Senin, 25 Februari 2013

Aku Diam ( Deria ) IV


Yang kuharapkan pada saat itu, Haris menyatakan perasaanya kepadaku. Ternyata aku salah, dia sama sekali tidak merasakan apa yang aku rasakan saat itu. Dia tidak mampu membaca pikiran itu saat itu. Padahal hal itu yang aku harapkan dari seorang Haris disaat momen terindah itu.
Musim berlalu, dan akupun sekarang sudah duduk diakhir sekolah menengah atas. Hari-hari menjelang ujian sangat berat bagiku. Harus les tambahan, belum lagi membereskan rumah, belum lagi mengurus adik kembarku dan membantu ibu didapur. Semua itu harus aku bagi waktu semuanya. Dan targetku adalah harus menjadi nomor satu di ujian nasional. Aku berusaha keras untuk meyempatkan mengerjakan soal-soal. Penuh dengan kosentrasi dan disaat itu pula terdengar suara tangisan dari kamar sebelahku. Ria sedang menangis tersedu-sedu. Aku tak ingin kosentrasiku buyar gara-gara tangisan Ria.
"Ria...bisa diam ga sih! Seruku dari kamar sebelah yang memang terdengar oleh Ria.
"Ga usah ikut campur, bukannya menenangkanku malah buat keributan aja, kakak macam apa kau" marah-marah Ria dari dalam kamar. Sontak aku kaget mendengarnya, apa aku ini pernah dianggapnya kakak, dan sampai saat ini saja aku tak dianggapnua sebagai seorang kakak. Aku memberanikan diri untuk masuk kekamarnya.
"Eh...sebulan lagi aku ujian nasional. Bisa tenang ga sih" kataku ketus.
"Kan uda kubilang ga usah ikut campur. Kau ga pernah merasakannya sih. Gimana mau merasakan pacar aja ga punya" cibirnya.
"Diputusin pacar kau kan" kataku marah.
"Aku yang mutusinnya, selingkuh dia dibelakangku"
"Makanya ga perlu pacaran kalau akhirnya kaya' gini. Sungguh tersia-siakan tu airmata" kataku membanting pintu kamarnya. Aku benar-benar emosi, ketika ingin ketenangan malah keributan ga jelas aku dapatkan. Beginilah hidupku penuh dengan ketidak tenangan.
Pagi yang menurutku indah, dan sangat sejuk sekali. Dan sudah seminggu ini Haris tidak menungguku di parkiran. Ada apa dengan Haris. Akh, ga perlu aku pikirkan itu semua. Yang aku fokuskan sekarang adalah nomor satu ujian nasional. Sesampai dikelas aku bertemu Tata, senyum-senyum manis. Sepertinya dia sedang senang sekali. Dan aku tidak perduli dengan kesenangannya itu, tapi entah mengapa perasaan senangnya itu membuat aku menjadi merasa tak enak. Apakah desas desus itu benar, kalau Tata jadian dengan Haris. Tapi, kenapa Haris ga da memberitahukanku?. Tanda tanya besar.
"Der...aku uda jadian loh" kata Tata yang memang tidak bisa menyembunyikan apapun.
"Dengan siapa?" Tanyaku yang semakin membuat dadaku sakit.
"Haris" jawabnya ringan.
Haris, nama itu begitu indah sebelumnya, tetapi ketika nama itu disebutkan oleh Tata, rasanya langsung membusuk sudah.
"Selamat ya" jawabku mencoba tenang tanpa mengeluarkan airmata.
"Kamu, ga suka kan sama Haris, Der?" Tanyanya agak sedikit bersalah.
"Ga" jawabku yang membohongi diriku sendiri. Betapa pengecutnya aku ini. Disini bukan Haris yang salah, tapi aku yang pengecut, yang tidak berani mengakui kepada Tata bahwa aku lebih mengetahui Haris, bahkan aku lebih paham Haris. Aku salah selama ini, aku benar-benar tidak tahu Haris. Siapa Haris itu? Siapa dia sebenarnya. Terguncang, kosentrasiku terguncang hebat. Ingin marah kepada diriku sendiri. Dan aku hanya bisa diam untuk kesekian kalinya.
Dan aku tahu bagaimana perasaan Ria dan Tata ketika selingkuhannya adalah teman akrabnya sendiri. Tapi, kali ini sakit yang kurasakan tak separah yang mereka rasakan, namun ini bagiku begitu menyakitkan. Merasa terkhianati oleh semua, terutama Haris yang kuanggap sebagai pahlawanku.
Dua minggu berlalu dari kejadian yang mengguncang hati dan pikiran serta kosentraskiku. Akhirnya aku mampu bangkit dan oragn lain tak ada yang tahu soal keterpurukan itu. Biarlah aku yang merasakan itu sendiri. Seminggu lagi ujian nasional dan targetku harus terwujud. Aku tetap pada jalur kosentrasiku untuk belajar dan mengerjakan soal-soal ujian. Dan Harispun berubah terhadapku. Dia hanya menegurku ketika bertatap langsung dan kali ini dia tidak mengantarku pulang. Aku harus membiasakan diri tanpa itu semua. 

Mungkin untuk waktu yang singkat ini aku belum terbiasa, mungkin setelah aku mendapatkan semua yang kuraih maka aku akan melupakannya segera.
Ujian akhir nasionalpun terlaksanakan, dan pengumumanpun kelulusanpun segera di bacakan.
"Yang mendapatkan peringkat 1 dari sekolah kita adalah Deria Yatama" teriak kepala sekolahku dibalik microphone yang suaranya membahana keseluruh sekolah. Usaha-usahaku untuk mengabaikan kerikil-kerikil tajam itu berhasil. Aku, aku mampu meraihnya. Usahaku untuk belajar giat berhasil. Semua usahaku bekerja dengan baik.. Aku menitiskan air mata kegembiraan yang tak terhingga. Teman-teman memberikan selamat padaku. Tata memeluk erat, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa antara kami berdua, dan itu hanya aku yang tahu. Haris juga memberi selamat padaku. Yolli juga begitu. Semuanya mengucapkan selamat padaku. Dan tugas akhirku memberikan pidato diacara kelulusan.
Sesampai dirumah, aku memberi kabar kepada ibu bahwa aku mendapatk ranking 1 di ujian nasional ditingkat sekolah.
"Syukurlah, nak. Ibu senang dengarnya" kata ibu sambil mencium pipiku.
"Selamat eah, Der. Itu baru anak ayah" kata ayahku bangga. Sejak kapan aku pernah dianggap anak ayah. Akh...sudahlah aku tak ingin momen bahagia ini terjadi keributan lagi dirumah ini.
Hari kelulusan, aku sudah menyiapkan sebuah pidato yang singkat dan berarti.
"Selamat pagi semua, yang saya hormati bapak kepala sekolah dan guru-guru serta wali murid. Dan saya sayangi teman-teman sekalian."
"Terutama Haris" sebuah suara berteriak dari arah bangku penonton. Aku tersontak kaget, apa teman-teman tidak tahu kalau Haris dan Tati sudah jadian. Fokus membaca pidato.
"Disini, saya diberikan kesempatak untuk menyampaikan beberapa ungkapan rasa terima kasih saya kepada seluruh orang-orang yang telah mensuport saya untuk mendapatkan hasil yang sangat memuaskan ini.
Saya pernah dikatakan Goblok oleh orang yang saya hormati dan saya sayangi, saya juga pernah dikatakan Dungu oleh teman yang selalu saya berikan contekan ketika mengerjakan PR, kalau saya goblok dan dungu mengapa saya bisa berdiri disini sekarang"
"Hahahaha" semua pendengar tertawa mendengarkan lawakan yang kutahu itu sebuah tamparan untuk orang-orang yang kumaksudkan.
"Dan ketika saya ingin meraih sebuah keberhasilan, ada kerikil tajam yang menusuk seluruh persendian saya, sehingga membuat saya tak mampu untuk bergerak cepat, namun hal itu mampu saya hadapi semua dengan usaha dari orang-orang yang saya sayangi, ibuku dan ibuku" mataku meleleh ketika mengingat selama aku belajar semalaman, ibu selalu membuatkan susu dan cemilan roti untukku. Dia selalu menemaniku sampai dia tertidur pulasnya dikasurku. Dan keesokan harinya dia harus mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.
prok..prok....prok, tepuk tangan dari wali murid dan teman-temanku menggema seluruh gedung.
"Terima kasih untuk seseorang yang awalnya sudah mendukungku memberikanku semangat namunpada akhirnya membuat luka yang dalam" dan aku melihat ke Haris, dia kelihatan tenang, dan aku tahu pasti dia sangat terpukul atas pernyataanku itu.
Intinya aku berterima kasih kepada orang-orang sudah menilaiku salah selama ini. Dan kali inipun aku hanya diam, karena aku tak ingin semua kebahagian ini berkahir begitu saja. Aku bahagia dengan hidupku. Aku Deria Yatama, adalah seorang gadis kuat dan mampu berdiri tegar walaupun sedang rapuh. Dan aku tetap menyimpan rahasia-rahasia yang orang lain tak tahu. Dan aku mengetahuinya dalam sebuah kebetulan semata.
Akhirnya selesai juga tulisan malam ini. Thanks untuk manusia yang sudah menganggap aku telah melakukan hal yang sia-sia ini hari. Kau lihat apa yang kulakukan ini sebuah kesia-siaan.
Senandung yang mengantarkan tulisan ini : *sawakaze by tanizawa tomofumi (ost kimini todoke) dan *mother by mucc (ost naruto shippuden)

Aku Diam ( Deria ) III


Aku agak ragu membicarakan keluarga pada Haris. Karena memang tak ada seorangpun yang tahu kalau aku sedang ada masalah, sebab aku lebih baik memendamnya sendiri. Entah mengapa pada hari itu Haris mengajakku makan baso di warung biasanya dia makan. Sepertinya Haris mampu membaca raut wajahku. Aku ditraktirnya makan baso, sekejap kami terdiam dalam bisingnya lalu lalang kenderaan, tapi aku merasa sepi sekali seperti sedang sendiri.
"Makan, Der. Keburu dingin ga enak loh" ajak Haris memulai pembicaraan. Dia selalu yang memulai pembicaraan dan setelah itu kamipun mulai mengobrol renyah. Mulai dari masalah politik.
"Akh...biasa tu Ris, politikus itu kan jago akting" jelasku sambil memakan baso keduaku.
"Ya...bener, tetapi seharusnya mereka kasih contoh yang baik donk. Sebagai wakil rakyat kok gitu" paparnya diplomatis yang seolah-olah sebagai pengamat politik. Aku terkagum sejenak ternyata dibalik wajah polosnya Haris ada monster besar yang siap bangkit kapan saja.
Lalu membicarakan masalah film-film terbaru dan hal-hal yang kami sama-sama menyukainya. Dan sampai akhirnya dia menjebakku dengan perkataannya.
"Manusia itu makhluk sosial, jadi bagaimanapun dia ga bisa hidup sendiri. Sepandai-pandai manusia menyimpan rahasia, tapi raut wajah tidak bisa dibohongi"
"Haah" aku tercengang heran mendengar pernyataannya yang membuat jantungku berdetak kencang. Apakah aku sedang merasakan getaran yang dinamakan cinta. Betapa aku terkagum dengan pernyataan itu, yang seolah-olah dia mampu membaca raut wajahku. Sepertinya dia mengerti apa yang sedang aku alami.
"Benerkan, Der?" Tanyanya mempertegaskan pernyataannya.
"Ya, Ris" jawabku memasang senyum manisku dibalik perihnya hatiku mengenang kejadian tadi pagi.
"Hehehe....gitu donk"
Walaupun aku tidak menceritakan masalahku, dan Haris juga tidak memaksaku untuk menceritakan masalahku padanya. Tapi, aku sudah senang, karena cuma dia yang dia tanpa sadar sudah menyenangkan hatiku. Aku benar-benar sedang jatuh hati pada Haris saat ini. Atas perhatian dan pengertiannya. Rasanya ingin kuucapkan kepadanya betapa berterima kasihnya aku padanya. Walaupn aku tidak tahu apakah dia merasakan hal yang sama denganku.

Dan akupun diantar kerumahku nerakaku itu. Aku kembali menjadi orang tersalah setelah sampai dirumah. Ternyata ada Tante Anna bersama Boni.

Tante Anna menangis terisak-isak dan aku melihat Boni tertunduk lesu. Ada apa sebenarnya yang terjadi. Aku mendekati mereka. Ada ibu juga disitu sambil mengusap-ngusap pundak tante Anna.
"Kan udah kakak kasi tau, jaga baik-baik si Boni" nasehat ibuku.
"Hiks..hiks..." Tante Anna hanya bisa menangis terisak-isak.
Boni melihat kearahku sinis, dan aku merasa sebagai orang tersalah. Ada apa ini? Kenapa Boni melihatku seperti itu? Seperti ingin membunuhku saja. Karena, aku memang tak perduli dengan masalah orang lain, akupun berlalu kekamarku, sebelum sampai dikamar kedua adik kembarku yang masih SD menarik rokku dan menyuruhku masuk kekamar mereka.
"Kak...narkoba itu apa?" Tanya Mimi
"Itu obat-obatan terlarang, haram hukumnya kalau dipake. Bisa ditangkap polisi dan masuk penjara, bisa juga dihukum mati" jelasku.
"Berarti Bang Boni masuk penjara?" Kali Mini ikut nimbrung.
"Memangnya Bang Boni pake narkoba?" Tanyaku heran melihat kedua adikku ini yang jago nguping.
"Ya...tante Anna tadi marah-marah sambil nangis. Bilangin bang Boni pake narkoba"
"Haaah" aku terkejut mendengar pemaparan Mimi.
"Ya kak" tegas Mini.
"Huss...jangan suka nguping akh. Ga baik tu. Kakak mau istirahat dulu" akupun beranjak dari kamar sikembar.
Itukah anak yang dibanggakan tante Anna, anak yang ga perbah keluyuran malam, anak yang selalu nurut kepada orang tua. Anak yang selalu baik didepan orang tuanya. Bahkan orang yang melahirkannya sendiri saja ga tau bahwa Boni begitu bejatnya di belakang orang tuanya. Dan sekali lagi aku melihat kebejatan Boni seminggu yang lalu, yang aku mengerti mengapa dia memandang sinis aku tadi.
"Eh..Bon jangan lari kamu!!!" Teriak seorang dari seberang jalan yang suara kedengaran sampe keseluruh daerah itu.
"Ampun bang!!!" Boni menunduk memohon ampun kepada pria bertato.
Aku melihat adegan sepupuku yang begitu sangar tertekuk lutut dihadapan pria bertato itu sambil menangis memohon ampun. Aku berdiam sejenak dan menantikan adegan terakhir. Boni memberika beberapa uang 50ribuan kepada pria bertato itu. Lalu Boni dicampakkan begitu saja dengan seragam sekolahnya. Aku melihat Boni berjalan gontai, tanpa sengaja dia melihatku yang sedang berjalan kearah minimarket.
"Woi...der, tunggu!!!" Teriak Boni setengah ngos-ngosan.
"Haah..." Mataku terbelalak ketika Boni memanggil namaku, bakalan kena hajar aku.
"Sini dulu....!!"Perintahnya di seberang jalan.
"Ada apa?" Teriakku malas-malasan.
"Awas kamu ya, kalau kamu ngadu ke mamaku. Ga tenang hidupmu" ancamnya.
"Bukan urusanku tu. Apa aku pernah peduli samamu" jawabku tanpa rasa takut.
"Oke, kalau kamu ngadu, hidupmu ga tenang" ancamnya lagi. Dan aku cuma mendengar suaranya samar-samar. Dan sampai saat ini aku belum ada mengadu ke tante anna tentang kejadian siang itu. Tetapi, sepandai-pandai manusia menyimpan bangkai ayam, bakalan kecium juga baunya. Mungkin tante Anna sudah mencium kelagat buruk Boni.
Mengapa setiap hari hidupku tidak tenang begini. Mengapa hidupku penuh dengan kebetulan, dan kebetulan itu seperti kunci yang harus aku simpan dan jika aku menjadikannya sebagai alat pembuka salah satu pintu maka akan terlihat siapa semua orang-orang didekatku itu. Bukankah ini berupa beban??. Namun, tetap kusyukuri sajalah.
Pada akhirnya, ada satu hari dimana aku merasakan orang-orang terdekatku merasa keberadaanku selama ini. Ya...disaat aku ulang tahun, tepat hari ini aku ulang tahun. Pagi-pagi sekali, ketika aku keluar dari kamar, sebuah bingkisan besar berbungkus kertas warna warni sudah menjegatku. Aku penasaran dengan isinya, lalu aku membukanya. Sebuah komputer jinjing. Betapa senangnya bukan kepalang rasanya. Kesenangan ini begitu bertubi-tubi. Tepat tadi malam aku mendapatkan sms pertama pengucapan selamat ulang tahun dari Haris. Dan pagi ini, dapat hadiah dari keluargaku.
"Weh enak ya, dapat laptop" kata Ria yang kutahu dia sedang mencibirku.
"Hehehe" aku hanya tersnyum dan pasti sedang iri terhadapku.
Ketika itu, aku sudah dibelikan handphone oleh ayahku. Karena aku mendapatkan ranking 3 besar. Namun, ketika itu juga Ria mendapatkan rangking 1 tidak dibelikan apa-apa. Karena, Ria masih SD dan belum pantas menggunakan Handphone. Lalu, Ria uring-uringan ingin minta dibelikan juga. Akhirnya Ria mendapatkan handphonenya setelah seminggu mogok makan. Lalu. Ketika dia mendapatkan jaket kulit yang dibelikan ayahku yang baru pulang dari luarkota senangnya bukan kepalang, dan aku tak mendapatkan apa-apa, aku hanya diam saja. Saat aku mendapatkan hadiah piyama dari paman Teo, dan Ria tidak diberikan, dia ngambek selama sebulan, tidak mau berbicara denganku. Pikirku, ya sudahlah, ga perlu aku pikirkan itu semua. Toh...setiap kali aku mendapatkan barang yang kuingin, membutuhkan waktu lama mendapatkannya, sedangkan Ria butuh waktu singkat untuk mendapatkannya, dan aku tak pernah merasa peduli dengan hal itu.
Kembali keacara ulang tahunku, disekolah menyambut indah hari terpentingku itu. Bersorak-sorak menyanyikan selamat ulang tahun. Ini adalah hari terindah dalam hidupuku, ketika semua orang menganggapku ada disekitar mereka. Itu saja sudah cukup bagiku. Bahwa kuyakin ini semua rencana Haris.
"Makasi untuk semuanya" kataku ketika pulang sekolah.
"Hehehe...maaf ga bisa ngasi kado" katanya sambil tersenyum manis.
"Ini aja uda jadi kado, sekali lagi makasi, Ris"
"Ya...Der" 

Aku Diam ( Deria ) II


Keesokan paginya disekolah...
Sesuai dengan perkiraanku tadi malam, Yolli benar-benar pamer atas terselesaikannya PR dalam semalam.
"Liat ni, aku udah selesai PRnya" Pamer Yolli keteman-teman sekelas.
Aku berada didekat pintu melihat pemandangan Yolli sedang dikerumuni oleh teman-teman sekalas seperti artis yang sedang diwawancarai.
"Kasi contekan donk, Yol" teriak Dino yang kutahu cowo pemalas itu.
"Enak aja nyontek-nyontek. Cari sendiri donk" sombong Yolli.
"Parah akh si Yolli. Pelit" celetuk Ferri berlalu dan membubarkan kerumunan itu dengan mencoba meludahi meja Yolli.
"Waaaahhh" teriak teman-teman sekelasku merasa jijik melihat tingkah si Ferri.
Akupun masuk kekelas tanpa diketahui siapapun. Tanpa diketahui bahwa aku sudah duduk di bangkuku. Ya...mereka tak perduli, dan aku juga tak pernah perduli dengan mereka. Jadi, menurutku ini suatu kewajaran dalam hidup. Kau peduli aku peduli, kau membantu aku membantu, kau diam dan aku diam. Kehidupanku seperti itu, namu ketika aku membantu kau tak peduli, maka aku akan menjadi manusia terkejam yang tidak akan pernah peduli lagi sampai kapanku maka aku telah membencinya, tetapi ketika itu terjadi dan aku masih menerimanya maka aku masih sayang terhadapnya.
Tak terasa kelas telah berlalu, sebelum kelas berkahir aku kekamar mandi. Dan membuang hal yang memang harus kubuang. Di toilet sangat sepi karena memang tidak ada seorangpun yang keluar dari kelasnya. Selama didalam toilet aku mendengar suara bel menandakan istirahat. Terdengar olehku langkah-langkah kaki masuk kedalam toilet wanita itu.
"Eh...kok bisa dapat nilai 100 sih?" Tanya cewe 1.
"Hahahaha....ini rahasia ya" kata cewe yang 1 lagi dengan suara berbeda, namun aku tanda sekali suara itu, Yolli.
"Memang kenapa, Yol?" Tanya yang satu lagi dengan suara berbeda. Benar perikiraanku. Pasti cewe pertama yang tanya adalah Monic dan yang kedua adalah Bella.
"Si dungu Deria yang kasi contekan ke aku" kata Yolli sambil tertwa lepas.
"Hahahaha" disambung dengan ketawa iblis wanita-wanita yang kuyakin bakalain jadi budaknya Yolli selamanya. Aku cuma diam dan tak berkutik. Karena memang aku tak ingin mencari masalah. Dan aku meneruskan usahaku untuk mengeluarkan hal yang tidak penting bagi tubuhku.
Sekolah hari ini seperti biasa saja, dan aku menganggap hal-hal yang terjadi memang harus kuketahui dan aku harus berhati-hati kepada siapa aku berteman.
Haris, pria yang di gosipkan pacaran dengaku sedang berada diparkiran motor. Gosip itu terjadi, ketika Haris menolongku saat aku terjatuh saat lari maraton ketika semester pertama. Teman-teman mulai saja mengejekku dengan bercanda kalau kami berdua adalah pasangan yang cocok. Tak kuhiraukan gosip tersebut, karena itu tidak benar. Dan sampai pada sebulan yang lalu. Haris mulai mendekatiku. Mulai sering menghubungiku dan mengantarkan aku pulang. Aku merasa hal itu biasa saja sebagai teman tak ada perasaan lebih untuk Haris. Kebanyakan teman-teman brkata bahwa dia mempunyai perasaan terhadapku. Aku tidak mudah percaya dan ke GR-an begitu saja. Karena memang Haris belum pernha berbicara langsung sola perasannya kepadaku.
"Mau pulang bareng, Der?" Ajak Haris yang memang menungguku.
"Hem...bolehlah" jawabku yang tak mungkin menolak kebaikan orang.
Sepanjang jalan kami hanya diam tak berbicara. Bahkan untuk berbasa-basi saja tidak ada. Seperti biasa aku hanya diam tak berkata. Sesampai dirumah juga aku cuma bilang "terimakasih". Dan Harispun berlalu pergi pulang kerumahnya.
Aku kembali kedalam istana surga yang didalamnya sebuah nerka yang tak tahu aku kapan berakhirnya api-api kepalsuan dirumahku runtuh.
Tak ada sambutan bahagia disiang itu, yang kudengar ayahku sedang memarahi ibuku karena tingkah laku adikku membawa pacarnya kedalam kamar adikku.
"Dasar manusia ga becus...apa kerja kau dirumah. Sampai kau ga tau kalau Ria membawa laki-laki kekamarnya" teriak ayahku dari dalam kamar mereka yang kedengaran olehku.
"Hiks...hiks..." Aku mendengark ibuku terisak-isak menangis sedu karena telah dikatakan manusia tak becus.
Bukankah ayahku sendiri sedang mengatakan dirinya sendiri. Aku teringat ketika kami sedang bermain ditaman bermain.

Sedang bermain ditaman bermain. Aku dan adikku ingin bermain komidi putar. Ayahku membelikan tiket komidi putarnya dan memberikannya kepadaku. Aku dan adikku mengantri masuk komidi putar. Lalu, ayahku memberikan pesan.
"Ayah ketemu teman ayah sebentar. Kalau sudah selesai tunggu disini dahulu" pesan ayahku berlalu.
Aku melihat kebelakang, seorang wanita cantik sedang melambaikan tangannya kearah ayahku. Aku heran dan ingin bertanya siapa wanita itu. Namun, aku sudah ditarik oleh Ria adikku untuk segera menaiki komidi putar, dan aku kehilangan punggung ayahku. Selama di komidi putar aku tak melihat sosok ayahku. Dan sampai akhirnya selesai komidi putar berhenti. Aku membawa adikku turun dan menunggu ayahku datang menjemput. Adikku yang sudah mulai mengantuk dan hampir setengah tertidur, aku tak tega membangunkannya. Aku dan adikku terus menunggu, jika aku mencari ayahku dan ayahku sudah tiba disini maka gantian aku yang akan dicarinya. Maka kuurungkan untuk beranjak dari tempat yang dijanjikan ayahku. Malam semakin larut, dan para pengunjung semakin sepi, dan akupun terasa mengantuk.
Tiba-tiba sosok ibuku datang berlari kearahku. Dan memeluk kami berdua. Aku tahu ibuku baru menangis, namu aku tak tahu apa penyebabnya dia mengeluarkan airmata.
Didalam mobil aku hanya diam karena sudah mengantuk dan adikku sudah tertidur pulas.
"Uda besar kok bodoh kali. Seharusnya Deria telpon ayah, kalau sudah selesai. Jadi ayah ga lupa" omel-omel ayahku.
"Haah" aku kaget sekali kena omel seperti itu.
"Udah-udahlah, mas. Ga perlu marah-marah ke Deria" kata ibuku menenangkan ayahku.
"Ya...gitu tu udah disekolahkan kok gobloknya minta ampun" omel ayahku lagi.
Dan aku memang tak sanggup ketika ayahku sedang marah seperti itu. Apa aku ini kurang baik dimata ayahku. Apakah aku ini anak yang begitu bodoh sampai ayahku mengatakan aku ini goblok. Ternyata kejadiannya, setelah ayahku bertemu temannya ayahku langsung pulang, dan lupa bahwa dia sedang mengajak kami jalan-jalan ketaman bermain. Sesampai dirumah ibuku panik karena kami ga bersama ayah pulangnya. Dan ibuku mulai histeris, lalu ayahku menutupi kelupaannya dengan beralasan ada yang ketinggalan, padahal jam malam sudah larut. Dan ibuku memakluminya lalu mereka menjemput kami berdua. Bukankah itu lebih ceroboh lagi dan kesalahan yang lebih fatal lagi, jika aku beritahu bahwa ayah bertemu dengan seorang wanita sehingga kami terlupakan. Aku hanya bisa menahan airmataku untuk menerima sikap ayahku itu. Lalu, aku mendengar isakan adikku dari dalam kamar, yang kutahu pasti habis dimarahi oleh ayahku. Kulihat dari balik pintu kamar yang masih terbuka sedikit. Aku melihat kedua adikku sedang menenangkan Ria sambil mengelus-elus rambutnya Ria. Aku abaikan mereka dan berlalu kekamar, menahan tangis dan perihnya hatiku ketika ibuku dimarahi oleh ayahku. Aku menagis sejadi-jadinya. Inilah surga itu yang kelihatan dari luar, namun didalamnya bagaikan neraka yang tak henti-hentinya membakar seluruh penghuninya. Dan kepedihan ini aku simpan sendiri dan aku memnag lebih senang menyendiri.
Keesokan paginya, Ria tidak mau pergi sekolah karena malu kepada pacarnya sebab dia dimarahi ayah didepan pacarnya. Dan pagi itupun menjadi terpenatku.
"Ga mau sekolah lagi ya" kata ayahku sambil membentak.
"..." Ria hanya terdiam tertunduk.
"Deria, seret adikmu ni kesekolah" teriak ayahku dari ruang makan.
"..." Aku juga hanya diam, serta ibu yang melihat kami dimarahi juga mencoba tegar menahan airmatanya.
"Sebagai kakak bukannya memberi contoh yang baik" kata ayahku marah-marah.
"Haah" kembali aku disudutkan oleh ayahku, pagi-pagi seperti ini aku sudah dipojokkan dengan kata-katanya. Rasanya aku ingin berontak. Memangnya aku sudah mencotohkan yang ga baik terhadap adik-adikku. Bahkan membawa laki-laki pulang masuk kedalam rumah saja ga pernah. Haris hanya Haris yang mengantarkanku pulang karena rumah dia searah. Lalu aku setiap malam minggu juga dirumah saja ga pernah keluyuran kemana-kemana. Aku ga pernah memberikan contoh yang ga baek kepada adik-adikku. Aku kerutkan bibirku karena merasa tak nyaman dengan kata-kata ayahku.
"Gitu kalau dinasehatin, langsung cemberut bibirnya" lalu tangan ayahku melayang ke bibirku dan aku merasa tamparan itu begitu sakitnya. Aku tercengang, adikku yang berbuat salah mengapa harus aku juga kena imbasnya. Ingin melawan, namun aku tak ingin di katakan anak durhaka. Aku terdiam tak mampu mengeluarkan kata-kata bahkan airmata saja kutahankan agar aku kelihatan kuat dan tegar. Apa-apaan dipagi seperti ini, aku sudah memakai seragam sekolah. Kejadian yang tak ku inginkan terjadi begitu mudahnya tanpa proses yang panjang. Adikku yang terisak langsung menghnetikan tangisannya melihat aku ditampar oleh ayah. Inikah yang diinginkan adikku agar aku kena imbasnya gara-gara tidak ingin sekolah, rencana yang berhasil.
Selama pelajaran berlangsung aku tak bisa berkosentrasi menerima pelajaran.
"Kenapa, Der. Kok beda banget hari ini?" Tanya Tata teman sebangkuku.
"Ga apa-apa Ta" jawabku yang tak ingin Tata iba terhadap kejadian yang menimpaku pagi ini.
"Kalau ada masalah ya cerita donk samaku" kata Tata memberikan perhatiannya.
Aku jadi teringat sebulan yang lalu, ketika Mey curhat masalah keluarganya dan Tata menceritakan semuanya kepadaku tentang masalah Mey didalam keluarganya. Maka dari semenjak itu aku juga harus berhati-hati kepada Tata. Dulu sebelum aku sebangku dengan Tata, dia sempat sebangku dengan Mey. Ketika Mey ketahuan pacaran dengan Tata, seketika itu pula Tata menghapus Mey menjadi temannya. Dan Tata mulai bercerita tentang keburukan Mey di depanku. Aku bisa menerima itu semua, dan sekali lagi aku tak perduli dengan kehidupan orang lain yang tak layak dibongkar didepan orang lain.
Sepulang sekolah seperti biasa Haris menungguku diparkiran. Dengan wajah tersenyum yang kutahu dia pasti tahu kalau aku sedang berpura-pura. Dan aku lebih paham dia. Haris tidak akan pernah bertanya apa masalah kita, dan dia bukan tipe laki-laki yang suka mengurusi orang lain, kecuali sipemasalah mengatakannya langsung maka dia akan membantu.
Aku agak ragu membicarakan keluarga pada Haris. Karena memang tak ada seorangpun yang tahu kalau aku sedang ada masalah, sebab aku lebih baik memendamnya sendiri. Entah mengapa pada hari itu Haris mengajakku makan baso di warung biasanya dia makan. Sepertinya Haris mampu membaca raut wajahku. Aku ditraktirnya makan baso, sekejap kami terdiam dalam bisingnya lalu lalang kenderaan, tapi aku merasa sepi sekali seperti sedang sendiri.
"Makan, Der. Keburu dingin ga enak loh" ajak Haris memulai pembicaraan. Dia selalu yang memulai pembicaraan dan setelah itu kamipun mulai mengobrol renyah. Mulai dari masalah politik.
"Akh...biasa tu Ris, politikus itu kan jago akting" jelasku sambil memakan baso keduaku.
"Ya...bener, tetapi seharusnya mereka kasih contoh yang baik donk. Sebagai wakil rakyat kok gitu" paparnya diplomatis yang seolah-olah sebagai pengamat politik. Aku terkagum sejenak ternyata dibalik wajah polosnya Haris ada monster besar yang siap bangkit kapan saja.
Lalu membicarakan masalah film-film terbaru dan hal-hal yang kami sama-sama menyukainya. Dan sampai akhirnya dia menjebakku dengan perkataannya.
"Manusia itu makhluk sosial, jadi bagaimanapun dia ga bisa hidup sendiri. Sepandai-pandai manusia menyimpan rahasia, tapi raut wajah tidak bisa dibohongi"
"Haah" aku tercengang heran mendengar pernyataannya yang membuat jantungku berdetak kencang. Apakah aku sedang merasakan getaran yang dinamakan cinta. Betapa aku terkagum dengan pernyataan itu, yang seolah-olah dia mampu membaca raut wajahku. Sepertinya dia mengerti apa yang sedang aku alami.
"Benerkan, Der?" Tanyanya mempertegaskan pernyataannya.
"Ya, Ris" jawabku memasang senyum manisku dibalik perihnya hatiku mengenang kejadian tadi pagi.
"Hehehe....gitu donk"
Walaupun aku tidak menceritakan masalahku, dan Haris juga tidak memaksaku untuk menceritakan masalahku padanya. Tapi, aku sudah senang, karena cuma dia yang dia tanpa sadar sudah menyenangkan hatiku. Aku benar-benar sedang jatuh hati pada Haris saat ini. Atas perhatian dan pengertiannya. Rasanya ingin kuucapkan kepadanya betapa berterima kasihnya aku padanya. Walaupn aku tidak tahu apakah dia merasakan hal yang sama denganku. 

Aku Diam (Deria) I

Bahkan aku terasa asing ditengah keluargaku. Atau hanya perasaanku saja. Tapi, ini benar sebuah kenyataan yang tak dapat kuhindari lagi. Aku benar-benar terasing dikeluargaku sendiri. Ayahku sibuk dengan pekerjaannya yang tak kunjung selesai. Ibuku juga seperti itu, yang sibuk dengan mengurus adik-adikku. Sedangkan yang lainnya juga sibuk dengan sendirinya. Aku ditengah keramaian seperti ini masih saja terasa sepi. Rasanya ingin membuat onar agar semua orang melihatku dan memperhatikanku. Bahkan seorang temanpun tak mampu mengartikan kesepian ini. Aku Deria, seorang pelajar SMA kelas 2 yang merasa hidupnya sangat menderita sekali. Tak memiliki saudara padahal banyak. Tak memiliki teman padahal banyak. Tak memiliki kasih sayang padahal berlimpah. Namun, tak pernah kurasakan itu semua. Bagaikan kapas ringan yang tak berguna hidupku. Aku yang memang penyendiri ini tidak menyukai hal yang tak serius. Kehidupan serius dan menganggap semua serius. Hidup yang kebanyakan orang terlalu kaku dan sangat tidak menyenangkan. Tersenyum, hanya sesekali saja dan itupun ketika menonton komedi di TV. Sepertinya hidupku benar-benar sepi dan tak berkawan.
"Deria, tolong belikan ibu tepung terigu di mini market depan kompleks"
"Iya buk" sahutku datar.
"Lihat tuh....si kakak cemberut aja kalau disuruh ibu ke belanja" celek adikku yang nomor 3
"Ya...kaya' ga ikhlas gitu ngerjainnya" celetuk temannya.
Aku memandang kearah mereka sinis dan pandangan tajam, seolah-olah ingin dimakan.
Akh...kuabaikan itu semua, tahu apa mereka tentang aku. Sebagai saudara kok seperti itu, hanya bisa menuduh dan tak pernah tahu apa yang kurasakan. Aku berlalu dan berjalan menuju ke minimarket. Sambil berpikir, apakah wajahku menunjukkan ketidakikhlasan untuk membantu ibu. Akh...sudahlah, ku abaikan semua itu. Yang penting aku mengerjakannya dengan kemauanku sendiri dan sebagai anak yang berbakti pada orang tua. Belum lagi sampai di minimarket aku bertemu Yolli, teman sekolaku.
"Deria kamu uda selesai buat PRnya?" Tanyanya sambil tersenyum palsu. Memuakkan orang seperti Yolli ini. Ketika disekolah dia tak pernah sekalipun menyapaku, padahal dia satu kelas denganku. Bahkan kami sering 1 kelompok dan dia tidak pernah mengobrol denganku. Tetapi saat diluar sekolah dan ketika ada PR temanku ini sangat perhatian sekali seperti sekarang ini menanyakan hal yang seharusnya dia sudah tahu jawabannya.
"Udah, Yol" jawabku yang ingin berlalu cepat sebelum dia meminta aku untuk meminjamkan PRku. Licik dan penjilat, aku merasa dia bakalan jadi politikus kalau sudah dewasa nanti.
"Aku boleh pinjam, ga?" Tanyanya lagi dengan senyum kepolosan dibalik kepenjilatannya.
"Yauda, ntar malam datang kerumah" kuberikan sajalah, tidak ada pengaruhnya bagiku. Guru-guru juga sudah tau dimana kemampuanku.
"Ok, deria" katanya berlalu dengan senyum yang sama dari awal sampai akhirnya aku memberikan PRku.
Sesampai di minimarket, aku berhenti sejenak di depan pintunya. Karena aku melihat tanteku sedang berbelanja. Dia adalah adik dari ayahku. Orangnya penuh dengan kata-kata manis didepan namun, saat dibelakang betapa kita yang dimaniskan diludahkannya seperti tak berharga. Aku mendekat kearah dinding pintu dan tak terlihat olehnya. Aku mencoba mendengarkan percakapan wanita dewasa yang kurasa belum dewasa.
"Eh...tau ga. Kak Rinni itu sok tau banget" kata tanteku yang sedang membicarakan ibuku.
"Sok tau gimana?" Tanya temannya yang kutahu itu tante Deva yang tetanggaan dengan tanteku.
"Masa' nasehatin aku tentang masalah si Boni yang suka keluyuran malam-malam. Padahalkan si Boni ga pernah keluar malam. Boni itu rajin belajar"
Oh...ternyata masalah si Boni. Ya...Boni sepupu laki-lakiku ini persis sama halnya seperti ibunya. Boni mempunyai karakter ganda, dia mampu menunjukkan wajah polosnya kepada ibunya yang padahal dibelakangnya betapa brutalnya sepupuku itu. Malam itu ayah, ibu dan aku sedang keluar rumah dan melihat Boni sedang di lapangan sepak bola bersama teman-temannya sambil memegang rokok. Dan akhirnya ketahuan oleh ayah, ibu dan aku. Boni, memohon jangan melaporkan kejadian itu kepada orang tuanya. Dan ibuku berjanji tidak melaporkan kalau saja Boni pulang kerumah segera. Bonipun pulang. Sehari setelah kejadian, tante Anna datang kerumah, sekedar mengobrol dengan ibuku. Lalu ibuku menasehatinya agar menjaga Boni dengan baik dan jangan membiarkan Boni keluyuran malam-malam.
Mereka berlalu dan akupun tak akan pernah terlihat oleh tante Anna yang memang tak mau mengenal manusia aneh sepertiku. Aku membelikan pesanan ibuku dan lengsung pulang kerumah. Aku kaget, ternyata tante Anna sudah ada dirumah.
"Kok cemberut aja sih sayang" kata Tante Anna mencoba menyentuh wajahku.
"Eh....lagi musim wajah anak pelajar kaya' gini tan" jawabku berlalu kedapur meletakkan belanjaan yang kubeli tadi.
"Liat deh, anakmu Kak. Kok sombong banget. Ga da sopan santunnya. Beda dengan Boni" sekali lagi dia membela anaknya yang ternyata bumerang baginya.
"Deriakan memang seperti itu, Na" jawab ibuku yang sama sekali tak mengenalku.
Aku berlalu kekamar dan mulai mengerjakan PRku yang belum kuselesaikan.
Malampun tiba, Yolli yang memang berniat mencontek dengan alasan mau ngerjain PR bareng diizinkan keluar oleh ayahnya. Yolli, ngaret 1 jam dari jam yang dijanjikan. Yolli datang penuh senyum kepenjilatannya.
"Deria..." Sapanya penuh senyum dibalik topeng busuk itu.
"Ya...masuk aja, Yol" jawabku yang sebenarnya tak mau berbasa-basi. Ku berikan langsung buku tugasku dan mata Yolli terbelak tak henti-hentinya. Yolli merasa aneh, apakah gelagatnya memang sudah aku ketahui, dan itu pastilah kutehaui.
"Baek banget deh" senyum manis penuh kepalsuan itu melingkar indah di pipinya yang tembem.
Lihat saja besok pagi pasti dia dengan bangga bahwa dia sudah selesai mengerjakan PRnya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Sehingga ada yang ingin mencontek dengan lantang dia berkata " enak aja nyontek-nyontek kerjaian sendiri donk". Pernyataan itu sudah kuduga sejak aku berteman dangan Yolli dari sekolah dasar. Tapi, guruku memang adil, dia bahkan tau sikap curangnya Yolli. Padahal Yolli tidak pernah mendapatkan nilai dibawah 100 ketika mengerjakan PR, tetapi pada saat ujian Yolli selalu mendapatkan nilai remedial. Ternyata keadilan itu masih ada.

Sabtu, 02 Februari 2013

Bes Plen PolepeL 1

Chapter 1 : nyari rumah kos
Siang itu Andra, Zora, Odie dan Rani berkumpul dirumah Zora yang memang sangat strategis untuk dijadikan tempat ngumpul. Mereka berencana untuk mencari rumah kontrakan untuk 8 orang.
"Gimana???uda diputuskan siapa yang nyari?" Tanya Andra yang sedari tadi nguap-nguap terus.
"Lah...katanya Randa dan Odie yang cari" jawab Rani heran.
"Gimana, Die. Jadi kapan nyarinya. Semester 1 tahun ajaran baru mau di mulai loh sebentar lagi" papar Zora yang keluar dari rumahnya sambil membawa nampan berisi gelas dan ceret.
"Hari minggu besoklah" jawab Odie garuk-garuk kepala.
"Oke ditunggu kabar berikutnya" kata Andra meletakkan kepalanya di sandaran kursi dan mulai memejamkan matanya.
Siang itu masih panjang, mereka masih mengobrol tentang pencarian rumah kontrakan.
Dirumah Randa...
Sepi tidak ada seorangpun selain tivi dan acara bola. Randa yang cuma tidur-tiduran di kasur empuknya memandang jauh dari tontonan siaran ulangan bola tadi malam. Pikirannya melayang, semua teman-temannya sudah memasuki masa kuliah dan dia belum menentukan pilihannya dimana hendak kuliah.
"Zora, lagi dimana?" Tanya Randa melalui pesan singkatnya.
"Eh...gilak!!! Datang kerumahku teman-teman uda pada ngumpul ni. Ditungguin juga dari tadi" balas Zora nyablak.
"Iya, sebentar lagi aku kesana. Baru bangun tidur aku ni" jelas Randa.
"Ih...mandilah cepat!!!"
"Oke boz"
Randa bergegas sambil bermalas-malasan dengan kasur dan bantalnya. Dan mengambil handuk segera mandi.
Dirumah Zora...
Andra sudah tertidur pulas setelah menyelsaikan game dari handphonenya. Rani juga sibuk memikirkan pakaian apa yang harus dikenakan untuk acara pesta sepupunya. Odie juga sudah menghabiskan roti yang disediakan Zora untuk dimakan. Dan Zora menunggu kedatangan Randa dengan hati yag berdebar-debar.
(*catatan kecil : Zora sempat naksir Randa waktu di sekolah dulu. Dan sampai saat ini Zora juga masih menyimpan rasa itu rapat-rapat. Kecuali Jimmy yang tau). Suara motor Randa sudah terdengar dari arah rumah Zora. Motor keren itu terparkir manis di depan rumah Zora.
"Kok lama kali, sih" ambek Zora.
"Iya...macet tadi" ngeles Randa sambil senyum-senyum.
"Mana ada macet jam segini, Ran" keluh Zora sambil memukul kepala Randa pelan pake handphonenya.
"Mana yang laen?" Tanya Randa melihat keteras rumah Zora yang ada hanya Rani yang sibuk dengan majalah pakaian pesta dan Odie yang sudah mulai terkapar di lantai.
"Tu...."Tunjuk Zora kearah Odie dan Rani. "Si andra uda tidur di depan tiviku" jelas Zora.
Randa langsung duduk di karpet yang terbentang dan menyeduh minumannya sendiri. Zora hanya memandang tubuh tinggi itu dari sisi matanya saja. Zora tak pernah berpikir akan satu rumah dengannya.
Siang yang panjang bagi perasaan Zora yang tak bergeming dari pikiran-pikiran apa yang harus dilakukannya terhadap Randa setelah satu rumah dengan teman-teman yang lain.
Hari yang telah dijanjikan Odie dan Randa mencari rumah kos-kosan daerah yang srtaegis dengan kampus mereka yang berbeda-beda.
"Jadi, dimulai dari mana ne?" Tanya Randa kepada Odie yang sibuk dengan makanan ringannya.
"Entar ya...aku tanya oom ku dulu" jawab Odie menghabiskan keripik kentangnya yang terakhir.
"Makan ajalah kerjamu, Die" keluh Randa.
Odie langsung menelpon Oomnya yang bekerja sebagai kontraktor. Setidaknya tahu banyak tentang daerah yang strategis yang dekat kampus mereka.
"Di daerah perempatan dekat air mancur kata oomku. Disitu rumah kontrakannya besar-besar dan cukup aman. Strategis lagi." Papar Odie semangat.
"Jadi, kesana kita sekarang ni!" Kata Randa memastikan Odie.
"Ga, Ran. Besok aja yuk" jawab Odie melemas.
"Hahahaha" tawa Randa membahana.
"Let's Goooooo!!!" Teriak Odie.
Sesampai didaerah yang dimaksud oomnya Odie. Mereka berdua mulai mencari rumah kontrakan. Selama perjalanan belum ada papan iklan yang memberitahukan ada rumah yang dikontrakan. Randa dan Odie sudah mulai kelelahan mencari dan hampir putus asa. Akhirnya Randa menelpon Zora.
"Hallo, Ra"
"Ya Hallo...ada apa?" Tanya Zora yang baru selesai mandi.
"Belom dapat juga ne, tempat kosnya" kata Randa keluh.
"Loh...bukannya kata Odie tadi uda ketemu daerahnya"
"Iya...sih...tapi kan rumahnya belom ketemu"
"Yauda cari gih...kalau ga ketemu. Aku bakalan di rumah tanteku yang cerewet itu, Ran" bujuk Zora.
"Iya, Ra. Sabar ya...aku sama Odie mau keliling lagi ni" kata Randa menenangkan Zora.
"Semangat ya, Ran" teriak Zora dari telepon genggamnya.
Jika rumah kontrakannya tidak dapat, maka sirna semua impian Zora untuk tinggal bersama Randa. Sirna semua harapan-harapan Zora selama ini yang telah di khayalkannya.
Di kafe tempat nongkrongan biasa Loli dan dimana Aida bekerja paruh waktu. Loli yang sibuk berdandan trendi anak remaja zaman sekarang sedang asik berdandan di kursi depan bersama Aida yang masih memakai baju kokinya.
"Aku telpon Odie dulu eah, Da" kata Loli sambil menyeruput jus yang baru saja dibuatkan oleh Aida.
"Ya" jawab Aida lembut nyaris tanpa suara.
Dan Lolipun menelpon Odie yang sedang diatas motor.
"Odie sayang, gimana uda dapat belum rumah kontrakannya?" Tanya Loli sedikit genit.
"Beeeeelllluuum....Lol" teriak Odie yang suaranya terbawa mesin motor.
"Kalau ga dapat, aku bakalan ga dikasi kos diluar ni" bujuk Loli.
"Apa...Lol...ga dengar suaranya" teriak Odie semakin keras.
"Akh...rese' ni anak" gerutu Loli mematikan handphonenya.
Samahalnya dengan Zora, Loli juga akan dikirimkan ke rumah tantenya jika tidak dapat rumah kontrakannya. Loli mencemberutkan bibirnya bertanda mustahil kalau sampai hari ini belum juga dapat rumah kontrakannya.
Berbeda dengan Andra dan Jimmi yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Seolah-olah tidak perduli dengan rumah kontrakan yang telah mereka rencanakan sejak 1 tahun yang lalu.
"Odie...ternyata pencarian kita 1 harian ini tidak sia-sia sobat" kata Randa berninar-binar melihat tulisan "RUMAH INI DIKONTRAKKAN".
"Ya, Ran....syukurlah. Kasi tau Zora, Ran" seru Odie bersemangat setelah penat menghampirinya.
"Oke...oke..!!!"
"Aku hubungi pemiliknya eah" kata Odie melihat kontak personnya ada di papan iklan itu.
Setelah mendengar berita dari Randa, hati Zora senang bukan kepalang. Sore itu menjadi kejutan terindah yang tidak akan terlupakan. Zora bisa satu rumah dengan Randa, pria yang di idam-idamkannya selama ini. Senyum merekah terpancar dari wajahnya. Zora langsung mengirim e-mail kepada teman curhatnya di dunia maya.
"Nobita-kun...hari aku senang sekali. Akhirnya aku bisa satu rumah dengan cowo yang selama ini aku sayangi. Kau tahu Nobita-kun aku benar-benar sangat senang"
Keesokan paginya....
Mereka berkumpul di cafe tempat Aida bekerja. Hari ini semua personil komplit datang semua. Mereka membicarakan tentang prihal rumah kontrakan yang mereka rencanakan itu. Mereka mendengar penjelasan Odie dan Randa sangat tekun.
"Rumahnya besar dan bertingkat. Punya 6 kamar tidur, 3 kamar mandi, 1 ruang tivi, 1 dapur dan ruang makan, 1 ruang tamu. Cuma masih kosong kita bawa barang sendiri. Harga 12 juta pertahun. Gimana?" Tanya Randa selesai menjelaskan.
"Aku setuju aja" jawab Zora.
"Aku juga" jawab Aida dan Loli barengan
"Aku tanya dulu deh sama orang tuaku, apa ga kemahalan tu" kata Jimmi yang memang bukan dari anak orang berduit.
"Uda tenang, Jim. Untuk tahun pertama aku yang bayar uang sewanya" kata Randa tersenyum manis.
"Haaaaah" kejut mereka bersamaan.
"Ya...aku uda bilang ke papa. Aku bakalan kuliah kalau aku bisa ngontrak rumah sendiri. Dan papaku menepati janjinya" jelas Randa yang memang benar-benar anak pengusaha terkaya dikota itu.
"Horrreeee" teriak semuanya sambil tersenyum lepas.
"Jadi, untuk biaya tahun kedua gimana?" Tanya Zora membuat teman-temannya mengangguk-angguk setuju dengan perntanyaannya.
"Itu urusan nanti" kata Randa menenangkan mereka semua.
"Betul" jawab Andra yang mulai menguap-nguap lagi.
Pagi itu, pagi yang anginnya sangat menyejukkan hati mereka dengan rencana-rencana hebat. Karena besok adalah hari dimana mereka akan mendapatkan suasana baru ditengah kota dan menjadi remaja dewasa. Mampukah mereka dengan kehidupan kota yang kejam dan sangat mengerikan itu. Sanggupkah mereka bertahan dalam persahabatan yang meranjak dewasa itu.
To Be Continue....