekali. Memiliki wajah yang mulus , padahal usianya sudah tidak muda lagi. Aku bertemu dengannya di toko pamanku. Wanita itu membeli peralatan dapur.
"Sore, bu. Ada yang bisa saya bantu?"
Tanyaku
"Sore. Saya mau beli panci yang ukurannya kecil. Untuk memasak bubur nasi" jawabnya dengan senyuman yang sama persis dengan Flo.
"Oh...tunggu sebentar ya, bu" aku langusng mencari panci tersebut dan menemukannya segera.
"Berapa harganya?"
"Segini, bu"
"Tidak bisa kurang?"
"Sudah harga pas, bu"
"Oh. Ya sudah tidak apa-apa. Anak saya ingin makan bubur nasi ayam"
"Anak ibu bernama Flo, ya?"
"Loh...kok tau?kamu temannya Flo ya?"
"Saya teman sekelasnya sejak SMP, bu. Tapi, saya rasa dia tidak mengenal saya" tundukku lesu
"Maaf ya, atas perlakuan anak saya" senyum itu pudar menjadi sedih diraut wajahnya.
"Apa yang terjadi dengan, Flo. Bu?"
"Tapi, bisakah kamu rahasiakan ini dari siapapun?"
"Janji, bu"
Ibunya Flo menceritakan apa yang terjadi pada Flo. Aku sangat terkejut. Adakah penyakit semacam itu. Betapa kurang beruntungnya dia, diusia masih muda sudah harus merasakan hal sepahit itu. Tidak bisa mengingat apapun setelah itu, dan kembali seperti semula ketika terbangun di pagi hari.
"Apa kamu ingin berteman dengan , Flo?"
"Saya mau bu" jawabku. Bukan karena kasihan. Tapi, karena aku memang ingin berteman dengan. Ingin mengenalnya lebih jauh. Seorang anak perempuan yang menjauhi dunia ini.
"Mulai besok, bertingkahlah mencolok. Seperti memakai aksesoris yang mudah ditandainya. Atau kebiasaan yang bisa diingatnya. Selalu setiap pagi. Dan satu lagi, bertanyalah hal yang sama setiap harinya setiap pagi. Bisakah kamu melakukannya?"
"Aku rasa bisa, Bu. Aku akan berusaha"
"Baiklah. Semoga Flo mempunyai teman yang banyak"
"Ok buk"
Syarat yang harus aku penuhi agar Flo mengingatku itu, ternyata tidaklah mudah. Aku harus mencari akal untuk menemukan ciri khasku.
Berpikir berhari-hari. Akhirnya aku temukan cara yang mencolok. Aku memakai headset yang aku gantungkan dileherku, dan setiap paginya aku duduk dibangku paling belakang sambil memakan cemilan kesukaanku, dan akan selalu bertanya hal yang sama.
Hari pertama aku menyapanya.
"Pagi, Flo"
Flo tidak menjawab dia hanya menunduk.
"Bagaimana tidrumu malam ini?"
Hari kedua masih sama. Sampai pada hari ketujuh Dia menoleh ketika aku menyapanya.
"Siapa namamu?" Tanyanya lembut
Aku menunjukkan bungkus cemilan yang bertulisan Chiki
"Chiki?" Katanya
"Iya" angguku pelan dengan senyuman kemenangan.
Lalu dia memotretku. Sebuah kamera polar yang selalu dibawanya kesekolah dia keluarkan dari dalam tasnya.
"Uwow. Untuk apa ini?" Tanyaku
"Untuk memotret"
Jepreeet....jepretan kedua. Lalu dia menyuruhku untuk menuliskan namaku dibelakang fotonya.
Dengan senyuman tulus itu , Flo meletakkan fotoku di dalam sebuah buku yang bertulisan Note of The Day.
"Itu buku apa?" Tanyaku
"Catatan harianku. Ibu menyurhku untuk membawa selalu buku ini"
Aku hanya mengangguk-angguk pelan.
Dan selanjutnya, dia mengenal namaku sebagai Chiki. Dan kami berteman. Sejak percakapan panjang kami itu , aku dan Flo semakin akrab. Kami menghabiskan waktu istirahat di taman sekolah. Flo suka kue-kue basah dan manis. Dia sangat menyukai rasa strawberry.
Hari ini, aku melihat dia bertemu dengan Alan di depan toilet. Siswa pintar dan populer. Flo menunjukkan foto Alan kepadaku. Aku sangat terkejut, mengapa harus Alan. Mengapa bukan siswa yang lainnya. Terlihat dari raut wajah Flo, dia sangat senang sekali berkenalan dengan Alan.
Sore itu, di toko paman tempat aku bekerja paruh waktu. Aku bertemu dengan Alan. Lelaki yang selama ini, diam-diam aku sukai. Tapi, aku tidak berani mengungkapkannya. Dia memakai seragam bolanya. Dengan keringat yang membasahi seluruh sergamnya.
"Hai..." sapanya
"Hai" balasku
"Aku ingin membeli minuman ion?"
Katanya membasuh handuk yang dia pegang ke wajahnya.
Aku tertegun melihatnya. Betapa kerennya Alan.
"Ini" aku menyerahkan sebotol minuman berion
"Ra, sudah berapa lama kamu bekerja disini?"
"Baru sebulan, Lan"
Kami berbincang-bincang. Tidak ada membicarakan kearah Flo. Sebenarnya aku ingin bertanya kepadanya. Sangat ingin sekali. Tapi, Alan tidak pernah berbicara kearah sana. Lalu, Alanpun berlalu dari hadapanku. Begitu singkat sekali perbincangan sore itu. Padahal aku ingin sekali ngobrol lama dengannya.
Beberapa hari kemudian. Flo mengajakku ke sebuah taman untuk menemaninya menunggu senja. Tapi, aku menolak. Karena aku harus bekerja paruh.
Sebelum toko tutup, aku bertemu dengan Alan.
"Tokonya sudah mau tutup ya?"
"Iya" aku membereskan perkakas yang ada didepan pintu masuk toko.
"Padahal aku mau membeli tong plastik"
"Berapa buah?"
"3 saja"
"Tunggu sebentar" aku mengambilkannya dan kembali dengan 3 buah tong plastik.
"Kamu sahabatnya Flo , ya?"
"Iya!"
"Ada dengannya. Mengapa dia tidak mengingatku. Padahal kami sudah beberapa kali bertemu. Gadis yang sombong!" Keluh Alan
"Hehehe....tidak ada apa-apa dengannya. Hanya saja, dia mudah melupakan sesuatu. Bahkan sesuatu yang penting sekalipun"
"Yang anehnya, mengapa dia ingin memotretku"
Jantungku berdetak aneh. Ada perasaan mengganjal dengan pernyataan Alan itu. Aku melihat wajah Alan yang sedikit sumingrah. Apa yang terjadi padaku. Rasa tidak senang dengan keadaan ini.
Alan keluar toko. Aku melihat punggung Alan berlalu. Sudah hampir 2 tahun ini aku tetap menjadi penggemar rahasianya. Aku harus mengatakan pada Flo untuk menjauhi. Aku tak ingin Alan juga harus di rebut sahabatku seperti yang lalu-lalu. Jahatkah aku, pikirku.
Pagi yang indah, aku menikmati pagi ini dengan cemilan yang aku sukai. Chiki. Dan Flo membawa beberapa bungkus untukku pagi ini. Kami menghabiskannya ditaman sekolah bersama Alan. Disini ada Alan, sudah beberapa kali kami makan bersama Alan ditaman sekolah. Itu menyenangkan. Bahkan hatiku juga senang. Namun, ketika aku melihat keakraban Alan dan Flo itu membuat dada sesak. Hanya saja aku tidak bisa mengungkapkannya melalui kata-kata.
"Flo, mau ini?" Tanya Alan kepada Flo sambil menunjukkan brosur Pancake.
"Waaah...mau...mau....aku suka pancake rasa strawberry" jawab Flo tersenyum sumngirah.
"Lebih enak melon"
"Ga"
"Melon"
"Hahahahaha...."
Mereka tertawa bersama. Tawa yang saling menggemari dalam diam. Dan aku tidak menyukai keadaan ini.
"Flo, aku ke toilet sebentar" aku segera beranjak dari taman.
Tidak tahan, entah mengapa. Apakah aku cemburu. Mereka tertawa bersama, hanya aku yang melihat itu tidak menyenangkan. Jahatkah aku.
Sepulang sekolah. Dikelas hanya ada aku dan Flo. Aku mulai merapikan tas sekolahku. Tiba-tiba Flo bertanya hal yang paling membuay aku terkejut.
"Chiki, sepertinya kamu benci Alan, ya?" Tanya Flo
"Tidak" jawabku dengan wajah yang datar
"Lalu kenapa sikapmu seperti membencinya"
"Itu hanya perasaanmu saja, Flo" aku mencoba untuk tidak beraksi aneh yang membuat Flo semakin bertanya-tanya
"Oh..."
"Sudahlah. Mau pulang bareng?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan ini
"Tidak, Alan ingin mengajakku ke sebuah kafe pancake"
"Hm....baiklah. selamat bersenang-senang"
Mereka hendak pergi makan pancake bareng. Ini aneh sekali. Aku , aku tidak menyukainya. Apakah aku jahat. Aku tak ingin Alan menyukai Flo. Apa yang membuat Flo begitu di inginkan Alan. Bahkan aku sudah mengenal Alan lebih dari Flo. Walaupun sebenarnya Alan sudah mengenal Flo lebih dari yang Flo tahu.
Aku harus segera ketoko. Tapi, hari ini aku tidak ada jadwal jaga toko.
Diam-diam aku mengikuti Flo dan Alan pergi ke toko Pancake yang baru buka. Ramai sekali. Antrian padat.
Aku bersembunyi dibalik pohon besar di depan toko. Menyamar. Menyaksikan keakraban mereka berdua.
Aku melihat Alan menyuruh Flo duduk untuk menunggu. Alan rela berdiri lama untuk mengantri. Aku tidak suka melihat pemandangan ini. Ingin aku pergi, tapi kakiku tidak bisa melangkah. Rasanya ingin melihat adegan berikutnya.
Alan memberikan pancake kepada Flo. Ini sangat menyiksa, tapi mengapa aku masih tetap melihatnya. Aku tahu ini menyakitkan. Tapi, anehnya aku ingin melihat kembali kelanjutannya.
Adegan yang membuat airmataku mengalir. Sakit. Sakit sekali. Melihat Alan menyuapkan pancake miliknya ke mulut Flo. Hatiku, terasa perih. Sesak. Aku iri. Mengapa bukan aku saja yang berada disitu. Tak lama kemudian. Flo meyuapkan pancake miliknya ke arah Alan. Aku sudah tidak tahan. Aku harus pergi. Airmataku sudah mengalir deras. Kejam sekali semesta ini. Mengapa aku harus melihat kejadian ini. Aku juga yang salah. Mengapa rasa penasaranku begitu besar sehingga membuat aku yang terluka. Alan, dia benar-benar sudah menguasai pikiranku. Dan menyiksa hidupku saat ini.
Aku berlari kerumah. Mengunci kamar. Menjerit dibalik bantal. Aku ingin lenyap saja. Apa yang harus aku lakukan. Apa aki harus mengatakan hal yang aku rasakan kepada Alan.
Tak ingin ada yang tahu, aku menyimpannya selama ini. Tapi, ini sudah membuncah kelangi-langit batas kesabaranku. Aku harus mengatakan kepada Alan apa yang aku rasakan. Aku tak ingin kehilangan Alan dan Flo. Egoiskah aku. Entahlah.
Siang itu pulang sekolah. Flo mengajakku ketaman.
Chiki, hari ini aku berjanji dengan Alan ditaman kota. Apa kau mau ikut?" Tanyanya padaku. Aku masih berpikir inikah saat yang tepat untuk mengatakan kepada Flo jika aku menyukai Alan selama ini.
"Boleh. Aku juga tidak ada kerjaan sore ini. Apa aku tidak mengganggu?" Bohongku, padahal aku harus menjaga toko sore ini.
"Tidak..tidak...... malah aku  jadi Senang!" Flo mengembangkan senyum tulusnya.
Aku jahat. Aku jahat.
"Sebentar, aku mau ke toilet"
Mencuci muka, menarik nafas dalam-dalam. Aku tidak jahat. Aku hanya tidak ingin kehilangan keduanya. Aku tidak ingin kehilangan Alan orang yang aku sukai. Dan juga tidak ingin kehilangan Flo, sahabat yang memiliki hati yang tulus itu.
Aku tersentak, aku melihat Alan sedang berjalan sendiri menuju parkiran sepeda.
"Alan!" Panggilku
Dia berbalik dan berjalan ke arahku.
"Ada apa, Ra?"
"Kamu hari ini ada janji dengan Flo ditaman"
"Iya. Ada apa?"
"Sebaiknya kamu jauhi dia. Aku tak ingin Flo terluka. Aku tahu kamu, Lan. Penggemarmu akan melukai Flo. Ingat kejadian waktu di SMP dulu. Honey, sahabatku terluka parah akibat penggemarnu yang brutal. Dan aku tak ingin itu terjadi lagi kepada Flo, sahabatku"
"Aku...aku menyukainya, Ra. Sungguh aku tulus menyukainya"
"Jika kamu menyukainya, maka jauhi dirinya. Apa kamu ingin menyakitinya. Hidupnya sudah terlalu sakit, Lan. Dia tidak bisa mengingat apapun itu setelah dia bangun tidur. Semua akan terlupakan. Dan kamu, juga akan dilupakannya. Dia mengingatmu hanya karena ingin memotretmu. Tidak lebih dari itu. Ingat, Lan. Aku tak ingin kehilangan dia"
"Ternyata kamu, egois. Ra. Biarkan aku disamping Flo. Itu tidak akan mengubah persahabatan kalian"
"Tidaaak...!!! Aku tidak akan menyetujui. Aku akan egois untuk hal ini. Aku tak ingin kehilangan Flo dan Kamu!"
"Aku? Kenapa harus takut kehilanganku?"
"Sudah cukup, Lan. Aku sudah tidak tahan. Aku cemburu melihat keakraban kalian berdua. Sakit sekali. Aku menyukaimu selama dua tahun ini. Bahkan Honey sahabatku sendiri. Kamu juga sudah mengambil Honey dariku dan aku kehilanganmu juga. Aku tak ingin itu terjadi lagi"
Alan mematung sesaat.
"Maaf!aku tidak bisa. Aku tidak bisa membohongi perasaanku" Alan berlalu.
"Jika kamu menemuinya sore ini. Maka kamu juga akan kehilangan Flo, seperti kamu kehilangan Honey"
Alan berhenti sejenak. Pandangan Alan menjadi aneh. Marah. Aku tahu itu.
"Aku tidak main-main Alan"
Alan tak bergerak. Dia masih mematung di posisinya yang masih berdiri memunggungiku.
"Baiklah. Jaga Flo untukku, Ra. Tolong katakan padanya jangan lupakan aku. Aku pergi"
Alan pergi. Lega, tidak juga. Aku jahat. Jahat sekali. Tidak aku tidak jahat. Aku tak ingin Flo terluka. Apakah ini keinginanku yang kejam. Sebenarnya siapa yang akan terluka dalam hal ini. Aku, hanya aku.
Ditaman kota, Flo bercerita kepadaku. Semua tentang kebersamaanya dengan Alan. Sambil membaca buku harian Flo.
"Kamu jatuh cinta pada , Alan ya?" Tanyaku tiba-tiba menahan sesak didada.
"Jatuh cinta?"
"Iya"
"Mengapa setiap kali menyebut kata Alan, pipimu merona dan senyummu aneh"
"Tidak...tidak. aku tidak jatuh cinta dengannya"
"Flo, kamu bisa membohongi orang lain. Tapi, catatan ini. Apa yang bisa kamu bohongi disini"
Aku terdiam sesaat dan Flo juga termenung mendengar pernyataanku.
Flo memandang kosong kedepan. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu.
"Flo, aku tahu kamu mengaguminya. Tapi, aku harap kamu jangan terlalu berharap pada Alan. Dia itu banyak penggemarnya"
"Jadi"
"Tidak ada jadi-jadi, Flo. Cukup hanya mengaguminya. Tidak boleh lebih dari itu. Ntar, kamu sendiri yang menderita"
Kembali Flo terdiam.
Apakah aku jahat? Apakah aku egois. Aku tak ingin terluka.
Hari semakin malam dan mendung. Alan tidak juga kunjung datang berarti Alan memenuhi janjinya padaku. Aku tersenyum dalam hati. Tapi, aku melihat wajah kekecewaan yang mendalam Flo.
"Lama sekali. Sudah hampir malam" kataku melihat jam tanganku.
"Tunggu sebentar"
"Ini mau hujan, Flo. Sebaiknya kita pulang" Bujukku.
"Tapi, aku sudah berjanji dengan Alan"
"Sudahlah. Dia tidak mengingat janjimu"
"Tidak mungkin. Aku tetap menunggu disini"
"Flo, jangan keras kepala. Sejak kapan kamu sekeras ini. Alan mengubahmu menjadi aneh" kataku beranjak dari duduk.
"Aku akan menunggu Alan"
"Ini sudah rintik-rintik, Flo. Ayo pulang"
"Tidak!!!" Teriaknya. Yang membuatku agak kesal keinginannya itu. Aku menjadi kesal terlebih dengan tingkah Flo yang mau menunggu Alan.
"Baiklah. Aku pulang dulu. Ini hampir hujan. Aku tak ingin sakit" Aku berlalu meninggalkan Flo sendirian di taman itu.
Tapi, tidak benar-benar meninggalkannya. Langkahku terhenti. Ada perasaan tidak enak meninggalkan Flo sendirian di hari yang mendung sudah mau hujan ini.
Suara gemuruh geluduk sudah hilir mudik sana sini. Aku berhenti di pintu masuk taman.
15 menit berlalu, hujan mulai turun. Aku melihat Alan memakai baju seragam olahraga, hendak memasuki pintu taman. Aku mencegahnya. Ini tidak boleh terjadi.
"Alan!" Panggilku.
Alan menoleh .
"Ada apa?" Tanya seperti terburu-buru
"Jangan masuk" kataku menitiskan airmata
"Flo, sudah menunggu lama. Aku tak ingin dia kecewa"
"Jika kamu masuk, maka Flo yang akan menghilang dari kehidupanmu"
"Ada apa denganmu, Ra. Bukankah kalian bersahabat. Bukankah hanya kamu sahabatnya"
"Iya, karena itu. Hanya Flo sahabatku dan hanya aku sahabatnya Flo. Aku tak ingin kejadian itu terulang lagi, Lan"
"Flo, kamu jahat"
"Aku akan lebih jahat lagi, Lan. Jika kamu melanjutkan langkah kakimu masuk menemui Flo. Aku tidak main-main"
"Ada apa sih, Ra?"
"Sudah kubilang, aku menyukai selama ini. Aku tak ingin kamu dimiliki orang lain, selain aku. Apalagi dengan sahbatku. Kamu mengerti" aku sudah mengatakannya. Alan mematung. Petir pun menggelegar. Hujan turun. Kami saling mematung. Tak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulut Alan dan Aku. Hujan semakin lebat, sangat lebat.
Flo, ditengah hujan menerobos keluar taman. Dia tidak melihat aku dan Alan sedang berdiri di arah beresebrangan dari arah Flo keluar. Alan melihat Flo, aku menahan tangan Alan.
"Aku tidak main-main , Lan. Menjauh lah"
Alan terdiam.
"Jangan pernah lagi mendekat"
"Kamu jahat"
"Aku memang jahat. Jahat sekali"
"Aku berpikir, bahwa yang terjadi pada Honey juga ulahmu"
"Hehehehe....akhirnya kamu menyadarinya. Apa kamu ingin Flo seperti Honey?. Menghilang selamanya.
"Kamu...kamu...tidak pantas disebut sahabat, Ra"
"Pesanku jangan dekati Flo. Dia masih polos dan jangan pernah kamu beri tahu alasannya. Menjauhlah dari dia. Jauh sejauhnya. Sakiti dia , dengan cara menghilang tanpa kabar"
Alan masih mematung. Aku meninggalkannya ditengah hujan. Aku pulang dengan hati yang menggelora. Apa yang sudah aku lakukan. Apakah kejadian itu akan terjadi lagi. Jika Alan mendekati Flo. Aku kembali jahat. Aku sudah gila hanya karena ingin memiliki Alan.
Keesokan paginya, Aku tidak melihat Flo datang kesekolah. Aku tanya pada ibunya. Bahwa Flo terkena demam, karena hujan-hujanan pulang kemarin sore.
Aku menjenguknya, sambil membawa pancake strawberry kesukaannya.
Wajah Flo termenung, kosong dan hampa. Ada apa dengannya. Apakah dia sekecewa itu, ketika Alan tidak menepati janjinya. Seperti tidak ada semangat dalam dirinya.
"Pancake strawberry. Alan menitipkannya kepadaku. Dia minta maaf kemarin tidak menepati janjinya" aku berbohong lagi padanya untuk menyenangkan hati Flo
"Kemarin? Janji apa?" Tanya Flo heran. Berarti Flo tidak mencatat kejadiannya kemarin.
"Apa yang menyebabkanmu sakit, Flo?"
"Aku tidak tahu, tadi pagi aku bangun badanku panas. Ibu melarangku sekolah"
"Mana buku harianmu?" Tanyaku
"Didalam tas"
Aku mulai membuka lembar terakhir kali Flo menulis. Aku melihat tulisan tangan Alan disitu. Sebuah tulisan janji bertemu ditaman. Hatiku bergejolak. Kejutan apa yang ingin disampaikan Alan pada Flo. Kejutan menyenangkan apa itu. Aku penasaran.
"Semalam kamu tidak menulis apa-apa, Flo?" Kataku ingin sekali mencoret tulisan  Alan.
"Aku tidak tahu"
Akhirnya Aku menuliskan kejadian kemarin di buku harian itu. Tulisan yang akan membuat Flo membenci Alan. Setelah menuliskan dibuku harian Flo, aku pamit pulang.
Lega, tidak juga. Tapi, aku senang. Flo akan melupakan Alan. Dan selanjutnya, aku akan tetap berteman dengan Flo dan sudah dipastikan Aku tidak akan kehilangan Alan untuk kedua kalinya hanya karena sahabat.
Aku pamit.
Hari berganti hari, Aku tidak pernah melihat Alan mendekati Flo. Luar biasa sekali. Tulisanku berhasil membuat Flo membenci Alan. Aku melihat sudah tidak ada lagi foto-foto Alan dalam buku hariannya. Dan begitu juga Alan, menepati janjinya. Lelaki yang baik, selalu menepati janjinya. Itulah mengapa aku menyukai Alan.
Lelaki yang sempurna. Dan aku harus mendapatkannya.
Aku tetap bersahabat dengan Flo, selamanya. Tidak boleh ada yang memisahkan kami lagi.

Short

Aku memiliki ingatan yang aneh. Setiap kali aku mengenal orang baru, hanya akan bertahan sampai hari itu saja.
Sebenarnya aku juga ingin mengingat mereka semua. Akan tetapi aku tidak bisa.
Aku sudah berusaha mengobati penyakit aneh ini. Para ahli otak sudah memberiku sebuah pernyataan bahwa ingatanku sangat pendek. Memori hanya pada saat itu saja.
Tak banyak yang mengetahuinya. Hanya kedua orang tuaku. Mereka sangat terpukul atas hasil tesku.
Aku duduk diatas sebuah bangku panjang di sebuah taman kota. Menikmati angin sore yang sejuk. Menulis semua kejadian pada hari ini di sebuah buku harian dan memotretnya dalam sebuah lensa polaris.
"Hari ini, tepat di hari ke 100 aku menuliskan catatanku untuk kesekian kalinya. Tak ada yang istimewa hari ini. Hanya saja angin berhembus pelan di taman kota ini. Sangat damai dan sejuk. Lihat lah foto ini, pohon-pohon bunga yang sedang menari lembut. Mereka sedang berdendang. Seperti kumpulan nada angin itu membuatku bernyanyi indah dalam hati"
Aku menyudahi tulisanku hari ini.
Aku beranjak pulang dengan sepedaku. Mengumpulkan hasil jepretanku sore ini.
Kukayuh pedal sepedaku dengan pelan sambil menikmati pemandangan senja yang indah.
Bruuuk.....aku menabrak sesuatu. Disana ada sebuah kaki yang menjulur dari balik pohon pagar.
"Aduuuuh!!" Teriaknya
Aku menghentikan kayuhanku. Menyandarkan sepedaku bangku taman.
"Maaf!" Kataku mencoba mencari sumber suara aduh itu.
Seseorang mencoba bangkit. Pohon pagar itu bergrasak grusuk. Keluarlah seorang laki-laki dengan rambut acak-acakkan. Matanya seperti bangun tidur.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyaku
"Aku sedang tidur" jawabnya membenarkan tataan rambutnya
"Mengapa disini?"
"Anginnya sejuk"
Aku memandang jurus kematanya yang berwarna cokelat terang. Mungkin dia blasteran. Rambut hitam yang tebal itu tertiup angin , aroma shampo yang mencolok.
"Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau ada kaki disitu" kata ku sambil menunduk sesal
"Tidak apa. Aku juga yang salah tidur sembarangan. Habisnya aku lelah sekali"
"Baiklah. Aku pamit dulu. Sudah sore" aku minta diri dan mengayuh sepedaku kembali.
Disekolah, aku tidak mempunyai banyak teman. Hanya satu, karena hanya dia yang aku ingat. Chiki, aku memanggilnya seperti itu. Karena dia sangat suka sekali dengan makanan ringan itu. Dia tidak ada masalah dengan panggilan itu.
Pagi ini seperti biasanya, aku pergi kesekolah bersama sepedaku. Mengayuh pelan masih menikmati angin pagi yang sejuk. Memandangi langit biru yang mulai menderang. Mentari yang indah.
"Pagi, Chiki" sapaku kepada Chiki. Bagaimana aku tahu dia Chiki. Karena setiap pagi kebiasaan chiki selalu sama. Duduk dibangku kelas paling belakang, sambil memegang jajanan ringan itu. Chiki selalu menggantungkan headset di lehernya.
"Pagi, Flo. Bagaimana tidurmu?"
"Tidurku nyenyak"
Kode setiap pagi lainnya adalah tidur. Chiki selalu bertanya tentang tidurku. Setiap hari dan setiap pagi.
Kelaspun dimulai. Mengenai pelajaran aku memang kalah jauh dari teman-temanku yang lainnya. Karena memang aku tidak begitu cepat mengingat. Namun, aku terbantu oleh catatan-catatanku.
Jam istirahatpun tiba. Aku bersama Chiki menghabiskan cemilan kami hanya di taman sekolah. Chiki sambil mendengarkan musik, sesangkan aku dengan kamera polarisku memotret suasana sekolah.
"Chiki, aku hendak ke toilet"
"Mau aku temani?"
"Tidak perlu"
Perjalananku terhenti pada sebuah suara.
"Hoi...hoi..." teriak sebuah suara itu yang mulai mendekat. Tepat di depan toilet wanita aku berdiri.
Aku heran, siapa dia. Yang sedang berdiri dihadapanku. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan anak rambut yang di ikat kebelakang.
"Hei, kamu yang kemarin sore nabrak kaki aku ya?"
"Hm"
Aku heran siapa dia. Menabrak kakinya. Kemarin sore. Aku mengernyitkan dahiku.
"Kamu gak ingat ya?"
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tapi, tunggu dulu mengapa aku tidak asing dengan mata cokelat terang itu. Aku pernah melihatnya. Namun, dimana.
Laki-laki bertubuh tinggi itupun tesenyum pahit padaku. Sepertinya dia kecewa. Mungkin saja aku pernah bertemu dengannya. Aku mencoba mengingat, tapi tidak ada satupun memoriku yang tersangkut dengannya.
"Tunggu dulu!" Teriakku
Lelaki itu berhenti.
"Siapa namamu?" Tanyaku
"Alan"
"Aku, Flo. Bisa aku memotret wajahmu?"
"Heh...untuk apa?"
Aku terdiam. Aku juga tidak tahu untuk apa aku memotretnya. Tetapi, aku hanya ingin memotretnya. Untuk saat ini aku hanya ingin memotretnya saja.
Aku mengangkat bahuku "aku hanya ingin memotretmu saja"
"Hm...apa karena wajahku yang keren" katanya mencoba menggoda
"Tidak. Aku hanya ingin memotretmu"
"Baiklah. Aku harus bagaimana gayanya?"
"Coba kamu berdiri tepat di depan pintu itu"
"Hei, ini toilet wanita. Kamu pikir aku ini mesum. Atau jangan-jangan kamu mau menyebarkan fotoku keseluruh murid disini untuk kami bully ya"
"Tidak...tidak....!" Jawabku segera menyanggah. Aku juga tidak tahu mengapa aku harus memotretnya didepan toilet wanita.
"Sebuah lembar cetak kertas putih keluar dari dalam kamera. Aku mengibas-ngibaskannya keudara. Fotonya jadi.
"Tulis namamu disini"
"Baiklah"
Aku kembali ketaman, disana masih ada Chiki sedang menikmati musik. Aku mengguit bahu Chiki pelan dan memperlihatkannya sebuah foto yang baru saja aku potret.
"Alan!" Katanya langsung ketika melihat objek didalam foto itu
"Kamu mengenalnya?"
"Siapa yang tidak mengenalnya, Flo. Hanya kamu disekolah ini yang tidak mengenalnya. Dia siswa jenius di sekolah. Sudah 4 piala juara satu diraihnya. Juara olimpiade sains antar sekolah, olimpiade matematika dua kali dan yang terakhir juara olimpiade sains dunia. Ingatannya tajam. Tidak seperti kamu"
"Hehehehe...."
Hanya aku sendiri yang tidak mengenalnya disekolah ini. Begitu kejam sekali, bukan.
Terkadang aku suka benci dengan keadaanku. Terkadang aku juga iri dengan mereka yang banyak teman. Saling bercanda ketika perjalanan pulang sekolah. Saling berbagi mengerjakan tugas sekolah. Aku sedikit cemburu dengan hal itu.
Sore ini, sekembalinya aku pulang sekolah. Kembali aku menikmati senja ditaman. Aku membuka buku harianku dan meletakkan foto Alan disalah satu halamannya.
"Jahat sekali ya, aku tidak mengenal pria jenius ini. Tidak tahu siapa dia. Sepertinya dunia menyembunyikannya dariku. Hanya aku yang tidak tahu keberadaannya. Alan, yang mengaku pernah bertemu denganku kemarin sore....~"
Tulisanku terhenti, kemarin sore. Aku membuka halaman sebelumnya. Membaca ulang. Dan tidak ada disitu tertulis aku telah bertemu dengan Alan ataupun menbsraknya. Aku mencoba mengingatnya kembali namun tidak bisa. Berusaha. Tetap berusaha. Akh! Aku memang tidak bisa mengingantnya.
"Hei..." sapa seorang pria berambut acak-acakan itu.
"Hei..." balasku
"Ingat aku!"
Aku mengernyitkan dahiku. Aku pernah melihatnya. Tapi, dimana.
"Apa itu?" Tanyanya sambil menunjuk buku harianku.
"Ini. Ini memoriku"
"Eh....memori?"
Aku mengangguk pelan
"Boleh aku lihat?"
"Tidak" aku menggelengkan kepalaku beberpa kali.
"Okelah. Apa kamu tidak ingat aku. Tadi pagi, di toilet"
"Toilet?" aku langsung membuka buku harianku. Dan disitu terlihat foto Alan.
"Itu" Dia menunjuk ke foto tersebut
"Kamu?"
"Iya"
"Alan?"
"Iya"
Aku tersenyum padanya. Aku mengingatnya. Dia Alan. Yang tadi pagi aku memintanya untuk ku potret. Aku melanjutkan lagi tulisanku dibuku harian.
"Aku bertemu lagi dengan lelaki di toilet tadi pagi disore ini. Namanya alan. Dia memiliki mata yang indah. Aku menyukai matanya. Ternyata kami satu sekolah. Dia siswa jenius itu. Selalu memengkan juara olimpiade dan yang terakhir aku ingin memotretnya"
"Wow...lengkap sekali" Alan melihat tulisanku
"Eh...." segera aku menutup bukunya
"Kenapa?"
"Ini rahasia. Tidak boleh ada yang tahu"
"Maksudku, kenapa harus ditulis begitu rinci?"
"Tidak apa - apa?" Jawabku yang tak ingin Alan tahu apa penyebabnya aku selalu menulis buku harian.
"Kamu boleh memotretku kapan saja"
"Eh" aku terkejut mendengar pernyataan Alan yang membuat jantung berdegup aneh.
"Kalau kamu ingin memotretku silahkan. Besok temui aku dilapangan bola kaki diseberang taman ini. Aku ada pertandingan. Bawalah kamera digital. Kamu boleh memotretku"
"Eh...!"
Alan meraih buku harianku. Dia menulis sesuatu disana. Aku tidak bisa membacanya.
"Baca buku harianmu. Aku tunggu besok"
Alan beranjak dari bangku taman itu. Meinggalkan sebuah catatan di buku harianku. Aku membukanya, dan membaca tulisan itu. Hatiku, terasa aneh. Senang memiliki teman baru. Alan.
Sore ketika pertandingan Alan dimulai. Aku sendiri mengayuh sepedaku menuju lapanngan bola kaki. Membawa buku harianku dan kamera digital. Seperti sebuah janji yang harus aku tepati. Ini janji pertamaku dengan teman baruku, Alan.
Disana Alan sudah memakai pakaian bola. Dia keren sekali.
"Hai....dia melambaikan tangannya kearahku"
Aku membalasnya dengan sebuah lambaian dan senyuman.
"Aku mencarimu. Aku kira kamu tidak datang" Alan menghampiriku di deretan duduk penonton
"Aku telat, ya?"
"Tidak. Kami masih pemanasan"
Jepret....!!! Tanganku langsung bergerak memotretnya. Refleks.
"Wow!!!kamu langsung memotretku. Semangat sekali. Membuatku jadi salah tingkah"
"Eh....maaf, maaf. Aku tidak tahu. Refleks saja ingin memotretmu seperti ini"
Senyum itu, mata itu aku tak ingin lupakan semuanya. Itu yang membuat jantungku terasa aneh. Dan itu juga yang membuatku bersemangat.
Aku menyaksikan Alan bertanding. Pertandingan yang seru. Alan di penuhi peluh disekujur tubuhnya. Seragamnya basah. Sesekali Alan mengibas-ngibaskan bajunya karena gerah. Aku memotret kejadian itu semua. Semunya tidak sedetikpun aku melewatnya. Alan sedang istirahat dibangku cadangan. Alan sedang meraih umpan bola. Alan sedang meminum air mineral dari botolnya. Alan mengelap keringatnya.
Aku seperti orang aneh saja. Kutuliskan itu semua didalam buku harianku.
Dan ini juga menjadi awal, aku mulai berteman dengan Alan.
Disekolah, Aku dan Alan selalu bertemu di taman sekolah untuk menghabiskan cemilan kami. Chiki, juga sudah mengetahuinya. Chiki menerima Alan sebagai temanku. Namun, yang aku anehkan sikap Chiki ke Alan.
"Chiki, sepertinya kamu benci Alan, ya?" Tanyaku
"Tidak"
"Lalu kenapa sikapmu seperti membencinya"
"Itu hanya perasaanmu saja, Flo"
"Oh..."
"Sudahlah. Mau pulang bareng?"
"Tidak, Alan ingin mengajakku ke sebuah kafe pancake"
"Hm....baiklah. selamat bersenang-senang"
Alan sudah menungguku di parkiran sepeda. Ternyata Alan juga bersepda kesekolah. Kami mengayuh sepeda kami masing-masing menuju kafe pancake yang baru saja buka. Ramai sekali. Antrian panjang. Alan menyuruhku untuk tetap duduk dikursi pengunjung.
"Aku saja yang mengantri. Kamu mau pancake rasa apa?"
"Strawberry"
15 menit aku menunggu Alan. Dua pancake sudah berada ditangannya. Rasa strawberry dan rasa melon.
"Kamu mau coba?" Tanya Alan menawarkan pancake miliknya
"Tidak"
"Tidak apa-apa. Makanlah. Enak kok"
"Tidak"
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tiba-tiba saja secuil pancake melon sudah mendarat di mulutku.
"Makanlah, enak kok" katanya memakan pancake miliknya.
Deg...deg....
Aneh sekali. Apa ini, aku belum pernah seperti ini. Aku tidak sanggup memandang wajah Alan berlama-lama.
"Kamu mau coba pancakeku"
"Boleh" jawab Alan
Aku memberinya cuilan agak besar kearahnya. Namun, Alan membuka mulutnya.
Aku terhenti, bagaimana ini. Apa kau harus menyuapkan pancakeku ke mulutnya. Aku gugup. Belum sampai kemulutnya, tangan Alan sudah meraih tanganku dan langsung menyuapkannya kemulutnya.
Ya, ampun jantungku sepertinya sudah hampir mau gila detakannya. Aku gugup sekali.
"Terima kasih untuk hari ini" kata Alan
"Seharusnya aku yang terima kasih"
"Mana buku harianmu?"
"Didalam tas"
"Aku mau menulis sesuatu disana. Janji kita berikutnya"
"Eh"
Aku terkejut. Janji berikutnya. Aku mengeluarkan buku harianku dan menyerahkan kepada Alan. Dia menulis sesuatu disana.
Malam ini sebelum tidur aku membaca buku harianku. Membaca ulang semua tulisanku hari ini.
"Terima kasih Alan, atas hari ini. Aku menyukai hari ini. Alan membawaku makan pancake bersama. Ternyata rasa melon juga enak. Tapi, aku merasa aneh dengan diriku. Mengapa aku begitu senang sekali ketika berada di dekat Alan. Dia baik. Aku membaca janjiku dengannya. Besok aku akan bertemu dengannya di taman kota. Hari yang indah. Jantungku berdegup kencang , seperti tornado saja"
Badai ini, aku tidak tahu namanya. Badai gila ini, aku tidak bisa menghindarinya. Hari ini, sekolah terlalu sibuk dengan ujian tengah semester. Aku tidak ads bertemu dengan Alan hari ini disekolah. Seperti tidak bersemangat.
"Chiki, hari ini aku berjanji dengan Alan ditaman kota. Apa kau mau ikut?"
"Boleh. Aku juga tidak ada kerjaan sore ini. Apa aku tidak mengganggu?"
"Tidak..tidak...... malah aku  jadi Senang!" Aku senang sekali. Berkumpul bersama kedua temanku.
Sore itu, seperti biasa. Langit agak mendung. Seperti mau hujan. Aku bersama Chiki sedang duduk dibangku taman yang biasanya aku tempati. Aku mulai bercerita kepada Chiki kegiatanku setiap harinya ditaman ini. Memotret alam, bunga-bunga, kupu-kupu yang hinggap. Bahkan memotret Alan setiap kali bertemu ditaman.
Chiki senang mendengar ceritaku.
"Kamu jatuh cinta pada , Alan ya?"
"Jatuh cinta?"
"Iya"
"Mengapa setiap kali menyebut kata Alan, pipimu merona dan senyummu aneh"
"Tidak...tidak. aku tidak jatuh cinta dengannya"
"Flo, kamu bisa membohongi orang lain. Tapi, catatan ini. Apa yang bisa kamu bohongi disini"
Chiki membaca buku harianku. Aku tidak pernah marah ketika Chiki membaca buku harianku. Karena dia temanku.
Aku terdiam. Jatuh cinta, kata itu belum pernah aku rasakan sebelumnya.
"Flo, aku tahu kamu mengaguminya. Tapi, aku harap kamu jangan terlalu berharap pada Alan. Dia itu banyak penggemarnya"
"Jadi"
"Tidak ada jadi-jadi, Flo. Cukup hanya mengaguminya. Tidak boleh lebih dari itu. Ntar, kamu sendiri yang menderita"
Mendengar pernyataan Chiki itu. Aku terdiam sejenak. Memikirkan dan mengolah proses pernyataan itu dengan benar. Mungkin saja yang dikatakan Chiki itu benar. Aku tidak boleh jatuh cinta pada Alan.
"Lama sekali. Sudah hampir malam" kata Chiki melihat jam tangannya.
"Tunggu sebentar"
"Ini mau hujan, Flo. Sebaiknya kita pulang"
"Tapi, aku sudah berjanji dengan Alan"
"Sudahlah. Dia tidak mengingat janjimu"
"Tidak mungkin. Aku tetap menunggu disini"
"Flo, jangan keras kepala. Sejak kapan kamu sekeras ini. Alan mengubahmu menjadi aneh" kata chiki beranjak dari duduknya.
"Aku akan menunggu Alan"
"Ini sudah rintik-rintik, Flo. Ayo pulang"
"Tidak!!!" Teriakku.
Aku tak ingin membuat Alan kecewa hanya karena aku tidak menunggunya. Tidak menepati janjinya.
"Baiklah. Aku pulang dulu. Ini hampir hujan. Aku tak ingin sakit" Chiki berlalu meninggalkanku.
Suara geluduk hilir mudik ditelinga. Kilatan petir terlihat dimana-mana. Hujanpun tiba. Aku meneduh disebuah bangunan beratap dekat bangku taman. Hari sudah malam. Alan belum datang juga. Pakaianku sedikit basah, rambutku juga. Dingin. Sangat dingin. Angin kencang menyerbu. Suara petir menggelegar. Tapi, terasa sepi. Hampa. Angin yang masuk kedalam hatiku terasa tak bernyawa. Ada apa ini. Apa yang terjadi denganku. Ada yang sakit dibagian tertentu yang aku tidak tahu apa namanya. Sesak, panas didada ini yang membuat udara dingin menjadi panas. Seperti ada yang sedang mendidih. Aku kecewa.
Aku pulang hujan-hujanan. Aku tak ingin ayah dan ibuku khawatir. Dan ini pula yang menyebabkan aku tidak masuk kesekolah pada hari ini.
Aku terbaring dikamar. Memandangi langit-langit kamarku. Sebuah ketukan dari luar kamarku terdengar.
"Masuk, bu!"
"Ada tamu"
"Siapa, bu?"
"Chiki"
Ternyata sudah pulang sekolah. Chiki yang masih berseragam sekolah memasuki kamarku sambil membawa sekantong plastik yang aku tidak tahu apa isinya.
"Pancake strawberry. Alan menitipkannya kepadaku. Dia minta maaf kemarin tidak menepati janjinya"
"Kemarin? Janji apa?" Tanyaku heran.
"Apa yang menyebabkanmu sakit, Flo?"
"Aku tidak tahu, tadi pagi aku bangun badanku panas. Ibu melarangku sekolah"
"Mana buku harianmu?"
"Didalam tas"
Aku tidak sempat membaca ulang buku harianku tadi malam.
Chiki mulai membuka lembar terakhir kali aku menulis. Chiki mengernyitkan dahinya.
"Semalam kau tidak menulis apa-apa, Flo?"
"Aku tidak tahu"
Wajah Chiki berubah aneh. Ada apa? Apa yang terjadi kemarin sore. Aku lupa mencatatnya.
Chiki tidak bisa berlama-lama menjengukku. Dia harus bekerja paruh waktu di toko pamannya.
Malam ini, aku membaca kembali buku harianku. Disitu tertulis,
"Tunggu aku ditaman. Jangan pergi kemana-mana sampai aku datang. Aku akan memberikanmu kejutan" janji Alan
Hatiku berdegup. Kejutan apa itu yang membuatku senang. Mengapa aku bisa menuliskan kejutan yang membuatku senang. Besok, akan aku tanya kepada Alan. Aku membuat tanda tanya besar di halaman janji Alan.
Malam berganti. Pagi ini, Aku pergi ketaman sekolah sendiri. Chiki harus menyerahkan formulir peserta sebagai voli putri mewakili sekolah. Menanti kedatangan Alan. Namun, Alan tidak menampakkan dirinya. Hanya angin yang menemaniku pada saat jam istirahat itu. Sepi, tak ada senyuman dan tawa Alan. Dimana dia. Aku memberanikan diri mencarinya kekelasnya. Namun, aku juga tidak menemukannya. Bertanya kepada temannya. Mereka juga tidak tahu dimana Alan. Dimana Alan?. Aku mencoba mencarinya di klub olimpiade, tidak ada. Di lapangan bola kaki, tidak ada. Dimana Alan?. Aku mulai aneh, aneh sekali. Seperti ada yang hilang di hariku. Aura semangat itu tidak muncul hari ini. Aku mulai melamun. Inikah rasanya kehilangan. Aku pernah kehilangan kucing kesayanganku, tetapi tidak seperti ini. Aku ingin menangis tapi, tidak tahu airmataku tidak mengalir. Tidak seperti kehilangan kucing kesayanganku yang aku meraung-raung melihat tubuh kecilnya terbujur kaku. Ini, apa yang membuatku sedih. Menangis untuk siapa?.
"Flo, sadarlah. Alan jauh dari jangkauanmu. Dia menghilang"
"Alan dimana?"
"Dia menghilang. Aku kira dia berbeda. Ternyata dia lelaki pengecut. Tidak meminta maaf langsung padamu"
"Maaf untuk apa?"
"Flo, mana buku harianmu. Ada halaman yang tidak kai tulis. Sini" Chiki mengambil buku harianku.
Dia menuliskan sesuatu. Chiki mengembalikan buku harianku.
"Bacalah sebelum tidur malam ini. Kamu akan tahu Alan itu seperti apa"
Aku mengangguk-angguk.
"Ingat, baca malam ini"
"Iya"
Terasa begitu lama siang berganti malam. Aku sudah tidak sabar ingin membaca tulisan Chiki.
Seusai mandi, aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidurku. Meraih buku harianku. Dan membaca tulisan Chiki.
"Sore ini, aku Chiki dan sahabatku Flo sedang menunggu janji Alan. Kami berbincang-bincang. Yang baru aku sadari ternyata Flo jatuh cinta pada Alan. Sebenarnya aku tidak terkejut dengan perasaan Flo terhadap Alan. Karena hanya Alan, lelaki yang selama ini yang mendekati Flo. Tapi, aku tidak yakin dengan perhatian Alan selama ini dengan Flo. Aku mencoba menjelaskan kepada Flo tentang perasaannya, namun Flo tidak begity yakin dengan alasanku. Sore, semakin mendung bahkan sudah turun rintik hujan. Aku menyuruhnya untuk pulang kerumah. Akan tetapi, Flo menolak. Flo tetap menunggu Alan, yang aku tahu inilah keanehan yang terjadi pada Flo. Keras kepala, tidak menuruti kataku. Aku sedih sebenanrnya melihat perubahan Flo. Tapi, aku membiarkannya sendiri. Aku hanya tak ingin Flo terluka. Aku tahu, perasaan Flo begitu tulus menunggu janji Alan. Tapi, lihatlah pada akhirnya Alan tidak datang. Hingga hujan pun turun, Flo pulang dengan basah kuyup dan sakit. Hanya kata maaf tanpa alasan yang terucap dari Alan yang tidak menemui Flo secara langsung. Alan itu pengecut"
Tulisan Chiki berakhir yang membuat air mataku mengalir. Inikah rasanya sakit namun tidak ada luka yang terlihat. Aku tidak mengerti tentang perasaan ini. Begitu singkat sekali. Serasa masih begitu singkat aku merasakan kesenangan yang luar biasa. Aku memandang foto Alan dengan senyuman yang aku sukai. Kemana pergi senyuman ini. Hilang begitu saja. Seperti tornado. Perasaan ini seperti tornado. Mengacak-ngacak seisi hariku dan menabrak kesegela arah dan pada akhirnya luluh lantah.
Lalu aku buka halaman berikutnya.
Halaman berikutnya. Halaman berikutnya.
Dan mataku terhenti pada tulisan yang aku tidak tahu kapan tulisan itu tertulis dihalaman itu.
"Maaf....aku minta maaf. Chiki bercerita kepadaku tentang perasaanmu terhadapku. Sebenanrya aku ingin membalasnya. Tapi, aku tidak bisa. Maaf, aku tidak bisa memberikan alasannya. Aku belum bisa bercerita kepadamu. Tapi, suatu hari nanti aku akan menceritakannya padamu. Aku berjanji. Maaf, aku tidak datang sore itu. Aku tak ingin menyakitimu lebih dalam lagi. Maaf, aku tak sengaja menyakitimu. Maaf. Alan"
Aku menangis, menahan rasa sakit yang membuat hatiku luluh lantah. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Alasan yang begitu tidak ku mengerti. Foto-foto Alan, aku lepas dari buku harianku. Aku membuangnya ke tong sampah. Yang aku tahu dia jahat saat itu. Jahat sekali.
Sebulan berlalu, aku bersama Chiki sedang duduk ditaman. Bercanda ria. Tertawa melihat kucing yang sedang berlarian. Hari yang indah. Aku memotret kejadian hari ini. Senyum Chiki berkembang dengan semangat.
Aku akan merindukan hari ini.
Angin yang indah.

Senin, 02 Mei 2016

Numeral

"Jiro, bisa kita bicara sebentar?" Ajak Panca
"Bisa" Jiro mengikuti Panca ke pelataran Barat.
"Apa kau gugup?" Tanya Panca
"Iya, sedikit. Walaupun sudah tiga kali simulasi, aku tetap merasa gugup"
"Sama. Ini untuk ke lima kalinya aku mengikuti misi ini. Misi pertama aku kehilangan Sijji"
"Sijji? Bukannya dia masih hidup?"
"Dia itu Sijji yang lahir setelah Sijji sebelumnya mati. Dengan memori dihapus penuh. Semua akan terlupakan dimasa lalu"
"Itu sebabnya kau tidak perlu mengetahui masa lalu mu"
Panca mengangguk pelan. "Aku adalah Panca yang kesekian kali atau aku mungkin Panca yang pertama. Akupun tidak tahu"
"Jangan-jangan aku juga seperti kalian"
"Tidak, kai berbeda Jiro. Kondisi fisikmu membuktikan kau berbeda dari kami. Kau manusia spesial dan istimewa"
"Tak perlu memujiku seperti itu"
"Jadi, aku mohon jika aku mati pada misi kali ini. Aku akan melupakanmu, melupakan segalanya"
"Jangan terlalu mendramatisir keadaan , Panca. Bukankah kita sudah berlatih selama sebulan ini"
"Kenangan-kenangan selama latihan tolong jangan lupakan. Tawa-tawa kita. Airmata kita. Kemarahan kita. Tolong jangan lupakan. Jika itupun terjadi, ingatkan aku kembali di nyawa baruku" Panca mencoba menahan airmatanya.
"Mengapa, kau begitu sedih Panca?kau kehilangan Sijji!"
"Aku kehilangan segalanya, kehilangan semangat hidupku"
"Sudahlah, jangan bersedih. Aku akan tetap menjaga kenangan itu. Kenangan bersama kita"
"Terima kasih, Jiro"
"Bagaimana dengan Duwo, Tillu, dan Ampex? Apa mereka juga mengalami hal yang sama"
"Di klan ini sudah banyak melakukan percobaan ke kawasan endemik virus sulfur acid. Aku hanya ingat baru melakukan 5 kali percobaan dan aku selamat. Itu saja yang aku ingat"
"Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi tentang hal itu. Sebaiknya kita istirahat, besok kita harus dalam kondisi bersemangat, bukan!"
"Hu um" jawab Panca dengan senyuman.
Bukan hanya Panca. Bahkan Sijji, juga gugup karena dia tahu apa yang akan terjadi mereka akan gagal dengan percobaan ini. Hilang ingatan dan kembali seperti sedia kala dengan memori mendasar. Tak ada kenangan masa lalu. Sijji masih menatapi, sehelai kain milik Sijji dimasa lalu. Begitu Duwo, yang masih didalam Jet Super Sonic. Memperhatikan sekeliling. Ini mungkin Jet yang kesekian kalinya yang diciptakannya. Ampex masih bergelut dengan profesor komples di laboratorium. Dan Tillu berada di ruangannya memandang foto Duwo di masa lalu. Tetes airmata Tilluh mengalir dipipinya.
Dan besokpun tiba. Seragam tim klan numeral sudah tergantung rapi diruangan A. Disana sudah ada Jiro dan Duwo. Disusul Sijji dan Panca. Dan terakhir Ampex sambil membawa sekoper serum anti sulfur yang harus mereka minum kecuali Jiro.
"Kau tak perlu meminumnya,Jiro" kata Ampex
"Ok!" Jiro mundur dari kerumanan itu.
Serum itu berguna untuk daya tahan tubuh mereka selama 48 jam selama di kawasan endemik virus sulfur acid.
Jiro memperhatikan mereka satu persatu. Mencoba mengingat betul kejadian pagi ini
"Bagaimana kalau kita foto-foto?" Ajak Jiro.
Mereka menoleh kaget dengan keinginan Jiro.
"Untuk apa?" Tanya Tilluh
"Aku hanya ingin berfoto"
"Baiklah" seru Sijji senang.
Ada raut aneh diwajah Duwo, Tilluh dan Panca.
Dan akhirnya mereka berenam berfoto bersama. Dengan senyuman semangat mengembang diwajah mereka.
Ketukan pintu ruangan A tiba.
Mereka segera keluar dari ruangan menuju pelataran Timur.
Percobaan kesekian kalinya. Tim yang sama dengan kemampuan yang berbeda. Namun Kali ini mereka membawa senjata paling ampuh. Senjata yang sangat dirahasiakan.
Numeral datang dengan wajah yang lelah. Kantung matanya terlihat jelas.
"Ada apa dengan matamu, Numeral?" Tanya Doktor Biner yang berada disebelah Sijji.
"Aku tidak bisa tidur"
"Memikirkan kami, Presiden?" Tanya Duwo sambil tersenyum lembut dan bersemangat
"Tentu saja. Kalian anak-anakku yang istimewa. Semoga kalian selamat kembali kemarkas"
"Tentu saja Presiden!" Jawab Sijji dengan tegas.
Semua sudah berkumpul. Sijji memakai topi favoritnya, topi berwarna biru langit yang bertulisan I'm #1. Duwo memakai jaket kulit terbaiknya, hadiah dari Tilluh ketika siuman tahun lalu. Tilluh membawa kacamata tercanggihnya sebagai alat bantunya dalam bekerja dan meretas sistem pertahanan klan lain untuk lancar menuju kawasan endemik virus sulfur acid. Ampex seperti biasa , tak ada yang berbeda. Rambutnya masih acak-acakan. Kacamata tebalnya selalu terpasang kokoh dihidung mancungnya. Panca yang terlihat arogan, kali ini sangat terlihat seperti super hero yang sedang bersemangat. Matanya yang berbinar penuh kepercayaan diri. Sedangkan Jiro, yang belum pernah ikut misi ini sebelumnya hanya terlihat sangat gugup.
"Sudah jangan terlihat gugup seperti itu" tiba-tiba Duwo menepuk pundak Jiro pelan. Jiro tersentak dan melanjutkan keteguhan hatinya untuk misi pertamanya.
Mereka berenam memasuki Jet Super Sonic. Pintu Jet menutup perlahan. Semua akan ditinggalkan. Semua berharap mereka kembali dengan selamat.
Duwo mulai mengambil alih pilot. Duduk didepan papan yang penuh tombol. Yang hanya Duwo mengerti fungsi tombol-tombol itu semua. Sijji berada disamping kiri belakang Duwo, lalu disebelahnya ada Tilluh, selanjutnya Ampex. Dan yang berada diposisi belakang ada Jiro serta Panca. Mereka memasang sabuk pengaman. Tombol power telah di tekan. Dan semua melesat langsung dengan kecepatan super. Seperti kilat. Tilluh mulai sibuk dengan kacamatanya. Menentukan dikoordinat mana mereka harus berjalan. Agar tidak diketahui radar infra merah milik klan lainnya.
"Kearah 110° lintang timur , belok ke arah tumur laut kecepatan 150 km/permenit. Kurangi kecepatan. Ada radar aneh didepan. Akan aku singkirkan itu. Sebentar" Tilluh mulai mendeteksi keadaan. Keseriusannya melihat dari kacamata super canggih. Fokus. Tidak boleh ada yang mengganggu.
"Aman!" Lanjutnya
"Bagaimana sekarang. Sistem keamanan Klan Flora dan Fauna sudah kuretas. Dan kita dapat santai di daerah sana. Mengisi amunisi di pemberhentian pertama"
"Kau yakin Tilluh?" Tanya Duwo yang masih menekan beberapa tombol penting yang berwarna warni
"Yakin sekali. Kau tak percaya padaku, Duwo?"
"Hahahaha...baiklah"
Kecepatan Jetpun dikurangi. Mereka akan berhenti diperberhentian pertama. Sebuah lahan yang mereka ciptakan untuk mengisi gas udara.
"Sudah saatnya kita memakai senjata itu" kata Sijji.
"Iya. Aku sudah menuliskan strateginya" Panca menyalakan proyektornya. Sebuah meja bundar sudah berada didalam Jet itu muncul dari bawah.
"Silahkan, Panca" suruh Sijji.
"Baiklah, untuk strategi pertama. Jika Jet ini tidak tembus dari radar infra merah klan semesta. Kita harus memakai jet cadangan. Ada 5 jet disini, aku akan bersama Jiro"
"Tidak!" Bantah Sijji sambil memandang ke arah Panca dengan ketidaksetujuannya. Namun, sebelum memberi alasan berikutnya, Sijji sudah dikalahkan oleh mata Panca yang membujuknya untuk setuju.
"Baiklah" kata Sijji menarik nafasnya
"Oke, kita lanjutkan. Jet pertama dibawa Sijji akan masuk dari gerbang timur. Lalu jet kedua dibawa duwo akan masuk dari gerbang selatan. Terus jet ketiga akan dibawa Tilluh masuk dari gerbang utara dan Jet keempat akan masuk dari gerbang barat dibawa oleh Ampex. Lalu jet yang terakhir. Kami akan masuk dari gerbang langit-langit"
"Kode seperti biasa" kata Duwo
"Sebaiknya, kita menggunakan senjata ini" kata Ampex "aku khawatir soal misi beberapa tahun yang lalu. Mereka terlalu gegabah dengan strategi ini"
Panca menggeser layarnya. Sebuah video simulasi virtual ditunjukkannya.
Sebuah simulasi yang akan mereka pergunakan saat ini.
"Hei, perhentian pertama sudah dekat. Pakai helem kalian" kata Duwo melihat layar besar yang membentang dihadapannya.
Perhentian pertama sangat sepi. Ini baru 10 menit berlalu. Mengisi oksigen, karena mereka akan perlu banyak oksigen untuk masuk kedaerah endemik itu. Dan persiapanpun di mulai. Segala kebutuhan sudah dipenuhi. Jet kembali meluncur diatas kawasan daerah Klan Semesta.
"Aku tahu mereka klan terendah. Tapi, kalau bicara soal keamanan mereka juaranya" jelas Sijji.
"Jadi, kriteria untuk menjadi klan terbaik itu apa?" Tanya Jiro
"Banyaknya orang-orang yang akan masuk klan melalui voting setiap 10 tahun sekali" Jelas Panca
"Ini sudah tahun keberapa?" Jiro kembali bertanya
"Sekitar 2 tahun lagi akan di buat voting besar-besaran"
"Oh"
Jet masih berputar-putar di pintu terluar sistem keamanan Klan semesta.
Tillu kembali sibuk dengan kacamata canggihnya. Sepertinya sangat sulit untuk menerobos sistemnya. Bahkan Jet Super Sonic yang tercanggihpun tidak mampu menembusnya. Tingkat infra-red pada kelas A. Mendeteksi hal sekecil atom.
"Baiklah, kita akan mengikuti cara panca" kata Tillu menyerah sambil melepaskan kacamatanya
"Ok"
Dengan sigap mereka mengatur posisi sesuai rencana Panca. Mesin Jet dimatikan secara otomatis, membiarkan Jet melayang-layang diudara dengan bantuan ikatan infra red. Jet tidak akan terlihat dengan mata telanjanh kecuali matanya memiliki sistem infra red.

Minggu, 01 Mei 2016

Jatuh Cinta

You know...
Jatuh cinta itu aneh
Seberapa usiamu
Jatuh cinta itu tetaplah menjadi aneh
Bahkan dipenghujung waktu
Itu tetaplah aneh
You know...
Jatuh cinta itu gila
Gila sekali
Bahkan berkali-kali merasakannya
Tetap saja menjadi gila
You know....
Jatuh cinta itu akan tetap seperti itu
Tidak tergerus waktu
Tidak akan tumbuh menjadi tinggi
Tidak akan berkembang menjadi besar
Tetap seperti itu
You know....
Yang membuatmu selalu menahan senyum
Megeluarkan amarah
Membuat harimu menjadi berbeda
Rela melayang setinggi-tingginya
akh, you know ....
Jatuh cinta itu akan hadir kembali
Tidak tahu dengan siapa
Eh ternyata tetangga
Eh ternyata sahabat
Eh ternyata yang sering ngajak berantem
Eh ternyata.... akh tak diduga
You know....
Jatuh cinta itu tidak ada rumusnya
Bahkan penyelesaiannya juga tidak ada
But, you must know....
Jika jatuh cinta tetaplah dalam jalannya
Tidak terlalu terburu-buru
Biarkan Tuhan yang mengatur jalannya
Tidak perlu memaksa "harus"
Biarkan Tuhan yang menjadi sutradara
Karena buah jatuh cinta itu adalah sebuah Kesabaran dalam Ekspresi Tindakan bukan hanya kata-kata
Ooopppsss!!! You think i'm in love now?
No....
Hanya saja beru selesai menonton ada apa dengan cinta dua. Melihat ekspresi si Cinta ketika bertemu dengan sang legendaris Rangga. I know how cinta's feel, same with me. ^^
Hahahahahaha.... :D

Numeral

Hari berganti hari, latihan Jiro sangat menyenangkan. Hingga Jiro lupa akan pertanyaan besar itu. Jiro sudah mulai bisa beradapatasi sepenuhnya di klan itu. Jiro mulai terkenal. Setiap kali dia berjalan sendirian selalu saja ada yang tiba-tiba menyapanya dan bergabung untuk mengobrol dengannya. Jiro sangat berubah. Pada saat pertama kali dia muncul, dia tidak terlihat istimewa. Tetapi, setelah rapat bulan lalu Jiro sangat diistimewakan. Hanya Jiro yang tidak tahu tentang itu.
Numeral turun dari Pelataran Utara. Membawa sebuah tas besi yang harus dibawanya ke Pelataran Timur.
Kapten Binomial sudah menunggu dengan seragam lengkap dengan beberapa regu timnya.
Sebuah Bus besar bersayap itu, mendarat lembut di area pendaratan. Dan pintu gerbang baja itu tertutup pelan.
"Turunkan!!" Teriak kapten Binomial melalui pengeras suara.
Pintu bus terbuka, sebuah peti keluar dengan sendirinya. Regu Kapten Binomial sigap meraih Peti besi itu.
Seseorang bertubuh besar dengan topi koboi keluar dari dalam bus bernama Raksa. Membawa tas yang sama dengan Numeral.
"Ini kuserahkan kepadamu" kata Raksa yang merupakan kurir pengantar barang
"Terima kasih Raksa" balas Numeral menyerahkan koper besi itu kepada Raksa.
Raksa kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan mengantar barang berikutnya.
Peti besi itu sudah diangkat keatas troli jalan menuju ke laboratorium. Prof. Komplex melihat peti dengan pandangan yang takjub. Sebuah peti yang dinantikannya selama ini. Akhirnya datang juga.
"Aku sungguh berterima kasih kepadamu, Numeral" Prof Komplex bergumam sambil menatap langit-langit laboratorium.
Dikamar Jiro sedang menikmati hari libur latihannya. Jiro mulai terbiasa dengan latihan-latihan. Tapi, hari ini Dia harus menikmati hari liburnya dengan beristirahat dikamarnya seharian.
Menatap jendela yang terang benderang. Hari ini berwarna biru cerah. Mungkinkah ini sedang tidak mendung.
Lamunan Jiro menembus dinding-dinding baja yang memisahkan Dia dengan ingatan masa lalunya. Hingga akhirnya, Dia tertidur pulas.
Sijji mempersiapkan peralatan yang dipergunakan untuk turun kelapangan besok. Duwo hampir selesai memperbaiki transportasi baru itu. Ampex menyelesaikan seribu botol serum berwarna hijau untuk disuntikkan kepada manusia yang terkena Virus Sulfur Acid. Tilluh masih mencoba untuk meretas sistem pertahanan komunikasi antar Klan. Dan Panca sudah siap dengan strategi untuk menuju lapangan yang sangat diperketat penjagaannya oleh Klan Semesta.
Setelah semuanya selesai mereka berkumpul diruagan A. Sijji memimpin pertemua tersebut. Mereka rapat tanpa Jiro.
"Kalian sudah menyelesaikan tugas kalian?"
"Sudah!!" Serempak mereka menjawab
"Baiklah, ini misi kedua puluh kita mendekati tanah bervirus itu. Aku tak ingin kita juga gagal kali ini"
"Aku sudah selesai membuat strateginya" kata Panca menunjukkan beberapa file melalui layar proyektor yang memantul kepapan tulis berwarna putih itu.
Sijji, Duwo, Tilluh , dan Ampex membaca dengan seksama strategi yang di buat oleh Panca. Mereka berangguk-angguk menandakan kesetujuan mereka atas semua tugas Panca.
"Kau hebat, Panca!" Puji Duwo. Wajah Panca memerah seketika itu.
"Uwow...wajahnu merona merah , Panca!" Kata Ampex sambil mengejek.
"Hahahahaha" mereka tertawa bersama.
Disaat yang sama Numeral mendapat pesan kedua dari Klan Semesta. Numeral tak habis pikir, begitu keras kepalanya Klan Semesta, mereka terlalu egois dalam hal ini.
Numeral memanggil Kapten Binomial dan Doktor Biner. Mereka berdua menghadap Numeral yang sedang menceritakan isi pesan kedua dari Klan Semesta.
"Aku sudah cukup kesal dengan pesan penuh ancaman mereka, Presiden"
"Sebaiknya kita ajukan peperangan terhadap mereka, dan minta bantuan kepada seluruh Klan" saran Kapten Binomial
"Tidak semudah itu, kapten"
"Apa Hubungan diplomatis sudah tidak bisa dilakukan lagi, Numeral?" Tanya Doktor Biner
"Aku sudah mencobanya, Biner. Tapi, mereka tetap tidak mengizinkan kita mendekati kawasan itu"
"Ada apa sebenarnya?" Tanya Kapten Binomial
"Aku tidak tahu pasti. Akan tetapi, setelah Jiro diketahui oleh mereka, sikap mereka berubah terhadap klan kita" jelas Numeral
"Jiro?" Doktor Biner mengernyitkan dahinya "apa yang kau sembunyikan , Numeral?. Ini bukan hanya sekedar anti virus itu. Apakah ada yang lain?" Sambung Doktor Biner
"Akan aku jelaskan setelah Profesor Komplex selesai dengan tugasnya"
"Jadi, Komplex tahu masalah ini?" Doktor Biner semakin curiga
Sebuah anggukan kecil dari Numeral. Kapten Binomial dan Doktor Biner saling pandang.
"Baiklah, kami akan menunggu waktu itu"
"Nanti malam, usai rapat pemberangkatan esok hari. Kira akan mengadakan rapat urgensi diruangan A"
Semua berjalan lancar. Latihan fisik, dan simulasi pemberangkatan sudah dilaksanakan. Hanya menunggu intruksi untuk membawa peralatan masuk kedalam Jet Super Sonic Satu. Jet yang dibuat oleh Duwo dengan modifikasi tercanggih. Jet yang mampu berkamuflase pada saat didaerah musuh tanpa harus terjaring oleh radar udara daerah perbatasan. Jet yang memiliki kemampuan terbang di dalam air selama seminggu. Mempunyai bahan bakar yang irit. Daya tampung yang besar. Mudah di bawa oleh siapa saja, Jet dengan pengendalo jarak jauh serta auto pilot. Tidak mempan atas serangan bom atom ataupun roket nuklir. Senjata andalan adalah laser panas yang mampu menghanguskan sepertiga bumi.
Jet yang sangat megah. Transportasi yang di sembunyikan oleh Klan Numeral dari klan-klan lainnya.
Diruang A sudah berkumpul semua orang-orang yang terlibat dalam misi kekawasan endemik virus sulfur acid. Numeral terburu-buru dari ruangannya. Memakai pakaian resmi.
Setibanya di ruangan A, dengan napas yang masih tergesa-gesa. Numeral memulai rapat itu.
"Maaf, aku tidak bisa mengikuti rapat ini sampai akhir. Ada pertemuan di kejaksaan Galaksi. Duwo, aku mohon bantu aku untuk kesana secepatnya dengan pesawat super terbangmu"
"Baik, Presiden"
Numeral beranjak dari posisinya dan keluar ruangan dengan tergesa-gesa diikuti Duwo yang akan mengantarnya ke pelataran Timur.
Duwo memberikan kunci kepada salah satu pilot pesawat super terbang itu. Memberikan identitas Duwo untuk mengaktifkan mesin. Dan pesawat super terbang itupun melesat ke udara menuju Kekejaksaan Galaksi.
Sedangkan orang-orang yang ada di ruangan A, bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya. Mengapa Numeral harus pergi ke Kejaksaan Galaksi malam ini.
Jiro, yang semakin tidak mengerti dengan keadaan yang semakin menjadi tanda tanya. Rapat dialihkan oleh Doktor Biner. Rapat itu berjalan lancar, namun masih menyisakan tanda tanya besar.
Di kejaksaan Galaksi, Numeral memasuki gedung termegah itu dengan pilar-pilar yang besar berwarna putih. Disana ada berdiri patung keadilan setinggi 5 meter menyambut kedatangan Numeral. Seseorang memakai seragam serba putih memberi hormat kepada Numeral, dan membimbing Numeral memasuki kesbuah ruangan besar dengan berisi 1000 kursi dengan meja.
"Selamat datang , Numeral!" Sapa Justice, kepala kejaksaan Galaksi
"Terima kasih, Justice. Boleh aku bertanya?"
"Sebaiknya nanti saja kau bertanya, didepan sudah berdiri pemilik Klan Semesta"
"Ada apa dengannya?"
"Aku juga tidak tahu"
Pemilik Klan Semesta, masih memaparkan materi inti dari rapat dadakan ini. Mata, Numeral terbelalak setelah foto Jiro terpampang jelas di layar berwarna putih.
"Kalian tahu, siapa dia?" Tanya Semesta
Tak ada yang menjawab, yang ada hanya bisikan-bisikan ketidak tahuan dari para peserta.
"Baiklah, jika kalian ingin tahu siapa dia. Sebaiknya kalian tanyakam saja dengan Numeral. Presiden silahkan maju ke podium" semesta seperti mencekik leher Numeral.
Ini adalah rahasia terbesar yang Numeral sembunyikan dari klan lainnya.
Kaki Numeral bergetar, karena geram atas perlakuan Semesta. Apa yang diinginkan Semesta dengan Jiro. Dengan kekesalan Numeral maju ke podium.