Minggu, 06 Agustus 2017

Lika

Pendakian kesuksesan itu bukanlah perkara mudah, seperti mengedipkan mata setiap detik. Pendakian itu melewati banyak undukan, dan tebing yang terjal. Harus mempunyai kaki yang kuat dan fisik yang sehat serta pikiran yang jernih.
Dan itu tidak semudah teori-teori yang disampaikan oleh para motivator.
Siapa yang tidak mengenal Prima, seorang aktivis kampus yang cerdas. Di fakultas dia sudah mendapatkan nama baik. Di universitas dialah pemegang tahta tertinggi. Prima sedang berada dipuncak kesuksesannya. Karena kegiatannya yang luar biasa banyak menjadi aktivis kampus, Prima sudah jarang bertemu Lika diperpustakaan. Lika lebih sering bertemu poto Prima diselebaran kampanye miliknya. Tahun kedua ini, universitas Lika akan mengadakan pesta pendidikan besar-besaran. Seluruh siswa-siswa berprestasi seantero negeri berkumpul di kampus mereka. Mengadakan lomba cerdas cermat, serta masih banyak lagi perlombaan lainnya.
Pagi itu, ditahun kedua di musim yang baru Lika mendapatkan panggilan telepon untuk pertama kalinya dari sahabatnya itu.
"Hallo!" Sapa Lika
"Hallo, ini aku Kalli. Apa kabarnya?" Tanya Kalli, yang membuat lidah Lika terasa kelu. Dadanya terasa sesak. Mendengar suara sahabatnya yang hampir hilang diingatannya, namun di bagian hati yang lain dia merasa senang.
"Aku baik-baik saja. Kau bagaimana?"
"Aku juga baik-baik saja. Bagaimana kuliahmu?"
"Kuliahku berjalan lancar sampai saat ini. Kau bagaimana?"
"Aku sibuk sekali, ternyata menjadi seorang dokter itu tidak mudah ya"
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa"
"Kau tidak pernah mengeluh sebelumnya"
"Aku juga manusia, Lika. Manusia itu diperuntukkan untuk selalu mengeluh ketika sedang dibawah"
"Katakanlah, apa yang sedang terjadi?"
"Baiklah" ada jeda disana. Kalli harus membuat kalimat-kalimatnya menjadi sebuah kisah yang bisa dianggap oleh Lika adalah kisah yang biasa-biasa saja.
Lika mendengarkan dengan seksama, dan diakhir cerita Lika tak mampu berbicara lagi. Pergaulan, ya pergaulan anak muda. Gengsi dikalangan fakultas bonafit. Kalli, tidak bisa mengikuti hal itu semua. Kalli terjerumus kedalamnya, dunia pergaulan bebas ibukota.
"Kalli dengarkan aku. Jika kau merasa butuh liburan, datanglah kesini. Masih ada aku untukmu"
Kalli terdiam, dia tahu sahabatnya akan berkata seperti itu. Tapi, apakah Lika akan menerima sahabat lamanya itu dengan kehidupan barunya.
"Pekan depan kampus akan mengadakan pesta pendidikan seluruh negeri. Ambillah liburan kesini. Aku akan senang jika kau datang"
"Aku tidak bisa"
"Kalli, datanglah. Aku menunggumu. Aku rindu sekali"
Seperti sihir, Kalli terhipnotis dengan kalimat "aku menunggu. Aku rindu sekali"
Sedetik itu juga pikiran Kalli mengiyakan setuju dengan ide Lika, liburan ke kota pelajar.
Sepekan berlalu, Kalli membawa sekoper pakaian untuk terbang bersamanya. Dari ketinggian 3600kaki, Kalli memanfaatkan untuk berpikir. Mengevaluasi diri, bagaimana semua terjadi begitu cepat. Dia bergabung dengan kelompok orang-orang yang hanya memikirkan hura-hura, pergaulan bebas, menikmati hidup di club-club malam, dan menyelam hingga ke dalam hampa yang tak berdasar.
Pengevaluasian diri itu tersentak ketika sang pilot mengatakan bahwa mereka akan mendarat 20 menit lagi. Ternyata mengevaluasi diri itu tidak cukup waktu perjalanan 2 jam lebih itu.
Dibandara, Lika sudah menunggu cemas bercampur gembira sahabatnya itu. Dia memang benar rindu sekali. Hampir satu tahun tidak mengetahui kabar sahabatnya karena kesibukan masing-masing. Maka takdir kebetulan itupun dimulai dari sini.
Lika melambaikan tangannya ketika dia melihat Kalli yang juga melihat kearahnya. Mereka saling berlari untuk mendekat. Sejenak diam dan hening. Saling memandang diri. Dan akhirnya menyeruak pelukan kerinduan sahabat. Rada haru biru menyelimuti Lika dan Kalli.
Saat itu juga seseorang datang menghampiri reunian yang penuh suka cita itu.
"Lika" panggil Prima.
"Ini sahabatku yang aku katakan kemarin"
"Oh..." Prima tersenyum tipis.
"Ahmad Al-Kalli" kata Kalli memperkenalkan diri.
"Prima Satriadi Banglo"
"Banglo?" Dahi Kalli mengkerut. Dia pernah mendengar kata Banglo. Tidak asing sekali baginya. Tapi, dimana?
"Hotwheel. Masih ingat" tiba-tiba saja Prima angkat bicara mengenai hobinya diwaktu kecil.
"Prima anaknya Om Deri Banglo ya?"
"Hahahahaha....akhirnya. Aku kira kau tidak mengenaliku"
"Jelas aku tidak mengenalimu kalau kau tidak menyebut namamu"
Lalu Kalli dan Prima berpelukan. Dan pelukan ini adalah pelukan kerinduan teramat dalam dari seorang sahabat diwaktu kecil yang sudah hampir berpuluh-puluh tahun tiada kabar dan bertemu.
"Loh, kalian saling kenal. Kok Prima gak pernah cerita"
Lika kebingungan, dan tiada yang perduli dengab kebingungan Lika itu. Senja itu ketika langit masih menguning. Tiga orang dipertemukan dalam sebuah takdir bernama kebetulan.
Kebeteluan Kalli menelpon Lika, hingga tercetuslah ide liburan Kalli. Dan karena Kalli liburan mendadak itu maka Kalli bertemu dengan sahabat kecilnya itu. Sungguh ini sebuah anugerah, dipenuhi kisah bersama sahabat yang diisi dengan kerinduaan terdalam.
Malam itu Kalli menginap di rumah Prima. Bertemu dengan keluarga Prima yang sudah lama tidak berjumpa. Melepas rindu sambil berbincang di ruang makan. Banyak hal yang berubah, ternyata Om Dery-papanya- Prima sudah tiada. Kalli turut berduka untuk itu.
Sementara  Lika kembali ke kos setelah menjemput Kalli dari bandar. Mereka bertiga berpamitan. Dan besok akan berencana untuk keliling kota pelajar bersama.
Dibalkon rumah, Prima yang sedang asik memetik gitar tuanya hadiah dari papa tercinta ketika dia kelas 5 SD mendapatkan nilai terbaik disekolah.
"Bicara mengenai Lika. Bagaimana kau mengenalnya?" Tanya Kalli sambil menyeduh teh jahe hangat yang dibuat oleh mamanya Prima.
"Hm...panjang ceritanya. Intinya, kami sering bertemu diperpustakaan. Dan saling sapa, itupun menunggu waktu beberapa bulan untuk berkenalan. Kau tahu, aku ini pemalu soal berteman dengan perempuan.
"Lika gadis yang hebat, Prim"
"Hu um. Oh ya, ada rangka apa kau libur kesini?"
"Hm...Lika yang menyuruhku untuk liburan. Aku cuti kuliah 1 semester ini"
"Kok gitu?" Tanya Prima heran. Anak laki-laki berkacamata ini dikenal jenius dulu ketika bermain hotwheel.
"Lika tahu kalau kau cuti 1 semester?apa penyebabnya?"
"Lika belum aku beritahu, mungkin setelah liburan ini akan kuberi tahu dia. Ibukota itu kejam, Prim. Aku tergiur segala gemerlap ibukota. Apalagi mahasiswa kedokteran yang terkenal bonafit. Anak-anak orang kaya. Aku terikut arus dunia pergaulan. Malam itu, disalah satu rumah temanku. Kami sedang berkumpul menyelesaikan tugas perkuliahan kami. Karena merasa bosan dan kelelahan, salah satu teman kelompokku mengajak ke diskotik tetdekat. Katanya menghilangkan penat. Aku ikut. Sampai disana aku dicekokin beberapa minuman yang aku tidak sadar, bahwa aku sedang meminum hal yang dilarang. Suasana diskotik ramai sekali, riuh musik menggema menghentak-hentakkan lantai dansa. Semua orang bergoyang tidak karuan mengikuti irama musik. Aku, aku masih terduduk disofa yang empuk itu dan terlelap tidur. Keesokan paginya aku sudah berada di sebuah kamar temanku. Dan itu amat sangat memalukan, Prim. Temanku berada di sampingku. Seorang wanita" leher Kalli tercekat. Lelehan airmata penyesalan mengalir lembut dipipinya. Rasanya ingin dia terjun ke lubang penyesalan.
"Lalu?"
"Aku malu"
"Hm...hal semacam itu mungkin bagi mereka sudah biasa. Aku juga pernah dijebak seperti itu oleh temanku. Sejak itu aku memilah milih teman. Dan akhirnya aku bertemu Lika. Aku yakin dia wanita yang baik"
"Lika memang wanita yang baik dan hebat, Prim"
"Lika tahu?"
"Dia hanya mendengarkan sebahagian saja. Dia tidak tahu aku sudah melakukan kesalahn terbesar dengan seorang wanita"
Malam itu sebelum ternyenyak tidur. Airmata penyesalan itu kembali lagi mengalir dalam balutan dinginnya pekat kegelapan malam. Meminta ampunan sedalam-dalamnya, agar langit tak murka menurunkan badai sekejam mata pedang menyayat kelunya hati. Tahu jiwa telah ternodai, hanya bisa pasrah dalam keampunan maaf sedalam-dalamnya. Sungguh, mendaki kesuksesan itu menempuh jalan yang sangat terjal.

Sabtu, 05 Agustus 2017

Lika

Ini pertama kalinya Lika naik pesawat sendirian. Biasanya ditemani oleh Eyang
hanya sekedar menemui papa yang ada di pusat kota negara dan mamanya yang sedang berada di ujung negeri.
Lika mempunyai seorang Papa yang bekerja sebagi abdi pelayanan kesehatan masyarakat di ibukota negara. Sedang mamanya seorang abdi pelayanan pendidikan untuk mahasiswa diujung timur negeri. Orang tuanya sudah lama berpisah, bukan bercerai. Orang tuanya berpisah demi mengejar karir impian mereka masing-masing. Hingga Lika harus tinggal bersama eyangnya di sebuah desa dimana orang tua Lika menghabiskan hidup dimasa kecilnya dulu.
Lika menaiki anak tangga penghubung antara bandara dan pesawat. Walaupun sendirian Lika sudah seperti terbiasa dan berani sendirian.
Kata "hati-hati dijalan, dan hubungi aku setelah mendarat" adalah kata mujarab yang membuat Lika tersadar bahwa masih ada Kalli dan beribu penghuni langit lainnya yang sedang bersama dirinya menyebrangi pulau dari ketinggian 3600 kaki.
Setibanya pesawat nasional milik negara itu mendarat dikota pelajar Lika langsung mengabari Kalli. Tak ada balasan cepat. Lika paham hal itu, Kalli sedang kuliah. Setelah mengirimkan pesan singkat kepada sahabatnya itu, Lika langsung menghubungi pihak universitas.
Lalu Likapun bermalam di mess dekat universitas.
Kini dia terlihat sendiri. Hari-hari baru ini dimulai dengan sangat berat. Bukan berarti Lika harus menyerah sekarang. Ketika impian dari kecilnya musnah. Ketika dia harus mengikhlaskan orang tersayangnya pergi untuk meninggalkan dirinya untuk selamanya. Semua itu hanya sebagian kecil. Lika bagaikan langit, bukankah tampak indah dengan cahaya bintangnya.
Angin dipertengahan musim membawa Lika memulai kehidupan barunya.
Disuatu sore yang sedang berhujan. Lika kedatangan seorang tamu.
"Apa kau baik-baik saja , Lika?"
"Mama tidak perlu khawatir, aku sudah biasa melakukan apapun sendiri. Mama apa kabar?" Tanya Lika sekembalinya dari dapur setelah membawa senampan minuman dan makanan.
"Mama baik-baik saja. Bagaimana kuliahmu, berjalan lancar?"
"Sampai saat ini lancar, Ma"
"Mama punya banyak kenalan di kampus itu. Jika kau butuh bantuan hubungi mereka, sebut nama mama"
"Ma, Lika sudah berumur 18 tahun. Sebentar lagi 19 tahun dan tak terasa akan masuk ke 20 tahun. Lika sudah dewasa , Ma"
Mamanya terdiam sejenak. Tidak menyangka anak semata wayangnya berkata seperti itu. Dan itu membuatnya untuk berpikir, bahwa sepertinya Mama harus melepaskan karirnya. Sudah 18 tahun Lika tinggal bersana Eyangnya. Bagi Lika orang tuanya hanyalah sebagai orang tua di catatan kependudukan. Mamanya sambil menggenggam kertas salinan pengumumab beasiswa untuk Lika. Awalnya mama ingin memberitahukan Lika beasiswa tersebut. Mama punya banyak kenalan petinggi universitas. Apasalahnya memasukkan satu nama untuk menjadi Lika sebagai mahasiswa berprestasi dan melanjutkan kuliah ke luar negeri. Namun, pernyataan itu tadi membuat hati mama remuk. Ternyata Lika sudah dewasa.
Hari demi hari menjalani perkuliahan, Lika merasa senang. Bertemu teman baru, mandiri, belajar giat, perpustakaan dan berkumpul dengan teman-teman satu hobi, photografi.
Jelang siang itu Lika menuju perpustakaan yang merupakan tempat favorit Lika dikala tidak ada mata kuliah. Rasanya ketika Lika masuk kedalam perpustakaan dia menemukan dunia baru. Ada banyak kehangatan disana, ada banyak pintu dunia terbuka disana.
"Permisi, disini ada orangnya?" Tanya Lika pada seorang penghuni tetap perpustakaan, sama seperti dia. Akan tetapi, Lika tidak pernah berkenalan dengannya.
Pria itu menggelengkan kepalanya. Lalu Lika pun duduk berhadapan dengan Pria berkacamata itu.
Membolak balik halaman buku mencari informasi mengenai teorema-teorema penyelesaian soal mengenai aljabar.
Suasana yang nyaman dan tak berisik juga menjadi alasan mengapa Lika menyukai perpustakaan.
"Jurusan matematika?" Tanya Pria tersebut di beberapa jam berikutnya. Lika mengangkat wajahnya dan menunjukkan buku kalkulus yang dibawanya dari rak buku sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Pria itupub juga menganggukan kepalanya sambil tersenyum.
Untuk mencairkan suasana Likapun mulai bertanya. Merekapun memulai perbincangan ringan yang membawa mereka pada sebuah takdir baru. Takdir di musim yang beranjak mendaki dan menurun serta menikung, hingga akhirnya langit kembali menyapa Lika.
Keakraban yang dijalin Lika menyebar seantero kampus. Pasangan serasi itu adalah julukan untuk mereka berdua. Mereka tak pernah berkencan seperti kebanyakan mahasiswa lainnnya. Mereka lebih baik membaca buku, dan berdiam sejenak lalu berbagi informasi mengenai apa yang telah dibaca setelah keluar dari perpustakaan.
"Lika, kau sedang pacaran dengan Prima?"
"Tidak"
"Lalu, mengapa kalian sering terlihat berdua?"
"Mungkin karena kami sering bersama. Hahahahaha"
Pria tersebut bernama Prima. Seorang mahasiswa pendidikan teknik. Seorang yang mirip dengan Kalli. Lika merindukan sahabatnya itu. Prima memiliki impian yang besar, bahkan Lika terkejut mendengar impian itu. Membangun sekolah gratis dengan fasilitas yang lengkap. Begitu ujar Prima pada suatu sore, ketika mereka baru selesai membaca buku mengenai sebuah impian.
"Mimpimu apa Lika?" Tanya Prima membetulkan kacamatanya. Lika dian sejenak, bukan karena bingung harus menjawab apa. Akan tetapi, impian Lika dan Prima saat itu sama.
"Sama seperti impianmu!"
"Waaah....kebetulan sekali. Ayo, sama-sama membangun mimpi kita jadi nyata" kata Prima bersemangat.
Bertemu dengan takdir bernama kebetulan, akan ada banyak kebetulan-kebetulan yang muncul dikehidupan Lika berikutnya. Walaupun Lika tahu bahwa kebetulan itu tidak ada. Tapi, Lika menyukai kata kebetulan itu sebagai bahwa langit sedang menyapa dan mengobrol dengannya. Kehidupan Lika selama dikampus sangat begitu bahagia sekali. Tidak ada yang mampu membendung kebahagian Lika bersama orang-orang baru. Bahkan hujan deraspun tak mampu menghentikan kebahagiaannya.
"Aku menyukai kehidupan ini. Kebahagiaan ini berawal dari airmata yang tak sengaja tumpah begitu banyak dimusim lalu. Bukankah langit sudah berjanji bahwa setelah turun hujan akan muncul pelangi di langit biru. Berwana warni menghiasi luasnya langit diatas sana".

Jumat, 04 Agustus 2017

Lika

Berkali-kali Lika membolak balik halaman buku try out miliknya. Berkali-kali juga terdengar suara tiupan angin yang berpadu dengan kertas sehingga memantulkan suara yang akan dirindukan  dimasa yang akan datang. Karena Lika yakin bahwa usaha tidak akan mengkhianti hasil, begitulah kata orang.
Setiap hari les bimbingan belajar seminggu full selama 2 jam. Belum lagi mengerjakan soal-soal try out masuk universitas bergengsi lainnya ketika dirumah. Waktu bermain, abaikan saja. Lika suka sangat puas untuk bermain. Sejak TK - SMP , Lika menghabiskan hidup masa remajanya dengan bermain. Kini, dia harus bertangung jawab atas pilihannya sendiri. Sebab dia sudah dewasa.
Masa depannya ada di langkah kakinya , namun tetap di tangan Tuhanlah takdir yang belum diketahuinya.
Dering suara ponselnya menghilangkan kosentrasinya ketika menjawab soal matematika dasar yang sangat mudah baginya.
"Hallo!" Sapa Lika.
"Hallo!, Lagi apa?"
"Ini siapa?" Tanya Lika heran.
"Ini Kalli!" Kalli menghembuskan nafas kecewa.
"Astaga. Maaf. Aku gak liat layar ponselku. Ada apa?"
"Kau sedang apa?"
"Menyelesaikan masalah persamaan"
"Persamaan apa"
"Linier lah"
"Hahahaha, kau sedang belajar ya. Maaf ganggu. Terus semangat. Aku cuma mau beri tahu besok ada acara dirumah. Syukuran aku diterima di fakultas kedokteran. Kau harus datang"
"Besok. Aku tidak bisa janji"
"Aku tak minta janji, Lika. Aku minta kau datang"
"Baiklah, baiklah. Aku akan berusaha menyelesaikan soal-soal matematika dasar besok hari ini"
"Terima Kasih"
Mata panda, kata orang begitu. Lingkaran hitam sudah terlihat jelas di mata Lika. Kurang tidur, waktu dihabiskan untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan. Selain harus mengasupi pikiran, Lika juga harus mengasupi tubuhnya agar tetap sehat dan bugar , walaupun kurang tidur. Eyangnya, selalu membuat puding susu terbaik untuk menemani hari-hari Lika. Berbagai macam jus buah selalu tersedia dipagi hari. Eyang memang selalu perhatian terhadap Lika.
Namun, pagi itu. Eyang tak tampak mendekati kamar Lika. Suasana hening, angin musim itu juga membawa kenangan Lika bersama dinginnya suhu pagi itu.
"Eyang!Eyang!"
Tak bergeming, membeku, mendingin, dalam katupan mata yang tertutup. Berselimut duka dengan perihnya hati. Lika menghancurkan pertahanannya. Airmatanya mengalir sederas mungkin. Tak pernah terbayang olehnya harus berpisah secepatnya ini dengan Eyangnya. Belum lagi sembuh luka hati karena kegagalan, kini Lika harus dihadapi dengan luka hati karena ditinggalkan orang tercinta. Sungguh, setega itukah langit terhadapnya.
Sedu sedan, mengharu biru  dirumah eyangnya. Semua berkumpul, sanak saudara termasuk orang tua Lika.
Lika, tak tahan. Dia butuh sokongan. Dan sokongan itupun datang dengan napas yang terburu-buru. Berlari sekuat tenaga. Mengayuh sepeda  hingga kakinya terasa kebas. Sokongan itu tiba didepan pintu, membawa wajah yang begitu menyedihkan. Airmatanya tak terbendung, bahkan sokongan itupun menangis sedih karena kehilangan dan karena menangisi takdir yang menimpa sahabatnya itu.
Mereka saling berpelukan. Pelukan sahabat. Pelukan sebagai sokongan untuk tetap tegar.
"Kau harus kuat"
"Aku kuat, Kalli"
"Aku tahu"
Bahkan ini seperti drama kehidupan yang sering di tonton oleh para ibu-ibu komplek. Sebagai bahan perbincangan mereka betapa malangnya gadis ini harus kehilangan eyang, kesayangannya itu.
Lika melepaskan pelukan Kalli berlahan.
"Bagaimana acara dirumahmu?"
"Aku batalkan. Aku tidak bisa berhaha-hihi. Sedangkan sahabatku menangis disini"
Kalimat itu, cukup bagi Lika bahwa dia tidak sendiri. Selain para penghuni langit ada satu penghuni bumi yang selalu setia menemaninya ketika merapa ingin jatuh.
Tubuh dingin itu, terbenam dengan kenangan bersama tanah. Rasa rindu, sudah merasuki perasaan Lika saat itu. Yang Lika tahu, kali ini langit tidak sedang menegurnya. Akan tetapi langit sedang berbicara dengannya. Langit sedang berbicara lembut ke relung hatinya. Bisakah Lika menyambut perbincangan dengan langit kali ini.
Sebulan berlalu, Lika harus mandiri sebelum masuk ke universitas. Kesempatan lain menanti. Lika mencoba mengikuti ujian bersama di 5 universitas yang saling bekerja sama. Lika memilih 2 pilihan. Teringat perbincangannya dengan Eyangnya seminggu sebelum meninggal.
"Eyang ingin sekali kau menjadi guru, Lika"
"Eh, aku gak cocok jadi guru. Eyang. Aku ini tidak sabaran , aku juga suka marah-marah"
"Tidak, eyang yakin kau bisa jadi guru. Takdir akan memberimu kesabaran dan ketulusan"
"Tapi..."
"Cobalah. Eyang akan selalu mendoakanmu. Selalu. Walaupun sampai eyang tak terlihat nanti"
Lika memejamkan matanya sebelum menulis pilihannya itu. Berpikir berkali-kali. Ingin bertanya kepada Kalli, namun jika dia lulus dikesempatan ini. Maka Kallilah orang pertama yang akan terkejut. Lika merahasiakan sementara ujiannya dari Kalli.
Sambil menarik napas, dengan keyakinan penuh 100%, Lika mengabulkan keinginan impian eyangnya. Maka seperti ada cahaya baru, ada beban yang sedang terbang dari pundaknya. Beban yang tak terlihat, seperti senyuman eyang yang sedang memandang dari kejauhan cucu kesayangannya itu.
Semoga kali ini langit merestui pilihanku.
Hasil ujian langsung keluar ketika waktu ujian telah usai. Skor yang memuaskan. Hati Lika bukan kepalang bahagianya. Lika lulus di Universitas nomor 1 dinegeri ini untuk fakultas pendidikan jurusan matematika dengan akreditasi A.
Lika berlari menuju fakultas Kalli. Dari pintu utama menuju fakultas kedokteran itu Lika berlari sekuat tenaga. Hasratnya ingin memberitahu sahabatnya yang selalu ada untuknya. Nafas Lika tersengal-sengal. Kalli sedang duduk bersama teman-teman barunya.
"Lika! Apa yang sedang kau lakukan disini?"
"Aku...ngos...ngos....aku"
"Iya kenapa?. Sebentar ya, aku permisi dulu. Ayo, kesana" ajak Kalli pamitan dengan teman barunya itu.
"Aku lulus"
"Appppaaaaa!!. Kau berlari kesini hanya untuk membertahuku kau lulus. Mengapa tidak dari ponsel saja sih. Lihat, kau berantakan sekali"
Lika menggelengkan kepalanya.
"Aku suka memberitahumu secara langsung. Bahwa ini pertemuan terakhir kita"
Seperti ada kilatan setrum menusuk hati Kalli. Pertemuan terakhir. Kebahagian ini merupakan kesedihan yang teramat perih. Kehilangan teman. Jarak yang memisahkan, sungguh rindu itu sudah muncul dihari dimana matahari senja mulai memerah di ufuk barat.
"Bahagia yang terlalu akan menggelapkan logikamu. Bahwa kau tidak sadar, komunikasi sekarang bukankah sudah canggih. Kau malah memilih berlari berkeringat demi membaritahuku. Apa yang sedang terjadi padamu. Aku rindu itu. Kegigihanmu, kecerdasanmu, keserba bisaanmu"
Langit yang memerah itu memberi warna baru dalam hembusan angin dilembaran berikutnya. Meminta diberkahi dalam proses dan merestui hasil. Benar, kata mereka bahwa yang tak pernah berkhianat adalah antara usaha dan hasil. Mungkinkah itu akan membawa Lika kedunia barunya.
Kota pelajar sedang menantinya, 4 tahun bersama kesepian yang terselubung.