Senin, 25 Februari 2013

Aku Diam ( Deria ) III


Aku agak ragu membicarakan keluarga pada Haris. Karena memang tak ada seorangpun yang tahu kalau aku sedang ada masalah, sebab aku lebih baik memendamnya sendiri. Entah mengapa pada hari itu Haris mengajakku makan baso di warung biasanya dia makan. Sepertinya Haris mampu membaca raut wajahku. Aku ditraktirnya makan baso, sekejap kami terdiam dalam bisingnya lalu lalang kenderaan, tapi aku merasa sepi sekali seperti sedang sendiri.
"Makan, Der. Keburu dingin ga enak loh" ajak Haris memulai pembicaraan. Dia selalu yang memulai pembicaraan dan setelah itu kamipun mulai mengobrol renyah. Mulai dari masalah politik.
"Akh...biasa tu Ris, politikus itu kan jago akting" jelasku sambil memakan baso keduaku.
"Ya...bener, tetapi seharusnya mereka kasih contoh yang baik donk. Sebagai wakil rakyat kok gitu" paparnya diplomatis yang seolah-olah sebagai pengamat politik. Aku terkagum sejenak ternyata dibalik wajah polosnya Haris ada monster besar yang siap bangkit kapan saja.
Lalu membicarakan masalah film-film terbaru dan hal-hal yang kami sama-sama menyukainya. Dan sampai akhirnya dia menjebakku dengan perkataannya.
"Manusia itu makhluk sosial, jadi bagaimanapun dia ga bisa hidup sendiri. Sepandai-pandai manusia menyimpan rahasia, tapi raut wajah tidak bisa dibohongi"
"Haah" aku tercengang heran mendengar pernyataannya yang membuat jantungku berdetak kencang. Apakah aku sedang merasakan getaran yang dinamakan cinta. Betapa aku terkagum dengan pernyataan itu, yang seolah-olah dia mampu membaca raut wajahku. Sepertinya dia mengerti apa yang sedang aku alami.
"Benerkan, Der?" Tanyanya mempertegaskan pernyataannya.
"Ya, Ris" jawabku memasang senyum manisku dibalik perihnya hatiku mengenang kejadian tadi pagi.
"Hehehe....gitu donk"
Walaupun aku tidak menceritakan masalahku, dan Haris juga tidak memaksaku untuk menceritakan masalahku padanya. Tapi, aku sudah senang, karena cuma dia yang dia tanpa sadar sudah menyenangkan hatiku. Aku benar-benar sedang jatuh hati pada Haris saat ini. Atas perhatian dan pengertiannya. Rasanya ingin kuucapkan kepadanya betapa berterima kasihnya aku padanya. Walaupn aku tidak tahu apakah dia merasakan hal yang sama denganku.

Dan akupun diantar kerumahku nerakaku itu. Aku kembali menjadi orang tersalah setelah sampai dirumah. Ternyata ada Tante Anna bersama Boni.

Tante Anna menangis terisak-isak dan aku melihat Boni tertunduk lesu. Ada apa sebenarnya yang terjadi. Aku mendekati mereka. Ada ibu juga disitu sambil mengusap-ngusap pundak tante Anna.
"Kan udah kakak kasi tau, jaga baik-baik si Boni" nasehat ibuku.
"Hiks..hiks..." Tante Anna hanya bisa menangis terisak-isak.
Boni melihat kearahku sinis, dan aku merasa sebagai orang tersalah. Ada apa ini? Kenapa Boni melihatku seperti itu? Seperti ingin membunuhku saja. Karena, aku memang tak perduli dengan masalah orang lain, akupun berlalu kekamarku, sebelum sampai dikamar kedua adik kembarku yang masih SD menarik rokku dan menyuruhku masuk kekamar mereka.
"Kak...narkoba itu apa?" Tanya Mimi
"Itu obat-obatan terlarang, haram hukumnya kalau dipake. Bisa ditangkap polisi dan masuk penjara, bisa juga dihukum mati" jelasku.
"Berarti Bang Boni masuk penjara?" Kali Mini ikut nimbrung.
"Memangnya Bang Boni pake narkoba?" Tanyaku heran melihat kedua adikku ini yang jago nguping.
"Ya...tante Anna tadi marah-marah sambil nangis. Bilangin bang Boni pake narkoba"
"Haaah" aku terkejut mendengar pemaparan Mimi.
"Ya kak" tegas Mini.
"Huss...jangan suka nguping akh. Ga baik tu. Kakak mau istirahat dulu" akupun beranjak dari kamar sikembar.
Itukah anak yang dibanggakan tante Anna, anak yang ga perbah keluyuran malam, anak yang selalu nurut kepada orang tua. Anak yang selalu baik didepan orang tuanya. Bahkan orang yang melahirkannya sendiri saja ga tau bahwa Boni begitu bejatnya di belakang orang tuanya. Dan sekali lagi aku melihat kebejatan Boni seminggu yang lalu, yang aku mengerti mengapa dia memandang sinis aku tadi.
"Eh..Bon jangan lari kamu!!!" Teriak seorang dari seberang jalan yang suara kedengaran sampe keseluruh daerah itu.
"Ampun bang!!!" Boni menunduk memohon ampun kepada pria bertato.
Aku melihat adegan sepupuku yang begitu sangar tertekuk lutut dihadapan pria bertato itu sambil menangis memohon ampun. Aku berdiam sejenak dan menantikan adegan terakhir. Boni memberika beberapa uang 50ribuan kepada pria bertato itu. Lalu Boni dicampakkan begitu saja dengan seragam sekolahnya. Aku melihat Boni berjalan gontai, tanpa sengaja dia melihatku yang sedang berjalan kearah minimarket.
"Woi...der, tunggu!!!" Teriak Boni setengah ngos-ngosan.
"Haah..." Mataku terbelalak ketika Boni memanggil namaku, bakalan kena hajar aku.
"Sini dulu....!!"Perintahnya di seberang jalan.
"Ada apa?" Teriakku malas-malasan.
"Awas kamu ya, kalau kamu ngadu ke mamaku. Ga tenang hidupmu" ancamnya.
"Bukan urusanku tu. Apa aku pernah peduli samamu" jawabku tanpa rasa takut.
"Oke, kalau kamu ngadu, hidupmu ga tenang" ancamnya lagi. Dan aku cuma mendengar suaranya samar-samar. Dan sampai saat ini aku belum ada mengadu ke tante anna tentang kejadian siang itu. Tetapi, sepandai-pandai manusia menyimpan bangkai ayam, bakalan kecium juga baunya. Mungkin tante Anna sudah mencium kelagat buruk Boni.
Mengapa setiap hari hidupku tidak tenang begini. Mengapa hidupku penuh dengan kebetulan, dan kebetulan itu seperti kunci yang harus aku simpan dan jika aku menjadikannya sebagai alat pembuka salah satu pintu maka akan terlihat siapa semua orang-orang didekatku itu. Bukankah ini berupa beban??. Namun, tetap kusyukuri sajalah.
Pada akhirnya, ada satu hari dimana aku merasakan orang-orang terdekatku merasa keberadaanku selama ini. Ya...disaat aku ulang tahun, tepat hari ini aku ulang tahun. Pagi-pagi sekali, ketika aku keluar dari kamar, sebuah bingkisan besar berbungkus kertas warna warni sudah menjegatku. Aku penasaran dengan isinya, lalu aku membukanya. Sebuah komputer jinjing. Betapa senangnya bukan kepalang rasanya. Kesenangan ini begitu bertubi-tubi. Tepat tadi malam aku mendapatkan sms pertama pengucapan selamat ulang tahun dari Haris. Dan pagi ini, dapat hadiah dari keluargaku.
"Weh enak ya, dapat laptop" kata Ria yang kutahu dia sedang mencibirku.
"Hehehe" aku hanya tersnyum dan pasti sedang iri terhadapku.
Ketika itu, aku sudah dibelikan handphone oleh ayahku. Karena aku mendapatkan ranking 3 besar. Namun, ketika itu juga Ria mendapatkan rangking 1 tidak dibelikan apa-apa. Karena, Ria masih SD dan belum pantas menggunakan Handphone. Lalu, Ria uring-uringan ingin minta dibelikan juga. Akhirnya Ria mendapatkan handphonenya setelah seminggu mogok makan. Lalu. Ketika dia mendapatkan jaket kulit yang dibelikan ayahku yang baru pulang dari luarkota senangnya bukan kepalang, dan aku tak mendapatkan apa-apa, aku hanya diam saja. Saat aku mendapatkan hadiah piyama dari paman Teo, dan Ria tidak diberikan, dia ngambek selama sebulan, tidak mau berbicara denganku. Pikirku, ya sudahlah, ga perlu aku pikirkan itu semua. Toh...setiap kali aku mendapatkan barang yang kuingin, membutuhkan waktu lama mendapatkannya, sedangkan Ria butuh waktu singkat untuk mendapatkannya, dan aku tak pernah merasa peduli dengan hal itu.
Kembali keacara ulang tahunku, disekolah menyambut indah hari terpentingku itu. Bersorak-sorak menyanyikan selamat ulang tahun. Ini adalah hari terindah dalam hidupuku, ketika semua orang menganggapku ada disekitar mereka. Itu saja sudah cukup bagiku. Bahwa kuyakin ini semua rencana Haris.
"Makasi untuk semuanya" kataku ketika pulang sekolah.
"Hehehe...maaf ga bisa ngasi kado" katanya sambil tersenyum manis.
"Ini aja uda jadi kado, sekali lagi makasi, Ris"
"Ya...Der" 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar