Sabtu, 30 Januari 2016

Sometimes it's come

Setiap kali hendak memejamkan mata dan tidur. Selalu ada saja yang merasuki pikiran untuk berdebat dengan diri sendiri. Aku selalu menamainya "boy" and "girl". Ini dimulai sejak aku duduk dibangku SMP. Sosok "boy" dan " girl" selalu muncul setiap kali aku memejamkan mata hendak tidur. Sudah bermacam cara aku mencoba menghilangkan kedua sosok yang selalu berbicara didalam pikiranku ini. Tetapi , tetap saja tidak bisa. Mulai dari berzikir, membaca ayat-ayat pendek dalam hati, bahkan ekstrimnya lagi aku memaksa mereka keluar dari pikiranku dengan cara aku memikirkan orang lain.
Dan itu sudah berlaku sejak aku SMP, ingin mengadu ke pskiater. Aku takut disangka gila. Aku kira aku ini bipolar, ternyata bukan. Tetap saja "boy" dan " girl" itu meminta masuk tanpa permisi. Mereka berdua sepertu kosentrasi yang terbuang sia-sia pada saat pengikisan alamal bawah sadarku. Mereka muncul, ya sejam lalu mereka muncul. Memberbincangkan hal yang sama setiap tahunnya.
"Aku ini siapa?"
"Bagaimana aku bisa sampai kesini?"
"Aku ini mau apa?"
"Sudah benarkah jalan hidupku?"
Terkadang setiap kali "boy" dan " girl" itu mengoceh tak jelas, dan lalu aku terbangun aku menemukan diriku yang berbeda. Seperti ada siraman air yang aneh ketika mata terpejam.
Apakah aku segila itu...?
Menimbulkan , dan menerima kehadiran "boy" dan " girl" kedalam alam bawah sadarku. Membiarkan mereka berbincang sesuka hati. Berisik didalam pikiranku.
Apakah mereka dua nyata?
Persepsi-persepi yang lain menunjukkan, bahwa mereka berdua adalah "jin" penunggu tubuhku. Ada juga aku pernah baca itu hanya "buah" khayal yang aku ciptakan karena aku merasa selalu kesepian.
Aku mengira mereka akan menghilang setelah aku berusia dewasa. Karena, seperti buku yang aku baca, "boy" dan "girl" itu akan muncul hanya ketika aku merasa kesepian terdalam. Usia dewasa bukanlah waktunya untuk merasa kesepian. Sebab teman sudah banyak. Mengenal banyak orang mengantisipasi kedatangan mereka saat ini. Ternyata aku salah, mereka selalu hadir, selalu aku menerimanya walaupun alam sadarku menolak mereka. Namun, mereka memaksa masuk begitu saja.
Bagaimana aku menghilangkan mereka, kesibukan? Atau ada hal yang lain?
Dalam psikis ini termasuk apa?
Mencari di mesin pencari "google" bukanlah cara yang tepat. Karena aku hanya bisa berpersepsi bahwa akulah yang menciptakan "boy" dan " girl" itu. Adakah pembenaran yang logika selain si "google".
Sejak itulah, aku benci memejamkan mata dengan cara yang aku sengaja. Ketika ditanya jam berapa aku "tidur" setiap harinya. Aku tidak bisa menjawab. Karena aku tidak tahu kapan aku benar-benar tidur. Tapi, ketika ada yang bertanya jam berapa aku memejamkan mata, mungkin aku bisa menjawabnya.
Keanehan macam apa ini, diawal tahun sudah begitu meriskan sekali.
Apakah ini namanya luapan beberapa tahun ini aku tidak produktif menggunakan otakku.

Senin, 25 Januari 2016

D

- Kembali kemasa lalu -
Aku pamit untuk pergi kerumah kak Nurah. Awalnya Denni melarang keras.
"Nanti buat hatimu kacau kalau kamu kesana sendirian. Aku ikut ya?"
"Tidak perlu khawatir aku bisa dan aku kuat. Kak Nurah tidak termasuk orang-orang yang jahat itu. Dia kakak yang baik. Buktinya dia mengirimkan kita bika pandan tadi malam"
"Baiklah. Jika merasa tidak nyaman langsung pulang"
"Iya, Pak bos"
Kadang aku merasa risih dengan perhatian dan kekhawatiran Denni terhadapku. Akunya yang merasa ke GR-an atau semacamnya. Akh aku berpikir Denni hanya mengayomi anak buahnya saja.
Berjalan kaki menyelusuri perkampungan yang sudah aku tinggalkan sejak lama itu. Banyak terjadi perubahan. Warga desa yang mulai beraktifitas silih berganti menyapaku ketika berselisihan jalan. Sungai dibelakang rumah Nek Uyah juga masih ada, tapi tak sejernih masa lalu. Pohon yang dikatakan keramat dan angker itu juga masih ada. Tapi, ada tulisan yang membuat aku terkekeh.
"Jangan buang sampah disini, nanti hantunya marah"
Udara sejuk pedesaan. Hamparan sawah yang semakin menyempit karena dibangun lahan perumahan. Sangat disayangkan memang. Kakiku terus melangkah seperti ada yang menuntunnya untuk kerumah Kak Nurah.
Aku mendekati kios sarapan kak Nurah.
"Kak, beli kue ini" tunjukku kesebuah bakwan.jagung yang kelihatannya lezat.
"Mau berapa dek" Kak nurah tak memalingkan wajahnya kearahku. Aku memang sengaja ingin membuat kejuatan.
"10 kak"
"20ribu dek"
Dan ketika aku hendak memberikan uang belanjaanku. Kak Nurah terkejut.
"Aisah!" Teriaknya haru. Lalu membaurku dengan sebuah pelukan hangat. Kak Nurah berubah drastis. Dulu langsing sekarang ukuran bajunya 5 kali lipat dari punyaku.
"Kakak kok gemuk sekali"
"Namanya juga sudah mamak-mamak. Kebanyakan makan pil KB"
"Hehehehe....kakak sehatkan"
"Sehat. Aisah gimana?"
"Sehat kak"
"Sudah lama tidak keliatan sejak kejadian itu"
Sore itu dua puluh tahun yang lalu. Aku bersama adikku sedang asik bermain layang-layang yang baru saja dibelikan oleh ayahku sehabis memanen jagung. Karena ayah berjanji akan membelikan layang-layangan. Dan kami bermain dilapangan desa. Angin sore yang begitu indah membuat layang-layang kami mengantung diudara. Bergoyang kesana kemari. Menarik ulur benang pengikat anatara kami dan selembar kertas yang sedang melayang tinggi.
"Kak Aish, Dek Mala...pulang sudah sore" Teriak ibuku dari halaman depan. Jarak antara rumah dan lapangan tidak begitu jauh. Aku dan Mala berlari menyudahi bermain main layang-layang.
"Iya buk" teriakku.
"Besok maen lagi ya kak"
"Hu um" anggukku mantap.
Selesai mandi, aku membantu ibu didapur menyiapkan makan malam. Hari ini menunya ikan sambal dan daun singkong di santan. Makan favorit keluarga.
"Kak Aish harus pandai memasak ya. Anak perempuan harus bisa masak"
"Iya buk. Nanti ajarin Aish memasak"
"Besok ibu ajarin Kak Aish memasak"
"Asik...!!!" Aku girang sekali mendengarkan ucapan ibu. Usiaku memang masih muda, tapi aku suka membantu ibu, terutama memasak.
Hari semakin magrib, waktunya aku mengaji bersama Kak Nurah. Aku pergi kerumah kak Nurah. Biasanya aku pergi bersama adikku. Tapi, magrib ini adikku setelah selesai main-main terserang sakit perut. Akhirnya aku pergi mengaji sendiri. Sesampai dirumah Kak Nurah, aku melihat Paman Mukthtar baru saja keluar dari rumah Kak Nurah.
"Paman ngapain , kak?"
"Owh...ada urusan sama bapak tadi"
Aku hanya mengangguk seolah mengerti. Seketika itu juga Wak Umah bapakanya kak Nurah permisi keluar menemani Paman Mukhtar. Aku tidak tahu kemana mereka pergi. Tujuanku hanya mengaji dengan Kak Nurah.
"Mala mana?"
"Sakit perutnya?"
"Hm...jadi dia dirumah sekarang?"
"Iya, kak!!"
"Kenapa gak kamu paksa aja dia mengaji?"
"Kasian kak, dari tadi dikamar terus"
Kak Nurah menggangguk pelan. Dan mulai membuka al-qur'an ukuran besar dengan tulisan yang mudah aku baca. Aku sudah dua kali hatam sampai usia 8 tahun ini. Kak Nurah sangat menyukaiku, karena aku paling mudah menangkap pelajaran baru.
Sudah mendekati Isya'. Aku harus balik. Tapi, kak Nurah menyuruhku mencoba kue barunya. Dia beri nama Kue Bolu busa. Aku penasaran dengan bolu busanya. Apakah rasanya seperti busa atau semacamnya. Benar saja, kue bolunya seperti busa lembut dan manis. Aku suka. Tapi, tidak sesuka bika pandan bantat milik kak Nurah. Aku pamit setelah makan 3 potong kue bolue busanya. Kak Nurah mengizinkanku pulang.
Berjalan kaki, dengan lampu desa yang seadanya. Ketika melewati lapangan. Aku melihat sesosok yang aku kenal dengan kondisi berdiri keadaan basah.
"Kak Aish....!!" Teriak Mala
"Mala, kenapa kamu basah kuyup?"
Karena lampu penerangan jalan sangat minim. Yang aku tahu Mala basah kuyup, lalu dia berlari tertatih ke arahku. Aku mencoba mendekatinya, memastikan apakah Mala benar-benar basah. Tapi, belum sempat aku mendekatinya, Mala malah terjerembab ketanah. Aku terkejut.
"Malaaaaaa!!!" Teriakku mendekati.
Aku yang masih memakai mukena menyeret-nyeret ketanah. Aku memeluk Mala, meminta tolong.
"Tolong...tolong" tak ada orang lewat. Aku mencoba membopong Mala ke rumah.
Kakiku melemas, rumah kami sudah porak poranda. Kaca jendela depan sudah pecah. Lampu depan rumah biasanya hidup terang benderang tapi kini redup. Aku tahu kaca-kaca berceceran dimana-mana. Kakiku terinjak kaca dan berdarah. Dan baru aku sadari Mala bukan basah karena air. Tapi, itu darah. Seperti ada sesuatu yang menghantam seluruh hatiku. Mala tak membuka matanya dengan kepala bersimbah darah.
"Buk...ibuk"
Tak ada sahutan. Aku mencari keseluruh ruangan. Dan aku berdiri kaku. Aku melihat ibu dan ayah sudah tak sadarkan diri bersimbah darah di dapur. Ayah sedang memegang parang. Ini mengerikan sekali. Aku berlari ke arah rumah tetangga yang lumayan jauh. Tetangga terdekat adalah Paman Mukhtar.
"Paman...paman!!!" Teriakku dari luar pintu rumahnya.
Tak ada sahutan dari dalam rumah paman. Aku mengedor-ngedor pintunya. Tetap tak ada jawaban. Pikiranku kacau balau, tapi badanku tetap membawaku kearah rumah warga lainnya. Rumah kak Nurah, terseok-seok aku berlali ke rumah kak nurah.
"Kak...kak....tolong kak!!!" Tak ada yang menjawab. Pada kemana warga desa ini. Aku sangat membutuhkan mereka. Lalu, seorang yang baru pindah dan aku sangat mengenalnya sekarang. Paman Syaikh.
"Ada apa nak!"
"Tolong paman, tolong. Keluargaku ...." aku tak sanggup mengatakannya. Paman Syaikh langsung menyalakan motor bututnya kearah rumahku. Aku semakin syok , tak ada seorang pun warga disitu. Ini pembunuhan. Aku yakin ini pembunuhan. Tapi, siapa yang tega membunuh keluargaku. Paman Syaikh langsung menutup mulutnya.
"Astagfirullah. Allahuakbar. Sabar ya, nak. Saya akan berusaha membujuk warga untuk membereskan ini"
"Paman tahu siapa yang melakukan ini?"
"Maaf nak paman tidak tahu. Tapi, paman akan memanggil polisi sekarang. Kamu ikut?"
"Gak, paman saya mau menjaga mereka"
Aku sudah membawa Mala kedapur untuk bergabung dengan Ayah dan Ibu.
"Tidak, kamu harus ikut. Sebagai saksi nak"
"Tidak paman. Biarkan aku disini. Aku ingin melihat wajah mereka terakhir kalinya. Aku takut jika aku pergi nanti, mereka sudah menghilang"
"Nak!!!"
"Tidak paman, aku disini sampai aku terbangun dari mimpi ini paman. Aku yakin ini semua mimpi"
"Baiklah. Tunggu paman"
"Iya paman" aku mengangguk takjim.
Aku hanya bisa terduduk disudut seberang ruang dapur itu. Melihat ketiga keluargaku yang aku cintai tertidur pulasnya dengan penuh darah disekujur tubuhnya. Apa yang terjadi. Siapa yang tega melakukan ini. Airmataku tak terhenti-hentinya. Kepalaku sakit sekali. Memandang kosong kearah tubuh-tubuh yang akan menghilang besok. Aku lelah, hendak ikut bersama mereka.
"Aish...aish" sebuah teriakan dari luar rumah. Itu suara kak Nurah. Aku tak sanggup membalas sahutan kak Nurah. Tubuhku melemas dan bayangan hitampun menerpa. Aku pingsan.
Entah sudah berapa hari aku tak sadarkan diri. Yang aku tahu aku terbangun sudah berada ditempat baru. Melihat sekitar dengan silaunya cahaya yang aku tidak kenal dimana aku berada. Perutku lapar sekali dan sakit.
"Alhamdulillah, abah....abah...Aisah sudah siuman"
"Ayah, ibu, dek mala!" Aku teringat kejadian malam itu. Rumahku porak poranda, keluargaku bersimbah darah. Mereka dimana sekarang.
Wanita yang aku lihat pertama kali itu memelukku erat. Dia adalag istri Paman Syaikh.
"Sabar dan tabah ya, nak. Bibi yakin kamu orang terkuat didunia"
"Bi...aku udah janji sama Mala mau maen layang-layangan hari ini. Ibu juga janji akan mengajariku memasak hari ini. Mereka dimana?"
Semakin erat pelukannya. Beliau menangis sejadinya. Airmatanya membasahi punggungku. Akupun ikut menangis tersedu sedan.

C

- Sapaan Pertama Nikmah -
Ada 20 orang anak yang sukarela tanpa paksaan untuk mengikuti pembelajaran kami. Anak-anak itu tersenyum manis. Dan aku langsung tertarik dengan Nikmah, seorang anak perempuan yang lincah bersemangat. Awal pertemuan Nikmahlah yang paling aktif mengajukan pertanyaan.
"Pak..pak..saya mau tanya!" Suara cemprengnya Nikmah selalu menjadi gemma bagi teman-teman lainnya. Banyak sekali pertanyaan yang diajukannya. Seperti
"Bapak dan ibu sudah makan belom?"
"Berapa lama bapak dan ibu disini?"
"Bapak dan ibu sudah punya pacar belum?"
Dan sebenarnya pertanyaannya adalah pertanyaan biasa. Tapi, aku merasa senag sekali bisa bertemu dengan Nikmah. Dan yang membuatku tertarik adalah jawabannya ketika aku bertanya.
"Nikmah apa cita-citamu?"
"Aku ingin menjadi pilot pesawat jet kebulan, buk"
Dan jawaban itu mengundang tawa teman-temannya. Namun, dia tidak marah malah membalas.
"Lihat saja nanti, kalau aku jadi pilot peswat jet kebulan. Kalian tidak akan aku ajak kesana"
Kembali tawa membahana di balai pertemuan desa. Kecerian ini membuat aku lupa rasa perih yang harus aku tahan.
Selesai perkenalan, kami membagi 5 kelompok. Satu kelompok memegang 6 orang anak. Dan akan mempelajari sesuai dengan bidang kami. Denni mengajarkan kepemimpinan dan kemandirian. Akhsan mengajarkan berhitung, membaca dan sains. Ikbal mengajarkan tentang ide-ide kreatifitas. Serril mengajarkan seni musik, tari, melipat kertas dan lain-lain. Sedangkan aku mengajarkan budi pekerti kepada mereka. Setiap harinya mereka akan mempelajari hal-hal baru. Karena ini minggu pertama kami hanya perkenalan terlebih dahulu. Aku mendapatak kelompok Nikmah terlebih dahulu.
"Perkenalakan nama ibu adalah Aisah Amalia. Panggil saja Ibu Aisah. Usia ibu 28 tahun. Ibu berasal dari Kota Lubuk Hilir" kataku memperkenalkan diri. Sekarang giliran mereka yang memperkenalkan diri.
"Nama saya Nikmahtullah. Panggil saja saya Nikmah. Tetapi teman-teman saya selalu memanggil saya Niktul. Usia saya 10 tahun. Saya berasal dari Desa Air bersih dusun 5" Nikmah mengakhiri perkenalannya dengan memperlihatkan gigi-giginya yang kecil namun jarang-jarang.
"Nama saya Fitriyanti, panggil saja fitri. Usia 10 tahun . Berasal dari desa air bersih dusun 5"
"Nama saya Yudhatama, panggil saja tama. Usia 10 tahun. Berasal dari desa air bersih dusun 3"
"Nama saya Ikram Hidayat, panggil saja ikram. Usia 9 tahun. Berasal dari desa air bersih dusun 2"
"Nama saya Agusrahman. Panggil saja agus. Usia 11 tahun. Berasal dari desa air bersih dusun 1"
"Hahahaha...dusun pelacur"
Tersentak aku kaget dengan pernyataan itu. Yang dilontarkan oleh Tama. Anak berusia 10 tahun sudah tahu apa itu pelacur.
"Diam kau. Ibumu saja bekerja disana"
"Tapi ibuku tidak pelacur, dia hanya berjualan nasi"
Mereka menjadi gaduh. Tama dan Agus masih bersitegang. Agus yang marah ketika tempat tinggalnya dikatakan sarang pelacur oleh Tama segera meluncurkan serangan terbaiknya yaitu tinju maut yang membuat Tama terjerembab jatuh. Dan membuat kelompok lain mengerumuni kelompokku. Aku segera memisahkan dua anak lelaki ini. Ternyata Agus begitu kuat, aku tidak sanggup menahannya. Tinju kedua meluncur mulus ke pipi kanan Tama. Akhsan yang dekat dengan kelompokku langsung meleraikan mereka berdua. Dan Denni datang berlari dari jarak yang cukup jauh.
"Ada apa ini?" Denni melihat keadaan semakin ramai. Bukan hanya murid - murid kelas kami. Tapi, beberapa warga desa juga mulai mengerumuni. Agus dan Tama dibawa oleh Denni ke belakang Balai Pertemuan. Dan mengajakku bersama mereka. Kelompokku ku serahkan pada Akhsan.
"Apa yang terjadi?"
"Dia mengejek tempat tinggal aku pak" mata Agus masih merah menahan amarah yang kurasa jika Denni tidak datang maka pukulan maut ketiga akan meredakan rasa amarahnya.
"Aku tidak mengejek. Tapi, itu memang kenyataannya kok" kilah Tama yang pipinya mulai membiru.
"Apa yang kamu bilang ke dia?" Tanya Denni menunjukka kearah agus.
"Aku bilang, tempat sarang pelacur?"
"Apakah kamu tahu pelacur itu apa ?"
Tama geleng-gelengkan kepalanya.
"Sebaiknya kamu jaga bahasamu. Ibu Aisah akan mengajarkanmu bersopan santun. Mintalah maaf kepadanya?"
"Aku tidak mau"
"Aku juga" agus menimpali.
"Kalau tidak ada kata maaf, saya akan mengeluarkan kalian dari kelompok  belajar ini"
"Denni...!!" Aku tidak suka dengan menghakimi secara sepihak seperti itu. Ini hak mereka untuk mendapatkan ajaran. Kita dibayar untuk itu. Bukan malah membiarkan mereka pergi.
"Ssstttt....!!!" Denni menutup mulutnya dengan telunjuk.
"Aku keluar" kata Agus.
"Aku juga" Tama ikut.
Mereka melangkah pergi dari hadapan kami. Aku melihat punggung Agus yang penuh harapan bisa mengikuti pembelajaran ini tampak kecewa. Begitu juga Tama, raut wajahnya tiba-tiba berubah ketika Denni mengatakan hal itu.
"Den, sikap diktatormu jangan kau bawakan kedepan anak-anak. Setidaknya kita bicarakan terlebih dahulu solusinya. Bisa saja Agus pindah ke kelompok lain atau sebaliknya" aku kesal dengan sikap diktator Denni yang suka mengambil keputusan semaunya saja.
"Kita tidak boleh memaksa kehendak mereka. Jika memang mereka berniat untuk belajar. Pasti mereka akan datang lagi besok. Bahkan hari ini jug akan datang kembali mereka. Ingat, sah. Jangan memaksa"
Aku tahu maksud baik Denni. Dengan cara itu anak-anak mau belajar tanpa pemaksaan sekalipun. Cara yang jitu untuk anak-anak agar tidak terpkasa untuk belajar, dan itu berpengaruh terhadap proses belajar dan hasil belajar.
"Kalau mereka tidak kembali, maka kita gagal"
"Bukan kita, tapi aku yang gagal mendidik mereka" Denni selalu seperti itu. Gaya superheronya itu yang terkadang membuat aku merasa geli sendiri.
Kami memulai lagi dengan pelajaran yang kami ajarkan. Anak-anak kelompokku mula berkumpul kembali menuju tempat aku berdiri sekarang.
"Buk..ibu...mereka memang seperti itu setiap hari. Disekolah juga mereka sering berantem" Nikmah berkomentar.
"Iya buk" serempak mereka menyetujui celotehan Nikmah.
"Ya sudah. Perbuatan seperti itu jangan ditiru. Perbuatan tidak terpuji hanya akan membuat orang lain kesal dan lebih parah lagi Tuhan akan marah" paparku mencoba melihat raut wajah mereka satu persatu. Dikelompokku yang tersisa hanya 4 orang saja. Rasanya aku berat sekali dengan keputusan Denni tadi. Tapi, ada benarnya juga. Tidak perlu memaksa sesuatu, karena akan terasa tidak nyaman jika dilanjutkan.
Seusai pembelajaran, anak-anak kami kumpulkan kembali semuanya. Berbaur dengan kelompok lain. Denni berdiri di podium depan langsung membacakan konsep dan rancangan pembelajaran besok.
Setiap kelompok pada besok hari akan berpindah dengan pembimbing yang baru. Kelompok Denni akan dilanjutkan ke pembimbing Akhsan, begitu selanjutnya samapai sebulan kedepan. Kecuali pada hari sabtu minggu. Kami akan melakukan praktek lapangan secara langsung ke warga desa.
"Baiklah anak-anak bapak sekalian. Untuk hari selasa bapak minta kalian bawa peralatan tulis ya. Tidak perlu baru. Bawa saja alat tulis sekolah kalian. Pahamkan?"
"Paham pak" serempak suara gerumah anak-anak itu memecahkan keresahanku kepada tempat itu.
"Oke anak-anak. Terima kasih untuk hari ini. Kami ucapkan giat belajar adalah salah satu kunci menuju sukses. Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Anak-anak bubar. Kami menyusun kembali peralatan yang kami gunakan. Serril dan Ikbal yang paling sibuk. Karena mereka harus memasukkan kembali peralatan mereka yang begitu banyak. Serril hari ini belajar seni musik angklung. Ada sederatan jenis-jenis nada pada angklung yang harus diperkenalkan kepada anak-anak. Ikbal harus menutup opera mininya yang dibuatnya sendiri dengan bercerita mengenai dongeng malin kundang. Sedangkan Aku, Akhsan dan Denni kami hanya memerlukan papan tulis dan spidol warna warni. Aku membantu Serril membereskan barang-barangnya.
"Tadi kenapa toh, mbak. Kok ribut-ribut di kelompol, mbak"
"Ada namanya agus dan tama berantem. Tama mengejek tempat tinggal Agus. Agus tidak terima, bogem mentah langsung melesat kepipi Tama. Dua kali"
"Wuih...emangnya apa yang diejek Tama?"
"Katanya dusun rumah agus dusun Lacur"
"Serem amat , mbak. Kok anak usia segitu uda ngerti lacur" Serril menggeleng-gelengkan kepalanya.
Hari pertama ini begitu melelahkan sekali. Kesan pertama terhadap anak-anak itu sangat menyenangkan sekali. Kami juga terbiasa menghadapi anak-anak seperti mereka yang sebenarnya ingin banyak bermain daripada belajarnya. Tapi, disini kami memiliki konsep bermain sambil belajar. Menyenangkan melihat tawa dan keceriaan itu. Dan ketika sampai di rumah itu, rasa yang telah hilang ditelan keceriaan dan celotehan anak-anak datang kembali. Aku masih memandang kosong kerumah itu.
"Maaf, aku belum bisa menemukan rumah baru untuk kita" kata Denni.
"Tidak apa-apa" pandanganku masih lurus dan kosong kearah rumah yang penuh kenangan itu.
Malam ini kami masih mempersiapkan konsep dan rancangan pembelajaran esok hari. Sebelum beristirahat sebuah kring-kringan sepeda menyentak kami. Saling pandang tidak tahu, dan akhirnya Denni memberanikan diri membuka pintu rumah. Karena pada saat itu sudah pukul 9 malam. Siapa yang bertamu?.
"Ibu Aisah...ibu aisah" panggil suara cempreng yang aku kenal.
"Ternyata Nikmah. Ada apa nak?"
"Ini buat ibu dari mamah dirumah. Kata Mamah ibu suka kue ini"
Aku meraih sekantong plastik yang dibawa Nikmah. Aku membukanya, ternyata kue bika pandan yang bantat. Aku memang suka sekali. Sudah hampir berpuluh-puluh tahun aku tidak memakan. Aku mengambil satu, untuk mencicipnya. Rasanya masih sama, aku ingat betul siapa yang bisa menyiapkan bika pandan seenak ini walaupun bantat. Kak Nurah.
"Siapa nama mamahmu, Nikmah?"
"Nurahmi"
Airmataku meleleh. Dia adalah seorang kakak-kakak yang mengajariku ngaji ketika umurku 5 tahun. Dia juga yang pertama kali memberikan kue bika pandan bantat ini kepadaku.
"Sah, bikanya tidak berhasil. Bantat. Kamu pasti ga suka"
"Gak..gak...kak. Aku mau makannya. Sini aku makan ya" kugigit potongan pertama, entah kenapa aku langsung menyukainya.
Kenangan itu ketika aku masih berusia 5 tahun.
"Nikmah, bilang sama mamah makasih. Inshaallah besok sebelum mengajar ibu akan kerumah kalian"
"Ibu tahu rumah Nikmah?"
"Tidak tahu. Kalau Nikmah ga pelit ngasi tau ibu alamatnya"
"Hehehehe...rumah Nikmah disamping kantor urusan agama buk. Mamah jualan kue-kue untuk sarapan"
Info yang diberikan Nikmah akan mempertemukan aku dengan Kak Nurah. Sudah lama sekali.

B

- Desa dan Kenangan -
Aku memutuskan untuk ikut. Aku harus kuat. Bukan karena ucapan Denni yang tidak bisa tanpaku. Ini keputusan yang kutanya langsung kepada sang penciptaku. Setelah aku memohon dalam sujudku. Alloh memberikan solusi terbaiknya. Aku ikut.
"Loh, mbak Aisah ikut" teriak Serril senang. Dan aku langsung memandang wajah Denni dengan senyum kemenangan.
"Jangan GR" lirihku kepada Denni
"Setidaknya kata-kata itu membuatmu berpikir lagi, kan"
"Jangan GR aku bilang"
Kami berkemas-kemas. Mengepak ngepak barang bahan ajar. Masalah konsep Akhsan sudah selesai mengerjakannya. Kami diberikannya proposal hasil kerjanya lalu membacanya. Denni bersiap-siap membawa mobil tim yang bertuliskan "Langit Biru Education". Serril masih sibuk dengan kertas origami dan beberapa benda-benda untuk dijadikan bahan seni. Ikbal sudah didalam mobil.
Mobil Van "langit biru Education" malaju sedang ke desa dimana aku harus bisa menerima semua kenangan itu kembali. Tepat 2 jam perjalanan. Kami menuju bibir desa. Sebuah gapura besar menyambut kami dengan tulisan "selamat datang di desa Air Bersih". Desa yang aku tinggalkan selama 20 tahun. Banyak perubahan yang terjadi. Salah satunya gapura itu. Kami harus melapor ke kantor kepala desa. Denni memarkirkan mobil van itu di halaman kantor kepala desa. Kami turut ikut masuk kedalam kantor. Kami disambut dengan ramah oleh staf dan pegawainya. Pak Yono, salah satu staff yang berkomunikasi langsung dengan Denni menyambut kami dengan leluconnya yang sebenarnya tidak lucu menurutku.
"Saya kira, bapak-bapak dan ibu-ibu ini tidak.mau kedesa kami. Saya kaget, pas Pak Denni bilang tidak jadi kesini"
"Hehehe...jadi kok pak. Kemaren hanya bercanda, Pak Yon!" Denni tersenyum
Kami dipersilahkan masuk keruangan kepala desa. Pak Mukhtar sudah menunggu kami di balik meja kerjanya. Aku memandang lurus kearahnya. Lelaki dengan tahi lalat di pipi sebelah kiri itu aku sangat mengenalnya. Dia adik dari ayahku yang keempat. Dia adalah pamanku. Mataku membesar seketika itu langkahku terhenti. Lelaki yang termasuk salah satu komplotan yang membuat trauma dalam hidupku itu ada didepan mataku. Dia takkan menyangka aku adalah keponakan yang mereka buang 20 tahun yang lalu. Kakiku masih susah untuk digerakkan, tangan Serril meraih tanganku mengajak aku masuk dan duduk. Kaku sekali, mataku tak henti-hentinya memandang wajah itu.
"Kami dari tim langit biru education akan melaksanakan tugas pendidikan luar sekolah secara gratis didesa ini, Pak" papar Denni yang berhadapan langsung dengan Pak Mukhtar.
"Iya, saya tahu. Saya juga sudah membaca isi proposal yang dikirimkan pak Wahidin seminggu yang lalu. Tapi, 3 hari yang lalu saya dapat kabar dari Pak Yon bahwa kalian membatalkan kerjasama. Mengapa sekarang kalian menyetujuinya"
"Hehehe...tidak ada apa-apa pak. Hanya masalah kecil"
"Anda yakin masalah kecil" dan akhirnya pamanku itu menatap wajahku juga. Kami saling beradu pandang dengan tatapan yang berbeda. Denni yang langsung tahu maksud Pak Mukhtar itu seketika melihat kearahku.
Aku tak tahan, rasa amarah yang aku pendam selama 20 tahun itu sepertinya bangun dari tidurnya.
Aku keluar ruangan. Mungkin akan ada tanda tanya besar diantara timku. Tapi, aku tidak perduli. Aku tak ingin meluapkan amarahku didepan timku.
Setengah jam bernegoisasi dengan pak Mukhtar, dan aku lihat mereka saling bersalaman.
"Kak Aisah. Ternyata itu paman kakak, ya! Kenapa gak bilang dari tadi sih. Aku sudah ketakutan melihat tampangnya yang seram.seperti itu. Apa lagi tahi lalatnya itu loh. Serem banget" Serril yang centil memang seperti itu, suka melebih-lebihkan.
"Sudah-sudah. Kita harus mencari rumah yang dibilang Pak Mukhtar tadi untuk menginap selama sebulan" Denni menyuruh kami masuk.kedalam mobil van itu.
Sebuah anggukan ramah dari Pak Yono melepas kepergian kami. Denni memberikan secarik kertas kepadaku. Sebuah peta.
"Kata pak mukhtar, kau tahu alamatnya"
"Aku sudah lupa" jawabku datar. Aku memang sudah lupa. Bukan karena ingin melupakan.
"Masa' kak Aisah gak inget sama sekali" Serril mendekatkan wajahnya kearahku yang sedang melihat kearah luar jendela. Lalu aku melihat sebuah lapangan yang dulu aku dan adikku bermain sepeda, sekarang sudah berubah menjadi balai pertemuan desa, tapi pohon besar itu mengingatku pada lapangan tempo dulu.
"Disinilah dia berlari kearahku" aku bergumam.
"Dia siapa kak?" Tanya Serril
"Eh...sebaiknya kita tanya saja salah satu penduduk" Denni yang tahu aku sedang bergumam tentang masalaluku langsung mengalihkan pembicaraan.
"Bener juga" kata Akhsan. Serril yang masih bingung mengabaikanku. Aku harus kuat. Aku tidak boleh kalah dengan kenangan. Aku harus kuat. Kuat, aku yakin.
Sesampainya di sebuah halaman yang luas. Ada 3 rumah disitu. Rumah yang berwarna cokelat tampak lebih besar. Lalu disebelahnya rumah cat berwarna putih. Dan disebelahnya lagi, aku tahu itu rumah siapa. Ternyata kebun jagung milik ayah dulu sudah dibangun 2 rumah.
"Kita tinggal dimana?" Tanya Serril.
"Dirumah berwarna putih itu" tunjuk Denni kerumah yang berada diantara rumah-rumah.
Aku tidak tahu, apa maksud paman meletakkan kami di sebelah rumahku dulu. Tak banyak berubah dari 20 tahun lalu. Aku mencoba kuat, tapi bayangan itu akan jelas nyata sekarang.
Kami mengeluarkan barang-barang yang kami bawa. Perbekalan selama sebulan di desa air bersih. Serril sekamar denganku, dan sisanya mereka sekamar bertiga. Denni yang terlebih dahulu permisi dengan tetangga sebelah rumah kami. Seusai Denni bersilaturahim ketetangga sebelah Denni membawa berita.
"Dengarkan aku. Ada cerita tidak mengenakkan dari sebelah rumah itu. Kata ibu-ibu sebelah rumah kita itu angker. Jadi, kalau ada yang mendengar teriakan minta tolong jangan di pedulikan ya"
"Wuuih serem banget, Mas" Serril langsung mengaitkan tangannya ke sikuku.
"Takhyul itu" Akhsan mencoba meredakn ketakutan diantara kami.
Luar biasa sekali, aku ingin tertawa rasanya. Tidak dipedulikan, itulah yang mereka lakukan dahulu. Mereka selalu tidak memperdulikan tetangga mereka yang sedang kesusahan dan butuh pertolongan. Dan aku kembali mengingat jelas bayangan itu.
Malam tiba, selesai shalat berjamaah kami mulai menyiapkan hal-hal yang diperlukan besok hari. Kami akan melakukan pembelajaran dibalai desa setelah usai anak-anak sekolah dasar pulang sekolah. Ini seperti les pelajaran tambahan untuk mereka secara gratis. Kami akan memberikan ilmu baru kepada mereka. Bukan hanya sekedar belajar menghitung dan membaca. Akan tetapi, kami juga mengajarkan prilaku, etika sopan santun, berkebun, berseni , olah raga dan masih banyak lagi. Sedangkan tugas kami bukan hanya memberikan ilmu untuk mereka. Kami harus membuat laporan yang akan dikirim kepada pak Wahidin untuk dijadikan bahan referensi alokasi dana mentri pendidikan ke desa-desa.
Setelah selesai membuat konsep dan rancangan pembelajaran untuk esok hari. Aku belum bisa tidur. Aku ingin sekali mendengar suara teriakan "minta tolong" itu. Dan aku yakin itulah suara ibu dan adikku.
"Kok belum tidur?" Suara Akhsan dari belakangku.
"Aku belum bisa tidur"
"Maafkan aku sudah marah-marah padamu tempo hari"
"Iya, aku tahu. Aku memang keras kepala. Kau tidak bersalah, ngapain juga minta maaf"
"Aku merasa tidak enak"
"Sudahlah, sebelum kau minta maaf, aku sudah memaafkanmu"
"Terima kasih. Aku tidur duluan ya" Akhsan berlalu dari punggungku.
Aku masih ingin mendengar suara itu. Dan jika memang beruntung bisakah aku diperlihatkan secara langsung pemilik suara itu.
Malam yang dingin. Malam yang membuat aku terkenang 20 tahun yang lalu. Ketika aku masih bisa bermain dilapangan bersama adikku. Tawanya yang ceria. Teringat teriakan ibu yang menyuruh kami pulang karena hampir magrib. Bukankah menyedihkan semua kenangan indah itu tergores oleh luka yang mendalam.
"Sudah malam tidurlah. Istirahat"
"Kau tahu Den. Itu rumah siapa? Itu rumah penuh kenangan bagiku"
Denni secepat kilat menuju hadapanku.
"Maksudmu? Itu rumah..." Denni menghentikan kata-kata yang aku tahu dia sudah paham maksudku.
Aku mengangguk.
"Besok kita pindah. Jadi, itu yang membuatmu banyak diam hari ini. Melamun tidak jelas"
"Dan, kepala desa itu salah satu komplotan yang menggores kenangan terindahku. Satu lagi tempat kita mengajar besok adalah tempat dimana kenangan masalalu itu tertanam dalam di hatiku. Dimana gadis kecil.itu berlari minta tolong dan aku terlambat"
"Cukup!" Denni mencoba untuk menghentikanku, tapi mulutku masih mencercau.
"Kau tahu, Den. Rumah yang kita tinggalin ini dulunya ladang jagung milik ayahku. Kami petani jagung yang sukses. Semua iri dengan hasil jagung kami yang besar dan banyak. Dan itulah awal dari ..."
"Cukup aku bilang. Tak perlu kau bicara lagi. Masuk kamar. Besok sebelum mengajar, aku akan mencari rumah baru untuk kita. Sudah..sudah...istirahatlah. Aku tak ingin airmata itu jatuh lagi. Tidurlah"
Denni yang masih menungguku untuk bangkit dari dudukku menatapku lesu. Airmataku jatuh seketika.
"Aku rindu mereka" aku menutup seluruh wajahku dengan telapak tangan. Menahan keperihan ini sendiri.
"Ada aku. Masih ada aku disini. Jangan sedih" Denni menepuk pundakku pelan. Dan itu setidaknya sebagai tanda penguatan untukku.
Denni memang pantas dijadikan ketua dalam tim ini. Walaupun sikap tegasnya yang membuatnya seperti diktator. Dia mempunyai hati yang lembut. Perhatian kepada anak buahnya. Dan bukan kepadaku saja.

A

- tersebut nama desa itu -
"Sudah aku katakan, Den. Aku tidak akan pernah kembali lagi kedesa itu"
"Ayolah, Sah. Ini demi pendidikan. Bisakah kau singkirkan egomu itu"
"Tidak, maaf. Aku tidak bisa"
"Kau ini. Keras kepalamu saja yang kau pakai. Sesekali pakai nurani berpikirmu"
"Den, seharusnya kau tahu mengapa aku tidak bisa ke desa itu lagi"
Pertengkeran aku dengan Denni berakhir dengan bantingan pintu kamarku yang keras. Dan aku masuk kekamar, sholat dua rakaat. Aku menangis tersedu disepanjang sajadah pemberian paman Syaikh. Seorang paman yang sudah kuanggap ayahku sendiri. Dia mengajari banyak hal tentang hidup. Tetapi, dia tidak mengajarkanku tentang bagaimana menyembuhkan rasa luka dan trauma dalam diriku yang sudah berkarat hampir 20 tahun lamanya. Aku masih menangis, dan mataku lelah. Lalu tertidur. Dalam tidurku aku melihat ibuku yang sedang tersenyum. Lalu dia membelai kepalaku. Disana juga ada adikku yang sedang bermain boneka. Itu wajah adikku ketika umur 5 tahun. Aku tidak tahu bagaimana wajahnya setelah dewasa ini.
"Bu...aku rindu" gumamku dalam mimpi itu.
Ibuku masih tetap tersenyum padaku.
"Rindu, bu. Rindu rumah kita didesa" aku hampir menangis. Aku harus kuat pikirku saat itu yang hanya didalam mimpi.
"Tok...tok..." sebuah ketukan pintu yang membuyarkan mimpiku yang bertemu dengan ibu dan adikku. Tapi, aku tak membalas ketukan itu dengan apapun. Suaraku akan terdengar aneh ketika aku menyahut ketukan itu.
"Sah, maafkan aku. Aku sudah membatalkan kerja sama dengan Pak Wahidin. Maafkan aku"
Aku terperanjat, kata "membatalkan" itu adalah sebuah aib yang harus Tim kami hindari. Kurapikan mukena dan sajadahnya. Lalu aku membuka pintu kamar dan menemui Denni yang sedang duduk disebelah pintu kamarku.
"Kau bilang tadi, membatalkan?"
"Iya, sudah kubatalkan" raut wajah Denni berubah menjadi sedih. Aku tahu betul si Denni. Ketua Tim yang sangat tegas dan tidak ada yang bisa membatahnya. Diktator, tidak juga. Tapi, keputusannya adalah kekal. Jika A maka A.
"Mengapa?hanya karena aku tidak mau kedesa itu lagi. Kau membatalkannya. Kan masih ada Akhsan, Serril, dan Ikbal. Tanpaku Tim ini juga pasti berjalan"
"Tidak, yang namanya Tim adalah kerjasama. Tidak mementingkan keegoisan individu. Salinh pengertian dan memahami"
"Den, jangan merasa sungkan seperti itu. Hanya karena gara-gara aku tidak mau kedesa itu"
Kembali, tidak ada titik temu apa yang harus aku putuskan. Sebaiknya aku mengadu kepada Paman Syaikh. Sore itu setelah selesai berbicara memakai perasaan dan pikiran. Aku memutuskan kerumah paman Syaikh. Jalan sore itu becek sekali. Sisa hujan tadi siang. Kubangan-kubangan air membayangi warna langit yang masih mengabu. Angin yang dingin menusuk tulangku. Diatas sepeda motor aku mulai berbicara sendiri. Ini adalah kegemaranku berbicara sendiri tanpa harus memperlihatkan gerak bibir. Ya, aku berbicara dengan diriku sendiri. Mencoba menerima kenyataan tentang pertengkaranku dengan Denni dan Tim kami harus membatalkan kerjasama dengan Pak wahidin.
Sesampai dirumah paman Syaikh, aku memarkirkan sepeda motorku tepat dihalaman samping kiri cakruk bambu yang disebelahnya ditumbuhi pohon rambutan yang berusia sangat tua, bahkan lebih tua dari usiaku yang 28 tahun ini.
"Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam" sebuah sahutan yang aku kenal sekali suara Bibi Yani.
"Bi, apa kabar?"
"Oalah, Aisah toh. Bibi kangen sekali. Kabar bibi baik-baik aja, nak. Kamu gimana?"
"Baik juga, Bi. Paman ada?"
"Ada...ada...yowes, masuk dulu. Biar Bibi panggil. Pamanmu lagi nonton tivi. Lagi nonton ceramah ustadz sejuta umat itu. Katanya memorinya kembali kemasa muda dia dulu" jelas Bibi Yani sambil cekikikan kecil.
Aku hanya membalas dengan "hehehe" sambil menunjukkan gigi-gigi putihku. Bibi masuk keruang yang lebih dalam. Pikiranku sedikit tenang setelah masuk kedalam rumah yang sudah membesarkanku selama 9 tahun. Karena setelah itu aku harus keasrama untuk melanjutkan kuliahku di bidang pendidikan. Dan aku mendapatkan fasilitas asrama. Paman Syaikh masih seperti terakhir yang aku lihat. 3 bulan yang lalu. Ketika itu aku juga sedang merasa risau pada suatu keputusan. Dan ketika aku bercerita kepada paman syaikh banyak memberi masukan. Dan hari ini juga aku meminta masukan dari beliau.
"Paman, sehat?"
"Sehat, nak. Kamu bagaimana?"
"Secara fisik sehat, tapi.."
"Secara pikiran lagi risau, gitu" Paman Syaikh tahu betul. Seperti bisa membaca pikiran orang lain.
"Begini paman" aku tidak suka berbasa basi. Aku langsung bercerita kepada paman Syaikh. Dan beliau mendengarkan semua ceritaku. Dari pertengkaranku dengan Denni. Keputusan Denni yang tiba-tiba membatalkan. Dan tentang mimpi bertemu dengan ibu dan adikku. Paman hanya mengangguk-angguk kecil. Mencoba memahami cerita yang aku lontarkan kepadanya.
"Kau masih belum bisa berubah. Keras kepalamu itu loh, nak. Paman tau, ada kalanya keras kepala itu dipakai. Tapi, bukan saat ini. Pikirkan Tim yang sudah kalian bina selama 5 tahun lebih itu. Keras kepala hanya akan membuat runyam. Masalah lukamu didesa itu. Nak, ini sudah 20 tahun berlalu. Bisakah kau maafkan desa itu? Dia hanya korban dari orang-orang itu. Itu hanya sebuah desa yang butuh uluran tangan kalian. Pendidik-pendidik seperti kalian. Itu hanya sebuah desa. Bisakah kau berpikir ulang kembali tentang keputusanmu itu, nak"
Aku terdiam , berpikir tentang ucapan paman Syaikh. Ya, itu hanya sebuah desa. Tapi, bagiku itu adalah nama sebuah kenangan yang harus aku lupakan. Dan sampai ucapakan paman Syaikh berakhir, rasa sakit itu belum juga tertepis.
Aku hanya mengagguk sedikit ragu.
"Kau masih ragu, nak?. Shalat malamlah. Minta petunjuk Alloh itu lebih baik. Paman hanya memberi masukan. Masalah putusan akhir itu kau yang tentukan. Ini hidupmu, bukan hidup paman. Hidupmu, kaulah yang menuliskannya. Kau paham, kan Nak!"
"Iya, paman. Aku paham. Terima kasih"
Aku pamit, Bibi dan Paman mengantarkanku sampai depan pintu rumah mereka. Senyuman mereka sangat aku sukai. Senyuman tulus dari seorang orang tua yang sedang didatangi anaknya yang sudah lama tidak pulang.
Di basecamp. Denni dan Akhsan dengan berbicara. Dan aku yakin itu sangat serius. Karena aku melihat raut wajah Akhsan yang sedikit marah.
"Nah, ini dia orangnya" Akhsan tiba-tiba berkata demikian dan aku menghentikan.langkahku.
"San, jaga bicaramu!" Denni tahu nada bicara Akhsan sedang dalam keadaan emosi.
"Sudahlah, mas. Jika memang Aisah tidak mau berada di tim ini. Biarkan saja"
Aku terperanjat dengan kata-kata yang dilontarkan Akhsan. Aku tahu betul Akhsan. Karena aku yang menemukan potensi Akhsan ketika dia masih kuliah. Tapi, hari ini. Aku.melihat Akhsan yang lain.
"San, kamu harus sopan"
"Aku udah sopan, mas. Yang aku omongkan juga sopan. Jika Aisah merasa tersinggung itu urusannya"
Aku masih belum bisa berbicara. Tidak ingin membalas keketusan perkataan Akhsan. Aku tak ingin bertengkar lagi. Lelah. Aku masuk kedalam rumah dan mengacukan Akhsan yang masih terlihat emosi.
"Lihat toh, mas. Dia pergi begitu saja. Mbok ya disauti gitu" aku masih mendengar suara Akhsan yang tiba-tiba meninggi. Aku tahu, akhsan marah sekali. Tapi, kenapa sampai semarah itu kepadaku.
"Sudah..sudah...nanti malam kita rembukkan masalah ini"
Setelah mendengarkan keputusan Denni, sepertinya emosi Akhsan menurun. Tidak lagi aku mendengar suara percakapan mereka. Itu bertanda suasana sudah kondusif.
Malampun tiba, Denni sebagai ketua Tim memberitahukan setelah shalat Isya' akan ada rapat. Di ruangan yang biasanya kami melakukan rapat besar ataupun rapat kecil. Denni duduk diujing kanan sebagai tanda seorang ketua. Aku duduk berhadapan dengan Serril. Dan Ikbal diseblahku. Sedangkan Akhsan belum datang.
"Sebentar, ya. Akhsan masih didalam perjalanan. Katanya macet"
Kami mengangguk serempak.
15 menit berlalu, Akhsan dengan tas ransel.kesayangannya sudah tiba.
"Maaf semuany. Tadi macet sekali. Ada mobil dan truk tabrakan"
"Iya..." balas Denni tersenyum.
Dan Tim yang sudah kami bentuk selama 5 tahun ini pun memulai pembicaraan. Masalah keputusan Denni yang tiba-tiba menolak permintaan Pak wahidin. Dan sudah dipastikan tentang masalahku yang tidak mau kedesa itu.
Pembicaraan ini adalah pembicaraan tersengit kedua setelah 5 tahun bersama.
Ikbal buka bicara mengenaiku yang tidak mau kedesa itu.
"Kak Aisah kan sudah dewasa. Kenapa sih kak dibuang rasa keras kepala kakak itu"
Begitu juga Serril sependapat dengan Ikbal. Aku tahu mereka pasti akan menyalahkanku tentang hal ini. Aku masih belum bisa menjelaskan kepada mereka. Hanya, Denni yang tahu kejadian yang sebenarnya. Akhsan, Serril dan Ikbal hanya tahu desa itu tempat tinggalku yang membuat aku trauma untuk datang kembali. Mereka tidak tahu bahwa aku harus menanggung perih sampai selama ini.
Denni mencoba berpikir. Dia diam. Aku tahu dia juga bingung. Aku harus beranikan diri berbicara, agar masalah ini selesai.
"Sebenarnya tanpaku, kalian juga bisa pergi kesana. Di tim ini, aku hanya sebagai pelengkap saja, kan. Masalah hubungan kemasyarakat ada Denni yang bisa mengatasinya. Masalah konsep mengajar ada Akhsan yang ahlinya. Masalah breaking ice ada Ikbal. Kesenian ada Serril. Dan aku yakin kalian juga bisa mendidik anakkan. Kita ini pendidik, kan! Jadi tidak masalah jika aku tidak ikut"
"Tapi, kita ini tim. Sah!" Denni kembali membicarakan arti sebuah Tim.
Senyap, tak ada tanggapan. Semua terdiam ketika Denni mengatakan hal itu. Akhsan yang awalnya emosi menundukkan kepala. Begitu juga Serril dan Ikbal.
"Jadi keputusannya?" Serril angkat bicara.
"Kalian akan tetap berangkat tanpa aku" tandasku dengan keberanian besar.
Mereka mengangguk setuju. Aku puas sekali. Tapi, Denni masih diam. Dia pasti marah atas keputusanku.
Usai rapat semua kembali kerumah masing-masing. Sedangkan Basecamp akulah yang menjaganya. Akhsan dan Ikbal mengantar Serril pulang kerumah karena sudah larut malam. Denni yang masih berdiri didepan pintu rumah.
"Aku yakin kalian bisa kok tanpaku" aku mencoba memulai pembicaraan. Karena sepanjang rapat Denni tak banyak bicara. Ada hal yang masih membebaninya.
"Tim akan tetap berjalan tanpamu. Tapi---"
"Tapi apa?"
"Tapi aku gak bisa harus pergi tanpamu"
Aku berdiri kaku, pernyataan Denni membuat seluruh badanku kelu tak dapat bergerak. Mengapa Denni menjadi semanja ini.
"Sebaiknya kau pulang Den. Kau ingat janji tim ini. Karena aku yakin kau tak mungkin lupa. Karena kau sendiri yang membuatnya kan. Profesionalitas dalam tim" aku masuk kamar den meninggalkan Denni sendiri mematung di mulut pintu basecamp kami ini. Tak tahu raut wajah yang dipancarkan Denni saat ini. Aku lebih baik menghindar dari percakapan yang tidak berguna ini.