Senin, 20 Maret 2017

Young in Shelter

---------- the begining -----------
Siang ini kerumunan anak-anak berseragam putih biru membanjiri papan pengumuman hasil tes masuk sekolah asrama yang sangat terkenal dan di favoritkan. Matahari yang terik, keringat yang bercucur dan kelelahanpun hadir. Namun, kelelahan itu terobati ketika nama mereka yang mengikuti tes ujian tertera di papan pengumuman itu. Dan wajah lesu seolah-olah mau kiamat besok hari ketika nama mereka tida tercantum di sana.
Ada lima anak yang mempunyai keanehan ketika nama mereka tercantum di sana. Salah satu dari mereka ada yang tercengang melongo dengan memasang wajah kaku, tak mengira dia akan lulus dalam tes ujian ini. Padahal dia sendiri tidak yakin akan hal itu, nilai-nilai rapotnya saja sangat miris sekali. Bahkan orang tuanya sudah angkat tangan dengan nilai-nilai tersebut. Lalu, ada yang girang bukan kepalang. Impiannya terwujud masuk sekolah asrama, bertemu dengan orang baru. Keramahannya, diapun menjabat semua orang yang sedang berada di depan papan pengumuman. Yang ketiga, menangis sejadi-jadinya. Suaranya tangisannya amat sangat mengganggu orang-orang sekitar. Airmatanya meleleh bak air sungai yang mengalir tanpa bebatuan. Deras namun tak berarah kemana tangisan itu tertuju. Yang keempat, menarik nafas pelan-pelan. Lalu melihat namanya tidak tercantum disana. Loh, akal busuknya pun muncul. Ada sebuah nama yang sama persis dengan namanya. Nomornya juga hanya berjarak satu angka. Ternyata kembarannya yanh lulus. Dengan memohon kepada kembarannya, bersujud dihadapan kembarannya yang sangat pendiam itu. Akhirnya, kembarannya menginyakan keinginannya. Dan akal bulus diapun mengubah segalanya. Dia mengganti identitasnya untuk selama 3 tahun kedepan. Dan yang terakhir, dengan senyum menyunging. Ini bukanlah masalah besar baginya. Dengan setengah mata dia memandang hasil ujiannya. Dan benar saja tebakannya. Dia lulus dengan lancar diurutan pertama.
Kelima anak ini bertemu di kamar yang sama. Kamar itu bernama Shelter 305. Berada dilantai 3 asrama laki-laki tepatnya di ruang kelima yang berada di ujung lorong.
Keesokan paginya.
Mereka membawa seluruh pakaian dan peralatan sekolah. Hari terakhir bertemu dengan orang tua. Masa perponcloan selama 6 bulan tidak boleh bertemu dengan orang tua dan sanak saudara. Ada yang menangis. Ada yang tidak rela. Ada yang biasa-biasa saja. Ada juga yang senang kepalang, seperti keluar dari penjara.
Tepat pukul satu, semua siswa baru berkumpul di aula sekolah. Membawa perbekalan dari rumah. Ramai sekali. Calon penghuni Asrama laki-laki dan wanita dikumpulkan menjadi satu. namun dipisahkan oleh tingkat ruangan. Pengisi Asrama laki-laki di tingkat dua dan pengisi asrama wanita di tingkat satu. Aulanya besar sekali mampu menampung 2000 orang. Aula yang beralih fungsi menjadi lapangan olah raga tertutup ketika ada event olah raga antar sekolah. Dan disulap lagi menjadi acara ceremonial kelulusan kelas akhir. Semua memandang takjub. Tahun ini, hanya 100 orang yang di terima. Untuk laki-laki 50 orang begitu juga wanita. Sistem ini akan mempermudah pendataan. Jika ada yang lebih dari kuota setiap anak, maka kepala asramalah yang bertanggung jawab.
Suara sirine aneh berbunyi. Ternyata, ada layar  kain besar berwarna kuning terbuka perlahan-lahan. Disana sudah duduk dengan berjejer rapi menghadap anak murid. Podiumnya besar sekali. Dan ada sebuah mimbar kecil ditengah podium. Bisik-bisik keributab terhenti. Tak ada lagi anak-anak yang saling mengobrol. Mata mereka tegak luruh memandang sejurus podium itu.
Seorang berambut putih lebat dengan kacamata menempel aneh dihidup. Seperti hendak merosot kebawah, namun terganjal dengan gumpalan lemak di sekitaran perut hidung. Beliau berdehem pelan.
"Selamat pagi, anak-anak!" Sapanya dengan suara beratnya. Terdengar berwibawa dan bijaksana.
"Selamat pagi, Pak!" Sahut seluruh siswa baru dengan semangat. Kecuali si rambut aneh itu dengan tampang sinisnya menganggap ini hanyalah upacara orang-orang kelas bawah. Maklum dialah si anak bernilai tinggi itu.
"Selamat datang di sekolah Asrama Himawari. Disekolah ini membutuhkan siswa dan siswi yang berakhlak mulia bagi masyarakat sekitar. Bukan hanya dituntut untuk meraih prestasi dibidang akademik akan tetapi mengubah sikap remaja yang labil menjadi sikap yang memiliki tujuan hidup untuk kedepan. Kami sebagai tenaga pendidik, tidak berharap kalian menjadi koruptor ataupun hal-hal yang menjurus kearah sikap yang tercela. Kami hanya inginkan kalian menjadi siswa yang cerdas dalam menyempurnakan kehidupan kalian dengan cara yang lebih baik dan benar. Sekali lagi, selamat datang di sekolah asrama Himawari. Kami berharap, kalian betah untuk tinggal di asrama kami ini. Terima kasih"
Semua siswa bertepuk tangan setelah beliau turun dari mimbar kecil itu. Ternyata dialah kepala sekolah di sini.
Seorang bertubuh besar, kekar , dan memiliki raut wajah yang tidak menyenangkan. Cemberut. Merupakan kepala asrama laki-laki. Lalu disebelahnya, seorang wanita gemuk, pendek dengan bibir tipis serta tahi lalat dibawah bibir menunjukkan betapa cerewetnya wanita itu.
100 siswa di giring langsung ke gedung asrama mereka masing-masing.
Lelaki yang tinggi tinggi itu dengan suara lantang.
"Bawa semua peralatan kalian. Ikutin saya"
Semua anak laki-laki mengikuti kepala asrama mereka. Setelah sampai depan gedung asrama kepala asrama memberikan sebuah kotak berisi nomor kamar mereka masing-masing.
"Ambil salah satu kertas didalam kotak ini. Jangan dibuka sebelum saya perintah" kata kepala asrama itu dengan tegas.
Semua berkata "iya" dan langsung mengambil secara acak kertas didalam kotak berwarna cokelat itu. Bergiliran. Dan sebuah kertas terlipat sudah ditangan. Menunggu aba-aba dari kepala asrama.
"Baiklah, semua sudah menerima kertasnya. Lalu buka. Dan segerlah mencari kamar kalian berdasarkan nomor yang tertera dikertas itu"
Semua calon penghuni asrama laki-laki bersigap membuka kertas itu. Melihat 3 angka yang tertera. Memandang kanan kiri , bersegera mencari kamar dengan angka yang tertera di kertas itu. Berlarian. Tak terkendali, berhimpit-himpitan menunggu didepan kamar yang terkunci.
Setelah, calon penghuni asrama laki-laki itu telah lengkap berkumpul. Maka beberapa senior mereka memberikan kunci kepada pemegang angka berwarna merah. Ada 10 anak yang memegang angka merah. Termasuk, si lelaki berperingkat nilai tertinggi itu. Gayanya yang masih memandang sinis teman-temannya langsung meraih kunci kamarnya. Serta mengambil buku peraturan sekolah untuk dibagikan dengan teman sekamar.
Akhirnya lengkap sudah penghuni kamar shelter 305.
Tak menyangka shelter 305 , itu bukan hanya sekedar kamar yang terdiri dari 2 tempat tidur tingkat dan 1 tempat tidur tambahan. Didalam shelter, terdapat 5 kamar, 2 kamar mandi, 1 dapur, 1 ruang nonton santai sambil menonton tv, 1 ruang loundry, dan memiliki balkon yang cukup besar serta ada space kecil untuk menjemur pakaian. Ini diluar dugaan mereka.
Lima orang aneh itupun masuk kedalam shelternya. Perabotan lengkap.
"Uwaaaaah....keren banget ini. Eh...eh...sebelum masuk kamar. Kita kenalan dulu. Aku Joa" kata anak yang menjabat semua tangan orang-orang yang disekitaran papan pengumuman tadi. Pertama Joa menjabat tangan Hadan, si jenius pendiam itu.
"Hadan"sambil tersenyum sinis.
Semua mata memandang ke Hadan. Kaget, terutama Neal si laki-laki yang menangis karena lulus tes ujian.
"Kamu Hadan, si peringkat pertama ya?" Tanya Neal dengan mata berbinar-binar
Hadan mengangguk malas.
"Aku Neal. Aku pengagum beratmu. Kamu dari SMP unggulan, kan"
Hadan mengernyitkan dahinya. Bertanda betapa herannya dia mengapa Neal tahu dia bersekolah dimana.
"Aku Brain" kata si curang Brian, yang menukar namanya menjadi Brain demi masuk ke sekolah asrama. Dengan senyum jahilnya itu dia mulai menampakkan kelagatnya , bahwa tak ada yang mampu mengalahkannya tentang kejeniusan, Hadan bakalan lewat.
Dan yang terakhir yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya. Anak yang langsung kepojokan setelah namanya tertera di papan pengumuman. Tak berani menatap matahari, bukan itu saja. Menatap lawan bicaranya saja dia tidak bertahan lama.
"Eh, nama kamu siapa?"tanya Joa mendekati laki-laki pemalu itu sambil menepuk pundaknya.
"Qiu" jawabnya sambil menunduk malu.
"Oke. Semua sudah saling kenal. Sebaiknya kita hom pimpa untuk memilih kamarnya" kata Joa seolah-olah dialah ketuanya. Dengan semangat yang menggebu-gebu Joa menarik semua tangan teman sekamarnya untuk melakukan hom pimpa.
"Hompimpa alaium gambreng" kata Joa dengan suara lantang.
Untuk putaran pertama tidak ada yang menang. Hingga putaran ke lima, Qiu berhasil memilih kamar pertama. Qiu mendekati kamar yang dipilihnya. Dekat dapur. Lalu putaran berikutnya Brain. Memilih kamar dekat kamar mandi. Selanjutnya Joa memilih kamar dekat balkon. Hadan mendapatkan kamar paling dekat dengan pintu shelter. Dan yang terakhir Neal, seperti sudah takdir saja. Dimana ada idola disitu pasti tidak jauh dengan fans. Begitulah kamar Neal yang berhadapan dengan kamar Hadan, idolanya.
Mereka memberesi barang-barang yang dibawa dari rumah. Meletakkan sekoper baju didalam lemari. Menyusun rapi buku-buku dirak buku yang terletak bersebelahan dengan meja belajar yang sudah lengkap dengan komputer.
Setelah mereka memberesi barang-barang mereka. Barulah, Hadan memberikan buku peraturan sekolah. Ada 50 butir surat dan 135 ayat. Ini sungguh luar biasa. Ini sudah melebihi ajaran militer.
"Apa bangun jam 5 pagi. Haduh, matilah aku" Joa menepok jidatnya.
"Wah bagus ini setiap pagi ada olah raha" Neal bersemangat.
"Hah!!!apa-apaan ini, 6 bulan gak boleh ketemu siapa-siapa?" Brain mengeluh.
Tidak dengan Hadan dan Qiu mereka menyermati setiap surat dan ayat untuk diingat.
"Kita masak sendiri ya?", Tanya Neal.
"Iya" jawab Hadan.
"Kapan belanjanya?" Joa angkat bicara.
"Surat 15 ayat 3 itu jawabannya" kata Hadan.
Semua memandang aneh Hadan. Baru 20 menit membaca peraturan sekolah. Hadan begitu cepat menghapal. Wajar, jenius. Brain malah tidak senang. Baginya itu hanya ajang pamer kejeniusan. Memuakkan.
"Ada jadwal belanja setiap harinya."
"Jangan-jangan ada tukang sayur yang lewat asrama kita. Semoga aja mbak-mbak cakep. Hahahahhaha" Joa tertawa sambil membayangkan dia membeli seikat kangkung dengan penjual mbak-mbak cakep.
Hadan mengeluarkan secarik kertas dengan tabel yang terisi hanya ada jam dan hari. Tabel itu diberi judul 'jadwal piket'.
Lalu, ada lembaran berikutnya. Yang berjudul 'jadwal masuk kelas'. Dibagikannya ke semua teman satu shelternya. Mereka sedang membaca.
"Ini gimana sih?" Tanya Joa.
"Kamu pilih pelajaran apa yang mau kamu ambil. Ingat catat nomor kelasnya. Biar gak kesasar" jawab Neal.
"Terus?" Brain juga kebingungan sebenarnya. Dia tak mampu mencerna hal ini. Yang dia tahu bagaiman membuat ulah diasrama ini dengan kemampuan akal jahilnya.
"Dipilih aja dulu, kasi tanda centang. 3 pelajaran wajib itu , mau gak mau harus diikuti"
"Ya, ampun kenapa pelajaran mengerikan menjadi pelajaran wajib. Matematika, bahasa indonesia serta bahasa inggris" Brain mengeleng-gelengkan kepala.
Mereka sedang asik memilih pelajaran yang mereka minati. Memilih muatan lokal. Memilih ekstrakulikuler. Memilih club sekolah.
Setelah itu mereka mencocokkan agenfa untuk piket di shelter.
Hadan yang jenius langsung mengambil alih. Naluri ketuanya keluar.
"Hari senin siapa yang tidak masuk pukul 08.00?"
Keempat temannya melihat jadwal.
"Aku" jawab Qiu.
"Untuk hari senin, kamu yang buat sarapan pagi, ya!"
Qiu menangguk.
Pengelompokkan itu buntu setelah hari Kamis tidak ada yang masak untuk sarapan. Mereka bertuduhan siapa yang pantas masak. Bahkan hompimpapun tak kunjung membuahkan hasil.
"Untuk hari kamis , kita barengan masaknya" Qiu menunduk.
"Ide bagus"
"Berarti hari kamis hari gotong royong aja. Sama2 bekerja" ide Joa begitu brilian. Mereka mengangguk-angguk setuju.
Jadi, intinya siapa yang piket sarapan harus belanja membeli kebutuhan sayur mayur. Dan itu harus diirit, karena mereka mendapatkan jatah uang belanja dari sekolah yang sama disetiap shelter. Uang belanja akan diberikan setiap hari minggu. Berarti besok piket merek sudah dimulai.
Semua kembali menyusun rapi peralatan mereka. Ada yang mandi, ada juga yanh sedang memandang matahari terbenam ke jendela luar. Ada yang sedang menikmati mimpinya. Waktu bebas untuk bersantai sebelum makan malam tiba.