Senin, 25 September 2017

Sepatu Abing

"tapi sepatu ini kebesaran, mak!" Kata Abing melihat ukuran sepatu milik bapaknya yang sudah tidak muat lagi dan warna sudah berubah menjadi hitam keputih-putihan dan beberapa ada retakan halus disana.
"Tak apalah, Bing. Mamak rasa kau kelihatan ganteng kalau memakai sepatu milik bapak kau itu"
"Tapi Abing malu , mak"
"Lebih malu lagi kau tak punya sepatu. Maafkan mamak ya , Bing. Mamak belum bisa belikan sepatu buat kau, nak"
Abing mematung lama, masih protes untuk memakai sepatu bekas bapaknya itu. Abing tidak tahu bahwa sepatu itu pernah berjaya dimasanya. Sepatu semi kulit, berwarna hitam kilat. Setiap hari disemir oleh bapaknya yang baru saja diterima sebagai tukang bersih-bersih lahan yang penuh rumput.
"Selamat ya, Pak. Besok bapak diterima di perkebunan ini. Mulai besok berpakaian rapi dan bersepatu bagus ya , Pak. Karena besok direktur akan datang kesini"
Apa tidak senang betul, bapaknya baru diterima menjadi tukang bersih-bersih lahan. Disambut pulak oleh direktur perkebunan itu. Maka sore itu bapaknya menyibukkan mamak untuk ditemani ke pasar membeli sepatu semi kulit yang resmi, tak lupa pula membeli sekaleng semir beserta sikatnya.
"Pak, bapak itu cuma tukang bersih-bersih tak perlulah seresmi ini. Beli sepatu, mahal pulak. Lusa kita mau makan apa?" Keluh mamak yang sedang memilih sepatu untuk bapak dengan harga semurah-murahnya, agar lusa mereka masih bisa makan nasi.
"Kau tahu, Mak. Mandor Basar menyuruhku membeli sepatu bagus. Direktur mau datang. Kau lihat, suami kau ini baru diterima kerja jadi tukang bersih-bersih kebun saja disambut oleh direktur. Bukan main hebat suami kau ini, kan" bapak bangga sambil tertawa.
Mamak hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja, terlalu percaya diri sekali suaminya kali ini. Sepatu semi kulit itu akhirnya ditemukan pada toka barang bekas pakai. Dengan harga yang miring, dan dengan memikirkan resiko lusa tidak makan, mamak dengan berat hati mengeluarkan uang beberapa puluh ribuan dari dompet yang bertuliskan 'toko mas abadi jaya'.
Sesampai dirumah mamak mengomel sepanjang malam. Tak uruang Kak Asih terkena imbasnya, begitu pula bang Andeng dan Abing si bungsu terkena imbas paling sial. Sudah kena omelan mamak, kena lagi omelan si kakak dan berlanjut si abang juga tidak mau kalah. Akhirnua si bungsu yang malam tidur di dipan luar kamar bersama bapak yang memeluk kotak sepatu yang baru dibelinya.
Keesokan paginya, bapak lebih cepat bangun daripada ayam berkokok. Bahkan adzan juga belum berkumandang. Tidak seperti biasanya. Kali ini bapak bersujud lebih lama dan khusu. Abing yang masih terlelap dalam mimpinya yang tahun depan akan masuk SD. Andeng yang sudah tidak sabar menunggu hasil ujian lulus-lulusan. Dan Asih yang sedang menunggu hasil ujian beasiswa kuliahnya. Semua berharap kebaikan termasuk bapak. Sepertiga malam itu bapak bersujud syukur lebih dalam lagi. Ketika perekonomian keluarganya sedang dirudung masalah karena terlalu banyak biaya untuk dikeluarkan agar anak-anak tidak seperti dia hidupnya. Malam itu linangan air mata bapak begitu bening sekali, air mata ketulusan seorang bapak yang begitu menyanyangi anak-anaknya. Seorang bapak yang rela bekerja ditengah terik matahari, berlimpah keringat yang membasahi tubuhnya. Bapak yang lebih memilih pulang petang karena menggarap kebun orang daripada duduk di warung membicarakan politik dan ekonomi negeri ini. Bapak, ya bapak malam itu berdoa lebih panjang. Bersyukur ada pekerjaan layak untuk dia bisa bertahan menghidupi seluruh keluarganya.
Matahari sudah mulai terbit, warna jingga terlihat dari ufuk timur. Dan embunpun mulai menyingsing keudara lenyap dibalik sinar mentari pagi itu. Sepatu yang baru dibeli kemarin sudah berkilau di tebaran sinar matahari pagi itu. Semangat bapak pagi itu luar biasa sekali. 1000%, kata Abing.
"Bapak keren sekali" kata Abing melihat bapaknya yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam itu ditambah sepatu yang berkilau akibat semiran bapak yang terlalu bersemangat. Hitam dan berkilau. Seperti sepatu baru.
"Bapak kau ini selalu keren, nak. Kau pandanglah bapak kau ini. Betapa tampannya" bapak sambil membenarkan kerah bajunya.
"Orang miskin seperti kita ini tidak kenal keren dan ganteng, pak" kata mamak cemberut.
"Mak, kau dengar baik-baik ya. Kita ini tidak miskin. Kita hanya kurang kaya saja"
Dan bapak pun berpamitan setelah sarapan pagi. Ya, pagi itu bapak keren dan ganteng dengan rambut di sisir rapi setelah memakai tanco. Ya, pagi itu senyum bapak mengembang indah sekali. Dan hari itu juga bapak pergi untuk selamanya. Kenangan pahit itulah yang membuat sepatu berkilau itu disimpan dalam-dalam. Sebisa mungkin tak terlihay, jangan sampai terlihat. Karena disitu ada senyum bapak yang keren dan ganteng. Hanya akan menambah duka kesedihan dikeluarga ini. Bapak pergi karena demi menyelamatkan seorang direktur perkebunan itu. Jika bapak tidak sigap, maka entah jadi apa dia sampai hari.
Dibalik itu juga, Kak Asih menerima beasiswa berkuliah di pulau jawa. Segala akomodasi ditanggung oleh bapak direktur. Abang Adeng lulus dan masuk ke SMA favorit di provinsi. Dan tinggallah Abing dan mamaknya dirumah. Biaya sekolah Abing sampai kuliah sudah ditanggung oleh bapak ditektur.
Doa apakah bapak malam itu?hingga dia harus pergi dan meninggalkan begitu banyak perhatian. Bapak, dialah yang berdoa agar anak-anak mencapai cita-cita setinggi langit. Dan bapak menukarnya dengan meninggalkan mereka selama-lamanya.
"Kau doakan bapak kau selalu ya, Sih. Kau juga Adeng. Mamak merindukan kalian berdua" pelukan mamak membuncah pada tangisan kami sekeluarga. Ini adalah peristiwa tersedih setelah saat bapak hendak disholatkan. Mereka saling berpelukan. Melepaskan keikhlasan. Menjadi tabah dalam situasi apapun.
Perpisahan itu tidak terasa sudah setahun berlalu, ketika Abing meminta dibelikan sepatu. Mamak tidak punya uang, gaji dari pembantu rumah tangga belum juga dibayar. Upah menggosok pakaian sudaj dikirimkan untuk keperluan Asih yang mendadak.
"Mak, minta saja sama bapak direktur" kata Abing merengek malam itu.
"Bing, kau tahu nak. Walaupun bapak dan mamak kau ini miskin, tapi mamak tidak pernah meminta-minta. Kita miskin, tapi jangan pernah meminta-minta"
Ketika mamak teringat dengan kata-kata bapak itu, maka mamakpun teringat bahwa ada sepatu yang setahun lalu tersimpan berdebu dibawah lemari kayu milik mereka. Kotaknya sudah tak berwarna lagi, karena ditelan oleh abu. Dan ketika dibuka kotaknya beberapa anak kecoa sudah berdiam saling memandang wajah mamak, dan tak lama mereka kabur secepat kilat. Mamak membersihkan debu disepatu itu. Warnanya memudah dan ada beberapa retakan disana.
"Kau pakai sajalah, ini"
"Kebesaran lah , mak"
"Tak apa"
"Nanti kalau mamak ada uang, mamak belikan. Tapi, kau harus janji. Kau belajar yang tekun. Ikuti jejak kedua saudara kau itu"
"Iya, mak" abing mengangguk pelan dan mantap.
Langkah kaki Abing yang terserat-seret karena sepatunya kebesaran, membuat teman-temannya tertawa melihat cara Abing berjalan. Abing tidak perduli. Persis seperti bapaknya Abing memiliki kepercayaan diri yang kuat. Menyusuri lorong-lorong kelas hingga masuk kekelas, Abing tetap menegakkan kepalanya. Sudah terlihat sebagai calon pemimpin.
Ketika dibarisan, seorang guru melihat sepatu Abing yang kebesaran. Guru tersebut memanggilnya kebelakang barisan.
"Siapa nama kau, nak?" Tanya Buk Amel, yang merupakan guru kelas satu.
"Abing, buk"
"Mana orang tuamu?"
"Ayahku dikuburan, buk. Sedangkan mamak sedang rumah tuan"
"Bapak kau penjaga kuburan?"
"Tidak, buk. Dia sedang tertidur pulas disana. Sedang memandang kami dsri atas sana"
Buk Amel bingung.
"Bapak sudah meninggal setahun yang lalu buk" akhirnya Abing menyerah memberitahukan hal itu. Mengapa Abing seperti bercanda. Karena Abing tidak suka dikasihani karena dia seorang anak yatim. Benar saja, ketika Abing mengatakan kebenaran kepada Buk Amel, raut wajah buk Amel berubah. Ada rasa iba disana. Sebenarnya tadi dia hendak memperingati Abing soal sepatunya. Tapi, ketika tahu bahwa Abing anak seorang yatim, buk Amel menghentikan niatnya sejenak. Buk Amel tahu, bahwa anak-anak dikampung itu bukan dari kalangan kelas atas. Mereka hanya buruh perkebunan, dan itu tidak tetap. Sebagaian bekerja di bagian jasa pembersih rumah mandor dan asisten kebun.
Hari pertama Abing masuk sekolah sudah menonjol. Rasa percaya diri membawanya menjadi ketua kelas. Abing sudah lancar membaca. Sebelum bersekolah Abing setiap malam mengaji membaca Al-Qur'an bersama bapak selepas magrib dan menunggu isya.
"Nak, jika kau sudah lancar membava al-qur'an. Inshaallah kau akan lancar membaca"
Benar, ketika Abing berumur 5 tahun dia tidak dimasukkan TK, biaya mahal untuk pendidikan TK itu. Dengan tegas bapaknya mengajarinya mengaji dan membaca. Terkadanh Abing menangis tersedu-sedu karena bentakan bapaknya. Dan itulah yang menumbuhkan rasa ketegasan di dalam diri Abing.
Sang Ketua Kelas. Seseorang yang berkuasa. Tapi, Abing bukan dididik untuk menjadi penguasa yang adil. Abing termasuk adil untuk dikelasnya. Teman-teman sekelesnya menyukai Abing sejak pertama Abing tampil didepan kelas. Anak kelas satu SD sudah bisa mengatakan tujuan hidupnya dan cita-citanya. Dan itu yang selalu diajarkan ileh bapak. Setiap kali Abing ikut mengantarkan kak Asih kesekolahnya, bapak selalu berkata.
"Kau lihat kakak kau, cita-citanya menjadi dokter. Bapak percaya, kakak kau bisa meraihnya. Cita -cita kau apa, Bing?"
"Aku ingin jualan baso saja, pak"
"Bah, tidak berkelas sekali cita-cita kau, Bing"
"Kakak Asih mau menjadi dokter, bang Adeng mau jadi polisi. Sudah direbut semua cita-cita yang berkelas, pak"
"Jadilah guru, nak. Tanpa guru kakak kau tidak akan menjadi dokter. Dan abang kau tidak akan menjadi polisi"
Abing terdiam.
"Tapi......"
Perkataan itu terpotong oleh lelehan airata Abing , yang sedang menjelaskan cita-citanya yang membawa dia teringat dengan bapaknya. Dan seluruh kelas terdiam, beberapa orang sudah melelehkan airmatanya. Dan buk Amelpun, tak luput dari rasa sedihnya. Ada rindu dihati Abing yang tersampaikan oleh airmatanya.
Waktu begitu cepat berlalu, Kak Asih menyelesaikan perkuliahannya tepat waktu, 4 tahun menjadi sarjana kedoktetan. Tinggal menunggu panggilan untuk koas ke daerah-daerah. Abang Andeng juga sedang mengikuti pelatihan di akademi kemiliteran. Sedangkan Abing sedang menunggu panggilan untuk olimpiade sains tingkat provinsi.
Setelah urusan adminitrasi kak Asih selesai, maka Kak Asihpun pulang kampung menemui Mamak dan Abing. Selama 4 tahun tak pulang-pulang, tak pernah juga dijenguk. Biaya tiket pesawat itu sama besarnya untuk biaya makan mereka selama 2 bulan. Dengan rasa rindu yang membuncah, Kak Asih memeluk mamak yang tidak datang keacara wisudanya. Saat itu hati Kak Asih teriris sekali. Melihat teman seangkatannya berfoto bersama didepan papan bunga dengan keluarganya. Namun, Kak Asih hanya berfoto dengan Bang Andeng yang berkebetulan singgah didaerah dekat kampus Kak Asih. Maka Bang Andeng dan kedua rekannyalah yang berfoto dengan Kak Asih saat wisuda.
Kak Asih bercerita tentang kehidupannya, yang padahal semua cerita itu sudah pernah Kak Asih tulis dalam surat-suratnya. Namun, Abing dan mamak tetap mendengarkannya dengan tekun.
"Bing, kau harus raih cita-cita kau"
"Iya, kak"
"Kau bilang kau mau jadi guru?"
"Iya kak, bapak yang menginginkan itu"
Abing melontarkan kata Bapak, 4 tahun berlalu. Bapak benar-benar tidak ada diantara mereka. Berkat doa bapak malam itu, mereka tetap hidup sampai sekarang.
"Ya, Allah kabulkanlah cita-cita anak-anakku. Walaupun itu membuatku kehilangan nyawaku"
Makbul, doa bapak saat itu didengar oleh langit yang hening dan penuh bintang itu. Sepertinya malaikat jibril sedang turun dan menyampaikan doa bapak secepat kilat.
Kak Asih bersedih, begitu juga mamak dan Abing. Mereka rindu bapak.
Tak ada yang bisa mengalahkan kegagalan selain bagkit lagi. Tidak ada yang bisa mengalahkan kemalasan selain kekuatan tekad. Dan tidak akan ada pengkhianatan proses terhadap hasil.
Begitulah hukum alam itu berlaku. Mereka bangkit, mereka tak meminta dikasihani, mereka tak meminta wajah-wajah sedih mereka. Kak Asih diterima pegawai negeri sipil di rumah sakit ternama di ibukota negara. Abang Andeng sudah ditempatkan di kota dia bersekolah dan menjadi prajurit terbaik, hingga dia harus pergi ke luar negeri untuk bersekolah lagi. Dan Abing, juga sudah berhasil menjadi seorang sains. Namun, dia tetap memilih menjadi apa yang diinginkan oleh bapaknya.
Mereka tidak bermalas-malasan. Mereka tidak mengeluh dengan kehidupan mereka. Mereka tidak pernah menyerah, ketika mereka gagal. Tapi, mereka selalu merindukan sosok bapak.
"Kau baik-baik saja di Jepang, Bing?" Tanya Kak Asih yang baru saja selesai memberikan penyuluhan tentang bahaya makanan dan minuman yang mengandung MSG.
"Lagi musim dingin disini, kau tau kak. Salju itu mirip es serut. Tinggal kau tambahkan sirup saja, jadilah itu"
"Hahahaha....."
"Mamak bagaimana kabarnya?"
"Mamak sehat-sehat saja. Mamak senang sekali waktu pulang kampung kemarin"
"Kekuburan bapak kalian?"
"Iya. Bapakpun sedang tersenyum melihat kami datang"
Airmata itupun meleleh. Kesuksesan ini, seharusnya bapak melihat itu semua. Bapak yang tegas, bapak yang adil, bapak yang bijaksana dan bapak yang percaya diri.
"Bang Adeng, kapan pulang dari Amerika?"
"Bulan depan. Pulanglah kau bulan depan. Kumpul kita, ya"
"Inshaallah, kalau proyekku selesai bulan ini. Aku pulang kak"
Abing kecil melangkah maju kedepan kelas menyeret-nyeret sepatu milik bapaknya yang kebesaran. Dengan gagah berani dan percaya diri, Abing melihat seluruh kelas memandang satu persatu teman-teman sekelasnya.
"Kalian adalah akan menjadi teman-teman terbaikku"
Semua bertepuk tangan.
Keluarga, guru, teman dan seluruh kerabat mereka punya andil masing-masing dikehidupan kita. Sayangilah keluargamu, hormatilah guru-gurumu, berakrablah dengan teman-temanmu dan sopanlah terhadap kerabat-kerabatmu. Karena disana ada rezeki yang tak terduga akan menanti kedatanganmu.

Selasa, 12 September 2017

Krisis percaya diri

Krisis Percaya Diri
Sudah hampir 6 tahun saya menjadi tenaga pendidik dan pengajar. Ada banyak hal yang saya temui dilingkungan yang saya tekuni. Untuk pertama kalinya saya menemukan hal yang sangat besar mempengaruhi apa yang sedang terjadi saat yang lalu hingga saat yang ini. Hal itu adalah "kepercayaan diri".
Entah dimulai sejak kapan. Tapi, ketika saya bersekolah dulu juga "kepercayaan diri" ini sudah menjadi krisis sekali. Jadi, saya menyebutnya krisi percaya diri.
Awal mulanya, saya mengetahui hal ini ketika saya sedang memberikan tugas latihan matematika. Setelah itu saya mempersilahkan siswa-siswa saya untuk mengulasnya kedepan kelas. Namun, apa yang terjadi????
Yang terjadi mereka hanya diam. Seperti sedang ketakutan. Tidak berani maju kedepan kelas.
"Loh, kenapa gak yang maju?" Saya bertanya.
"Takut salah , buk!"
"Loh, kenapa kalau salah?"
"Nanti kalau salah ibu marah"
Dan saat itu mata saya terbelalak kaget. Sejak kapan pulak saya marah ketika mereka salah menjawab.
Inilah yang terjadi. Kenapa?apakah penyebab seperti ini.
Kebetulan saya mengajar di sekolah menengah kejuruan. Kemungkinan besar, sejak didasar mereka tidak dilatih untuk memberanikan diri untuk maju kedepan kelas. Atau bisa jadi, ada trauma kena marah oleh guru mereka sebelumnya ketika mereka menjawab salah.
Atau bisa jadi, orang tua mereka di rumah selalu marah-marah kalau mereka melakukan hal yang tidak sesuai dengan perintah orang tua.
Saya juga masih belajar, bagaimana caranya untuk tidak marah-marah ketika mereka melakukan kesalahan. Walaupun terkadang suka "kebablasan".
Jadi, bagaimana solusinya menumbuhkan kepercayaan diri mereka.
Saya juga masih mencari tahu. Untuk saat ini saya baru menemukan cara " biarkan siswa itu menyelesaikan soal dengan cara mereka. Biar itu salah ataupun benar. Memberikan motivasi keberanian untuk tampil kedepan kelas. Jika jawaban salah , maka di perbaikai. Bukan diketawain atau dimarahin "
Dulu juga ada seoranh gadis yang saya kenal. Gadis itu hyperactive. Sukanya kesana kemari. Suatu saat ornag tuanya merasa kesal. Akhirnya gadis itu dimarahi habis-habisan. Dilarang kemana-mana. Tidak boleh ini dan itu. Dan sampai dia masuk kesekolah dasar, kepercayaan diri itu tumbuh. Namun, surut ketika orang tuanya menyepelekan kemampuan. Maka, gadis itu kembali minder. Masuk ke SMP dan SMA juga seperti itu. Kepercayaan dirinya tidak stabil. Selalu merasa takut untuk tampil. Akan tetapi, seiring waktu gadis itu mempunyai trik untuk menumbuhkan kepercayaan diri dalam dirinya. Dia mulai bisa bangkit, mulai bisa percaya diri. Karenna dia serng mengikuti seminar-seminar kepercayaan diri.

Minggu, 06 Agustus 2017

Lika

Pendakian kesuksesan itu bukanlah perkara mudah, seperti mengedipkan mata setiap detik. Pendakian itu melewati banyak undukan, dan tebing yang terjal. Harus mempunyai kaki yang kuat dan fisik yang sehat serta pikiran yang jernih.
Dan itu tidak semudah teori-teori yang disampaikan oleh para motivator.
Siapa yang tidak mengenal Prima, seorang aktivis kampus yang cerdas. Di fakultas dia sudah mendapatkan nama baik. Di universitas dialah pemegang tahta tertinggi. Prima sedang berada dipuncak kesuksesannya. Karena kegiatannya yang luar biasa banyak menjadi aktivis kampus, Prima sudah jarang bertemu Lika diperpustakaan. Lika lebih sering bertemu poto Prima diselebaran kampanye miliknya. Tahun kedua ini, universitas Lika akan mengadakan pesta pendidikan besar-besaran. Seluruh siswa-siswa berprestasi seantero negeri berkumpul di kampus mereka. Mengadakan lomba cerdas cermat, serta masih banyak lagi perlombaan lainnya.
Pagi itu, ditahun kedua di musim yang baru Lika mendapatkan panggilan telepon untuk pertama kalinya dari sahabatnya itu.
"Hallo!" Sapa Lika
"Hallo, ini aku Kalli. Apa kabarnya?" Tanya Kalli, yang membuat lidah Lika terasa kelu. Dadanya terasa sesak. Mendengar suara sahabatnya yang hampir hilang diingatannya, namun di bagian hati yang lain dia merasa senang.
"Aku baik-baik saja. Kau bagaimana?"
"Aku juga baik-baik saja. Bagaimana kuliahmu?"
"Kuliahku berjalan lancar sampai saat ini. Kau bagaimana?"
"Aku sibuk sekali, ternyata menjadi seorang dokter itu tidak mudah ya"
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa"
"Kau tidak pernah mengeluh sebelumnya"
"Aku juga manusia, Lika. Manusia itu diperuntukkan untuk selalu mengeluh ketika sedang dibawah"
"Katakanlah, apa yang sedang terjadi?"
"Baiklah" ada jeda disana. Kalli harus membuat kalimat-kalimatnya menjadi sebuah kisah yang bisa dianggap oleh Lika adalah kisah yang biasa-biasa saja.
Lika mendengarkan dengan seksama, dan diakhir cerita Lika tak mampu berbicara lagi. Pergaulan, ya pergaulan anak muda. Gengsi dikalangan fakultas bonafit. Kalli, tidak bisa mengikuti hal itu semua. Kalli terjerumus kedalamnya, dunia pergaulan bebas ibukota.
"Kalli dengarkan aku. Jika kau merasa butuh liburan, datanglah kesini. Masih ada aku untukmu"
Kalli terdiam, dia tahu sahabatnya akan berkata seperti itu. Tapi, apakah Lika akan menerima sahabat lamanya itu dengan kehidupan barunya.
"Pekan depan kampus akan mengadakan pesta pendidikan seluruh negeri. Ambillah liburan kesini. Aku akan senang jika kau datang"
"Aku tidak bisa"
"Kalli, datanglah. Aku menunggumu. Aku rindu sekali"
Seperti sihir, Kalli terhipnotis dengan kalimat "aku menunggu. Aku rindu sekali"
Sedetik itu juga pikiran Kalli mengiyakan setuju dengan ide Lika, liburan ke kota pelajar.
Sepekan berlalu, Kalli membawa sekoper pakaian untuk terbang bersamanya. Dari ketinggian 3600kaki, Kalli memanfaatkan untuk berpikir. Mengevaluasi diri, bagaimana semua terjadi begitu cepat. Dia bergabung dengan kelompok orang-orang yang hanya memikirkan hura-hura, pergaulan bebas, menikmati hidup di club-club malam, dan menyelam hingga ke dalam hampa yang tak berdasar.
Pengevaluasian diri itu tersentak ketika sang pilot mengatakan bahwa mereka akan mendarat 20 menit lagi. Ternyata mengevaluasi diri itu tidak cukup waktu perjalanan 2 jam lebih itu.
Dibandara, Lika sudah menunggu cemas bercampur gembira sahabatnya itu. Dia memang benar rindu sekali. Hampir satu tahun tidak mengetahui kabar sahabatnya karena kesibukan masing-masing. Maka takdir kebetulan itupun dimulai dari sini.
Lika melambaikan tangannya ketika dia melihat Kalli yang juga melihat kearahnya. Mereka saling berlari untuk mendekat. Sejenak diam dan hening. Saling memandang diri. Dan akhirnya menyeruak pelukan kerinduan sahabat. Rada haru biru menyelimuti Lika dan Kalli.
Saat itu juga seseorang datang menghampiri reunian yang penuh suka cita itu.
"Lika" panggil Prima.
"Ini sahabatku yang aku katakan kemarin"
"Oh..." Prima tersenyum tipis.
"Ahmad Al-Kalli" kata Kalli memperkenalkan diri.
"Prima Satriadi Banglo"
"Banglo?" Dahi Kalli mengkerut. Dia pernah mendengar kata Banglo. Tidak asing sekali baginya. Tapi, dimana?
"Hotwheel. Masih ingat" tiba-tiba saja Prima angkat bicara mengenai hobinya diwaktu kecil.
"Prima anaknya Om Deri Banglo ya?"
"Hahahahaha....akhirnya. Aku kira kau tidak mengenaliku"
"Jelas aku tidak mengenalimu kalau kau tidak menyebut namamu"
Lalu Kalli dan Prima berpelukan. Dan pelukan ini adalah pelukan kerinduan teramat dalam dari seorang sahabat diwaktu kecil yang sudah hampir berpuluh-puluh tahun tiada kabar dan bertemu.
"Loh, kalian saling kenal. Kok Prima gak pernah cerita"
Lika kebingungan, dan tiada yang perduli dengab kebingungan Lika itu. Senja itu ketika langit masih menguning. Tiga orang dipertemukan dalam sebuah takdir bernama kebetulan.
Kebeteluan Kalli menelpon Lika, hingga tercetuslah ide liburan Kalli. Dan karena Kalli liburan mendadak itu maka Kalli bertemu dengan sahabat kecilnya itu. Sungguh ini sebuah anugerah, dipenuhi kisah bersama sahabat yang diisi dengan kerinduaan terdalam.
Malam itu Kalli menginap di rumah Prima. Bertemu dengan keluarga Prima yang sudah lama tidak berjumpa. Melepas rindu sambil berbincang di ruang makan. Banyak hal yang berubah, ternyata Om Dery-papanya- Prima sudah tiada. Kalli turut berduka untuk itu.
Sementara  Lika kembali ke kos setelah menjemput Kalli dari bandar. Mereka bertiga berpamitan. Dan besok akan berencana untuk keliling kota pelajar bersama.
Dibalkon rumah, Prima yang sedang asik memetik gitar tuanya hadiah dari papa tercinta ketika dia kelas 5 SD mendapatkan nilai terbaik disekolah.
"Bicara mengenai Lika. Bagaimana kau mengenalnya?" Tanya Kalli sambil menyeduh teh jahe hangat yang dibuat oleh mamanya Prima.
"Hm...panjang ceritanya. Intinya, kami sering bertemu diperpustakaan. Dan saling sapa, itupun menunggu waktu beberapa bulan untuk berkenalan. Kau tahu, aku ini pemalu soal berteman dengan perempuan.
"Lika gadis yang hebat, Prim"
"Hu um. Oh ya, ada rangka apa kau libur kesini?"
"Hm...Lika yang menyuruhku untuk liburan. Aku cuti kuliah 1 semester ini"
"Kok gitu?" Tanya Prima heran. Anak laki-laki berkacamata ini dikenal jenius dulu ketika bermain hotwheel.
"Lika tahu kalau kau cuti 1 semester?apa penyebabnya?"
"Lika belum aku beritahu, mungkin setelah liburan ini akan kuberi tahu dia. Ibukota itu kejam, Prim. Aku tergiur segala gemerlap ibukota. Apalagi mahasiswa kedokteran yang terkenal bonafit. Anak-anak orang kaya. Aku terikut arus dunia pergaulan. Malam itu, disalah satu rumah temanku. Kami sedang berkumpul menyelesaikan tugas perkuliahan kami. Karena merasa bosan dan kelelahan, salah satu teman kelompokku mengajak ke diskotik tetdekat. Katanya menghilangkan penat. Aku ikut. Sampai disana aku dicekokin beberapa minuman yang aku tidak sadar, bahwa aku sedang meminum hal yang dilarang. Suasana diskotik ramai sekali, riuh musik menggema menghentak-hentakkan lantai dansa. Semua orang bergoyang tidak karuan mengikuti irama musik. Aku, aku masih terduduk disofa yang empuk itu dan terlelap tidur. Keesokan paginya aku sudah berada di sebuah kamar temanku. Dan itu amat sangat memalukan, Prim. Temanku berada di sampingku. Seorang wanita" leher Kalli tercekat. Lelehan airmata penyesalan mengalir lembut dipipinya. Rasanya ingin dia terjun ke lubang penyesalan.
"Lalu?"
"Aku malu"
"Hm...hal semacam itu mungkin bagi mereka sudah biasa. Aku juga pernah dijebak seperti itu oleh temanku. Sejak itu aku memilah milih teman. Dan akhirnya aku bertemu Lika. Aku yakin dia wanita yang baik"
"Lika memang wanita yang baik dan hebat, Prim"
"Lika tahu?"
"Dia hanya mendengarkan sebahagian saja. Dia tidak tahu aku sudah melakukan kesalahn terbesar dengan seorang wanita"
Malam itu sebelum ternyenyak tidur. Airmata penyesalan itu kembali lagi mengalir dalam balutan dinginnya pekat kegelapan malam. Meminta ampunan sedalam-dalamnya, agar langit tak murka menurunkan badai sekejam mata pedang menyayat kelunya hati. Tahu jiwa telah ternodai, hanya bisa pasrah dalam keampunan maaf sedalam-dalamnya. Sungguh, mendaki kesuksesan itu menempuh jalan yang sangat terjal.

Sabtu, 05 Agustus 2017

Lika

Ini pertama kalinya Lika naik pesawat sendirian. Biasanya ditemani oleh Eyang
hanya sekedar menemui papa yang ada di pusat kota negara dan mamanya yang sedang berada di ujung negeri.
Lika mempunyai seorang Papa yang bekerja sebagi abdi pelayanan kesehatan masyarakat di ibukota negara. Sedang mamanya seorang abdi pelayanan pendidikan untuk mahasiswa diujung timur negeri. Orang tuanya sudah lama berpisah, bukan bercerai. Orang tuanya berpisah demi mengejar karir impian mereka masing-masing. Hingga Lika harus tinggal bersama eyangnya di sebuah desa dimana orang tua Lika menghabiskan hidup dimasa kecilnya dulu.
Lika menaiki anak tangga penghubung antara bandara dan pesawat. Walaupun sendirian Lika sudah seperti terbiasa dan berani sendirian.
Kata "hati-hati dijalan, dan hubungi aku setelah mendarat" adalah kata mujarab yang membuat Lika tersadar bahwa masih ada Kalli dan beribu penghuni langit lainnya yang sedang bersama dirinya menyebrangi pulau dari ketinggian 3600 kaki.
Setibanya pesawat nasional milik negara itu mendarat dikota pelajar Lika langsung mengabari Kalli. Tak ada balasan cepat. Lika paham hal itu, Kalli sedang kuliah. Setelah mengirimkan pesan singkat kepada sahabatnya itu, Lika langsung menghubungi pihak universitas.
Lalu Likapun bermalam di mess dekat universitas.
Kini dia terlihat sendiri. Hari-hari baru ini dimulai dengan sangat berat. Bukan berarti Lika harus menyerah sekarang. Ketika impian dari kecilnya musnah. Ketika dia harus mengikhlaskan orang tersayangnya pergi untuk meninggalkan dirinya untuk selamanya. Semua itu hanya sebagian kecil. Lika bagaikan langit, bukankah tampak indah dengan cahaya bintangnya.
Angin dipertengahan musim membawa Lika memulai kehidupan barunya.
Disuatu sore yang sedang berhujan. Lika kedatangan seorang tamu.
"Apa kau baik-baik saja , Lika?"
"Mama tidak perlu khawatir, aku sudah biasa melakukan apapun sendiri. Mama apa kabar?" Tanya Lika sekembalinya dari dapur setelah membawa senampan minuman dan makanan.
"Mama baik-baik saja. Bagaimana kuliahmu, berjalan lancar?"
"Sampai saat ini lancar, Ma"
"Mama punya banyak kenalan di kampus itu. Jika kau butuh bantuan hubungi mereka, sebut nama mama"
"Ma, Lika sudah berumur 18 tahun. Sebentar lagi 19 tahun dan tak terasa akan masuk ke 20 tahun. Lika sudah dewasa , Ma"
Mamanya terdiam sejenak. Tidak menyangka anak semata wayangnya berkata seperti itu. Dan itu membuatnya untuk berpikir, bahwa sepertinya Mama harus melepaskan karirnya. Sudah 18 tahun Lika tinggal bersana Eyangnya. Bagi Lika orang tuanya hanyalah sebagai orang tua di catatan kependudukan. Mamanya sambil menggenggam kertas salinan pengumumab beasiswa untuk Lika. Awalnya mama ingin memberitahukan Lika beasiswa tersebut. Mama punya banyak kenalan petinggi universitas. Apasalahnya memasukkan satu nama untuk menjadi Lika sebagai mahasiswa berprestasi dan melanjutkan kuliah ke luar negeri. Namun, pernyataan itu tadi membuat hati mama remuk. Ternyata Lika sudah dewasa.
Hari demi hari menjalani perkuliahan, Lika merasa senang. Bertemu teman baru, mandiri, belajar giat, perpustakaan dan berkumpul dengan teman-teman satu hobi, photografi.
Jelang siang itu Lika menuju perpustakaan yang merupakan tempat favorit Lika dikala tidak ada mata kuliah. Rasanya ketika Lika masuk kedalam perpustakaan dia menemukan dunia baru. Ada banyak kehangatan disana, ada banyak pintu dunia terbuka disana.
"Permisi, disini ada orangnya?" Tanya Lika pada seorang penghuni tetap perpustakaan, sama seperti dia. Akan tetapi, Lika tidak pernah berkenalan dengannya.
Pria itu menggelengkan kepalanya. Lalu Lika pun duduk berhadapan dengan Pria berkacamata itu.
Membolak balik halaman buku mencari informasi mengenai teorema-teorema penyelesaian soal mengenai aljabar.
Suasana yang nyaman dan tak berisik juga menjadi alasan mengapa Lika menyukai perpustakaan.
"Jurusan matematika?" Tanya Pria tersebut di beberapa jam berikutnya. Lika mengangkat wajahnya dan menunjukkan buku kalkulus yang dibawanya dari rak buku sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Pria itupub juga menganggukan kepalanya sambil tersenyum.
Untuk mencairkan suasana Likapun mulai bertanya. Merekapun memulai perbincangan ringan yang membawa mereka pada sebuah takdir baru. Takdir di musim yang beranjak mendaki dan menurun serta menikung, hingga akhirnya langit kembali menyapa Lika.
Keakraban yang dijalin Lika menyebar seantero kampus. Pasangan serasi itu adalah julukan untuk mereka berdua. Mereka tak pernah berkencan seperti kebanyakan mahasiswa lainnnya. Mereka lebih baik membaca buku, dan berdiam sejenak lalu berbagi informasi mengenai apa yang telah dibaca setelah keluar dari perpustakaan.
"Lika, kau sedang pacaran dengan Prima?"
"Tidak"
"Lalu, mengapa kalian sering terlihat berdua?"
"Mungkin karena kami sering bersama. Hahahahaha"
Pria tersebut bernama Prima. Seorang mahasiswa pendidikan teknik. Seorang yang mirip dengan Kalli. Lika merindukan sahabatnya itu. Prima memiliki impian yang besar, bahkan Lika terkejut mendengar impian itu. Membangun sekolah gratis dengan fasilitas yang lengkap. Begitu ujar Prima pada suatu sore, ketika mereka baru selesai membaca buku mengenai sebuah impian.
"Mimpimu apa Lika?" Tanya Prima membetulkan kacamatanya. Lika dian sejenak, bukan karena bingung harus menjawab apa. Akan tetapi, impian Lika dan Prima saat itu sama.
"Sama seperti impianmu!"
"Waaah....kebetulan sekali. Ayo, sama-sama membangun mimpi kita jadi nyata" kata Prima bersemangat.
Bertemu dengan takdir bernama kebetulan, akan ada banyak kebetulan-kebetulan yang muncul dikehidupan Lika berikutnya. Walaupun Lika tahu bahwa kebetulan itu tidak ada. Tapi, Lika menyukai kata kebetulan itu sebagai bahwa langit sedang menyapa dan mengobrol dengannya. Kehidupan Lika selama dikampus sangat begitu bahagia sekali. Tidak ada yang mampu membendung kebahagian Lika bersama orang-orang baru. Bahkan hujan deraspun tak mampu menghentikan kebahagiaannya.
"Aku menyukai kehidupan ini. Kebahagiaan ini berawal dari airmata yang tak sengaja tumpah begitu banyak dimusim lalu. Bukankah langit sudah berjanji bahwa setelah turun hujan akan muncul pelangi di langit biru. Berwana warni menghiasi luasnya langit diatas sana".

Jumat, 04 Agustus 2017

Lika

Berkali-kali Lika membolak balik halaman buku try out miliknya. Berkali-kali juga terdengar suara tiupan angin yang berpadu dengan kertas sehingga memantulkan suara yang akan dirindukan  dimasa yang akan datang. Karena Lika yakin bahwa usaha tidak akan mengkhianti hasil, begitulah kata orang.
Setiap hari les bimbingan belajar seminggu full selama 2 jam. Belum lagi mengerjakan soal-soal try out masuk universitas bergengsi lainnya ketika dirumah. Waktu bermain, abaikan saja. Lika suka sangat puas untuk bermain. Sejak TK - SMP , Lika menghabiskan hidup masa remajanya dengan bermain. Kini, dia harus bertangung jawab atas pilihannya sendiri. Sebab dia sudah dewasa.
Masa depannya ada di langkah kakinya , namun tetap di tangan Tuhanlah takdir yang belum diketahuinya.
Dering suara ponselnya menghilangkan kosentrasinya ketika menjawab soal matematika dasar yang sangat mudah baginya.
"Hallo!" Sapa Lika.
"Hallo!, Lagi apa?"
"Ini siapa?" Tanya Lika heran.
"Ini Kalli!" Kalli menghembuskan nafas kecewa.
"Astaga. Maaf. Aku gak liat layar ponselku. Ada apa?"
"Kau sedang apa?"
"Menyelesaikan masalah persamaan"
"Persamaan apa"
"Linier lah"
"Hahahaha, kau sedang belajar ya. Maaf ganggu. Terus semangat. Aku cuma mau beri tahu besok ada acara dirumah. Syukuran aku diterima di fakultas kedokteran. Kau harus datang"
"Besok. Aku tidak bisa janji"
"Aku tak minta janji, Lika. Aku minta kau datang"
"Baiklah, baiklah. Aku akan berusaha menyelesaikan soal-soal matematika dasar besok hari ini"
"Terima Kasih"
Mata panda, kata orang begitu. Lingkaran hitam sudah terlihat jelas di mata Lika. Kurang tidur, waktu dihabiskan untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan. Selain harus mengasupi pikiran, Lika juga harus mengasupi tubuhnya agar tetap sehat dan bugar , walaupun kurang tidur. Eyangnya, selalu membuat puding susu terbaik untuk menemani hari-hari Lika. Berbagai macam jus buah selalu tersedia dipagi hari. Eyang memang selalu perhatian terhadap Lika.
Namun, pagi itu. Eyang tak tampak mendekati kamar Lika. Suasana hening, angin musim itu juga membawa kenangan Lika bersama dinginnya suhu pagi itu.
"Eyang!Eyang!"
Tak bergeming, membeku, mendingin, dalam katupan mata yang tertutup. Berselimut duka dengan perihnya hati. Lika menghancurkan pertahanannya. Airmatanya mengalir sederas mungkin. Tak pernah terbayang olehnya harus berpisah secepatnya ini dengan Eyangnya. Belum lagi sembuh luka hati karena kegagalan, kini Lika harus dihadapi dengan luka hati karena ditinggalkan orang tercinta. Sungguh, setega itukah langit terhadapnya.
Sedu sedan, mengharu biru  dirumah eyangnya. Semua berkumpul, sanak saudara termasuk orang tua Lika.
Lika, tak tahan. Dia butuh sokongan. Dan sokongan itupun datang dengan napas yang terburu-buru. Berlari sekuat tenaga. Mengayuh sepeda  hingga kakinya terasa kebas. Sokongan itu tiba didepan pintu, membawa wajah yang begitu menyedihkan. Airmatanya tak terbendung, bahkan sokongan itupun menangis sedih karena kehilangan dan karena menangisi takdir yang menimpa sahabatnya itu.
Mereka saling berpelukan. Pelukan sahabat. Pelukan sebagai sokongan untuk tetap tegar.
"Kau harus kuat"
"Aku kuat, Kalli"
"Aku tahu"
Bahkan ini seperti drama kehidupan yang sering di tonton oleh para ibu-ibu komplek. Sebagai bahan perbincangan mereka betapa malangnya gadis ini harus kehilangan eyang, kesayangannya itu.
Lika melepaskan pelukan Kalli berlahan.
"Bagaimana acara dirumahmu?"
"Aku batalkan. Aku tidak bisa berhaha-hihi. Sedangkan sahabatku menangis disini"
Kalimat itu, cukup bagi Lika bahwa dia tidak sendiri. Selain para penghuni langit ada satu penghuni bumi yang selalu setia menemaninya ketika merapa ingin jatuh.
Tubuh dingin itu, terbenam dengan kenangan bersama tanah. Rasa rindu, sudah merasuki perasaan Lika saat itu. Yang Lika tahu, kali ini langit tidak sedang menegurnya. Akan tetapi langit sedang berbicara dengannya. Langit sedang berbicara lembut ke relung hatinya. Bisakah Lika menyambut perbincangan dengan langit kali ini.
Sebulan berlalu, Lika harus mandiri sebelum masuk ke universitas. Kesempatan lain menanti. Lika mencoba mengikuti ujian bersama di 5 universitas yang saling bekerja sama. Lika memilih 2 pilihan. Teringat perbincangannya dengan Eyangnya seminggu sebelum meninggal.
"Eyang ingin sekali kau menjadi guru, Lika"
"Eh, aku gak cocok jadi guru. Eyang. Aku ini tidak sabaran , aku juga suka marah-marah"
"Tidak, eyang yakin kau bisa jadi guru. Takdir akan memberimu kesabaran dan ketulusan"
"Tapi..."
"Cobalah. Eyang akan selalu mendoakanmu. Selalu. Walaupun sampai eyang tak terlihat nanti"
Lika memejamkan matanya sebelum menulis pilihannya itu. Berpikir berkali-kali. Ingin bertanya kepada Kalli, namun jika dia lulus dikesempatan ini. Maka Kallilah orang pertama yang akan terkejut. Lika merahasiakan sementara ujiannya dari Kalli.
Sambil menarik napas, dengan keyakinan penuh 100%, Lika mengabulkan keinginan impian eyangnya. Maka seperti ada cahaya baru, ada beban yang sedang terbang dari pundaknya. Beban yang tak terlihat, seperti senyuman eyang yang sedang memandang dari kejauhan cucu kesayangannya itu.
Semoga kali ini langit merestui pilihanku.
Hasil ujian langsung keluar ketika waktu ujian telah usai. Skor yang memuaskan. Hati Lika bukan kepalang bahagianya. Lika lulus di Universitas nomor 1 dinegeri ini untuk fakultas pendidikan jurusan matematika dengan akreditasi A.
Lika berlari menuju fakultas Kalli. Dari pintu utama menuju fakultas kedokteran itu Lika berlari sekuat tenaga. Hasratnya ingin memberitahu sahabatnya yang selalu ada untuknya. Nafas Lika tersengal-sengal. Kalli sedang duduk bersama teman-teman barunya.
"Lika! Apa yang sedang kau lakukan disini?"
"Aku...ngos...ngos....aku"
"Iya kenapa?. Sebentar ya, aku permisi dulu. Ayo, kesana" ajak Kalli pamitan dengan teman barunya itu.
"Aku lulus"
"Appppaaaaa!!. Kau berlari kesini hanya untuk membertahuku kau lulus. Mengapa tidak dari ponsel saja sih. Lihat, kau berantakan sekali"
Lika menggelengkan kepalanya.
"Aku suka memberitahumu secara langsung. Bahwa ini pertemuan terakhir kita"
Seperti ada kilatan setrum menusuk hati Kalli. Pertemuan terakhir. Kebahagian ini merupakan kesedihan yang teramat perih. Kehilangan teman. Jarak yang memisahkan, sungguh rindu itu sudah muncul dihari dimana matahari senja mulai memerah di ufuk barat.
"Bahagia yang terlalu akan menggelapkan logikamu. Bahwa kau tidak sadar, komunikasi sekarang bukankah sudah canggih. Kau malah memilih berlari berkeringat demi membaritahuku. Apa yang sedang terjadi padamu. Aku rindu itu. Kegigihanmu, kecerdasanmu, keserba bisaanmu"
Langit yang memerah itu memberi warna baru dalam hembusan angin dilembaran berikutnya. Meminta diberkahi dalam proses dan merestui hasil. Benar, kata mereka bahwa yang tak pernah berkhianat adalah antara usaha dan hasil. Mungkinkah itu akan membawa Lika kedunia barunya.
Kota pelajar sedang menantinya, 4 tahun bersama kesepian yang terselubung.

Sabtu, 03 Juni 2017

Second Time

"Lebih baik aku memendam perasaan ini sendiri daripada aku harus kehilanganmu untuk kedua kalinya"
Merri mengambil tas congklang miliknya. Siang itu dia melangkah keluar rumah menuju sebuah toko buku di pertigaan kota. Dengan langkah kaki yang pasti Merri menuju halte bus menunggu bus nomor 34 yang akan mengantarnya ke halte bus kota. Dari halte bus kota Merri berjalan 100 meter kearah timur menuju toko buku bernama Sumber Ilmu. Toko buku lama yang bangunannya tidak begitu besar namun memiliki isi buku terlengkap dikota itu. Merri tiba didepan toko buku Sumber Ilmu. Langkah kakinya terhenti ketika Naomi menyambut kedatangannya.
"Pagi, Merry!" Sapa Naomi yang sedang bertugas membersihkan rak buku disebelah kanan pintu masuk.
"Pagi, Naomi. Apa kabarmu hari ini?"
"Untuk hari ini aku cukup sehat, Merry. Kabarmu, Merry?"
"Aku sedang bersemangat hari ini. Novel yang kutunggu-tunggu selama 4 tahun akhirnya terbit"
"Oh...novel itu. Dia berada dirak buku New Relase. Kau tahukan tempatnya dimana?"
Merri mengangguk-anggukan kepalanya.
Toko buku ini bukan hanya sekedar sebagai jembatan Merri untuk memuaskan hobi membacanya. Namun, didalam toko buku ini ada seseorang yang merupakan bagian dari masa lalunya yang hilang dan menimbulkan penyesalan. Seseorang itu bekerja dibagian kasir toko buku ini. Yang membuat Merri semakin rajin untuk membeli buku.
"Kaisar mana?" Tanya Merri kepada Naomi setelah melihat meja kasir masih kosong.
"Oh, Kaisar sedikit terlambat. Adiknya sedang sakit"
"Hm" Merri menganggukan kepalanya sekali. Dan pamit untuk mengambil novel yang telah lama dinantikannya.
Selain mencari novel itu, Merri melihat ke barisan rak buku mengenai berkebun. Merri senang berkebun. Bahkan kebun miliknya sudah dipenuhi berbagai macam sayuran dan buah-buahan. Sembari mengambil buku untuk dibeli, ditoko ini juga menyediakan tempat baca. Disudut berukuran 2 x 3 meter itu terdapat rak buku yang menjulang keatas hingga langit-langit toko menyimpan banyak buku klasik. Merri terhanyut dalam buaian huruf demi huruf buku yang dibacanya. Hingga dia tidak sadar bahwa seseornag telah berdiri di sebelahnya.
"Ehem" deheman pertama yang diacuhkan. Mata Merru masih tertuju kebuku.
"Ehem" deheman kedua lebih nyaring dan membuat kepala Merri menoleh kearah sumber suara.
"Kaisar. Kau sudah datang?" Tanya Merri tersenyum.
"Sudah dari lima menit yang lalu"
"Ehm...terima kasih sudah memberi info tentang novel barunya. Akhirnya...."
"Akhirnya apa?" Tanya Kaisar
"Akhirnya aku bisa baca novelnya"
Mereka tertawa bersama.
Waktu saat mereka tertawa bersama terasa kembali kemasa 15 tahun yang lalu. Ketika mereka dipertemukan dalam sebuah komunitas pecinta buku disekolah mereka. Saat itu yang mereka menjadi junior di komunitasnya. Seiring waktu mereka menjadi akrab sekali. Berbagi informasi mengenai buku yang mereka baca. Berbagi cerita referensi buku terbaik. Terkadang mereka berdua lebih banyak berdebat tentang isi buku yang menurut mereka sangat kontroversi. Perdebatan itu yang sangat menyenangkan sekali.
"Sudah kubilang, kan pengarang buku ini pasti seorang penjahat"
"Mana mungkin seorang penjahat bisa menulis sebagus ini"
"Aku lebih yakin kalau pemeran penjahat kelas kakapnya itu adalah dirinya sendiri"
"Jangan ngaco"
Dan perdebatan itupun membuahkan hasil, Kaisar menang untuk pendapatnya saat itu. Penulisnya ada seorang narapidana disebuah penjara terkekat didunia.
Dimulai saat itu, tumbuhlah bunga krisan diantara mereka. Bunga berwarna kuning itu bersemi diantara hari-hari mereka. Memberi warna cerah disetiap langkah mereka. Namun, bunga krisan itu tak bertahan lama. Tak bertahan oleh terpaan badai egois yang begitu emosional.
"Kaisar, aku suka kamu" kata Merri disuatu sore sepulang mereka dari rapat mingguan komunitas pecinta buku.
Langkah kaki Kaisar tehenti. Hatinya bergetar hebat. Bagaimana bisa seorang Merri menyukainya. Dia pria yang tak sempurna. Lahir dari keluarga broken home. Ayah dan Ibu yang pergi tak pernah kembali. Dia harus mengurus nenek dan adik perempuannya yang sakit-sakitan. Sedangkan Merri, perempuan pintar dan suka bergaul yang memiliki senyum yang indah itu teramat sempurna bagi Kaisar. Walaupun kenyataan teramat pahit baginya, pernyataan Merri meyakinkan bahwa perasaannya selama ini yang disimpannya sendiri tidaklah bertepuk sebelah tangan. Jika ini sebuah mimpi, maka Kaisar harus segera bangun dari tidur yang nyenyak.
"Maaf, Mer. Aku tidak bisa"
Kaisar tidak berani memandang wajah Merri yang dia yakin Merri memasang wajah sedih. Bagaimana bisa seorang pria yang tak tahu diuntung ini menolak pernyataan Merri. Sungguh diluar dugaan Merri jawaban yang terucap oleh Kaisar. Tubuh Merri membeku, raut wajahnya berubah sedih. Matanya terasa panas, ketika Kaisar meranjak pergi ketika itu juga airmata Merri jatuh membasahi pipinya.
Setelah kejadian itu, Kaisar menjauh. Dia merasa tidak enak atas jawabannya itu. Merri sendiri. Ini memang kejam untuk Merri, tapi Kaisar tahu bahwa Merri akan baik-baik saja. Kehilangan Kaisar bukan berarti membuat hidup Merri hancur. Dan Kaisar kali ini juga benar. Merri tetap memberi senyuman kepada siapapun juga yang menyapanya setiap pagi. Tetap bergembira bersama teman-temannya. Masih membaca buku favoritnya Sharlock Holmes dibawa pohon rindang ketika jam istirahat. Merri tidak berubah sama sekali. Dia tetap menjalani rutinitasnya seperti biasa. Tidak dengan Kaisar, dia selalu menghindar terus menghindar. Kaisar tak ingin melihat wajah Merri, karena akan menumbuhkan rasa bersalahnya karena telah membuat sedih Merri. Hingga Kaisar harus pergi meninggalkan komunitas pecinta buku demi rasa bersalahnya itu. Kaisar lebih memfokuskan diri bekerja setelah pulang sekolah. Kehidupannya berubah menjadi seorang pekerja keras.
15 tahun berlalu...
"Bagaimana kabar adikmu?" Tanya Merri meletakkan buku yang dibelinya dimeja kasir.
Kaisar memeriksa kode buku dan memberi cap untuk setiap buku yang sudah terverifikasi.
"Dia hanya demam. Tugas kuliah menumpuk akhirnya kelelahan"
"Oh"
"230.000 rupiah" kata Kaisar memberikan struk pembelian.
"Hu um. Semoga adikmu cepat sembuh"
Kata Merri memberikan lembar uang 250.000 rupiah kepada Kaisar.
"20.000 kembaliannya"
"Em...ini ada kue yang aku beli ditoko roti disebelah halte. Berikan pada adikmu. Padahal sebenarnya ini untukmu" Merri masih dengan rasa yang sama dikala 15 tahun yang lalu.
"Terima Kasih" Kaisar dengan sejuta penyesalannya.
Merri meninggalkan toko buku itu. Melangkah menuju sebuah taman kota yang selalu dia datangi ketika ingin membaca buku baru miliknya. Angin siang itu sangat sejuk, awan menggumpal menutupi teriknya matahari. Sekotak eeg portuguise dan sebotol jus jeruk dingin mengantar Merri larut dalam cerita yang ditulis oleh seorang yang mereka debatkan dulu ketika mereka masih bersama di komunitas pecinta buku.
"Apakah Kaisar keluar dari komunitas, kak?" Tanya Merri kepada wakil ketua komunitas pecinta buku itu.
"Secara resmi belum. Tapi, sudah hampir sebulan Kaisar tidak pernah hadir dalam rapat mingguan"
"Hm..."
"Kenapa? Apa yang terjadi dengan kalian berdua. Apa kalian putus?"
"Eh....putus. kami tidak sedang pacaran. Kami hanya berteman"
"Oh....aku mengira kalian sedang pacaran. Bahkan satu komunitas ini menyangka seperti itu juga"
"Hah! Ya , ampun. Kami tidak seperti itu, kak. Kaisar sahabat terbaikku. Kami sama-sama menyukai buku"
"Hehehehe, padahal kalian itu cocok sekali"
"Hehehehe"
Tak ada yang tahu kabar Kaisar. Bahkan disekolahpun Kaisar tidak begitu menonjol. Hanya sesekali mereka berpapasan, yang ada mereka tidak saling kenal. Bertemu itu sudah sangat menyiksa hidup Kaisar. Maka setiap kali tanpa sengaja bertemu Kaisar lebih baik menghindar daripada harus bertemu lagi dengan Merri.
Sore menjelang, Merri kembali kerumah. Dia berjalan kaki menuju halte bus Taman. Menantikan bus no 37 menuju halte bus disekitaran rumahnya. Kaki-kaki Merri membawanya berjalan menyusuri taman kota yang sejuk menghijau itu. Sebuah takdir pertemuan dengan seorang temannya ketika satu komunitas dahulu.
"Merri!!Merri!!!" Teriak Anggun.
Merri menoleh, melihat Anggun melambai-lambaikan tangannya. Merri tersenyum dan berjalan menuju Anggun.
"Apa kabarnya?" Tanya Anggun sembari memeluk Merri erat.
"Aku baik-baik saja. Kabarmu gimana?"
"Hahahaha, aku juga baik-baik saja. Hanya aku semakin subur. Hehehehe"
Ia, Anggun benar. Tubuhnya menggemuk semenjak dia menikah.
"Sudah berapa anakmu?"
"Baru dua. Ini yang ketiga" Anggun menunjuk perutnya yang membuncit.
"Woooow" Merri terkejut. Anggun sudah memiliki dua orang anak, dan sekarang akan menyusul tiga.
"Kau sendiri sudah berapa anakmu?"
Merri tersenyum.
"Aku belum menikah" jawab Merri.
"Ya, Ampun Merri. Apa tidak ada lelaki yang menginginkanmu?"
"Hehehehehe. Aku rasa begitu" jawab Merri mengangkat bahu.
Dan percakapan panjang itu berkahir pada sebuah pernyataan Anggun yang membuat Merri terkejut. Ada perasaan yang teriris ketika Anggun mengucapkan kalimat demi kalimat mengenai Kaisar. Ternyata Kaisar hanya menghilang dari dirinya, tapi tidak menghilang bagi teman-temannya yang lain.
Anggun bercerita semuanya dan segalanya. Merri terdiam tanpa berkomentar apapun. Kejutan-kejutan demi kejutan tiap kalimat yang keluar dari mulut Anggun semakin membuat matanya panas.
"Aku sangat salut dengan Kaisar, Mer. Eh, sekarang dia bekerja sebuah toko buku loh" papar Anggun dan tak sengaja melihat plastik buku milik Merri.
"Kau sudah bertemu dengannya?" Tanya Anggun.
Merri mengangguk pelan.
"Sudah berapa lama?"
"6 bulan yang lalu"
"Apa kalian sudah berbaikan?" Pertanyaan Anggun yang ambigu membuat Merri bingung harus menjawab apa.
"Kami tidak pernah bertengkar, Anggun. Jadi, kami memang baik-baik saja" jelas Merri menyisakan rasa sedih yang mendalam.
"Baguslah kalau begitu. Aku harap kalian baik-baik saja. Oh, ya. Aku pulang dulu ya. Kalau ada waktu singgah kerumahku. Satu blok dari taman ini, belok kanan nomor rumah 12. Aku tunggu kedatangan kalian"
Kalian, Merri bingung kata Kalian yang dimaksud. Apakah Merri dan Kaisar?atau apakah untuk seluruh anggota komunitas dahulu. Merri hanya mengangguk dan melambaikan tangan sabagai salam perpisahan.
Langkah Merri berubah haluan. Dia tidak berniat pulang kerumah secepat ini. Kakinya membawa dirinya menuju toko buku itu lagi. Perasaanya membara ingin bertemu Kaisar. Ingin rasanya segera berdebat dengannya lagi seperti 15 tahun yang lalu.
Dengan nafas yang tersengal-sengal Merri tiba didepan toko buku Sumber Ilmu. Merri membuka pintu toko tersebut. Langkahnya beriringan dengan angin kecil yang masuk kedalam rongganya. Seperti rasa lega yang sudah lama tertahan oleh sebuah kenangan yang menyakitkan itu.
"Nermosu akhrinya bertemu Pramzia. Dibukit pertama kali mereka bertemu. Laula Kheil, berhasil mempertemukan mereka" Merri bersemangat mengulang kembali tulisan yang ada didalam novel yang baru dibelinya tadi siang.
Kaisar tertegun. Merri dengan nafasnya yang tersengal-sengal menuju meja kasir dan menerobos pengunjung yang lain membuat heran seisi toko itu.
"Merri!" Kata Kaisar menunjuk kearah belakang Merri yang sudah berjejer pembeli buku menunggu antrian.
Merri baru tersadar bahwa dia sedang mengacau. Wajahnya memerah karena malu dan langsung menunduk mundur kebelakang antrian.
Merri menunggu Kaisar berganti shift pukul 6 sore sambil membaca buku klasik di sudut baca.
Setelah Kaisar memberikan kunci laci kasir kepada temannya, dia langsung menemui Merri yang sedang membaca.
"Hei. Apa yang membuatmu begitu bersemangat?" Tanya Kaisar sambil tertawa kecil.
"Sudahlah, aku malu sekali" Merri masih menunduk malu.
"Bagaimana Nermosu dan Pramiza bertemu?" Tanya Kaisar yang berada didepan Merri.
"Sudahlah, kau jangan meledekku"
"Hahahahaha. Sudah kukatakan Laula Kheil itu orang jahat. Dia memang jahat. Bagaimana bisa Nermosu bertemu Pramiza lagi. Jangan-jangan dia ingin bangun kerajaan kegelapan lagi"
"Mereka hanya bertemu, bukan berarti mereka mau bangun kerajaan lagi. Kau sudah baca bukunya? Sudah halaman berapa? Aku baru selesai di bab 5"
"Aku belum sempat membaca. Lagian sekarang waktuku tidak cukup untuk membaca"
"Oh...jadi setelah ini kau mau kemana?"
"Kerumah sakit, bergantian dengan nenek menjada adikku"
"Aku ikut" Merri bersemangat
"Tidak perlu"
"Pokoknya aku ikut"
"Ada apa denganmu? Tak seperti biasanya. Kau tak pernah ngotot seperti ini"
"Pokoknya aku ikut"
"Merri, ada apa?"
"Pokoknya aku ikut" Merri menitiskan airmatanya. Rasanya ia ingin sekali menjadi bahu sandaran bagi Kaisar. Akan tetapi Kaisar adalag lelaki yang tegar. Mana mungkin lelaki setegar Kaisar itu menangis.
"Baiklah, baiklah. Tak perlu sampai menagis begitu kalau kau ingin ikut"
Merri menyerot hidungnya yang penuh air. Dan mengusap airmatanya.
Mereka berdua meninggalkan toko buku itu berjalan menuju halte kota menunggu bus 45 yang mengantarkan mereka kerumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak memperdebatkan buku milik Hans, pengarang novel fantasi yang memiliki banyak kontroversi. Sesekali perdebatan itu amat sengit, hingga mereka berdua memilih diam. Bahkan semenit kemudian mereka berdebat lagi mengenai banyak hal. Kerinduan masa lalu itu, membuat mereka merasa lega. Hiburan perdebatan itu membawa mereka sampai kerumah sakit.
Kaisar membuka pintu kamar milik adiknya yang sedang dirawat. Disana ada neneknya yang sedang menonton acara kuis favoritnya.
"Nek, bagaimana kabar Prisa?"
"Demamnya sudah turun. Tapi, kepalanya masih pusing. Ehm...siapa dia?" Tanya neneknya ketika melihat Merri.
"Oh, syukurlah kalu begitu. Dia Merri , nek. Musuhku paling berat. Hehehehe"
"Bagaimana kau bisa membawa musuhmu ke rumah sakit, Kaisar. Jangan bercanda"
"Saya tema sekolah Kaisar, Nek"
"Siapa namamu, nak?"
"Merri"
"Oh, kau yang bernama Merri itu?" Neneknya terkejut dan itu juga membuat Merri terkejut langsung memandang Kaisar.
"Nenek!" Kata Kaisar menjadi aneh. "Sebaiknya nenek mandi dan pulang. Istirahatlah dirumah. Malam ini biar aku yang menjaga"
"Iya, baiklah. Nenek segera berkemas"
Segera neneknya berkemas, memasukkan baju kedalam tas yang dibawanya tadi pagi. Sesegera mungkin dia berkemas dan berpamitan kepada Kaisar dan Merri.
Sebelum pulang.
"Nak Merri ada yang ingin nenek bilang padamu"
Kaisar langsung mencegah Merri mengikuti Neneknya.
"Disini aja" kata Kaisar sambil memandang wajah neneknya.
"Kau kenapa, Kaisar. Nenekmu ini hanya ingin mengatakan sesuatu hal saja"
"Disini saja, nek"
"Baiklah, baiklah. Merri, nenek cuma mau bilang kepadamu. Jadilah sayap bagi cucuku ini. Bawalah dia terbang dari kehidupan yang membuat dia tersiksa" isakan nenek itu membuat hati Merri teriris dan ingin menangis.
"Nek" Kaisar menegang.
"Dia sudah terlalu banyak berkorban untuk kami berdua. Masa mudanya bahkan cinta pertamanya" isakan berikutnya benar-benar menitiskan airmaya Merri.
"Nek" Kaisar mulai bergetar menahan rasa haru.
"Jadi, nenek mohon jadilah sayapnya"
Merri menghambur menuangkan pelukan ketubuh nenek itu. Rasanya begitu menyedihkan sekali harus mendengarkan kisah yang baru beberapa jam lalu dia dengar dari temannya yang bernama Anggun.
"Kau tahu, Merri. Ayah dan Ibunya pergi meninggalkan Kaisar dan adiknya yang masih kecil. Dia dititipkan oleh neneknya yang sebatang kara. Kaisar, pernah bercerita kepadaku bahwa dia tidak akan menyeret perempuan yang disayanginya dalam kesusahan hidupnya. Saat itu aku bilang padanya, itu namanya egois. Kenapa kau tidak menceritakan segalanya kepada perempuan itu. Dia menjawab , aku tidak tega melihat dirinya menjadi susah"
Merri masih memeluk nenek Kaisar dengan erat. Seperti melepas rindu panjang yang tak terbalas. Kaisar yang berdiri dibelakang Merri menunduk malu dengan seribu rasa yang tak terucapkan. Seusai neneknya pamit  dengan kesedihan dan kelegaan, Kaisar masuk kembali kedalam ruangan dimana adiknya dirawat. Melihat tubuh kurus adiknya Kaisar tidak tega selang dan jarum infus menusuk ke kulit adiknya itu. Berdasarkan hasil cek darah yang baru saja dilihat Kaisar bahwa adiknya terkena tipus. Padahal Kaisar sudah menasehati adiknya untuk tidak membantunya bekerja mencari uang. Cukup hanya dia yang mencari uang untuk memenuhi biaya sehari-hari keluarga mereka dan membiayai kuliah adiknya.
"Kenapa tidak pernah cerita padaku?" Tanya Merri menggenggam seluruh bukunya dipangkuannya.
"Maaf, aku tidak bisa"
"15 tahun lamanya. Aku kehilangan sahabatku, aku kehilangan seseorang yang teramat penting bagiku"
"Maaf, Mer. Aku tidak bisa"
Tok...tok...tok...ketukan dari pintu kamar adiknya itu membuat suasana menjadi cari. Seorang perawat membawa senampan makan malam untuk Prisa sudah tersaji. Perawat itu meletakkan makan malam itu diatas meja sebelah tempat tidur Prisa.
"Jangan lupa dimakan ya obatnya"
"Iya suster"
Dan perawat itupun berlalu dari mereka. Menutup kembali pintu kamar. Dan suasana kembali seperti semula, membeku dalam sebuah tanda tanya besar.
"Pulanglah. Aku antar sampai depan halte" kata Kaisar.
Merri menggelengkan kepalanya.
"Jangan keras kepala. Ayo pulang"
"Aku mau disini, aku tidak mau pulang" kata Merri meninggikan volume suaranya.
"Ada apa denganmu, Merri. Mengapa kau menjadi sekeras ini"
"Pokoknya aku mau disini. Tidak mau pulang" Merri berteriak.
"Merri. Jangan pernah berpikir kau akan menjadi sayapku seperti kata nenekku. Aku tidak akan menyeretmu untuk hal itu"
Merri terdiam, rasanya dia ingin menangis.
"Kau masih setega yang dulu, Kaisar"
Kaisar terdiam. Mematung sambil memandang Merri melangkah keluar kamar inap adiknya itu. Kali ini Kaisar yang melihat punggung sedih itu melaju tanpa berbalik. Berbeda dengan waktu itu, punggung itu sempat berbalik. Seperti menandakan ada kesempatan kedua yang bisa diraihnya kembali. Namun, hari ini kesempatan kedua menjadi kesempatan terakhirnya itupun menghilang.
Merri pergi dengan rasa yang sama seperti waktu itu.
"Kakak kok setega itu dengan kak Merri?"
"Sudahlah, jangan kau pikirkan itu"
Prisa hanya tersenyum kecut mendegar perkataan kakaknya itu. Dia tidak ingin menambah beban hidup bagi kakaknya itu dengan bertanya hal itu lagi.
"Makan obatmu, aku mencari makan malam. Aku segera kembali"
Prisa mengangguk pelan.
Keadaan selama 6 bulan yang sangat dijaga oleh Merri dan Kaisar ternyata runtuh juga oleh kenangan 15 tahun yang lalu. Kini mereka hidup masing-masing. Merri tidak pernah terlihat lagi di toko buku Sumber Ilmu. Demi menghindari Merri , Kaisar mengundurkan diri menjadi kasir dan berpindah bekerja. Mereka kembali menjadi seperti dahulu. Tidak saling menyapa jika bertemu. Tidak saling menghubungi dikala rindu.
Setahun berlalu...
Merri mengunjungi teman kuliahnya dahulu disebuah pabrik baja diluar kota. Merri pergi sendirian. Membawa mobilnya menempuh waktu 2 jam. Sepanjang jalan dipenuhi pabrik-pabrik baja yang di pimpin oleh Wendi bersaudara. Salah satu keturunan Wendi adalah suami teman Merri. Mengunjungi teman lama mungkin akan menghiburnya.
"Merri, apa kabar?" Tanya Sasha yang menggendong anak keduanya itu sambil menyambut kedatangan Merri di depan gerbang rumah milik mereka.
"Aku baik-baik saja" jawab Merri yang masih didalam mobilnya.
"Ayo masuk kerumah" ajak Sasha.
Merri masuk kedalam rumah yang begitu besar. Istri dari seorang pengusaha baja amatlah membuat hidup Sasha berubah drastis. Sasha yang dulu dekil sekarang menjadi bersih dan mulus. Semua perawatan dilakukannya untuk menyenangkan suaminya.
Mereka kehalam belakang, yang tembus langsung melihat pemandangan pabrik baja milik suami Sasha.
"Hidupmu luar biasa ya, Sha!"
"Kau seharusnya tahu kisahku, Mer. Tak direstui bahkan Sam ingin keluar dari rumah ini demi aku"
"Aku tahu. Kau melarangnya, kan" kata Merri berdiri menghadap pemandangan para pekerja yang mulai beristirahat makan siang.
"Iya. Lebih baik aku tidak bersamanya jika Sam harus meninggalkan orang tuanya. Aku bersabar selama 4 tahun. Aku tak ingin membuat hidup Sam kacau, Mer. Kalau memang kami dipersatukan Tuhan akan memberi jalan. Kau tahu, diakhir tahun ke 4 aku menunggu, dia melamarku. Orang tuanya setengah hati menyetujui. Rumah tangga kami tidak semulus yang kau lihat Mer. Aku dikucilkan selama 2 tahun menikah. Setelah putra kami ini lahir, barulah ibunya mau menyapaku. Intinya kita harus bersabar dalam hal apapun. Kau bagaimana, apa kau masih bersabar menunggu pangeran masa sekolah mu dulu?"
Merri tersenyum kepada Sasaha.
"Entahlah. Padahal selama 15 tahun aku tidak bertemu dengannya, 2 tahun lalu kami dipertemukan. Hanya 6 bulan aku merasakan kebahagian. Dia pergi lagi , Sha. Dengan alasan yang sama seperti waktu itu"
"Sudahlah, cari saja yang lain"
"Bagaimana bisa di usia kita yang gak muda lagi ini. Aku juga tidak tertarik mengikuti segala acara perjodohan"
"Ya, kalau begitu sabar saja. Akan ada orang yang menerimamu apa adanya"
Merri hanya tersenyum mendengar kata-kata Sasha itu.
"Oh ya, minggu lalu Papamu datang untuk membuat MOU dengan perusahaan baja milik kami"
"Oh ya...."
"Iya, kami juga membuat tim didalam MOU itu. Hari ini kami mengundang kepala timnya untuk makan siang bersama kita disini. Kepala timnya lumayan cakep loh, pekerja keras lagi. Setahun ini dia mampu menyelesaikan semua target perusahaan kami. Makanya Sam mengangkatnya jadi kepala tim. Aki harap kau membuka hatimu, dia masih lajang"
"Eh, jadi rencanamu mengundangku kesini untuk berkenalan dengan pria itu"
"Iya, hehehehe....maafkan aku, Mer. Minggu lalu Mamamu curhat masalahmu. Aku jadi gak tega melihat mamamu bersedih seperti itu. Makanya aku atur rencana ini. Dan mamamu setuju"
"Aku balik aja deh" Merri sebenarnya tidak suka acara seperti ini, dia merasa terjebak.
"Ayolah, Mer. Sekali ini aja. Kalau pria ini tidak membuatmu merasa deg-degan. Maka tidak ada lain kali dari ku. Cukup kali ini aja. Coba, ya!. Aku mohon"
Sasha mengatupkan kesepuluh jarinya memohon agar Merri tetap mengikuti makan siang yang sudaj direncanakannya seminggu yang lalu.
"Baiklah sekali ini saja. Jika ini tidak berhasil, berhenti mencampuri urusan asmaraku , ya!" Kata Merri masih kesal.
"Iya, iya aku janji. Bersiaplah bentar lagi mereka tiba. Pakai lipstikmu, Mer"
"Tidak mau" Merri masih cemberut.
Bagaimana bisa dia terjebak oleh rencana mama dan Sasha. Biasanya dia paling cepat tanggap jika dia sedang dijodoh-jodohkan. Kali ini, perjodohannya berjalan tanpa ada rasa aneh. Untuk kali ini Merri mengikuti saran Sasha.
Mereka kedapur menyiapkan makan siang yang masih tersisa didapur. Sebuah taman belakang menjadi tempat acara makan siang dan acara perjodohan itu.
Sebuah mobil jeep berwarna hitam memasuki gerbang rumah milik Sasha.
"Ayo masuk, anggap saja rumah sendiri" kata Sam kepada kepala tim proyek mereka.
"Terima Kasih pak"
"Sha.....Sasha. Kami sudah tiba, apa kau sudah menyediakan makan siang yang lezat" kata Sam yang setengah berteriak dari ruang tengah yang terdengar sampai kedapur.
"Iya, Sam" teriak Sasha "aku tinggal dulu, kau yang bawa sisanya. Aku harus menyambut tamu istimewa kita" kata Sasha menyikut manja Merri.
"Baiklah"
" Hai, Sam. Hai, Kepala Tim. Silahkan masuk, ayo aku antar kemeja makan dikebun belakang"
Sam dan Kepala Tim itu mengikuti langkah kaki Sasha menuju kebun belakang rumah mereka. Meja bundar dengan 4 kursi berwarna cokelat menyambut kedatangan tamu istimewa itu. Berbagai hidangan pembukan, menu utama dan penutup serta buah sudah tersaji dengan rapi.
"Tunggu sebentar, aku harus membantu temanku membawa minuman kita" kata Sasha berpamitan.
"Dia sudah datang" kata Sam kepada istrinya, Sasha mengerlingkan matanya. Dan Sam-pun tersenyum. Rencana mereka berhasil.
Sesampainya didapur, Merri masih berdiri menghadap jendela. Tanpa sadar minuman yang dibuatnya tumpah ruah. Merri melamun.
"Merri. Ada apa ini? Minumannya, tumpah. Bagaimana ini. Tamu istimewanya sudah datang. Aduh, kau melamun lagi"
"Eh, maafkan aku, Sha"
"Ya. Ampun Mer. Aku mohon sekali ini saja. Cobalah untuk tidak memikirkan pangeran masa lalumu itu. Cobalah pria yang sedang duduk disana"
Merri melihat punggung pria yang dimaksud Sasha.
"Baiklah"
"Oke...oke....mari kita bawa minuman ini. Mereka akan menunggu lama karena ini"
"Iya"
Merri membawa seteko minuman jus jeruk yang diperasnya sampai-sampai tumpah meluap keluar teko. Ketika mendekati meja itu, langkag Merri terhenti. Punggung yang dilihatnya dari kejauhan tadi tampaknya dia mengenalinya setelah mendekati meja makan itu. Benar saja, punggung itu tidak asing lagi.
"Kaisar" kata Merri lirih, membuat Sasha dan Sam terperanjat kaget.
Kaisar berbalik , menoleh kearah Merri.
"Merri"
Inikah sebuah takdir yang bernama kebetulan itu. Tapi, ini rencana perjodohan. Sasha memang tahu Merri mempunyai pangeran dimasa lalu. Akan tetapi Merri tidak pernah memberi tahu siapa nama pangeran itu kepada siapapun kecuali teman sekolahnya dahulu.
Merri masih mematung begitu juga Kaisar. Sam dan Sasha tidak menyangka bahwa mereka sudah saling kenal.
"Kalian sudah saling kenal?" Tanya Sasha kepada Kaisar.
Kaisar mengangguk.
"Baguslah kalau begitu. Sebaiknya kita makan dulu" ajak Sam yang sudah lapar.
Selama makan siang itu. Merri lebih banyak diam daripada harus berkata-kata. Hatinya, ya hatinya sudah tidak karuan lagi. Secepat mungkin Merri menghabiskan makanannya. Padahal makanan yang tersedia adalah makanan favorit Merri, tapi dia tidak berselara.
"Baiklah. Aku tinggal sebentar ya. Aku mau melihat pengeranku dulu" kata Sasha bangkit dari duduknya.
"Sha, pangeran masa lalu" kata Merri seketika itu juga.
Sasha menghentikan langkahnya. Melihat kearah Kaisar, dan Merri mengangguk.
"Astaga. Merri kau bisa bantu aku kan" Sasha langsung mengerti maksud dari Merri. Sasha menarik tangan Merri mengikutinya masuk kedalam rumah.
"Dia orangnya? Yang menolakmu dua kali itu. Kaisar?"
Merri mengangguk.
"Maafkan aku Mer. Maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu"
Merri menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tak apa-apa, Sha. Aku pulang ya"
Sasha tahu, perasaan Merri.
"Mer, maafkan aku ya"
"Iya. Baiklah, sampaikan salamku kepada putri Rara dan pangeran Ram serta suamimu. Aku pulang" sambil mencium pipi kanan dan pipi kiri Sasha. Merri meninggalkan ruangan itu.
Sasha mengantarkan sahabatnya itu sampai kedepan pintu rumah mereka. Disana sudah berdiri Kaisar, disebelah mobil Merri.
Melihat Kaisar berada disana, Merri mengurungkan langkahnya. Perlahan-lahan Merri mendekati mobilnya.
"Berikan kunci mobilnya padaku" kata Kaisar meminta kepada Merri.
Merri salah tingkah. Dia tidak bisa menahan rasanya saat ini. Daripada dia harus tersedu lagi, sebaiknya dia mengikuti maunya Kaisar.
Kunci mobil milik Merri diberikan oleh Merri. Kaisar membuka pintu mobil dan menyilahkan Merri duduk disebelah kemudi. Kaisar permisi kepada kedua bosnya itu. Meminta izin hari ini mengantar Merri pulang.
"Kita mau kemana?" Tanya Merri bingung.
"Luala Kheil, telah membunuh Pramiza. Kasihan Nermosu sendirian dikastil yang mereka bangun diatas bukit" kata Kaisar mengingat kembali kisah dua sahabat dalam cerita Laula Kheil yang menjadi penulis favorit Merri.
"Kau sendiri yang bilang, kalau Laula Kheil itu Jahat"
"Tapi, masih ada Franca yang menemani Nemosu"
"Franca?"
"Buku kelima dari serial Laula Kheil. Aku yakin itu ada sangkut pautnya untuk cerita Yonakza Hill, apa kau tidak membaca buku ke 6 seri Bombom Rock"
"Ya aku membacanya. Aku juga berpikir kesitu. Ternyata pemikiran kita sama"
"Hahahahahha....setelah hampir 17 tahun berdebat baru kali ini kita memiliki pemikiran yang sama" kata Kaisar yang membuat Merri memandang pria yang sedang menyetir mobilnya itu.
"Kita mau kemana?" Tanya Merri heran karena rute jalan pulang yang berbeda.
"Ke kastil Versius diatas bukit Yonakza menikmati bebatuan Bombom. Aku menemukannya setahun yang lalu. Dan aku memikirkanmu"
Sekali lagi Merri hanya bisa memandang Kaisar. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi pada Kaisar selama dua tahun ini.
" Bagaimana kabar nenek dan Prisa?" Tanya Merri. Agak lama Kaisar menjawab.
"Mereka sudah meninggal. 2 bulan setelah Prisa keluar dari rumah sakit. Dia meninggal dunia. Dan 4 bulan berikutnya nenek juga menyusul"
Mata Merri berkaca-kaca.
"Jangan berbohong" kata Merri tak percaya.
"Aku tidak berbohong. Cahayaku sudah meredup, Mer. Makanya aku pergi menjauh dari kota itu. Akhirnya aku menemukan bukit indah itu dan terus memikirkanmu"
"Kaisar. Kau tidak sedang mengarang cerita?"
"Tidak"
Sampailah mereka disebuah bukit. Diatas bukit itu ada sebuah tempat beratap tanpa dinding dan dibawahnya bertabur batu-batu nisan.
"Aku mengajakmu kemakam mereka, agar kau percaya"
Yang dimaksud Kastil Yonakza adalah tempat menunggu orang-orang sedang berziarah. Sedang kan Bombom Rock adalah batu-batu nisan yang sama seperti di novel bombom rock. Batu nisan para pahlawan yang rela berkorban untuk sang raja.
"Penuhilah permintaan nenekku, Mer"
Kata Kaisar ketika mereka sampai dipusara Nenek dan adiknya itu.
Merri menangis ketika harus menemukan pusara itu. Dua orang yang menjadi sayap Kaisar telah patah. Dia membutuhkan sayap baru, Merrilah orangnya.
Merri masih menahan isak tangisnya. Terharu bahkan sedih melihat apa yang terjadi dengan Kaisar. Hidupnya penuh kesedihan. Setegar apa Kaisar ini.
Sore itu, sayap baru telah mengepakkan diudara. Diatas bukit Yoknaza diantara bebatuan bombom rock. Senja itu tenggelam dalam kesabaran yang pasti.
"Narmosu tidak sendirian lagi" kata Kaisar lirih memandang senja yang mengoranye.

Kamis, 11 Mei 2017

Shadow

"Tak ad yang bisa menarikku kembali kecuali bayangan itu".
Titik-titik hujan yang masih tersisa dibibir atap rumah pagi ini membuat hawa terasa begitu dingin dan malas untuk beranjak. Sepanjang malam hujan mengguyur kota yang tak pernah tidur.
Seonggok daging yang masih bermalas-malasan terbaring berselimut hawa kedinginan. Dia tak ingin bergerak sesentipun dari tempat tidurnya. Libur, tak boleh ada yang menganggu dirinya berasama kekasih hatinya yang bernama 'tempat tidur'. Tak satupun, kecuali bayangan itu.
Kembali bayangan itu membuat matanya terbuka. Menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru berbintik-bintik putih.
Dia menghela napasnya lembut, mengerjap-ngerjapkan matanya dan selimut itu kembali ditarik menutupi seluruh tubuhnya.
Frans, bayangan itu bernama Frans.
"Aku janji , tidak akan meninggalkanmu selamanya" kata Frans kepada Laras sebelum kehilangan dirinya. Janji manis Frans masih membayangi Laras sampai detik ini juga.
Janji palsu berbalut kemanisan bibir Frans yang teramat lembut itu membuat Laras begitu percaya, hingga pada akhirnya tubuhnya bergetar hebat menahan amarahnya. Matanya memerah menahan tangis perih terluka. Frans menghilang tanpa kabar. Seperti petir ditengah siang yang cerah. Tak dapat dipercaya. Kini Laras sendiri.
Sejenak lamunan kalimat manis itu membuat Laras muak. Dia menyibakkan selimutnya dan pergi kedapur menyiapkan kopi pagi ini. Jadwal hari ini memang kosong. Karena Laras hanya ingin dirumah saja, kecuali bayangan itu memanggil.
Setelah secangkir kopi terseduh, Laras ke meja kerjanya. Menyalakan laptop dan membuka email yang masuk. Jemari Laras terhenti, matanya membesar. Sepagi ini dia tidak mungkin dia sedang bermimpi. Sebuah kotak masuk di dalam emailnya yang berkelap kelip. Laras mengklik kotak masuk tersebut dan membacanya.
"Aku tidak akan meninggalkanmu selamanya"
Frans.
Ini sudah hampir setahun yang lalu, janji manis itu terucap. Namun, kali ini janji itu tertulis dan masuk kedalam emailnya.
Laras meneguk kopi hangatnya. Mencoba berpikir, apakah ini spam atau hanya halusinasi. Seharusnya tanggal ini menjadi tanggal sakral bagi hubungan mereka. Hubungan yang meranjak satu tingkat. Tapi kenyataannya hubungan itu jatuh kejurang yang paling dasar.
"Kau suka yang warna apa?" Tanya Frans disebuah toko perhiasan
"Aku suka pink" jawab Laras menunjuk batu shapire berwarna pink berkilau
"Bentuknya yang mana?" Frans kembali bertanya.
"Yang ini saja. Oh ya, jangan lupa nama kita berdua diukir didalamnya" Usul Laras dengan memasang wajah gembira.
"Iya..iya" Frans juga begitu bergembira.
Laras memandang dalam kemata Frans. Sikap ini menunjukkan bahwa Frans serius terhadap dirinya. Hati Laras saat itu berbunga-bunga. Bahkan rona merah dipipinya terlihat jelas seperti tomat merah yang manis. Sebuah cincin yang mereka pesan menjadi tanda keseriusan dihubungan mereka.
Tangan Laras masih diruang kendali keyboard laptopnya. Tak bergerak. Masih memikirkan kalimat apa yang bisa menuangkan perasaannya saat ini.
Diam, dan terus diam. Kembali bayangan itu memanggil-manggil namanya.
Terdengar suara ringtone ponsel milik Laras berbunyi. Segera Laras bangkit dari kursi kerjanya dan menuju kamar. Mencari ponselnya yang entah dimana berada. Ringtone itu berhenti. Tak lama sebelum ditemukan berbunyi kembali. Akhirnya Laras menemukan ponselnya berada dibawah tempat tidurnya.
Kevin sebuah nama yang tertera dilayar handphone tersebut.
"Hai, sayang. Apa kau baru bangun tidur?" Suara renyah Kevin selalu membuat pagi Laras begitu bersemangat.
"Hai, iya" jawab Laras duduk dipinggir tempat tidurnya dengan sedikit rasa getir.
"Hari ini kau ada jadwal?"
"Em..." Laras berpikir sejenak.
"Kau sibuk?" Tanya Kevin.
"Tidak"
"Baguslah. Sore nanti aku akan menjemputmu. Kita akan bertemu orang tuaku"
Laras terdiam, keinginan Kevin itu membuat rongga nafasnya tercekat. Ada apa hari ini?semua begitu membuatnya terasa sulit bernafas. Email dari Frans yang setahun menghilang. Dan keinginan Kevin yang ingin mempertemukan dirinya dengan kedua orang tuanya.
Ini terlalu cepat, sangat cepat sekali. Belum lagi Laras memberi jawaban. Kevin kembali mengambil alih pembicaraan.
"Kau tak perlu gugup. Hanya pertemuan biasa. Ibuku ingin sekali bertemu denganmu"
Ibu, Laras tak bisa menolak mendengar kata ibu. Apalagi Ibu Kevin yang baru saja sembuh dari penyakit tuanya itu. Laras tak ingin melihat kesedihan atas ketidaksetujuannya atas rencana Kevin.
"Baiklah. Jam berapa kau akan menjemputku?" Tanya Laras diantara perasaan yang tak tahu apa namanya.
"Jam 5. Kita akan makan malam bersama dirumah orang tuaku"
"Baiklah" jawab Laras sedikit menahan rasa kelu dihati dan pikirannya.
"Laras" Panggil Kevin dengan suara lembutnya.
"Ya"
"Aku mencintaimu" kata-kata Kevin membuat Laras tersadar bahwa dia sedang bersama Kevin saat ini.
"Aku juga" tapi ada perasaan mengganjal dihatinya.
Dan telepon itupun terputus. Laras menghembuskan nafasnya pelan, ada kelegaan karena percakapan itupun selesai diwaktu yang amat terasa sempit ini. Kembali menatap langit-langit kamarnya, pikiran Laras penuh pertanyaan. Apakah disana ada jawaban untuk kesesakannya hari ini.
Laras kembali teringat email dari Frans. Segera dia berlari keruang kerjanya. Dan melihat email dari Frans. Apa yang harus dibalasnya?. Namun, tangannya sudah mengetik.
"Apakah kau bahagia?"
Ini kalimat yang mencurahkan segala isi hatinya.
Bahagia, apakah Frans sedang bahagia? Jika Frans menjawab 'ya' maka Laras tak perlu menghubunginya lagi. Frans bahkan bahagia tanpa dirinya, untuk apa Laras bersamanya lagi. Frans tak membutuhkan kebahagiaan dari Laras. Namun, jika jawaban yang terbalas itu adalah 'tidak' maka akan ada cerita baru dibalik cerita yang sudah tersusun rapi selama ini.
Pukul 4.30 sore, Laras selesai menyiapkan dirinya untuk pergi kerumah orang tua Kevin. Sebelum melangkah keluar, kembali Laras melihat emailnya yang belum terbalas juga dan Laras merasa resah. Masih ada waktu setengah jam untuk berpikir dan meneruskan cerita apa berikutnya. Waktu yang lama dan sangat cepat berlalu. Laras melihat layar ponselnya. Ingin sekali dia menulis pesan singkat bahwa dia ingin membatalkan pertemuan hari ini dengan orang tua Kevin. Hanya karena kegundahan hatinya yang masih berharap balasan dari Frans.
Balasan, sebenarnya tidak ada balasan yang sesegara itu datangnya. Semua balasan itu akan sangat rumit datangnya. Dimenit terakhir misalnya, dan dimenit itu juga Kevin muncul untuk menjemput Laras.
Senyum Kevin mengembang melihat kedatangan Laras yang keluar dari apartemennya. Laras sangat cantik hari ini. Memakai gaun berwarna merah maroon dan rambut panjang hitamnya tergerai rapi.
"Kau cantik sekali" puji Kevin
"Terima kasih" Laras tersipu malu.
Dan balasan email dari Franspun masuk kedalam email milik Laras. Tepat didetik terakhir keputusasaan. Langkah yang terpilih tak mungkin mengganti cerita ini. Akan tetapi, kecuali bayangan itu kembali memanggil.
Sesampai dirumah orang tuanya Kevin. Laras disambut hangat oleh kedua orang tua Kevin. Mereka tipikal orang tua yang sangat ramah dan sopan. Ibu kevin mempersilahkan Laras masuk dan duduk. Laras sedikit canggung. Ini untuk pertama kalinya dia bertemu kedua orang tua Kevin, kekasihya saat ini. Keadaan canggung itu langsung diredakan oleh ayah Kevin yang sangat pintar mengajak ngobrol, sehingga membuat Laras merasakan kehangatan sebuah keluarga yang harmonis. Kevin beruntung masih memiliki keluarga yang utuh dan bahagia.
"Ayo silahkan minum jusnya" kata Ibu Kevin yang membawa senampan gelas dan seteko jus jeruk serta sepiring cookis cokelat.
"Iya, tante" kata Laras mengambil gelas jusnya.
"Sebentar, ya" Ibu Kevin berlalu.
"Aku suka suasana dirumah ini, om. Nyaman sekali" kata Laras basa basi. Untuk menghilangkan kecanggungannya. Walaupun hanya kata basi basi, tapi Laras memang merasakan kenyamanan dirumah itu.
"Ah, jangan suka memuji Laras. Tapi, akan lebih nyaman lagi jika kau benar-benar tinggal disini bersama kami" kata Ayah Kevin tersenyum senang.
Sontak mata Laras mengarah ke Kevin, namun Kevin hanya menganggkat bahunya pelan sambil kebingungan harus berbuat apa. Karena pernyataan Ayahnya begitu blak-blakan.
Keputusan cerita baru akan dimulai. Laras hanya tersenyum mendegar perkataan Ayah Kevin.
Sore menjelang malam itu menjadi sebuah kebahagian baru bagi Laras. Menghabiskan waktu bersama orang-orang yang menerima keberadaannya. Sore itu ibu Kevin membuka album lama milik Kevin. Terlihat Kevin kecil sampai meranjak dewasa , dia memang begitu tampan sekali. Seusai melihat foto album. Ibu kevin mengajak Laras untuk membantunya memasak makan malam didapur.
Suasana yang diinginkannya setahun yang lalu.
"Aku ingin bertemu ibumu, Frans" ajak Laras di bukit berbintang
"Untuk apa?" Tanya Frans yang terkejut mendengar keinginan Laras itu
"Aku ingin membuat makan malam untukmu bersamanya" jawab Laras manja.
"Hahahaha, jika kau inginkan itu minggu depan aku akan mengajakmu kerumahku" tawa atas jawaban itu adalah menahan rasa yang tidak ingin ditunjukkan Frans kepada Laras. Rasa belum siap mempertemukan Laras dengan Ibunya. Belum saatnya.
"Benarkah?" Laras senang sekali.
Dan minggu depan itu tidaklah pernah terwujud.
Setelah berpamitan pulang. Ibu Kevin memeluk Laras. Sambil berbisik.
"Kevin itu laki-laki yang rapuh. Tante mohon jaga dia untuk kami ya"
Hati Laras terhenyuk seketika. Airmatanya hendak keluar.
"Iya, tante" Laras mengangguk-angguk pelan.
"Terima Kasih"
Dan pelukan hangat itu menjadi beban teramat berat untuk Laras ketika sampai diapartemennya dan melihat email masuk dari Frans.
Mata Laras memerah dan mengeluarkan airmata membaca isi email dari Frans yang sangat singkat itu.
"Aku tidak bahagia"
Terhenyuk perih hati Laras. Kabar menghilangnya Frans sirna terbakar oleh tulisan singkat itu. Kevin, lenyap sementara.
Laras membalas.
"Kau dimana?aku ingin bertemu denganmu"
Hasrat itu menggebu-gebu. Getaran yang hilang itu muncul kembali. Ini gila, bahkan Kevin sampai sejauh ini belum bisa membuat getaran yang sama seperti ini. Rasanya membuncah sampai kelangit yang tinggi. Tak terbatas oleh ruang dan waktu. Sungguh Laras lupa pelukan hangat dan janji kepada ibunya Kevin.
"Aku sudah kembali. Malam ini aku ingin bertemu denganmu. Bisakah?"
Balasan cepat itu menandakan bahwa Frans sedang online juga.
"Bisa. Di kafe tempat biasa kita bertemu dan dinomor meja yang sama"
"Baiklah"
Laras segera mengeluarkan mobilnya dan menuju ke kafe yang biasa mereka bertemu setahun yang lalu.
24, nomor meja yang selalu mereka tempati menjadi saksi keindahan cerita mereka dahulu. Ya, dahulu begitu indah.
Laras sampai di kafe terlebih dahulu, dan memesan segelas fruite punch dan cappucino latte serta sepiring kentang goreng. Menu favorit mereka berdua.
Sebelum menu favorit mereka datang, sudah berdiri sesosok Frans dihadapan Laras.
Mata Laras tak berkedip, karena tak ingin kehilangan momen yang paling berharga ini. Setahun berlalu tanpa kabar, Frans tampak berbeda. Dia begitu menyedihkan. Tubuhnya yang berisi kini kurus. Wajahnya yang bersih kini berewokan. Mata yang bersemangat itu kini menjadi mata sayu penuh penderitaan. Ada apa dengan Frans?
Rasanya Laras ingin memeluk Frans saat itu juga, namun karena begitu banyak pertanyaan yang membuatnya masih terduduk dikursinya. Dan menu favorit mereka datang.
Mata Frans yang sayu menitiskan airmata.
"Maaf"
"Maaf"
"Maaf"
"Maaf"
Frans mengoceh kata maaf yang membuat hati Laras tersiksa. Airmata Laras mengalir tak terbendung lagi. Seseorang yang dicintainya dan seseorang yang mengecewakannya sedang berada dihadapannya sekarang. Pertanyaan selama ini menganggu pikirannya akan diluapkannya malam ini.
"Apa yang terjadi?" Tanya Laras.
Frans terdiam, dia menggenggam kedua tangannya sendiri erat-erat. Ada kepiluan disana. Entah dimulai darimana Frans harus bercerita.
"Ceritalah" kata Laras menggenggam tangan Frans yang membuat airamata Frans mengalir kembali.
"Dimana kau selama ini?" Tanya Laras memasang wajah kerinduan yang terdalam.
Frans menggigit bibir bawahnya. Ada keragu menyelimuti diri Frans.
"Tak masalah jika kau tak ingin bercerita malam ini" jawab Laras kembali memasang senyum menunggunya itu.
Malam yang panjang didetik-detik antara keheningan mereka.
"Ayo pulang. Kafenya mau tutup" Ajak Laras. "Aku akan mengantarmu pulang" kata Laras.
Frans yang masih diam itupun mengikuti Laras menuju parkiran mobil. Dan saat itulah suara manis itu terdengar sangat berat sekali dan sedikit bergetar.
"Kau masih Laras yang kukenal. Wanita yang tegar"
Laras berbalik arah, melihat Frans menunduk.
"Terima kasih, Frans. Ayo naik."
Laras menyalakan mesin mobilnya. Dan menuju keluar kafe.
"Aku ingin berkeliling kota"kata Frans.
"Baiklah. Aku akan penuhi, jika kau mau cerita apa yang terjadi"
Frans mengangguk.
Setahun yang lalu, sehari janji manis itu terucap. Petaka itupun terjadi. Dirumah Frans yang tinggal bersama ibunya yang memiliki gangguan jiwa mengamuk hebat. Ibunya yang hendak bunuh diri dihentikan oleh Frans, namun tragisnya. Bukan pisau yang terlempar jauh, akan tetapi ibunya yang terhempas jauh membentur pintu. Keributan itu terdengar oleh warga. Karena selama ini Frans menyembunyikan bahwa ibunya mengalami gangguan jiwa. Warga sekitar melihat akhir kejadian itu. Semua menuduh Frans ingin membunuh ibunya. Beberapa warga menolong ibunya yang tak sadarkan diri. Hempasan itu membawa Frans ke bui saat itu juga.
Tubuhnya meringkuk kedinginan didalam sel penjara. Ibunya tak sadarkan diri juga. Hingga putusan penjara selama satu tahunpun terucapkan.
Laras, pikirannya ke Laras. Apakah Frans perlu memberitahu Laras. Hati kecilnya berkata "tidak perlu". Laras akan sedih mendengar kisah ini. Laras akan kecewa jika mendengarkan semuanya. Frans memilih diam, dan siap untuk dipersalahkan.
Ketika cerita itu berakhir, airmata Laras tak henti-hentinya mengalir. Bayangan yang selama ini Dia kesalkan , bayangan yang selama ini membuatnya kecewa ternyata ada perih yang sedang menimpanya.
"Kau tega, Frans"
"Aku lebih baik tega daripada melihatmu nyata tersiksa dihadapanku"
"Aku sudah tersiksa. Dan itu sungguh sakit"
"Aku tahu" jawab Frans pelan
"Tapi, tapi mengapa kau tak memberi tahuku!?" Tanya Laras sedikit kesal.
"Laras, aku tak ingin menambah beban dihidupmu. Aku tak ingin menambah pikiranmu" jawab Frans yang bingung apa yang harus dikatakannya. Frans sebenarnya malu untuk memberitahu Laras.
"Kau sudah menambah beban hidupku ketika kau tak ada kabar. Kau sudah menambah pikiranku ketika kau menghilang dan melupakan janji manismu" Laras kesal, tapi diantara rasa kesal itu terbersit rasa iba yang teramat dalam.
"Maafkan aku" Frans kembali menunduk.
Laras mengehentikan kemudinya. Mereka sudah sampai di depan sebuah tempat. Bukit berbintang. Tempat pertama kali mereka bertemu dalam acara amal dua tahun yang lalu.
Mata Laras tak berkedip melihat sosok Frans yang sedang berpidato diatas panggung. Frans yang dulu begitu bersemangat mengeluarkan aura-aura positif. Dan pandangan Laras itu mendapatkan balasan. Frans datang kemeja Laras dan mereka mulai berbincang-bincang. Sampai pada akhirnya sebuah cerita barupun dimulai.
Cerita yang menghabiskan tenaga mereka karena begitu bahagia. Sungguh cerita yang mereka rangkai melebihi dogeng sebelum tidur. Frans begitu romantis, dan Laras sangat menyukai pria seperti itu. Frans yang begitu rendah hati dan pekerja keras membuat hidup Laras menjadi begitu sempurna.
"Kau ingat saat itu, Frans" tanya Laras menatap bukit berbintang dengan pandangan kosongnya.
"Ya"
"Kau begitu keren. Aku bergumam dalam hati bisa mengenalmu. Ternyata alam mendegarkan bisikan hatiku. Kita saling mengenal sekarang"
"Ya"
"Terima kasih, Frans. Tapi,..."
Laras terhenti, lidahnya tercekat. Sosok Kevin melintas dipikirannya. Pelukan hangat ibunya dan janji itu melayang bebas dipikirannya.
Sebelum Laras melanjutkan kalimatnya.
"Aku ingin memulai kembali denganmu"
Kali ini Laras benar-benar kekurangan oksigen. Kemampuan berpikirnya menurun. Sesak didadanya tercampur aduk dengan perasaan bersalahnya. Apa yang harus Dia lakukan.
"Seperti janjiku. Aku tidak akan meninggalkanmu selamanya. Dan besok aku akan mempertemukanmu dengan ibuku"
Ibu, kembali kata itu membuat Laras begitu lemah sekali. Dan Laras mengangguk.
Keesokan paginya, Laras minta izin cuti karena ada kepentingan mendadak. Urusan keluarga. Bosnya memberikan izin kepada karyawan kesayangannya itu.
Laras menuju rumah sakit jiwa yang berada di pinggir kota. Bersama Frans, mereka menjenguk ibu Frans yang sedang terbaring dalam lamunan hampanya.
Saat itu juga Laras mengirimkan pesan singkat untuk Kevin.
"Kevin sampaikan maafku pada ibumu. Aku tak mampu memenuhi janjinya kemarin malam. Besok malam kita bertemu, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu. Terima Kasih Kevin. I Love You"
Pagi itu untuk pertama kalinya Laras memegang tangan ibunya Frans yang dingin.
Keputusan Laras sudah bulat, ada orang yang benar-benar membutuhkannya saat ini. Tangan dingin itu perlu kehangatan.

gherimis kecil -120517, 1:45 am-

Shadow

"Tak ad yang bisa menarikku kembali kecuali bayangan itu".
Titik-titik hujan yang masih tersisa dibibir atap rumah pagi ini membuat hawa terasa begitu dingin dan malas untuk beranjak. Sepanjang malam hujan mengguyur kota yang tak pernah tidur.
Seonggok daging yang masih bermalas-malasan terbaring berselimut hawa kedinginan. Dia tak ingin bergerak sesentipun dari tempat tidurnya. Libur, tak boleh ada yang menganggu dirinya berasama kekasih hatinya yang bernama 'tempat tidur'. Tak satupun, kecuali bayangan itu.
Kembali bayangan itu membuat matanya terbuka. Menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru berbintik-bintik putih.
Dia menghela napasnya lembut, mengerjap-ngerjapkan matanya dan selimut itu kembali ditarik menutupi seluruh tubuhnya.
Frans, bayangan itu bernama Frans.
"Aku janji , tidak akan meninggalkanmu selamanya" kata Frans kepada Laras sebelum kehilangan dirinya. Janji manis Frans masih membayangi Laras sampai detik ini juga.
Janji palsu berbalut kemanisan bibir Frans yang teramat lembut itu membuat Laras begitu percaya, hingga pada akhirnya tubuhnya bergetar hebat menahan amarahnya. Matanya memerah menahan tangis perih terluka. Frans menghilang tanpa kabar. Seperti petir ditengah siang yang cerah. Tak dapat dipercaya. Kini Laras sendiri.
Sejenak lamunan kalimat manis itu membuat Laras muak. Dia menyibakkan selimutnya dan pergi kedapur menyiapkan kopi pagi ini. Jadwal hari ini memang kosong. Karena Laras hanya ingin dirumah saja, kecuali bayangan itu memanggil.
Setelah secangkir kopi terseduh, Laras ke meja kerjanya. Menyalakan laptop dan membuka email yang masuk. Jemari Laras terhenti, matanya membesar. Sepagi ini dia tidak mungkin dia sedang bermimpi. Sebuah kotak masuk di dalam emailnya yang berkelap kelip. Laras mengklik kotak masuk tersebut dan membacanya.
"Aku tidak akan meninggalkanmu selamanya"
Frans.
Ini sudah hampir setahun yang lalu, janji manis itu terucap. Namun, kali ini janji itu tertulis dan masuk kedalam emailnya.
Laras meneguk kopi hangatnya. Mencoba berpikir, apakah ini spam atau hanya halusinasi. Seharusnya tanggal ini menjadi tanggal sakral bagi hubungan mereka. Hubungan yang meranjak satu tingkat. Tapi kenyataannya hubungan itu jatuh kejurang yang paling dasar.
"Kau suka yang warna apa?" Tanya Frans disebuah toko perhiasan
"Aku suka pink" jawab Laras menunjuk batu shapire berwarna pink berkilau
"Bentuknya yang mana?" Frans kembali bertanya.
"Yang ini saja. Oh ya, jangan lupa nama kita berdua diukir didalamnya" Usul Laras dengan memasang wajah gembira.
"Iya..iya" Frans juga begitu bergembira.
Laras memandang dalam kemata Frans. Sikap ini menunjukkan bahwa Frans serius terhadap dirinya. Hati Laras saat itu berbunga-bunga. Bahkan rona merah dipipinya terlihat jelas seperti tomat merah yang manis. Sebuah cincin yang mereka pesan menjadi tanda keseriusan dihubungan mereka.
Tangan Laras masih diruang kendali keyboard laptopnya. Tak bergerak. Masih memikirkan kalimat apa yang bisa menuangkan perasaannya saat ini.
Diam, dan terus diam. Kembali bayangan itu memanggil-manggil namanya.
Terdengar suara ringtone ponsel milik Laras berbunyi. Segera Laras bangkit dari kursi kerjanya dan menuju kamar. Mencari ponselnya yang entah dimana berada. Ringtone itu berhenti. Tak lama sebelum ditemukan berbunyi kembali. Akhirnya Laras menemukan ponselnya berada dibawah tempat tidurnya.
Kevin sebuah nama yang tertera dilayar handphone tersebut.
"Hai, sayang. Apa kau baru bangun tidur?" Suara renyah Kevin selalu membuat pagi Laras begitu bersemangat.
"Hai, iya" jawab Laras duduk dipinggir tempat tidurnya dengan sedikit rasa getir.
"Hari ini kau ada jadwal?"
"Em..." Laras berpikir sejenak.
"Kau sibuk?" Tanya Kevin.
"Tidak"
"Baguslah. Sore nanti aku akan menjemputmu. Kita akan bertemu orang tuaku"
Laras terdiam, keinginan Kevin itu membuat rongga nafasnya tercekat. Ada apa hari ini?semua begitu membuatnya terasa sulit bernafas. Email dari Frans yang setahun menghilang. Dan keinginan Kevin yang ingin mempertemukan dirinya dengan kedua orang tuanya.
Ini terlalu cepat, sangat cepat sekali. Belum lagi Laras memberi jawaban. Kevin kembali mengambil alih pembicaraan.
"Kau tak perlu gugup. Hanya pertemuan biasa. Ibuku ingin sekali bertemu denganmu"
Ibu, Laras tak bisa menolak mendengar kata ibu. Apalagi Ibu Kevin yang baru saja sembuh dari penyakit tuanya itu. Laras tak ingin melihat kesedihan atas ketidaksetujuannya atas rencana Kevin.
"Baiklah. Jam berapa kau akan menjemputku?" Tanya Laras diantara perasaan yang tak tahu apa namanya.
"Jam 5. Kita akan malam bersama orang tuaku dirumah mereka"
"Baiklah"
"Laras" Panggil Kevin dengan lembut
"Ya"
"Aku mencintaimu" kata-kata Kevin membuat Laras tersadar bahwa dia sedang bersama Kevin saat ini.
"Aku juga" tapi ada perasaan mengganjal dihatinya.
Dan telepon itupun terputus. Laras menghembuskan nafasnya pelan. Kembali menatap langit-langit kamaranya. Apakah disana ada jawaban untuk kesesakan hari ini.
Laras teringat emai dari Frans. Segera dia berlari keruang kerjanya. Dan melihat email dari Frans. Apa yang harus dibalasnya?. Namun, tangannya sudah mengetik.
"Apakah kau bahagia?"
Ini kalimat yang mencurahkan segala isi hatinya.
Bahagia, apakah Frans sedang bahagia? Jika Frans menjawab 'ya' maka Laras tak perlu menghubunginya lagi. Fras bahkan bahagia tanpa dirinya. Namun, jawaban yang terbalas itu adalah 'tidak' maka akan ada cerita baru dibalik cerita yang sudah tersusun rapi ini.
Pukul 4.30 sore, Laras selesai menyiapkan dirinya untuk pergi kerumah orang tua Kevin. Sebelum melangkah keluar, kembali Laras melihat emailnya yang belum terbalas juga. Masih ada waktu setengah jam untuk berpikir dan meneruskan cerita berikutnya. Waktu yang lama dan sangat cepat berlalu. Laras melihat layar ponselnya. Ingin sekali dia menulis pesan singkat bahwa dia ingin membatalkan pertemuan hari ini dengan orang tua Kevin. Hanya karena kegundahan hatinya yang masih berharap balasan dari Frans.
Balasan, sebenarnya tidak ada balasan yang sesegara itu datangnya. Semua balasan itu akan sangat rumit datangnya. Dimenit terakhir misalnya, dan dimenit itu juga Kevin muncul untuk menjemput Laras.
Senyum Kevin mengembang melihat kedatangan Laras yang keluar dari apartemennya. Laras sangat cantik hari ini. Memakai gaun berwarna merah maroon dan rambut hitamnya digerai.
"Kau cantik sekali" puji Kevin
"Terima kasih" Laras tersipu malu.
Dan balasan Franspun masuk kedalam email Laras. Tepat didetik terakhir keputusasaan. Langkah yang terpilih tak mungkin mengganti cerita ini. Akan tetapi, kecuali bayangan itu kembali memanggil.
Sesampai dirumah orang tuanya Kevin. Laras disambut hangat oleh kedua orang tua Kevin. Mereka tipikal orang tua yang sangat ramah dan sopan. Ibu kevin mempersilahkan Laras masuk dan duduk. Laras sedikit canggung. Ini untuk pertama kalinya dia bertemu kedua orang tua Kevin, kekasihya saat ini. Keadaan canggung itu langsung diredakan oleh ayah Kevin yang sangat pintar mengajak ngobrol, sehingga membuat Laras merasakan kehangatan sebuah keluarga yang harmonis.
"Ayo silahkan minum jusnya" kata Ibu Kevin yang membawa senampan gelas dan seteko jus jeruk serta sepiring cookis cokelat.
"Iya, tante" kata Laras mengambil gelas jusnya.
"Sebentar, ya" Ibu Kevin berlalu.
"Aku suka suasana dirumah ini, om. Nyaman sekali" kata Laras basa basi. Untuk menghilangkan kecanggungannya.
"Ah, jangan suka memuji Laras. Tapi, akan lebih nyaman lagi jika kau benar-benar tinggal disini bersama kami" kata Ayah Kevin tersenyum senang.
Mata Laras mengarah ke Kevin, namun Kevin hanya menganggkat bahunya pelan.
Keputusan cerita baru akan dimulai. Laras hanya tersenyum mendegar perkataan Ayah Kevin.
Sore menjelang malam itu menjadi sebuah kebahagian baru bagi Laras. Menghabiskan waktu bersama orang-orang yang menerima keberadaannya. Sore itu ibu Kevin membuka album lama milik Kevin. Terlihat Kevin kecil sampai meranjak dewasa , dia memang begitu tampan sekali. Seusai melihat foto album. Ibu kevin mengajak Laras untuk mbantunya memasak makan malam didapur.
Suasana yang diinginkannya setahun yang lalu.
"Aku ingin bertemu ibumu, Frans"
"Untuk apa?"
"Aku ingin membuat makan malam untukmu bersamanya"
"Hahahaha, jika kau inginkan itu minggu depan aku akan mengajakmu kerumahku"
"Benarkah?" Laras senang sekali.
Dan minggu depan itu tidaklah pernah terwujud.
Setelah berpamitan pulang. Ibu Kevin memeluk Laras. Sambil berbisik.
"Kevin itu laki-laki yang rapuh. Tante mohon jaga dia untuk kami ya"
Hati Laras terhenyuk seketika. Airmatanya hendak keluar.
"Iya, tante" Laras mengangguk-angguk pelan.
"Terima Kasih"
Dan pelukan hangat itu menjadi beban teramat berat untuk Laras ketika sampai diapartemennya dan melihat email masuk dari Frans.
Mata Laras memerah dan mengeluarkan airmata membaca isi email dari Frans yang sangat singkat itu.
"Aku tidak bahagia"
Terhenyuk perih hati Laras. Kabar menghilangnya Frans sirna terbakar oleh tulisan singkat itu. Kevin, lenyap sementara.
Laras membalas.
"Kau dimana?aku ingin bertemu denganmu"
Hasrat itu menggebu-gebu. Getaran yang hilang itu muncul kembali. Ini gila, bahkan Kevin sampai sejauh ini belum bisa memmbuat getaran yang sama seperti ini. Rasanya membuncah sampai kelangit yang tinggi. Tak terbatas oleh ruang dan waktu. Sungguh Laras lupa pelukan hangat dan janji kepada ibunya Kevin.
"Aku sudah kembali. Malam ini aku ingin bertemu denganmu. Bisakah?"
Balasan cepat itu menandakan bahwa Frans sedang online juga.
"Bisa. Di kafe tempat biasa kita bertemu dan dinomor meja yang sama"
"Baiklah"
Laras segera mengeluarkan mobilnya dan menuju ke kafe yang biasa mereka bertemu setahun yang lalu.
24, nomor meja yang selalu mereka tempati menjadi saksi keindahan cerita mereka dahulu. Ya, dahulu begitu indah.
Laras sampai terlebih dahulu, dan memesan segelas fruite punch dan cappucino latte serta sepiring kentang goreng. Menu favorit mereka berdua.
Sebelum menu favorit mereka datang, sudah berdiri sesosok Frans dihadapan Laras.
Mata Laras tak berkedip, karena tak ingin kehilangan momen yang paling berharga ini. Setahun berlalu tanpa kabar, Frans tampak berbeda. Dia begitu menyedihkan. Tubuhnya yang berisi kini kurus. Wajahnya yang bersih kini berewokan. Ada ap dengan Frans?
Rasanya Laras ingin memeluk Frans saat itu, namun karena begitu banyak pertanyaan yang membuatnya masih terduduk dikursinya. Dan menu favorit mereka datang.
Mata Frans yang sayu menitiskan airmata.
"Maaf"
"Maaf"
"Maaf"
"Maaf"
Frans mengoceh kata maaf yang membuat hati Laras tersiksa. Airmata Laras mengalir tak terbendung lagi. Seseorang yang dicintainya dan seseorang yang mengecewakannya sedang berada dihadapannya sekarang. Pertanyaan selama ini menganggu pikirannya akan diluapkannya malam ini.
"Apa yang terjadi?" Tanya Laras.
Frans terdiam, dia menggenggam tangannya erat-erat. Ada kepiluan disana. Entah harus dimulai darimana Frans harus bercerita.
"Ceritalah" kata Laras menggenggam tangan Frans yang membuat airamata Frans mengalir kembali.
"Dimana kau selama ini?" Tanya Laras memasang wajah kerinduan yang terdalam.
Frans menggigit bibir bawahnya. Ada ragu disana.
"Tak masalah jika kau tak ingin bercerita malam ini" jawab Laras kembali memasang senyum menunggunya itu.
Malam yang panjang didetik-detik antara keheningan mereka.
"Ayo pulang. Kafenya mau tutup" Ajak Laras. "Aku akan mengantarmu pulang" kata Laras.
Frans yang masih diam itupun mengikuti Laras menuju parkiran mobil. Dan saat itulah suara manis itu terdengar sangat berat sekali.
"Kau masih Laras yang kukenal. Wanita yang tegar"
Laras berbalik arah, melihat Frans menunduk.
"Terima kasih, Frans. Ayo naik."
Laras menyalakan mesin mobilnya. Dan menuju keluar kafe.
"Aku ingin berkeliling kota"kata Frans.
"Baiklah. Aku akan penuhi, jika kau mau cerita apa yang terjadi"
Frans mengangguk.
Setahun yang lalu, sehari janji manis itu terucap. Petaka itupun terjadi. Dirumah Frans yang tinggal bersama ibunya yang memiliki gangguan jiwa mengamuk hebat. Ibunya yang hendak bunuh diri dihentikan oleh Frans, namun tragisnya. Bukan pisau yang terlempar jauh, akan tetapi ibunya yang terhempas jauh membentur pintu. Keributan itu terdengar oleh warga. Karena selama ini Frans menyembunyikan bahwa ibunya mengalami gangguan jiawa. Warga sekitar melihat akhir kejadian itu. Semua menuduh Frans ingin membunuh ibunya. Beberapa warga menolong ibunya yang tak sadarkan diri. Hempasan itu membawa Frans ke bui saat itu juga.
Tubuhnya meringkuk kedinginan didalam sel penjara. Ibunya tak sadarkan diri juga. Hingga putusan penjara selama satu tahunpun terucapkan.
Laras, pikirannya ke Laras. Apakah Frans perlu memberitahu Laras. Hati kecilnya berkata "tidak perlu". Laras akan sedih mendengar kisah ini. Laras akan kecewa jika mendengarkan semuanya. Frans memilih diam, dan siap untuk dipersalahkan.
Ketika cerita itu berakhir, airmata Laras tak henti-hentinya mengalir. Bayangan yang selama ini Dia kesalkan , bayangan yang selama ini membuatnya kecewa ternyata ada perih yang sedang menimpanya.
"Kau tega, Frans"
"Aku lebih baik tega daripada melihatmu nyata tersiksa dihadapanku"
"Aku tersiksa. Sungguh sakit"
"Aku tahu"
"Tapi, tapi mengapa kau tak memberi tahuku"
"Laras, aku tak ingin menambah beban dihidupmu. Aku tak ingin menambah pikiranmu"
"Kau sudah menambah beban hidupku ketika kau tak ada kabar. Kau sudah menambha pikiranku ketika kau menghilang dan melupakan janji manismu"
"Maafkan aku"
Laras mengehentikan kemudinya. Mereka sudah sampai di depan sebuah tempat. Bukit berbintang. Tempat pertama kali mereka bertemu dalam acara amal.
Mata Laras tak berkedip melihat sosok Frans yang sedang berpidato diatas panggung. Frans yang dulu begitu bersemangat mengeluarkan aura-aura positif. Dan pandangan Laras itu mendapatkan balasan. Frans datang kemeja Laras dan mereka mulai berbincang-bincang. Sampai pada akhirnya sebuah cerita barupun dimulai.
Cerita yang menghabiskan tenaga mereka karena begitu bahagia. Sungguh cerita yang mereka rangkai melebihi dogeng sebelum tidur. Frans begitu romantis, dan Laras sangat menyukai pria seperti itu. Frans yang begitu rendah hati dan pekerja keras membuat hidup Laras menjadi begitu sempurna.
"Kau ingat saat itu, Frans"
"Ya"
"Kau begitu keren. Aku bergumam dalam hati bisa mengenalmu. Ternyata alam mendegarkan bisikan hatiku. Kita saling mengenal sekarang"
"Ya"
"Terima kasih, Frans. Tapi,..."
Laras terhenti lidahnya tercekat. Sosok Kevin melintas dipikirannya. Pelukan hangat ibunya dan janji itu melayang bebas dipikirannya.
Sebelum Laras melanjutkan kalimatnya.
"Aku ingin memulai kembali denganmu"
Kali ini Laras benar-benar kekurangan oksigen. Kemampuan berpikirnya menurun. Sesak didadanya tercampur aduk dengan perasaan bersalahnya. Apa yang harus Dia lakukan.
"Seperti janjiku. Aku tidak akan meninggalkanmu selamanya. Dan besok aku akan mempertemukanmu dengan ibuku"
Ibu, kembali kata itu membuat Laras begitu lemah sekali. Dan Laras mengangguk.
Keesokan paginya, Laras minta izin cuti karena ada kepentingan mendadak. Urusan keluarga. Bosnya memberikan izin kepada karyawan kesayangannya itu.
Laras menuju rumah sakit jiwa yang berada di pinggir kota. Bersama Frans, mereka menjenguk ibu Frans yang sedang terbaring dalam lamunan hampanya.
Saat itu juga Laras mengirimkan pesan singkat untuk Kevin.
"Kevin sampaikan maafku pada ibumu. Aku tak mampu memenuhi janjinya kemarin malam. Besok malam kita bertemu, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu. Terima Kasih Kevin. I Love You"
Pagi itu untuk pertama kalinya Laras memegang tangan ibunya Frans yang dingin.
Keputusan Laras sudah bulat, ada orang yang benar-benar membutuhkannya saat ini. Tangan dingin itu perlu kehangatan.

gherimis kecil -120517, 1:45 am-