Kamis, 11 Mei 2017

Shadow

"Tak ad yang bisa menarikku kembali kecuali bayangan itu".
Titik-titik hujan yang masih tersisa dibibir atap rumah pagi ini membuat hawa terasa begitu dingin dan malas untuk beranjak. Sepanjang malam hujan mengguyur kota yang tak pernah tidur.
Seonggok daging yang masih bermalas-malasan terbaring berselimut hawa kedinginan. Dia tak ingin bergerak sesentipun dari tempat tidurnya. Libur, tak boleh ada yang menganggu dirinya berasama kekasih hatinya yang bernama 'tempat tidur'. Tak satupun, kecuali bayangan itu.
Kembali bayangan itu membuat matanya terbuka. Menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru berbintik-bintik putih.
Dia menghela napasnya lembut, mengerjap-ngerjapkan matanya dan selimut itu kembali ditarik menutupi seluruh tubuhnya.
Frans, bayangan itu bernama Frans.
"Aku janji , tidak akan meninggalkanmu selamanya" kata Frans kepada Laras sebelum kehilangan dirinya. Janji manis Frans masih membayangi Laras sampai detik ini juga.
Janji palsu berbalut kemanisan bibir Frans yang teramat lembut itu membuat Laras begitu percaya, hingga pada akhirnya tubuhnya bergetar hebat menahan amarahnya. Matanya memerah menahan tangis perih terluka. Frans menghilang tanpa kabar. Seperti petir ditengah siang yang cerah. Tak dapat dipercaya. Kini Laras sendiri.
Sejenak lamunan kalimat manis itu membuat Laras muak. Dia menyibakkan selimutnya dan pergi kedapur menyiapkan kopi pagi ini. Jadwal hari ini memang kosong. Karena Laras hanya ingin dirumah saja, kecuali bayangan itu memanggil.
Setelah secangkir kopi terseduh, Laras ke meja kerjanya. Menyalakan laptop dan membuka email yang masuk. Jemari Laras terhenti, matanya membesar. Sepagi ini dia tidak mungkin dia sedang bermimpi. Sebuah kotak masuk di dalam emailnya yang berkelap kelip. Laras mengklik kotak masuk tersebut dan membacanya.
"Aku tidak akan meninggalkanmu selamanya"
Frans.
Ini sudah hampir setahun yang lalu, janji manis itu terucap. Namun, kali ini janji itu tertulis dan masuk kedalam emailnya.
Laras meneguk kopi hangatnya. Mencoba berpikir, apakah ini spam atau hanya halusinasi. Seharusnya tanggal ini menjadi tanggal sakral bagi hubungan mereka. Hubungan yang meranjak satu tingkat. Tapi kenyataannya hubungan itu jatuh kejurang yang paling dasar.
"Kau suka yang warna apa?" Tanya Frans disebuah toko perhiasan
"Aku suka pink" jawab Laras menunjuk batu shapire berwarna pink berkilau
"Bentuknya yang mana?" Frans kembali bertanya.
"Yang ini saja. Oh ya, jangan lupa nama kita berdua diukir didalamnya" Usul Laras dengan memasang wajah gembira.
"Iya..iya" Frans juga begitu bergembira.
Laras memandang dalam kemata Frans. Sikap ini menunjukkan bahwa Frans serius terhadap dirinya. Hati Laras saat itu berbunga-bunga. Bahkan rona merah dipipinya terlihat jelas seperti tomat merah yang manis. Sebuah cincin yang mereka pesan menjadi tanda keseriusan dihubungan mereka.
Tangan Laras masih diruang kendali keyboard laptopnya. Tak bergerak. Masih memikirkan kalimat apa yang bisa menuangkan perasaannya saat ini.
Diam, dan terus diam. Kembali bayangan itu memanggil-manggil namanya.
Terdengar suara ringtone ponsel milik Laras berbunyi. Segera Laras bangkit dari kursi kerjanya dan menuju kamar. Mencari ponselnya yang entah dimana berada. Ringtone itu berhenti. Tak lama sebelum ditemukan berbunyi kembali. Akhirnya Laras menemukan ponselnya berada dibawah tempat tidurnya.
Kevin sebuah nama yang tertera dilayar handphone tersebut.
"Hai, sayang. Apa kau baru bangun tidur?" Suara renyah Kevin selalu membuat pagi Laras begitu bersemangat.
"Hai, iya" jawab Laras duduk dipinggir tempat tidurnya dengan sedikit rasa getir.
"Hari ini kau ada jadwal?"
"Em..." Laras berpikir sejenak.
"Kau sibuk?" Tanya Kevin.
"Tidak"
"Baguslah. Sore nanti aku akan menjemputmu. Kita akan bertemu orang tuaku"
Laras terdiam, keinginan Kevin itu membuat rongga nafasnya tercekat. Ada apa hari ini?semua begitu membuatnya terasa sulit bernafas. Email dari Frans yang setahun menghilang. Dan keinginan Kevin yang ingin mempertemukan dirinya dengan kedua orang tuanya.
Ini terlalu cepat, sangat cepat sekali. Belum lagi Laras memberi jawaban. Kevin kembali mengambil alih pembicaraan.
"Kau tak perlu gugup. Hanya pertemuan biasa. Ibuku ingin sekali bertemu denganmu"
Ibu, Laras tak bisa menolak mendengar kata ibu. Apalagi Ibu Kevin yang baru saja sembuh dari penyakit tuanya itu. Laras tak ingin melihat kesedihan atas ketidaksetujuannya atas rencana Kevin.
"Baiklah. Jam berapa kau akan menjemputku?" Tanya Laras diantara perasaan yang tak tahu apa namanya.
"Jam 5. Kita akan makan malam bersama dirumah orang tuaku"
"Baiklah" jawab Laras sedikit menahan rasa kelu dihati dan pikirannya.
"Laras" Panggil Kevin dengan suara lembutnya.
"Ya"
"Aku mencintaimu" kata-kata Kevin membuat Laras tersadar bahwa dia sedang bersama Kevin saat ini.
"Aku juga" tapi ada perasaan mengganjal dihatinya.
Dan telepon itupun terputus. Laras menghembuskan nafasnya pelan, ada kelegaan karena percakapan itupun selesai diwaktu yang amat terasa sempit ini. Kembali menatap langit-langit kamarnya, pikiran Laras penuh pertanyaan. Apakah disana ada jawaban untuk kesesakannya hari ini.
Laras kembali teringat email dari Frans. Segera dia berlari keruang kerjanya. Dan melihat email dari Frans. Apa yang harus dibalasnya?. Namun, tangannya sudah mengetik.
"Apakah kau bahagia?"
Ini kalimat yang mencurahkan segala isi hatinya.
Bahagia, apakah Frans sedang bahagia? Jika Frans menjawab 'ya' maka Laras tak perlu menghubunginya lagi. Frans bahkan bahagia tanpa dirinya, untuk apa Laras bersamanya lagi. Frans tak membutuhkan kebahagiaan dari Laras. Namun, jika jawaban yang terbalas itu adalah 'tidak' maka akan ada cerita baru dibalik cerita yang sudah tersusun rapi selama ini.
Pukul 4.30 sore, Laras selesai menyiapkan dirinya untuk pergi kerumah orang tua Kevin. Sebelum melangkah keluar, kembali Laras melihat emailnya yang belum terbalas juga dan Laras merasa resah. Masih ada waktu setengah jam untuk berpikir dan meneruskan cerita apa berikutnya. Waktu yang lama dan sangat cepat berlalu. Laras melihat layar ponselnya. Ingin sekali dia menulis pesan singkat bahwa dia ingin membatalkan pertemuan hari ini dengan orang tua Kevin. Hanya karena kegundahan hatinya yang masih berharap balasan dari Frans.
Balasan, sebenarnya tidak ada balasan yang sesegara itu datangnya. Semua balasan itu akan sangat rumit datangnya. Dimenit terakhir misalnya, dan dimenit itu juga Kevin muncul untuk menjemput Laras.
Senyum Kevin mengembang melihat kedatangan Laras yang keluar dari apartemennya. Laras sangat cantik hari ini. Memakai gaun berwarna merah maroon dan rambut panjang hitamnya tergerai rapi.
"Kau cantik sekali" puji Kevin
"Terima kasih" Laras tersipu malu.
Dan balasan email dari Franspun masuk kedalam email milik Laras. Tepat didetik terakhir keputusasaan. Langkah yang terpilih tak mungkin mengganti cerita ini. Akan tetapi, kecuali bayangan itu kembali memanggil.
Sesampai dirumah orang tuanya Kevin. Laras disambut hangat oleh kedua orang tua Kevin. Mereka tipikal orang tua yang sangat ramah dan sopan. Ibu kevin mempersilahkan Laras masuk dan duduk. Laras sedikit canggung. Ini untuk pertama kalinya dia bertemu kedua orang tua Kevin, kekasihya saat ini. Keadaan canggung itu langsung diredakan oleh ayah Kevin yang sangat pintar mengajak ngobrol, sehingga membuat Laras merasakan kehangatan sebuah keluarga yang harmonis. Kevin beruntung masih memiliki keluarga yang utuh dan bahagia.
"Ayo silahkan minum jusnya" kata Ibu Kevin yang membawa senampan gelas dan seteko jus jeruk serta sepiring cookis cokelat.
"Iya, tante" kata Laras mengambil gelas jusnya.
"Sebentar, ya" Ibu Kevin berlalu.
"Aku suka suasana dirumah ini, om. Nyaman sekali" kata Laras basa basi. Untuk menghilangkan kecanggungannya. Walaupun hanya kata basi basi, tapi Laras memang merasakan kenyamanan dirumah itu.
"Ah, jangan suka memuji Laras. Tapi, akan lebih nyaman lagi jika kau benar-benar tinggal disini bersama kami" kata Ayah Kevin tersenyum senang.
Sontak mata Laras mengarah ke Kevin, namun Kevin hanya menganggkat bahunya pelan sambil kebingungan harus berbuat apa. Karena pernyataan Ayahnya begitu blak-blakan.
Keputusan cerita baru akan dimulai. Laras hanya tersenyum mendegar perkataan Ayah Kevin.
Sore menjelang malam itu menjadi sebuah kebahagian baru bagi Laras. Menghabiskan waktu bersama orang-orang yang menerima keberadaannya. Sore itu ibu Kevin membuka album lama milik Kevin. Terlihat Kevin kecil sampai meranjak dewasa , dia memang begitu tampan sekali. Seusai melihat foto album. Ibu kevin mengajak Laras untuk membantunya memasak makan malam didapur.
Suasana yang diinginkannya setahun yang lalu.
"Aku ingin bertemu ibumu, Frans" ajak Laras di bukit berbintang
"Untuk apa?" Tanya Frans yang terkejut mendengar keinginan Laras itu
"Aku ingin membuat makan malam untukmu bersamanya" jawab Laras manja.
"Hahahaha, jika kau inginkan itu minggu depan aku akan mengajakmu kerumahku" tawa atas jawaban itu adalah menahan rasa yang tidak ingin ditunjukkan Frans kepada Laras. Rasa belum siap mempertemukan Laras dengan Ibunya. Belum saatnya.
"Benarkah?" Laras senang sekali.
Dan minggu depan itu tidaklah pernah terwujud.
Setelah berpamitan pulang. Ibu Kevin memeluk Laras. Sambil berbisik.
"Kevin itu laki-laki yang rapuh. Tante mohon jaga dia untuk kami ya"
Hati Laras terhenyuk seketika. Airmatanya hendak keluar.
"Iya, tante" Laras mengangguk-angguk pelan.
"Terima Kasih"
Dan pelukan hangat itu menjadi beban teramat berat untuk Laras ketika sampai diapartemennya dan melihat email masuk dari Frans.
Mata Laras memerah dan mengeluarkan airmata membaca isi email dari Frans yang sangat singkat itu.
"Aku tidak bahagia"
Terhenyuk perih hati Laras. Kabar menghilangnya Frans sirna terbakar oleh tulisan singkat itu. Kevin, lenyap sementara.
Laras membalas.
"Kau dimana?aku ingin bertemu denganmu"
Hasrat itu menggebu-gebu. Getaran yang hilang itu muncul kembali. Ini gila, bahkan Kevin sampai sejauh ini belum bisa membuat getaran yang sama seperti ini. Rasanya membuncah sampai kelangit yang tinggi. Tak terbatas oleh ruang dan waktu. Sungguh Laras lupa pelukan hangat dan janji kepada ibunya Kevin.
"Aku sudah kembali. Malam ini aku ingin bertemu denganmu. Bisakah?"
Balasan cepat itu menandakan bahwa Frans sedang online juga.
"Bisa. Di kafe tempat biasa kita bertemu dan dinomor meja yang sama"
"Baiklah"
Laras segera mengeluarkan mobilnya dan menuju ke kafe yang biasa mereka bertemu setahun yang lalu.
24, nomor meja yang selalu mereka tempati menjadi saksi keindahan cerita mereka dahulu. Ya, dahulu begitu indah.
Laras sampai di kafe terlebih dahulu, dan memesan segelas fruite punch dan cappucino latte serta sepiring kentang goreng. Menu favorit mereka berdua.
Sebelum menu favorit mereka datang, sudah berdiri sesosok Frans dihadapan Laras.
Mata Laras tak berkedip, karena tak ingin kehilangan momen yang paling berharga ini. Setahun berlalu tanpa kabar, Frans tampak berbeda. Dia begitu menyedihkan. Tubuhnya yang berisi kini kurus. Wajahnya yang bersih kini berewokan. Mata yang bersemangat itu kini menjadi mata sayu penuh penderitaan. Ada apa dengan Frans?
Rasanya Laras ingin memeluk Frans saat itu juga, namun karena begitu banyak pertanyaan yang membuatnya masih terduduk dikursinya. Dan menu favorit mereka datang.
Mata Frans yang sayu menitiskan airmata.
"Maaf"
"Maaf"
"Maaf"
"Maaf"
Frans mengoceh kata maaf yang membuat hati Laras tersiksa. Airmata Laras mengalir tak terbendung lagi. Seseorang yang dicintainya dan seseorang yang mengecewakannya sedang berada dihadapannya sekarang. Pertanyaan selama ini menganggu pikirannya akan diluapkannya malam ini.
"Apa yang terjadi?" Tanya Laras.
Frans terdiam, dia menggenggam kedua tangannya sendiri erat-erat. Ada kepiluan disana. Entah dimulai darimana Frans harus bercerita.
"Ceritalah" kata Laras menggenggam tangan Frans yang membuat airamata Frans mengalir kembali.
"Dimana kau selama ini?" Tanya Laras memasang wajah kerinduan yang terdalam.
Frans menggigit bibir bawahnya. Ada keragu menyelimuti diri Frans.
"Tak masalah jika kau tak ingin bercerita malam ini" jawab Laras kembali memasang senyum menunggunya itu.
Malam yang panjang didetik-detik antara keheningan mereka.
"Ayo pulang. Kafenya mau tutup" Ajak Laras. "Aku akan mengantarmu pulang" kata Laras.
Frans yang masih diam itupun mengikuti Laras menuju parkiran mobil. Dan saat itulah suara manis itu terdengar sangat berat sekali dan sedikit bergetar.
"Kau masih Laras yang kukenal. Wanita yang tegar"
Laras berbalik arah, melihat Frans menunduk.
"Terima kasih, Frans. Ayo naik."
Laras menyalakan mesin mobilnya. Dan menuju keluar kafe.
"Aku ingin berkeliling kota"kata Frans.
"Baiklah. Aku akan penuhi, jika kau mau cerita apa yang terjadi"
Frans mengangguk.
Setahun yang lalu, sehari janji manis itu terucap. Petaka itupun terjadi. Dirumah Frans yang tinggal bersama ibunya yang memiliki gangguan jiwa mengamuk hebat. Ibunya yang hendak bunuh diri dihentikan oleh Frans, namun tragisnya. Bukan pisau yang terlempar jauh, akan tetapi ibunya yang terhempas jauh membentur pintu. Keributan itu terdengar oleh warga. Karena selama ini Frans menyembunyikan bahwa ibunya mengalami gangguan jiwa. Warga sekitar melihat akhir kejadian itu. Semua menuduh Frans ingin membunuh ibunya. Beberapa warga menolong ibunya yang tak sadarkan diri. Hempasan itu membawa Frans ke bui saat itu juga.
Tubuhnya meringkuk kedinginan didalam sel penjara. Ibunya tak sadarkan diri juga. Hingga putusan penjara selama satu tahunpun terucapkan.
Laras, pikirannya ke Laras. Apakah Frans perlu memberitahu Laras. Hati kecilnya berkata "tidak perlu". Laras akan sedih mendengar kisah ini. Laras akan kecewa jika mendengarkan semuanya. Frans memilih diam, dan siap untuk dipersalahkan.
Ketika cerita itu berakhir, airmata Laras tak henti-hentinya mengalir. Bayangan yang selama ini Dia kesalkan , bayangan yang selama ini membuatnya kecewa ternyata ada perih yang sedang menimpanya.
"Kau tega, Frans"
"Aku lebih baik tega daripada melihatmu nyata tersiksa dihadapanku"
"Aku sudah tersiksa. Dan itu sungguh sakit"
"Aku tahu" jawab Frans pelan
"Tapi, tapi mengapa kau tak memberi tahuku!?" Tanya Laras sedikit kesal.
"Laras, aku tak ingin menambah beban dihidupmu. Aku tak ingin menambah pikiranmu" jawab Frans yang bingung apa yang harus dikatakannya. Frans sebenarnya malu untuk memberitahu Laras.
"Kau sudah menambah beban hidupku ketika kau tak ada kabar. Kau sudah menambah pikiranku ketika kau menghilang dan melupakan janji manismu" Laras kesal, tapi diantara rasa kesal itu terbersit rasa iba yang teramat dalam.
"Maafkan aku" Frans kembali menunduk.
Laras mengehentikan kemudinya. Mereka sudah sampai di depan sebuah tempat. Bukit berbintang. Tempat pertama kali mereka bertemu dalam acara amal dua tahun yang lalu.
Mata Laras tak berkedip melihat sosok Frans yang sedang berpidato diatas panggung. Frans yang dulu begitu bersemangat mengeluarkan aura-aura positif. Dan pandangan Laras itu mendapatkan balasan. Frans datang kemeja Laras dan mereka mulai berbincang-bincang. Sampai pada akhirnya sebuah cerita barupun dimulai.
Cerita yang menghabiskan tenaga mereka karena begitu bahagia. Sungguh cerita yang mereka rangkai melebihi dogeng sebelum tidur. Frans begitu romantis, dan Laras sangat menyukai pria seperti itu. Frans yang begitu rendah hati dan pekerja keras membuat hidup Laras menjadi begitu sempurna.
"Kau ingat saat itu, Frans" tanya Laras menatap bukit berbintang dengan pandangan kosongnya.
"Ya"
"Kau begitu keren. Aku bergumam dalam hati bisa mengenalmu. Ternyata alam mendegarkan bisikan hatiku. Kita saling mengenal sekarang"
"Ya"
"Terima kasih, Frans. Tapi,..."
Laras terhenti, lidahnya tercekat. Sosok Kevin melintas dipikirannya. Pelukan hangat ibunya dan janji itu melayang bebas dipikirannya.
Sebelum Laras melanjutkan kalimatnya.
"Aku ingin memulai kembali denganmu"
Kali ini Laras benar-benar kekurangan oksigen. Kemampuan berpikirnya menurun. Sesak didadanya tercampur aduk dengan perasaan bersalahnya. Apa yang harus Dia lakukan.
"Seperti janjiku. Aku tidak akan meninggalkanmu selamanya. Dan besok aku akan mempertemukanmu dengan ibuku"
Ibu, kembali kata itu membuat Laras begitu lemah sekali. Dan Laras mengangguk.
Keesokan paginya, Laras minta izin cuti karena ada kepentingan mendadak. Urusan keluarga. Bosnya memberikan izin kepada karyawan kesayangannya itu.
Laras menuju rumah sakit jiwa yang berada di pinggir kota. Bersama Frans, mereka menjenguk ibu Frans yang sedang terbaring dalam lamunan hampanya.
Saat itu juga Laras mengirimkan pesan singkat untuk Kevin.
"Kevin sampaikan maafku pada ibumu. Aku tak mampu memenuhi janjinya kemarin malam. Besok malam kita bertemu, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu. Terima Kasih Kevin. I Love You"
Pagi itu untuk pertama kalinya Laras memegang tangan ibunya Frans yang dingin.
Keputusan Laras sudah bulat, ada orang yang benar-benar membutuhkannya saat ini. Tangan dingin itu perlu kehangatan.

gherimis kecil -120517, 1:45 am-

Shadow

"Tak ad yang bisa menarikku kembali kecuali bayangan itu".
Titik-titik hujan yang masih tersisa dibibir atap rumah pagi ini membuat hawa terasa begitu dingin dan malas untuk beranjak. Sepanjang malam hujan mengguyur kota yang tak pernah tidur.
Seonggok daging yang masih bermalas-malasan terbaring berselimut hawa kedinginan. Dia tak ingin bergerak sesentipun dari tempat tidurnya. Libur, tak boleh ada yang menganggu dirinya berasama kekasih hatinya yang bernama 'tempat tidur'. Tak satupun, kecuali bayangan itu.
Kembali bayangan itu membuat matanya terbuka. Menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru berbintik-bintik putih.
Dia menghela napasnya lembut, mengerjap-ngerjapkan matanya dan selimut itu kembali ditarik menutupi seluruh tubuhnya.
Frans, bayangan itu bernama Frans.
"Aku janji , tidak akan meninggalkanmu selamanya" kata Frans kepada Laras sebelum kehilangan dirinya. Janji manis Frans masih membayangi Laras sampai detik ini juga.
Janji palsu berbalut kemanisan bibir Frans yang teramat lembut itu membuat Laras begitu percaya, hingga pada akhirnya tubuhnya bergetar hebat menahan amarahnya. Matanya memerah menahan tangis perih terluka. Frans menghilang tanpa kabar. Seperti petir ditengah siang yang cerah. Tak dapat dipercaya. Kini Laras sendiri.
Sejenak lamunan kalimat manis itu membuat Laras muak. Dia menyibakkan selimutnya dan pergi kedapur menyiapkan kopi pagi ini. Jadwal hari ini memang kosong. Karena Laras hanya ingin dirumah saja, kecuali bayangan itu memanggil.
Setelah secangkir kopi terseduh, Laras ke meja kerjanya. Menyalakan laptop dan membuka email yang masuk. Jemari Laras terhenti, matanya membesar. Sepagi ini dia tidak mungkin dia sedang bermimpi. Sebuah kotak masuk di dalam emailnya yang berkelap kelip. Laras mengklik kotak masuk tersebut dan membacanya.
"Aku tidak akan meninggalkanmu selamanya"
Frans.
Ini sudah hampir setahun yang lalu, janji manis itu terucap. Namun, kali ini janji itu tertulis dan masuk kedalam emailnya.
Laras meneguk kopi hangatnya. Mencoba berpikir, apakah ini spam atau hanya halusinasi. Seharusnya tanggal ini menjadi tanggal sakral bagi hubungan mereka. Hubungan yang meranjak satu tingkat. Tapi kenyataannya hubungan itu jatuh kejurang yang paling dasar.
"Kau suka yang warna apa?" Tanya Frans disebuah toko perhiasan
"Aku suka pink" jawab Laras menunjuk batu shapire berwarna pink berkilau
"Bentuknya yang mana?" Frans kembali bertanya.
"Yang ini saja. Oh ya, jangan lupa nama kita berdua diukir didalamnya" Usul Laras dengan memasang wajah gembira.
"Iya..iya" Frans juga begitu bergembira.
Laras memandang dalam kemata Frans. Sikap ini menunjukkan bahwa Frans serius terhadap dirinya. Hati Laras saat itu berbunga-bunga. Bahkan rona merah dipipinya terlihat jelas seperti tomat merah yang manis. Sebuah cincin yang mereka pesan menjadi tanda keseriusan dihubungan mereka.
Tangan Laras masih diruang kendali keyboard laptopnya. Tak bergerak. Masih memikirkan kalimat apa yang bisa menuangkan perasaannya saat ini.
Diam, dan terus diam. Kembali bayangan itu memanggil-manggil namanya.
Terdengar suara ringtone ponsel milik Laras berbunyi. Segera Laras bangkit dari kursi kerjanya dan menuju kamar. Mencari ponselnya yang entah dimana berada. Ringtone itu berhenti. Tak lama sebelum ditemukan berbunyi kembali. Akhirnya Laras menemukan ponselnya berada dibawah tempat tidurnya.
Kevin sebuah nama yang tertera dilayar handphone tersebut.
"Hai, sayang. Apa kau baru bangun tidur?" Suara renyah Kevin selalu membuat pagi Laras begitu bersemangat.
"Hai, iya" jawab Laras duduk dipinggir tempat tidurnya dengan sedikit rasa getir.
"Hari ini kau ada jadwal?"
"Em..." Laras berpikir sejenak.
"Kau sibuk?" Tanya Kevin.
"Tidak"
"Baguslah. Sore nanti aku akan menjemputmu. Kita akan bertemu orang tuaku"
Laras terdiam, keinginan Kevin itu membuat rongga nafasnya tercekat. Ada apa hari ini?semua begitu membuatnya terasa sulit bernafas. Email dari Frans yang setahun menghilang. Dan keinginan Kevin yang ingin mempertemukan dirinya dengan kedua orang tuanya.
Ini terlalu cepat, sangat cepat sekali. Belum lagi Laras memberi jawaban. Kevin kembali mengambil alih pembicaraan.
"Kau tak perlu gugup. Hanya pertemuan biasa. Ibuku ingin sekali bertemu denganmu"
Ibu, Laras tak bisa menolak mendengar kata ibu. Apalagi Ibu Kevin yang baru saja sembuh dari penyakit tuanya itu. Laras tak ingin melihat kesedihan atas ketidaksetujuannya atas rencana Kevin.
"Baiklah. Jam berapa kau akan menjemputku?" Tanya Laras diantara perasaan yang tak tahu apa namanya.
"Jam 5. Kita akan malam bersama orang tuaku dirumah mereka"
"Baiklah"
"Laras" Panggil Kevin dengan lembut
"Ya"
"Aku mencintaimu" kata-kata Kevin membuat Laras tersadar bahwa dia sedang bersama Kevin saat ini.
"Aku juga" tapi ada perasaan mengganjal dihatinya.
Dan telepon itupun terputus. Laras menghembuskan nafasnya pelan. Kembali menatap langit-langit kamaranya. Apakah disana ada jawaban untuk kesesakan hari ini.
Laras teringat emai dari Frans. Segera dia berlari keruang kerjanya. Dan melihat email dari Frans. Apa yang harus dibalasnya?. Namun, tangannya sudah mengetik.
"Apakah kau bahagia?"
Ini kalimat yang mencurahkan segala isi hatinya.
Bahagia, apakah Frans sedang bahagia? Jika Frans menjawab 'ya' maka Laras tak perlu menghubunginya lagi. Fras bahkan bahagia tanpa dirinya. Namun, jawaban yang terbalas itu adalah 'tidak' maka akan ada cerita baru dibalik cerita yang sudah tersusun rapi ini.
Pukul 4.30 sore, Laras selesai menyiapkan dirinya untuk pergi kerumah orang tua Kevin. Sebelum melangkah keluar, kembali Laras melihat emailnya yang belum terbalas juga. Masih ada waktu setengah jam untuk berpikir dan meneruskan cerita berikutnya. Waktu yang lama dan sangat cepat berlalu. Laras melihat layar ponselnya. Ingin sekali dia menulis pesan singkat bahwa dia ingin membatalkan pertemuan hari ini dengan orang tua Kevin. Hanya karena kegundahan hatinya yang masih berharap balasan dari Frans.
Balasan, sebenarnya tidak ada balasan yang sesegara itu datangnya. Semua balasan itu akan sangat rumit datangnya. Dimenit terakhir misalnya, dan dimenit itu juga Kevin muncul untuk menjemput Laras.
Senyum Kevin mengembang melihat kedatangan Laras yang keluar dari apartemennya. Laras sangat cantik hari ini. Memakai gaun berwarna merah maroon dan rambut hitamnya digerai.
"Kau cantik sekali" puji Kevin
"Terima kasih" Laras tersipu malu.
Dan balasan Franspun masuk kedalam email Laras. Tepat didetik terakhir keputusasaan. Langkah yang terpilih tak mungkin mengganti cerita ini. Akan tetapi, kecuali bayangan itu kembali memanggil.
Sesampai dirumah orang tuanya Kevin. Laras disambut hangat oleh kedua orang tua Kevin. Mereka tipikal orang tua yang sangat ramah dan sopan. Ibu kevin mempersilahkan Laras masuk dan duduk. Laras sedikit canggung. Ini untuk pertama kalinya dia bertemu kedua orang tua Kevin, kekasihya saat ini. Keadaan canggung itu langsung diredakan oleh ayah Kevin yang sangat pintar mengajak ngobrol, sehingga membuat Laras merasakan kehangatan sebuah keluarga yang harmonis.
"Ayo silahkan minum jusnya" kata Ibu Kevin yang membawa senampan gelas dan seteko jus jeruk serta sepiring cookis cokelat.
"Iya, tante" kata Laras mengambil gelas jusnya.
"Sebentar, ya" Ibu Kevin berlalu.
"Aku suka suasana dirumah ini, om. Nyaman sekali" kata Laras basa basi. Untuk menghilangkan kecanggungannya.
"Ah, jangan suka memuji Laras. Tapi, akan lebih nyaman lagi jika kau benar-benar tinggal disini bersama kami" kata Ayah Kevin tersenyum senang.
Mata Laras mengarah ke Kevin, namun Kevin hanya menganggkat bahunya pelan.
Keputusan cerita baru akan dimulai. Laras hanya tersenyum mendegar perkataan Ayah Kevin.
Sore menjelang malam itu menjadi sebuah kebahagian baru bagi Laras. Menghabiskan waktu bersama orang-orang yang menerima keberadaannya. Sore itu ibu Kevin membuka album lama milik Kevin. Terlihat Kevin kecil sampai meranjak dewasa , dia memang begitu tampan sekali. Seusai melihat foto album. Ibu kevin mengajak Laras untuk mbantunya memasak makan malam didapur.
Suasana yang diinginkannya setahun yang lalu.
"Aku ingin bertemu ibumu, Frans"
"Untuk apa?"
"Aku ingin membuat makan malam untukmu bersamanya"
"Hahahaha, jika kau inginkan itu minggu depan aku akan mengajakmu kerumahku"
"Benarkah?" Laras senang sekali.
Dan minggu depan itu tidaklah pernah terwujud.
Setelah berpamitan pulang. Ibu Kevin memeluk Laras. Sambil berbisik.
"Kevin itu laki-laki yang rapuh. Tante mohon jaga dia untuk kami ya"
Hati Laras terhenyuk seketika. Airmatanya hendak keluar.
"Iya, tante" Laras mengangguk-angguk pelan.
"Terima Kasih"
Dan pelukan hangat itu menjadi beban teramat berat untuk Laras ketika sampai diapartemennya dan melihat email masuk dari Frans.
Mata Laras memerah dan mengeluarkan airmata membaca isi email dari Frans yang sangat singkat itu.
"Aku tidak bahagia"
Terhenyuk perih hati Laras. Kabar menghilangnya Frans sirna terbakar oleh tulisan singkat itu. Kevin, lenyap sementara.
Laras membalas.
"Kau dimana?aku ingin bertemu denganmu"
Hasrat itu menggebu-gebu. Getaran yang hilang itu muncul kembali. Ini gila, bahkan Kevin sampai sejauh ini belum bisa memmbuat getaran yang sama seperti ini. Rasanya membuncah sampai kelangit yang tinggi. Tak terbatas oleh ruang dan waktu. Sungguh Laras lupa pelukan hangat dan janji kepada ibunya Kevin.
"Aku sudah kembali. Malam ini aku ingin bertemu denganmu. Bisakah?"
Balasan cepat itu menandakan bahwa Frans sedang online juga.
"Bisa. Di kafe tempat biasa kita bertemu dan dinomor meja yang sama"
"Baiklah"
Laras segera mengeluarkan mobilnya dan menuju ke kafe yang biasa mereka bertemu setahun yang lalu.
24, nomor meja yang selalu mereka tempati menjadi saksi keindahan cerita mereka dahulu. Ya, dahulu begitu indah.
Laras sampai terlebih dahulu, dan memesan segelas fruite punch dan cappucino latte serta sepiring kentang goreng. Menu favorit mereka berdua.
Sebelum menu favorit mereka datang, sudah berdiri sesosok Frans dihadapan Laras.
Mata Laras tak berkedip, karena tak ingin kehilangan momen yang paling berharga ini. Setahun berlalu tanpa kabar, Frans tampak berbeda. Dia begitu menyedihkan. Tubuhnya yang berisi kini kurus. Wajahnya yang bersih kini berewokan. Ada ap dengan Frans?
Rasanya Laras ingin memeluk Frans saat itu, namun karena begitu banyak pertanyaan yang membuatnya masih terduduk dikursinya. Dan menu favorit mereka datang.
Mata Frans yang sayu menitiskan airmata.
"Maaf"
"Maaf"
"Maaf"
"Maaf"
Frans mengoceh kata maaf yang membuat hati Laras tersiksa. Airmata Laras mengalir tak terbendung lagi. Seseorang yang dicintainya dan seseorang yang mengecewakannya sedang berada dihadapannya sekarang. Pertanyaan selama ini menganggu pikirannya akan diluapkannya malam ini.
"Apa yang terjadi?" Tanya Laras.
Frans terdiam, dia menggenggam tangannya erat-erat. Ada kepiluan disana. Entah harus dimulai darimana Frans harus bercerita.
"Ceritalah" kata Laras menggenggam tangan Frans yang membuat airamata Frans mengalir kembali.
"Dimana kau selama ini?" Tanya Laras memasang wajah kerinduan yang terdalam.
Frans menggigit bibir bawahnya. Ada ragu disana.
"Tak masalah jika kau tak ingin bercerita malam ini" jawab Laras kembali memasang senyum menunggunya itu.
Malam yang panjang didetik-detik antara keheningan mereka.
"Ayo pulang. Kafenya mau tutup" Ajak Laras. "Aku akan mengantarmu pulang" kata Laras.
Frans yang masih diam itupun mengikuti Laras menuju parkiran mobil. Dan saat itulah suara manis itu terdengar sangat berat sekali.
"Kau masih Laras yang kukenal. Wanita yang tegar"
Laras berbalik arah, melihat Frans menunduk.
"Terima kasih, Frans. Ayo naik."
Laras menyalakan mesin mobilnya. Dan menuju keluar kafe.
"Aku ingin berkeliling kota"kata Frans.
"Baiklah. Aku akan penuhi, jika kau mau cerita apa yang terjadi"
Frans mengangguk.
Setahun yang lalu, sehari janji manis itu terucap. Petaka itupun terjadi. Dirumah Frans yang tinggal bersama ibunya yang memiliki gangguan jiwa mengamuk hebat. Ibunya yang hendak bunuh diri dihentikan oleh Frans, namun tragisnya. Bukan pisau yang terlempar jauh, akan tetapi ibunya yang terhempas jauh membentur pintu. Keributan itu terdengar oleh warga. Karena selama ini Frans menyembunyikan bahwa ibunya mengalami gangguan jiawa. Warga sekitar melihat akhir kejadian itu. Semua menuduh Frans ingin membunuh ibunya. Beberapa warga menolong ibunya yang tak sadarkan diri. Hempasan itu membawa Frans ke bui saat itu juga.
Tubuhnya meringkuk kedinginan didalam sel penjara. Ibunya tak sadarkan diri juga. Hingga putusan penjara selama satu tahunpun terucapkan.
Laras, pikirannya ke Laras. Apakah Frans perlu memberitahu Laras. Hati kecilnya berkata "tidak perlu". Laras akan sedih mendengar kisah ini. Laras akan kecewa jika mendengarkan semuanya. Frans memilih diam, dan siap untuk dipersalahkan.
Ketika cerita itu berakhir, airmata Laras tak henti-hentinya mengalir. Bayangan yang selama ini Dia kesalkan , bayangan yang selama ini membuatnya kecewa ternyata ada perih yang sedang menimpanya.
"Kau tega, Frans"
"Aku lebih baik tega daripada melihatmu nyata tersiksa dihadapanku"
"Aku tersiksa. Sungguh sakit"
"Aku tahu"
"Tapi, tapi mengapa kau tak memberi tahuku"
"Laras, aku tak ingin menambah beban dihidupmu. Aku tak ingin menambah pikiranmu"
"Kau sudah menambah beban hidupku ketika kau tak ada kabar. Kau sudah menambha pikiranku ketika kau menghilang dan melupakan janji manismu"
"Maafkan aku"
Laras mengehentikan kemudinya. Mereka sudah sampai di depan sebuah tempat. Bukit berbintang. Tempat pertama kali mereka bertemu dalam acara amal.
Mata Laras tak berkedip melihat sosok Frans yang sedang berpidato diatas panggung. Frans yang dulu begitu bersemangat mengeluarkan aura-aura positif. Dan pandangan Laras itu mendapatkan balasan. Frans datang kemeja Laras dan mereka mulai berbincang-bincang. Sampai pada akhirnya sebuah cerita barupun dimulai.
Cerita yang menghabiskan tenaga mereka karena begitu bahagia. Sungguh cerita yang mereka rangkai melebihi dogeng sebelum tidur. Frans begitu romantis, dan Laras sangat menyukai pria seperti itu. Frans yang begitu rendah hati dan pekerja keras membuat hidup Laras menjadi begitu sempurna.
"Kau ingat saat itu, Frans"
"Ya"
"Kau begitu keren. Aku bergumam dalam hati bisa mengenalmu. Ternyata alam mendegarkan bisikan hatiku. Kita saling mengenal sekarang"
"Ya"
"Terima kasih, Frans. Tapi,..."
Laras terhenti lidahnya tercekat. Sosok Kevin melintas dipikirannya. Pelukan hangat ibunya dan janji itu melayang bebas dipikirannya.
Sebelum Laras melanjutkan kalimatnya.
"Aku ingin memulai kembali denganmu"
Kali ini Laras benar-benar kekurangan oksigen. Kemampuan berpikirnya menurun. Sesak didadanya tercampur aduk dengan perasaan bersalahnya. Apa yang harus Dia lakukan.
"Seperti janjiku. Aku tidak akan meninggalkanmu selamanya. Dan besok aku akan mempertemukanmu dengan ibuku"
Ibu, kembali kata itu membuat Laras begitu lemah sekali. Dan Laras mengangguk.
Keesokan paginya, Laras minta izin cuti karena ada kepentingan mendadak. Urusan keluarga. Bosnya memberikan izin kepada karyawan kesayangannya itu.
Laras menuju rumah sakit jiwa yang berada di pinggir kota. Bersama Frans, mereka menjenguk ibu Frans yang sedang terbaring dalam lamunan hampanya.
Saat itu juga Laras mengirimkan pesan singkat untuk Kevin.
"Kevin sampaikan maafku pada ibumu. Aku tak mampu memenuhi janjinya kemarin malam. Besok malam kita bertemu, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu. Terima Kasih Kevin. I Love You"
Pagi itu untuk pertama kalinya Laras memegang tangan ibunya Frans yang dingin.
Keputusan Laras sudah bulat, ada orang yang benar-benar membutuhkannya saat ini. Tangan dingin itu perlu kehangatan.

gherimis kecil -120517, 1:45 am-