Senin, 25 Februari 2013

Aku Diam ( Deria ) II


Keesokan paginya disekolah...
Sesuai dengan perkiraanku tadi malam, Yolli benar-benar pamer atas terselesaikannya PR dalam semalam.
"Liat ni, aku udah selesai PRnya" Pamer Yolli keteman-teman sekelas.
Aku berada didekat pintu melihat pemandangan Yolli sedang dikerumuni oleh teman-teman sekalas seperti artis yang sedang diwawancarai.
"Kasi contekan donk, Yol" teriak Dino yang kutahu cowo pemalas itu.
"Enak aja nyontek-nyontek. Cari sendiri donk" sombong Yolli.
"Parah akh si Yolli. Pelit" celetuk Ferri berlalu dan membubarkan kerumunan itu dengan mencoba meludahi meja Yolli.
"Waaaahhh" teriak teman-teman sekelasku merasa jijik melihat tingkah si Ferri.
Akupun masuk kekelas tanpa diketahui siapapun. Tanpa diketahui bahwa aku sudah duduk di bangkuku. Ya...mereka tak perduli, dan aku juga tak pernah perduli dengan mereka. Jadi, menurutku ini suatu kewajaran dalam hidup. Kau peduli aku peduli, kau membantu aku membantu, kau diam dan aku diam. Kehidupanku seperti itu, namu ketika aku membantu kau tak peduli, maka aku akan menjadi manusia terkejam yang tidak akan pernah peduli lagi sampai kapanku maka aku telah membencinya, tetapi ketika itu terjadi dan aku masih menerimanya maka aku masih sayang terhadapnya.
Tak terasa kelas telah berlalu, sebelum kelas berkahir aku kekamar mandi. Dan membuang hal yang memang harus kubuang. Di toilet sangat sepi karena memang tidak ada seorangpun yang keluar dari kelasnya. Selama didalam toilet aku mendengar suara bel menandakan istirahat. Terdengar olehku langkah-langkah kaki masuk kedalam toilet wanita itu.
"Eh...kok bisa dapat nilai 100 sih?" Tanya cewe 1.
"Hahahaha....ini rahasia ya" kata cewe yang 1 lagi dengan suara berbeda, namun aku tanda sekali suara itu, Yolli.
"Memang kenapa, Yol?" Tanya yang satu lagi dengan suara berbeda. Benar perikiraanku. Pasti cewe pertama yang tanya adalah Monic dan yang kedua adalah Bella.
"Si dungu Deria yang kasi contekan ke aku" kata Yolli sambil tertwa lepas.
"Hahahaha" disambung dengan ketawa iblis wanita-wanita yang kuyakin bakalain jadi budaknya Yolli selamanya. Aku cuma diam dan tak berkutik. Karena memang aku tak ingin mencari masalah. Dan aku meneruskan usahaku untuk mengeluarkan hal yang tidak penting bagi tubuhku.
Sekolah hari ini seperti biasa saja, dan aku menganggap hal-hal yang terjadi memang harus kuketahui dan aku harus berhati-hati kepada siapa aku berteman.
Haris, pria yang di gosipkan pacaran dengaku sedang berada diparkiran motor. Gosip itu terjadi, ketika Haris menolongku saat aku terjatuh saat lari maraton ketika semester pertama. Teman-teman mulai saja mengejekku dengan bercanda kalau kami berdua adalah pasangan yang cocok. Tak kuhiraukan gosip tersebut, karena itu tidak benar. Dan sampai pada sebulan yang lalu. Haris mulai mendekatiku. Mulai sering menghubungiku dan mengantarkan aku pulang. Aku merasa hal itu biasa saja sebagai teman tak ada perasaan lebih untuk Haris. Kebanyakan teman-teman brkata bahwa dia mempunyai perasaan terhadapku. Aku tidak mudah percaya dan ke GR-an begitu saja. Karena memang Haris belum pernha berbicara langsung sola perasannya kepadaku.
"Mau pulang bareng, Der?" Ajak Haris yang memang menungguku.
"Hem...bolehlah" jawabku yang tak mungkin menolak kebaikan orang.
Sepanjang jalan kami hanya diam tak berbicara. Bahkan untuk berbasa-basi saja tidak ada. Seperti biasa aku hanya diam tak berkata. Sesampai dirumah juga aku cuma bilang "terimakasih". Dan Harispun berlalu pergi pulang kerumahnya.
Aku kembali kedalam istana surga yang didalamnya sebuah nerka yang tak tahu aku kapan berakhirnya api-api kepalsuan dirumahku runtuh.
Tak ada sambutan bahagia disiang itu, yang kudengar ayahku sedang memarahi ibuku karena tingkah laku adikku membawa pacarnya kedalam kamar adikku.
"Dasar manusia ga becus...apa kerja kau dirumah. Sampai kau ga tau kalau Ria membawa laki-laki kekamarnya" teriak ayahku dari dalam kamar mereka yang kedengaran olehku.
"Hiks...hiks..." Aku mendengark ibuku terisak-isak menangis sedu karena telah dikatakan manusia tak becus.
Bukankah ayahku sendiri sedang mengatakan dirinya sendiri. Aku teringat ketika kami sedang bermain ditaman bermain.

Sedang bermain ditaman bermain. Aku dan adikku ingin bermain komidi putar. Ayahku membelikan tiket komidi putarnya dan memberikannya kepadaku. Aku dan adikku mengantri masuk komidi putar. Lalu, ayahku memberikan pesan.
"Ayah ketemu teman ayah sebentar. Kalau sudah selesai tunggu disini dahulu" pesan ayahku berlalu.
Aku melihat kebelakang, seorang wanita cantik sedang melambaikan tangannya kearah ayahku. Aku heran dan ingin bertanya siapa wanita itu. Namun, aku sudah ditarik oleh Ria adikku untuk segera menaiki komidi putar, dan aku kehilangan punggung ayahku. Selama di komidi putar aku tak melihat sosok ayahku. Dan sampai akhirnya selesai komidi putar berhenti. Aku membawa adikku turun dan menunggu ayahku datang menjemput. Adikku yang sudah mulai mengantuk dan hampir setengah tertidur, aku tak tega membangunkannya. Aku dan adikku terus menunggu, jika aku mencari ayahku dan ayahku sudah tiba disini maka gantian aku yang akan dicarinya. Maka kuurungkan untuk beranjak dari tempat yang dijanjikan ayahku. Malam semakin larut, dan para pengunjung semakin sepi, dan akupun terasa mengantuk.
Tiba-tiba sosok ibuku datang berlari kearahku. Dan memeluk kami berdua. Aku tahu ibuku baru menangis, namu aku tak tahu apa penyebabnya dia mengeluarkan airmata.
Didalam mobil aku hanya diam karena sudah mengantuk dan adikku sudah tertidur pulas.
"Uda besar kok bodoh kali. Seharusnya Deria telpon ayah, kalau sudah selesai. Jadi ayah ga lupa" omel-omel ayahku.
"Haah" aku kaget sekali kena omel seperti itu.
"Udah-udahlah, mas. Ga perlu marah-marah ke Deria" kata ibuku menenangkan ayahku.
"Ya...gitu tu udah disekolahkan kok gobloknya minta ampun" omel ayahku lagi.
Dan aku memang tak sanggup ketika ayahku sedang marah seperti itu. Apa aku ini kurang baik dimata ayahku. Apakah aku ini anak yang begitu bodoh sampai ayahku mengatakan aku ini goblok. Ternyata kejadiannya, setelah ayahku bertemu temannya ayahku langsung pulang, dan lupa bahwa dia sedang mengajak kami jalan-jalan ketaman bermain. Sesampai dirumah ibuku panik karena kami ga bersama ayah pulangnya. Dan ibuku mulai histeris, lalu ayahku menutupi kelupaannya dengan beralasan ada yang ketinggalan, padahal jam malam sudah larut. Dan ibuku memakluminya lalu mereka menjemput kami berdua. Bukankah itu lebih ceroboh lagi dan kesalahan yang lebih fatal lagi, jika aku beritahu bahwa ayah bertemu dengan seorang wanita sehingga kami terlupakan. Aku hanya bisa menahan airmataku untuk menerima sikap ayahku itu. Lalu, aku mendengar isakan adikku dari dalam kamar, yang kutahu pasti habis dimarahi oleh ayahku. Kulihat dari balik pintu kamar yang masih terbuka sedikit. Aku melihat kedua adikku sedang menenangkan Ria sambil mengelus-elus rambutnya Ria. Aku abaikan mereka dan berlalu kekamar, menahan tangis dan perihnya hatiku ketika ibuku dimarahi oleh ayahku. Aku menagis sejadi-jadinya. Inilah surga itu yang kelihatan dari luar, namun didalamnya bagaikan neraka yang tak henti-hentinya membakar seluruh penghuninya. Dan kepedihan ini aku simpan sendiri dan aku memnag lebih senang menyendiri.
Keesokan paginya, Ria tidak mau pergi sekolah karena malu kepada pacarnya sebab dia dimarahi ayah didepan pacarnya. Dan pagi itupun menjadi terpenatku.
"Ga mau sekolah lagi ya" kata ayahku sambil membentak.
"..." Ria hanya terdiam tertunduk.
"Deria, seret adikmu ni kesekolah" teriak ayahku dari ruang makan.
"..." Aku juga hanya diam, serta ibu yang melihat kami dimarahi juga mencoba tegar menahan airmatanya.
"Sebagai kakak bukannya memberi contoh yang baik" kata ayahku marah-marah.
"Haah" kembali aku disudutkan oleh ayahku, pagi-pagi seperti ini aku sudah dipojokkan dengan kata-katanya. Rasanya aku ingin berontak. Memangnya aku sudah mencotohkan yang ga baik terhadap adik-adikku. Bahkan membawa laki-laki pulang masuk kedalam rumah saja ga pernah. Haris hanya Haris yang mengantarkanku pulang karena rumah dia searah. Lalu aku setiap malam minggu juga dirumah saja ga pernah keluyuran kemana-kemana. Aku ga pernah memberikan contoh yang ga baek kepada adik-adikku. Aku kerutkan bibirku karena merasa tak nyaman dengan kata-kata ayahku.
"Gitu kalau dinasehatin, langsung cemberut bibirnya" lalu tangan ayahku melayang ke bibirku dan aku merasa tamparan itu begitu sakitnya. Aku tercengang, adikku yang berbuat salah mengapa harus aku juga kena imbasnya. Ingin melawan, namun aku tak ingin di katakan anak durhaka. Aku terdiam tak mampu mengeluarkan kata-kata bahkan airmata saja kutahankan agar aku kelihatan kuat dan tegar. Apa-apaan dipagi seperti ini, aku sudah memakai seragam sekolah. Kejadian yang tak ku inginkan terjadi begitu mudahnya tanpa proses yang panjang. Adikku yang terisak langsung menghnetikan tangisannya melihat aku ditampar oleh ayah. Inikah yang diinginkan adikku agar aku kena imbasnya gara-gara tidak ingin sekolah, rencana yang berhasil.
Selama pelajaran berlangsung aku tak bisa berkosentrasi menerima pelajaran.
"Kenapa, Der. Kok beda banget hari ini?" Tanya Tata teman sebangkuku.
"Ga apa-apa Ta" jawabku yang tak ingin Tata iba terhadap kejadian yang menimpaku pagi ini.
"Kalau ada masalah ya cerita donk samaku" kata Tata memberikan perhatiannya.
Aku jadi teringat sebulan yang lalu, ketika Mey curhat masalah keluarganya dan Tata menceritakan semuanya kepadaku tentang masalah Mey didalam keluarganya. Maka dari semenjak itu aku juga harus berhati-hati kepada Tata. Dulu sebelum aku sebangku dengan Tata, dia sempat sebangku dengan Mey. Ketika Mey ketahuan pacaran dengan Tata, seketika itu pula Tata menghapus Mey menjadi temannya. Dan Tata mulai bercerita tentang keburukan Mey di depanku. Aku bisa menerima itu semua, dan sekali lagi aku tak perduli dengan kehidupan orang lain yang tak layak dibongkar didepan orang lain.
Sepulang sekolah seperti biasa Haris menungguku diparkiran. Dengan wajah tersenyum yang kutahu dia pasti tahu kalau aku sedang berpura-pura. Dan aku lebih paham dia. Haris tidak akan pernah bertanya apa masalah kita, dan dia bukan tipe laki-laki yang suka mengurusi orang lain, kecuali sipemasalah mengatakannya langsung maka dia akan membantu.
Aku agak ragu membicarakan keluarga pada Haris. Karena memang tak ada seorangpun yang tahu kalau aku sedang ada masalah, sebab aku lebih baik memendamnya sendiri. Entah mengapa pada hari itu Haris mengajakku makan baso di warung biasanya dia makan. Sepertinya Haris mampu membaca raut wajahku. Aku ditraktirnya makan baso, sekejap kami terdiam dalam bisingnya lalu lalang kenderaan, tapi aku merasa sepi sekali seperti sedang sendiri.
"Makan, Der. Keburu dingin ga enak loh" ajak Haris memulai pembicaraan. Dia selalu yang memulai pembicaraan dan setelah itu kamipun mulai mengobrol renyah. Mulai dari masalah politik.
"Akh...biasa tu Ris, politikus itu kan jago akting" jelasku sambil memakan baso keduaku.
"Ya...bener, tetapi seharusnya mereka kasih contoh yang baik donk. Sebagai wakil rakyat kok gitu" paparnya diplomatis yang seolah-olah sebagai pengamat politik. Aku terkagum sejenak ternyata dibalik wajah polosnya Haris ada monster besar yang siap bangkit kapan saja.
Lalu membicarakan masalah film-film terbaru dan hal-hal yang kami sama-sama menyukainya. Dan sampai akhirnya dia menjebakku dengan perkataannya.
"Manusia itu makhluk sosial, jadi bagaimanapun dia ga bisa hidup sendiri. Sepandai-pandai manusia menyimpan rahasia, tapi raut wajah tidak bisa dibohongi"
"Haah" aku tercengang heran mendengar pernyataannya yang membuat jantungku berdetak kencang. Apakah aku sedang merasakan getaran yang dinamakan cinta. Betapa aku terkagum dengan pernyataan itu, yang seolah-olah dia mampu membaca raut wajahku. Sepertinya dia mengerti apa yang sedang aku alami.
"Benerkan, Der?" Tanyanya mempertegaskan pernyataannya.
"Ya, Ris" jawabku memasang senyum manisku dibalik perihnya hatiku mengenang kejadian tadi pagi.
"Hehehe....gitu donk"
Walaupun aku tidak menceritakan masalahku, dan Haris juga tidak memaksaku untuk menceritakan masalahku padanya. Tapi, aku sudah senang, karena cuma dia yang dia tanpa sadar sudah menyenangkan hatiku. Aku benar-benar sedang jatuh hati pada Haris saat ini. Atas perhatian dan pengertiannya. Rasanya ingin kuucapkan kepadanya betapa berterima kasihnya aku padanya. Walaupn aku tidak tahu apakah dia merasakan hal yang sama denganku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar