Selasa, 29 November 2016

Aku, Ayahku dan Saitama

Cerita baru dari season-season sebelumnya. Ide itu muncul lagi.
So cek dis aot!!!!

Aku, Ayahku dan Saitama.
- keturunan saitama -
Kami sedang berada diruang persidangan. Tunggu dulu ( persidangan ). Iya, maksudnya ruang makan. Tak banyak bicara. Yang terdengar hanya suara decakan cecak. Sampai pada menit ke 20. Ayahku mengawali percakapan singkat itu. Penuh makna.
Ayahku : kenapa kakak gak mau sama dia?
Aku : hmm....kenapa ya?
Ayahku : apa karena dia bukan keturunan Saitama!
Aku : eh!.....
Kali ini aku yang kuwalahan menjawab. Tapi, bagaimana ayahku bisa tahu persis kriteria itu.
Mungkim ayahku sudah mulai lelah harus bertengkar dengan Saitama yang tak kunjung datang membawa One Punchnya. Sambil menunjukkan betapa kilat dan runcingnya kulit kepalanya yang tanpa rambut itu.
Ngomong-ngomong saitama, tahun depan ada kelanjutannya , loh!!!

Senin, 31 Oktober 2016

-Berantakan-

Chapter - One -
"Bertemu dengan berantakan yang kedua"

Sejauh yang mereka kira bahwa hidup itu serumit membuat origami. Lipat sana, lipat sini belum tentu sama persis seperti tutorial yang terlihat.
Tapi, ada yang mengganjal dalam perjalanan hidup Kotaro. Dia bukan keturunan jepang. Entah mengapa kedua orang tuanya begitu menyukai nama itu. Katanya itu adalah nama tokoh pahlawan pembasmi kejahatan. Dan orang tuanya berpikir nama adalah doa, dan itu merupakan doa terbaik dari orang tuanya.
Setiap kali Kotaro menyebutkan namanya semua mata memandang sinis. Wajah hitam lekat, rambut ikal bagaimana bisa wajah yang tak sesuai itu menyandang nama yang begitu keren.
Sejak saat itu Kotaro mulai berantakan. Segala sesuatunya mulai dianggap rumit. Mereka yang memandang aneh Kotaro mulai berkicau tak jelas. Kotaro terpuruk. Terasing. Dan bahkan beritanya lebih tenar daripada sekedar letusan lumpur panas.
Kotaro sedang menatap jendela kamarnya. Melihat hampa. Jauh mengingat hidupnya yang bahagia ketika dia belum pintar menyebut namanya.
Akankah kembali lagi. Bahkan gadis berkuncir dua itu tidak lagi dapat terlihat, semua sama.
Hembusan kipas angin itu menyadarkan bahwa udara begitu panas. Sangat panas.
Ya, diluar matahari terlihat sangat membara membakar semua kulit. Bagi mereka yang berkulit putih enggan sekali untuk keluar rumah.
"Toloooong...toloooong!!!" Suara teriakan dari luar rumah Kotaro yang amat sangat terdengar jelas.
Abaikan, pikir Kotaro. Orang iseng.
"Tolooong...tolooonggg!!!" Teriakan itu mengapa mengarah ke telinganya. Begitu nyaring, membuat pekak.
Kotaro segera melihat kembali kearah luar jendela. Kotaro melihat gadis berkuncir dua itu sedang di kepung beberapa anak sekolah lain. Kotaro bimbang. Jika dia keluar maka habislah dia. Jika dia tetap di dalam, maka dia akan di katakan banci seluruh orang. Serba salah. Pikirannya kacau. Dan berantakan. Ya , seberantakan wajahnya ketika berakhir dengan 10 kali pukulan di perut, 20 kali pukulan di wajah. Dan luka lebam di seluruh tubuh. Kecuali gigi, yang selalu dirawatnya dengan menyikat gigi 2x sehari. Sebelum makan dan sebelum tidur. Nasehat dokter gigi yang datang ke Taman Kanak-kanaknya dulu.
Gadis berkuncir dua itu melongo. Melihat pemandangan yang sebenarnya tak ingin dilihatnya. Mengapa pahlawan seperti ini yang dikirimkan untuk menyelamatkannya. Padahal , gadis berkuncir dua itu sudah mengkhayalkan seorang pahlawan gagah berani berwajah tampan dengan motor Kawasaki Ninja akan menyelamatkannya. Alhasil, dari pertemuan bak sinetron-sinetron itu akan berlabuh kesebuah hubungan yang romantis. Gadis berkuncir dua itu kecewa. Menghembuskan nafas kekecewaannya dengan memasang wajah cemberut.
"Kok kamu bodoh banget sih. Udah tau ga bisa ngelawan masih aja datang ngenolong aku" cecar si gadis berkepang dua itu dengan wajah kesal.
Kotaro memegang wajahnya yang lebam itu melihat sendu kearah gadis berkuncir dua itu. Jika orang lain mengatakan hal seperti itu kepadanya maka dia akan segera menonjok wajah seseorang itu. Tapi, ini seorang gadis pujaan hatinya. Manalah dia sanggup untuk menonjok wajah itu. Kotaro diam tanpa balasan , hanya sedikit 'heh' menahan sakitnya. Dan pada akhirnya hubungan yang diam-diam itupun berantakan. Bahkan kata berantakan itu belum berakhir, masanya masih berlaku ketika orang tua Kotaro pulang bekerja. Melihat wajah putra tunggalnya babak belur, orang tua Kotaro berang. Mereka bertanya tak ada jawaban yang logika dari Kotaro.
"Wajahmu kenapa, Kotaro?" Tanya Mamanya.
"Maen pedang-pedangan dengan anak tetangga"
"Kok sampe babak belur?"
"Iya. Kami mainnya di atas atap sih. Akhirnya aku terjatuh. Yauda babak belur begini. Karena aku kalah, aku di pukulilah sama bocah-bocah itu"
"Dusta kamu!" Teriak Papanya yang wajahnya duplikat sekali dengan Kotaro.
"Bener, Pa"
"Wajah ganteng anak mama, kok jadi ancur begini. Gimana besok sekolah" ini dusta seorang ibu yang paling membuat anaknya besar kepala.
"Ya gak apa-apa, Ma. Tenang aja" Kotaro kembali kekamarnya. Melihat lagi jendela yang kosong itu. Memikirkan wajah kecewa si pujaan hatinya. Haruskah dia menjadi tampan agar terlihat oleh gadis berkuncir dua itu. Kotaro menghembuskan nafas lelahnya.
"Entahlah"
Paginya, berita Kotaro melawan anak sekolah brandal menyebar seluruh sekolah. Pandangan - pandangan itu, membuat Kotaro menjadi semakin amat berantakan. Pandangan remeh. Kotaro hanya bisa mengepal tangannya geram. Satu-satunya tempat yang tidak akan memberinya kecaman adalah Perpustakaan. Kotaro melarutkan hatinya yang sedang kesal ke dalam imajinasi yang dia baca. Sebuah buku tentang superhero yang gagah berani. Menyelamatkan sang wanita yang di cintai. Itu hanya sebuah kisah semu yang tak mungkin terjadi.
Tapi, Takdir mengatakan hal yang berbeda. Seorang gadis berkulit langsat, sedang kesusahan untuk mengambil buku yang berada di rak teratas. Kotaro hanya melihatnya dari kejauhan. Beberapa kali gadis berkulit langsat itu melompat. Namun hasilnya gagal, yang ada hanya kelelahan. Wajah gadis itu mencoba mencari seseorang dimintai tolong. Dan matanya tertuju ke Kotaro. Langsung saja Kotaro menutup wajahnya dengan buku yang dibacanya, seolah-olah tidak melihat gadis itu yang sedang kesusahan.
"Kakak, bisa tolong aku" sebuah suara merdu itu terdengar jelas di telinga Kotaro yang besar. Kotaro melihat seorang gadis berkulit langsat itu berada disampingnya dengan sebuah senyuman dan mata yang meminta tolong.
Slooooorrrr....
Nyaris saja Kotaro terpental dari duduknya. Wajah manis itu menghancurkan seluruh tembok pertahanannya. Kotaro meluluhkan dirinya dalam sinaran mata gadis itu. Segera Kotaro mendekati rak buku untuk mengambilkan buku yang diinginkan gadis berkulit langsat itu.
"Terima Kasih, Kak"
Akhhhhh....suara merdu itu begitu indahnya. Kotaro hanya tersenyum sambil memperlihatkan gigi-giginya yang putih dan sehat itu.
"Kakak sendirian?" Tanya gadis itu
Kotaro mengangguk-anggukkan kepalanya cepat.
"Namaku Marsha" gadis itu menjulurkan tangannya.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Kotaro menyambut tangan itu.
"Kotaro"
Sama seperti orang lain. Wajah Marsha berubah menjadi aneh. Sambil tersenyum,  Marsha menahan tawanya.
"Kenapa?" Tanya Kotaro.
"Nama kakak bagus banget. Kakak keturunan jepang ya"
"Gak akh....jauh dari jepanglah" Kotaro kembali duduk dan menikmati bukunya.
"Tapi, kakakku suka sekali dengan Kotaro si pahlawan pembasmi kejahatan"
"Tua sekali kakakmu"
"Gak..gak..."
"Jadi. Almarhum Mama yang ngenalin kakak sama serial si Kotaro sang Pahlawan yang bisa berubah menjadi super hero dengan armor dan motor yang seperti belalang itu kan"
"Wow...jangan-jangan nama kakakmu, Minami"
"Loooh....kok kakak tau"
"Akh....klise banget. Dulu jika aku seorang perempuan maka orang tuaku akan memberi nama Minami. Ternyata laki-laki, yauda jadilah Kotaro"
"Waaah....kakak hebat. Ini takdir" teriak si Marsha.
"Ssssttt....ini perpustakaan jangan berisik"
"Kapan-kapan kita jalan bareng yuk, kak. Bersama kak Minami"
Kotaro diam sejenak. Apa yang harus di jawabnya. Jika dia menjawab iya, maka akan bertambah lagi  wajah kecewa ketika melihat tampangya. Jika tidak, maka juga akan membuat wajah kecewa si Marsah. Sungguh berantakan sekali.
"Hm...okelah" sip....Kotaro membuat keputusan yang akan menambah daftar wajah-wajah kecewa didalam hidupnya.
Kehidupannya menjadi amat sangat lancar dan biasa-biasa saja. Apalagi semenjak Marsha menjadi teman membacanya di perpustakaan. Hidupnya berubah drastis. Wajah-wajah sinis itu berubah menjadi wajah-wajah yang sangat sinis. Bagaimana bisa seorang Kotaro menaklukkan si Marsha , top model sekolah. Bahkan bertambah lagi musuhnya. Kotaro menjadi musuh besar dari Club Pecinta Marsha disingkat CuPeM.
"Eh....Kotaro seharusnya kamu nyadar donk. Wajah sepertimu itu tidak sangat cocok sekali dengan Marsha yang....akh sudahlah tak perlu ku jelaskan lagi" ujar seorang lelaki yang tampang tidak jauh beda dengan Kotaro, tapi sombognya setinggi menara eifel.
Kotaro diam. Tangannya mengepal. Dia tak ingin mencari masalah baru. Lebam yang kemarin saja belum sembuh. Lebih baik diam dan dengarkan ocehan mereka, siapa tahu bisa jadi inspirasi untuk di buat skenario sinetron.
"Napa kok diam aja. Mulai detik ini kamu gak usah dekat-dekatin si Marsha lagi"
Kotaro melirik. Ini penindasan hak azasi. Siapa mereka?kok semena-mena menindas haknya. Kotaro geram. Dan....
Buuuuuuuuugggggghhhh!!!
Tonjokan manis mendarat di wajah yang amat standar itu.
"Kalian boleh menghinaku apa saja. Tapi, tolong hakku untuk dekat dengan Marsha bukan kalian yang memutuskan. Kalian sok suci aku penuh busa, eh dosa"
Kotaro kembali ke kelas. Tak ada yang perduli dengan kekesalannya itu. Semua teman sekelasnya hanya menganggap dia sebagai lelucon yang sebenarnya itu menyakitkan.
Pulang sekolah Marsha menunggu Kotaro pulang. Lambaian dan senyuman Marsha membuatnya bahagia. Dan hal itu, membuat wajah gadis berkepang dua itu cemberut. Seorang yang begitu menggebu-gebu mengejarnya kini hilang bersama Marsha sang gadis sangat populer. Kotaro berjalan berinringan bersama Marsha ke sekolah Putri. Tempat Minami bersekolah. Dengan rasa penasaran yang amat tinggi Kotaro menantikan Minami keluar dari pintu gerbang.
Ada banyak siswa yang berwajah cantik hilir mudik. Itu membuat Kotaro menahan air liurnya menetes.
"Itu Kak Minami" teriak Marsha
"Mana?" Tanya Kotaro penasaran.
"Itu yang keluar dari gerbang sekolah"
Kotaro melihat ke gerbang sekolah. Seorang siswi berambut panjang hitam terurai. Dengan bibir tipis , berkulit sama dengan Marsha. Itukah Minami. Inikah hasil dari keberantakan hidup Kotaro selama ini. Tuhan begitu sangat baik padanya, Pikir Kotaro.
"Itu yang rambut panjang itu"
"Iya" jawab Marsha melihat kakaknya.
Waaaaaaaaa....
Kotaro tak berhenti melongo. Menahan seluruh enzim air liurnya menetes keluar.
"Yang cantik itu kan"
Marsha mengkerutkan dahinya dengan pernyataan Kotaro.
"Hm....iy...ya" Marsha menjawab ragu.
"Cantik bener ya, kakakmu" kata Kotaro yang entah kemana perginya roh dalam dirinya.
"Eh...kakak!!!!" Teriak Marsha melambaikan tangan keseorang siswi bertubuh gempal. Berkacamata, berambut panjang. Diluar dugaan Kotaro. Minami yang dikhayalkannya tidak sesuai dengan kenyataannya. Kembali kata berantakan itu muncul dalam hidupnya. Keseratus kalinya dia merasa begitu berantakan dalam hidupnya.
"Ayo, jalan-jalan" ajak Marsha senang. Minami terdiam ketika melihat Kotaro. Mungkin Minami juga merasakan hal yang begitu shock ketika melihat Kotaro. Tidak sesuai apa yang dibayangkan.
Dan akhirnya Kotaro mengerti mengapa Minami bersekolah di sekolah putri. Karena dia tidak tahan dengan cemoohan-cemoohan laki-laki yang merupakan teman sekolahnya.
"Ternyata kamu kuat, ya . Kotaro" kata Minami memakan donatnya.
"Kuat apanya" Kotaro cemberut.
"Ya kuat menghadapi wajah-wajah sinis itu. Menghadapi omongan-omongan yang merendahkanmu" puji Minami.
"Hidupku sudah berantakan sejak kecil. Apa salahnya melanjutkan keberantakan itu sampai aku mati nanti" jawab Kotaro
"Kamu benar-benar pahlawan. Seperti Kotaro"
"Tidak ada yang istimewa dariku" Kotaro tidak tertarik dengan hal remeh temeh seperti ini. Makan bersama dua gadis di sebuah toko donat dengan seteko teh hijau hangat. Ini di luar nalar Kotaro yang memang berantakan.
"Kak...Kotaro hobinya apa?" Tanya Marsha.
Kotaru bingung. Selama ini hobi yang paling di tekuninya adalah bernyanyi, tapi di kamar mandi dengan suaranya yang cempreng.
"Hm...gak ada hobi yang bertahan lama denganku"
"Eh....kok sama" balas Minami "aku juga gitu, tapi dari dulu hobi yang aku sukai ya bernyanyi"
"Hahahahaha....suara kak Minami itu jelek banget loh" Marsha tertawa. Sedangkan Kotaro melongoskan badannya. Sambil berpikir mengapa ada dua manusia yang memiliki kesamaan seperti ini. Mereka bukan saudara kembar ataupun saudara seayah.
"Karokean, yuk" ajak Minami.
"Hayuuuk" Marsha setuju.
Dengan berat hati, Kotaro juga ikut berkaraoke dengan kedua gadis itu.






To Be Continued.....

Jumat, 28 Oktober 2016

Peri kecil

Hujan membasahi bumi pagi ini. Fagra menjadi malas untuk bangun. Karena hari libur, mungkin ini akan menjadi hari istirahat baginya. Tidak untuk ketika ponselnya berdering.
"Mandi hujan, yuk!" Ajak Grisa manja.
"Dimana?"
"Dilapangan kota"
"Malu akh, udah tua juga kok hujan-hujanan"
"Ayolah"
Ada beberapa hal yang tidak dapat ditolaknya. Bujukan rayu Grisa dan melakukan hal aneh seperti ini.
Peri kecilku, kau itu sudah tua...
Tapi suka tingkah kebocahanmu...
Aku juga ingin bermain hujan bersamamu....
Seperti masa lalu kita yang indah dulu...
Grisa bersiap-siap dengan jas hujannya. Memesan taxi untuk mengantarnya ke lapangan bermain di kota. Hujannya sudah mulai mereda. Tidak menyurutkan keinginan Grisa untuk bermain hujan. Baginya hujan adalah suasana yang romantis. Mengguyur tubuhnya di sela kesibukan yang padat. Melunturkan segala jenuhnya yang menimbun.
Fagra dengan mobilnya terparkir rapi didepan lapangan bermain kota itu. Lambaian tangan Grisa yang sudah tiba disana dan senyuman itu. Menambah energi yang baru merasuki tubuh Fagra.
"Ayo...ayo" tarik Grisa ke dalam lapangan bermain.
Fagra mengikut. Membiarkan tubunya terbasahi hujan.
Mereka sedang kembali kemasa kuliah dulu.
Fagra memegang buku-buku kuliah berlaru kearah Grisa yang sedang menunggunua di gazebo belakang kampus.
"Hujan. Tapi, aku harus ke perpusrakaan"
"Tunggu sampai berhenti" kata Fagra.
"Tidak bisa. Tulisanku harus segera diterbitkan di koran kampus"
"Ayolah" tarik Fagra menuju perpustakaan. Mereka hujan-hujanan. Berdua saja. Ada mata memandang sendu melihat mereka begitu bahagia berhujan-hujanan. Mata itu menunjukkan kecemburuan yang mendalam.
Peri kecilku, aku bahagia melihat senyumanmu...
Bersamamu bermandi hujan selama apapun itu....
Aku tetap bahagia....
Ponsel Grisa bergetar. Sebuah pesan singkat masuk , membuat Grisa garuk-garuk kepala.
"Ada apa sayang?" Tanya Fagra.
"Please deh, jangan panggil sayang. Aku tidak begitu tertarik, Gra dengan hal-hal seperti itu"
"Tapi, aku memang benar-benar sayang padamu, Grisa"
"Hm..." mata Grisa masih tertuju kelayar ponselnya. Membaca ulang pesan dari Nemi, seorang pengganti Wenna yang masih latihan selama 6 bulan di Amerika.
"Ada apa sih?" Tanya Fagra heran melihat Grisa begitu serius membaca smsnya.
"Antar aku ke kantor sekarang. Nemi sedang berada disana"
"Apa kau yakin?"
Grisa mengangguk yakin. Ini kali pertamanya Fagra menunjukkan diri didepan umum jalan berdua dengan Grisa. Apalagi ini kantor Grisa, disiang hari. Hubungan mereka akan berjalan lancar ketika di malam hari. Tak ada yang mengetahui kedekatan mereka. Tapi, hari ini semua akan terlihat jelas. Fagra yang masih basah membuka pintu mobilnya. Bersama Grisa yang juga masih basah-basahan menuju tangga darurat langsung menuju ruang kerja Grisa.
"Kau mandi dan ganti baju" kata Grisa menunjuk kamar mandi yang diruang kerjanya.
Fagra menurut.
"Sepertinya enak kalau mandi berdua"
"Jangan ngaco. Segera mandi"
Grisa sibuk membuka komputernya. Mencari apa yang diminta oleh Nemi.
"Akh, ketemu" Segera Grisa mengirim file tersebut ke email Nemi. Dan Nemi mendapatkan data yang diinginkannya.
Sembari menunggu Fagra selesai mandi. Grisa menyalakan tv dan melihat berita yang langsung muncul acara infotaimen. Beritanya tentang seorang aktor tampan yang berubah profesi menjadi seorang pilot.
"Aaaaaaaaaaaaa.....", teriak Grisa, membuat Fagra terkejut setelah keluar dari kamar mandi.
"Ada apa?" Tanya Fagra.
"Liat itu...liat...pilot ganteng yang aku katakan waktu di bandar itu. Ternyata dia artis sebelumnya. Kok aku gak tahu ya"
"Hahahaha....kecolongan ya. Jangan-jangan di majalah sebelah udah muncul artikelnya"
"Bakalan sibuk minggu ini. Aku harus cari tau profil pilot itu" mata Grisa berbinar.
Peri kecilku, aku rindu sinaran mata itu...
Matamu selalu berbinar dengan apa yang aku sukai...
Bahkan ketikaku memberikan janji-janji yang kau senangi...
Peri kecilku...
Berikan aku mata itu lagi...
Mata ketika memandangku lebih berbinar dari kau memandang dari siapapun...
Nemi tergopoh-gopoh membawa setumpuk berkas keruang kerja Grisa. Grisa yang masih pusing bagaimana caranya untuk bisa bertemu dengan pilot tampan itu. Benar saja, salah satu majalah saingan Grisa sudah menerbitkan profil singkat tentangnya. Grisa mencari info dengan berselancar di dunia maya.
"Buk...ini berkas-berkasnya. Maaf terlambat"
"Tak masalah, Nemi. Lambat laun kau juga terbiasa bekerja denganku. Untuk kali aku maafkan. Tidak berikutnya" kata Grisa mencari info pilot tampan itu.
Nemi permisi keluar ruangan, namun langkahnya terhenti ketika Grisa bertanya
"Nemi, apa kau tahu tentang pilot tampan itu. Beritanya lagi trending topik sepekan ini"
"Lah, ibuk belum tahu, ya. Diakan abang kandung Wenna"
"Apppppaaaaa!!!"
Bagaimana Grisa kecolongan dua kali. Seharusnya dialah majalah pertama yang bisa membuat profil pilot ganteng itu. Segera Grisa mengirim email kepada Wenna yang sedang latihan di Amerika.
Kegiatan kantor Royal Properti terlihat biasa saja. Tapi, ada yang sedang gusar. Ada rasa takut merajai pikirannya.
Peri kecilku, aku takut kehilanganmu
Takut sekali....
Bisakah aku menghentikan wajah ceriamu ketika melihat wajah pria lain itu...
Aku mohon peri kecilku....
Aku tak ingin kehilanganmu, lagi....
"Fagra, sudah kau selesaikan rencana pembangunan pabrik di dua kota itu" tiba-tiba direktur utama masuk kedalam ruangannya.
"Masih dalam proses, pak. Saya sudah melihat kerjanya, tingga 20% lagi akan rampung"
"Ingat, dua hari lagi"
"Iya, Pak"
"Seharusnya kau lebih tegas , Fagra. Kau masih muda. Sudah menjadi wakilku"
Fagra tersenyum mengangguk pelan.
Fagra mulai bosan dengan pekerjaannya ini. Ingin rasanya dia kabur dari kehidupannya ini. Bukan lari yang dia butuhkan ternyata, hanya suara renyah dari Grisa yang mampu menghapus rasa bosannya.
"Hai, sayang" sapa Fagra dari balik ponselnya.
"Fagra...fagra...kebetulan kau menelponku. Nanti malam bisa kita jalan berdua"
Jantung Fagra berdetak hebat.
Peri kecilku, untukmu aku selalu ada...
Jauh didalam hatiku, aku senang sekali.
"Mau kemana?"
"Kerumah Alpha"
"Alpha?siapa?bentar lagi juga akan ada Beta"
"Alpha, si pilot tampan itu" suara renyah itu sirna sudah.
Mengapa kau begitu bahagia sekali peri kecilku....
Mengapa???
Apa aku sudah tidak begitu menarik lagi bagimu...
Peri kecilku...
Malampun tiba, Grisa menunggu Fagra datang menjemputnya di kantor. Belum ada kabar. Mungkin sibuk. Grisa tak menelpon ataupun mengirim pesan. Sebaiknya dia pergi menggunakan taxi saja. Tak lama, taxipun datang membawanya ke perumahan elit di tengah kota. Baru dia sadari sebuah pesan masuk ke ponselnya, ternyata dari Fagra.
"Maaf, aku sedang mengawasi bagian humas untuk masalah pabrik baru kami. Kau bisa pergi sendirikan?"
Grisa membalas
"Iya, tak masalah. Semoga kau berhasil. Sekarang aku sudah berada didepan rumah Alpha"
"Iya"
Terlalu sibuk, cukup singkat membalas pesannya. Grisa segera menuju pintu utama rumah tersebut yang tanpa pagar. Sekeliling perumahan itu memang tanpa pagar. Karena sistem keamanan sudah terjamin dari gerbang depan. Bahkan ketika taxi yang membawa Grisa masuk harua di periksa menggunakan metal detektor. Cukup mewah untuk sekelas Grisa.
Aku sedang termenung sekarang....
Membayangkan senyum indahmu untuk orang lain....
Aku tak sanggup melihat cengkaraman matamu memandang semangat pria itu..
Aku juga tidak bisa melihat tawa renyahmu di saat kau terkagum
Peri kecilku...
Aku tak sanggup...
Dan aku lebih baik menghindar...
Seorang wanita yang sudah tua membuka pintu utama itu. Wanita itu masih terlihat sehat.
"Mencari siapa, Non?"
"Alphanya ada, mbok?"
"Den Alpha lagi keluar"
"Kapan kembalinya?"
"Kurang tahu, Non"
"Bisa tolong berikan ini kepada Alpha"
"Bisa ,Non"
Grisa memberikan daftar pertanyaan yang harus di jawab oleh Alpha ketika saat wawancara.
Grisa kecewa ketika tidak bertemu langsung dengan Alpha malam ini. Hujan rintikpun hadir ditengah-tengah kota. Kembali Grisa membuka ponselnya, setelah mandi dan sudah waktunya beristirahat. Tak ada pesan atau telepon dari Fagra. Mungkin sibuk. Mata Grisa masih asyik dengan bertatap kelayar ponselnya.
"Eeeh....ternyata dia maniak sosial media" reflek Grisa menambahkan pertemanan dengan Alpha, malam itu. Tak langsung diterima. Grisa mengirim pesan instant untuk Alpha.
Keesokan paginya, ditengah rintik hujan mengguyur kota yang mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan. Fagra masih menyimpan rasa takut.
Tak pernah aku setakut ini...
Mungkinkah aku benar-benar kehilanganmu, peri kecilku...
Aku belum bisa menerima itu...
Menerima kau bersama yang lain...
Fagra memasuki ruang rapat, disana sudah menunggu kepala staff bagian humas. Menyelesaikann tuntas pekerjaan mereka yang sudah dari seminggu yang lalu. Fagra tersenyum mengembang. Ponselnya berdering. Nada pesan singkat itu membuatnya terhenyak lagi.
"Doakan aku ya. Semoga hari ini bertemu Alpha. Hehehehe"
Fagra tak membalasnya. Untuk apa. Melihat Grisa bersenang-senang dengan pria barunya itu. Fagra terlupakan.
Bibir Grisa mengkerut. Tak ada balasan dari Fagra. Mungkin dia sibuk.
Peri kecilku, aku tak sesibuk itu....
Hari-hariku biasa-biasa saja...
Hanya saja aku selalu tak ingin merasa tersakiti...
Aku mengabaikanmu...
Mungkin malam nanti semua akan kembali seperti yang aku inginkan...
Bersama mu, berdua saja...
Tanpa pria baru itu di ujung pembicaraan kita...
Peri kecilku.
Langkah kaki Grisa semangat menuju rumah itu lagi. Setelah permohonannya kepada Wenna untuk memberikan waktu sedikit kepada Grisa mewawancarai Alpha.
"Wenna....bantu aku. Majalah kita kecolongan. Bantu aku untuk bisa mewawancarai abangmu" kata Grisa di balik telepon.
"Aku sudah menghubunginya, buk. Besok siang dia bersedia diwawancarai"
"Benarkah!"
Siang itu, hari ini. Grisa mengetuk pintu rumah mewah itu. Kembali lagi Grisa dipertemukan oleh mbok-mbok yang menjaga rumah itu.
"Non Grisa?" Tanya Mbok itu.
"Iya, mbok"
"Silahkan masuk, Non. Den Alpha baru saja selesai berenang"
"Oh.." Grisa mengangguk sambil duduk di sofa hitam terbuat dari kulit asli.
Alpha datang dengan sejuta senyuman. Lesung pipinya yang menawan bahkan gingsul indahnya membuat hati Grisa merasa tak karuan. Rambut klimis itu, sudah lama sekali dia menginginkan seorang pria berambut klimis panjang sedikit janggut dan itu semua ada di wajah Alpha.
"Selamat siang" sapa Alpha sambil menjulurkan tangannya.
"Siang" Griaa menyambut lembut ulurab tangan itu.
"Wenna banyak cerita tentang anda. Katanya anda penulis hebat di negeri ini. Setelah saya mengeceknya, ternyata saya termasuk fans berat anda"
Tiiiiingggg.....
Ada angin aneh yang masuk kedalam diri Grisa. Bagaimana mungkin getaran ini muncul disaat seperti ini. Grisa merasa kikuk. Tak tahu harus di mulai dari mana. Tatapan mata itu serasa panah yang menusuk-nusuk langsung ke ulu hati. Robek semua pertahanan. Luluh lantah sudah.
"Rileks..." kata Alpha mencoba menenangkan diri Grisa yang sudah mulai gemetaran.
"Sebentar" Grisa menarik nafas pelan-pelan lalu melepaskannya secepat angin berhembus. Membayangkan wajah Fagra. Hanya Fagra. Ini tugas, tidak lain tidak bukan.
"Silahkan!" Senyum Alpha membuncah kembali.
Dan Grisa mulai mewawancarainya. Perbincangan semakin masuk kearea pribadi.
"Anda tahukan. Pembaca kami kebanyakan kaum wanita. Yang saya yakini pasti mereka ingin tahu status anda?menikah , atau belum atau sedang berpacaran?"
"Tidak ada yang benar"
"Berarti single"
"Tidak juga"
"Jadi, sedang menunggu"
"Oh...ternyata pujaan hati"
"Dia sudah datang, saya tak menyangka dia datang secepat ini"
"Wow....pasti fans anda kecewa mendengar ini"
"Apa anda tak ingin mengetahuinya"
"Tidak" kata Grisa sambil tersenyum. Untuk apa Grisa harus mengetahuinya. Hanya untuk menghilangkan ilusi-ilusi gilanya. Usai sudah pertemuan 2 jam itu. Ada kelegaan dan rasa baru di hati Grisa. Senyum mengembang seperti terlahir kembali.
Lain halnya dengan Fagra, persentasi di depan beberapa calon konsumen terlihat sangat kaku. Dirinya sedang melayang membayangkan apa yang terjadi dengan Grisa. Dadanya terasa sesak sekali. Api cemburu merajainya.
Peri kecil, aku tak tahan lagi....
Berhentilah membayangiku dengan kau dan pria baru itu...
Seharusnya kau tak memberi tahuku tentang hari ini...
Begitu juga besok dan selanjutnya...
Aku tersiksa....
Apa kau mulai tak memahamiku, peri kecilku.
Berangsur-angsur Wenna menyelesaikan tulisannya yang berbentuj bahasa inggris. Kepalanya terasa berat. Ponselnya berdering. Nomor dari Indonesia.
"Inspiratormu luar biasa" kata Alpha dari balik ponselnya.
"Bagaimana , sudah selesai wawancaranya?"
"Belum, bahkan kami membuat janji di minggu berikutnya"
"Untuk apa?"
"Menaikkan rating majalahmu"
"Hahahahaha....." Wenna tertawa terbahak-bahak.
"Jika aku menyukainya, bolehkah?"
"Tidak. Dia sudah memiliki seseorang. Jangan kau ganggu dia. Aku yang akan memutilasimu jika itu terjadi"
"Wow...hahahhha....aku hanya bercanda. Tapi, jika itu terjadi tak masalah baguku di mutilasi. Jika aku bisa bersamanya sesaat"
"Jangan gila"
Minggu ini seharusnya menjadi momen terindah. Ketika Fagra mengajak Grisa kesebuah taman bunga raksasa. Warna warni bunga bermekaran. Kupu-kupu terbang kesana kemari. Langit biru cerah dengan gompalan-gompalan awan yang menggantung hampa.
"Terima kasih" kata Grisa yang sedang duduk berhadapan dengan Fagra disebuah tenda kecil.
"Apa yang tidak buat orang yang aku sayangi ini"
"Gombal" Grisa mengejek.
"Aku serius. Tapi, ada hal yang ingin aku katakan"
"Apa itu?kau ingin menikahiku"
Jantung Fagra terhenti sejenak.
"Apa kau ingin secepat itu"
"Tidak...tidak...aku bercanda" Grisa tersenyum pahit.
"Ini soal pekerjaan. Mungkin 6 bulan lagi aku akan dikirim ke Jerman untuk mengurus kantor pusat disana"
"Sebagai apa?"
"Aku juga belum tahu"
"Berapa lama?" Getir itu muncul di hati Grisa.
"2 tahun"
2 tahun itu berapa lama. Sebentar atau lama sekali. Grisa tak tahu. Dia hanya menunduk. Tak ingin wajah sedihnya terlihat oleh Fagra.
"Ponselmu bergetar"
"Eh...sebentar" Alpha yang menelpon
"Besok...baiklah. terima kasih"
"Siapa?" Tanya Fagra.
"Alpha"
Peri kecilku bisakah kau tak jujur padaku untuk hal ini...
Lebih baik kau berbohong...
Hatiku terasa tidak nyaman sekali, ketika nama pria itu kau sebut tanpa rasa bersalahmu yang membuat aku cemburu...
Peri kecilku....
Aku mohon berhentilah untuk jujur...
Hari ini ada obat untuk mengikis rasa sedih didalam hati Grisa. Cukup mendengar suara Alpha dengan janji hari senin akan bertemu untuk mengikuti kegiatan seharian Alpha.
Hari sangat cepat berlalu, rutinitas harian yang menjenuhkan. Butuh hal baru. Maka jadilah Grisa mengunjungi kediaman Alpha pada pukul 6 pagi.
"Jadi kita mulai dari pukul 6 pagi"
"Iya, aku akan mengajakmu olah raga"
"Olah raga" Mobil sedan mewah berwarna hitam itu melaju pelan kesebuah stadion megah untuk berolah raga. Mereka mengelilingi stadion yang luasnya 3 kali lipat lapangan bermain anak-anak pada umumnya. Grisa mulai terasa lelah. Mengapa juga dia harus ikut-ikutan. Sebenarnya Grisa bisa saja duduk sambil mengamati Alpha yang sedang berlari. Tapi, batinnya memicunya untuk turut ikut lari bersama.
"Kamu jarang olah raga, ya?"
" Ho oh" Grisa ngos-ngosan.
"Sebaiknya kamu itu rajin olah raga. Biar tubuhmu sehat"
"Saya tidak sempat. Tidak seperti anda yang punya waktu luang. Saya sibuk sekali setiap harinya"
"Bisakah , kamu ganti kata anda menjadi kamu"
"Eh..."
"Tak masalah bagiku. Aku lebih suka kamu memanggilku dengan kata kamu. Itu terlihat akrab"
Grisa terdiam sejenak. Tatapan mata itu lagi . Mengobrak - abrik tembok pertahanannya. Hancur lebur. Larut dalam sebuah bencana baru.
Mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah warung pinggir jalan untuk sarapan pagi.
"Eh, inikan kawasan kampusku. Jangan bilang kalau kamu mau sarapan di warung haji Romli"
"Bisa ditebak ya. Aku dan Wenna suka makan disini. Wenna yang mengajakku pertama kali"
"Aaarrrhh....jadi teringat masa lalu. Aku dan Fagra selalu sarapan disini"
"Oh...namanya Fagra"
Mobil sedan hitam itu berhenti. Warung Haji Romli memang selalu ramai. Bukan saja masakan bubur ayamnya yang enak, harganya juga terjangkau di kantong mahasiswa. Grisa mengeluarkan kamera poketnya.
"Untuk apa?"
"Untuk menaikkan rating majalahku. Hahahahaha...memangnya ada majalah selain majalahku meliput sampai sedetail ini"
"Hahahaha....jangan foto aku dari angel itu. Nanti kamu jatuh cinta lagi"
Tiiiiiinnnng.....
Angin berhembus pelan menerpa daun telinga Grisa. Dadanya berdegup kencang. Ini tidak boleh berlanjut. Fagra, dia selalu menyebut nama Fagra dalam hatinya. Seusai sarapan, Alpha membawa Grisa ke sebuah kolam berenang privat. Ternyata Alpha sudah menyewa kolam berenang tersebut. Letak kolam berenangnya ada di lantai 30. Tepat bersebelahan dengan conversation hall dimana Fagra sedang bernegosisasi terhadap investor. Grisa tersenyum sumingrah. Tak pernah dia bermain ke kolam semegah ini. Pemandangan pagi yang cerah, langit biru dan udara yang masih sejuk. Tanpa babibu, Alpha langsung membuka bajunya dan terjun ke dalam kolam berenang.
"Ayo, turun"
"Aku tidak bawa baju ganti"
"Tak perlu khawatir"
"Tidak , akh"
Alpha keluar dari kolam segera menelpon salah satu temannya yang bekerja di butik ternama yang satu gedung dengan kolam berenang mewah itu.
15 menit sepotong baju berenang teronggok rapi diatas dipan santai.
"Terlalu sexy, aku malu"
"Hei, jangan kuno"
"Tidak . Terima kasih. Aku akan tetap duduk disini memotretmu"
Tak ada perbincangan Grisa hanya menikmati pagi yang tenang ini. Tidak dengan Fagra yang sedari tadi berdiri didepan pintu masuk kolam berenang privat. Hendak menelpon, Fagra takut menganggu. Fagra di bakar api cemburu. Langkah kakinya mulai masuk ke area privat itu. Fagra akan tanggung resikonya jika beberapa petugas keamanan menyeretnya keluar. Belum melangkah, kedua sosok itu muncul.
Peri kecilku, kau kah itu bersama pria menarik itu....
Hatiku lebur...
Hatiku berantakan...
Seberantakan kertas-kertas dimeja kerjaku...
Sekusut rambutku...
Peri Kecilku, apa kau tak merasa sedang menyiksaku...
Aku cemburu...
Bolehkah aku menikam pria ini dengan belati....
Aku cemburu....
"Fagra. Sedang apa kau disini?"
Fagra tak menjawab, matanya hanya tertuju kepada Alpha.
"Hai" Sapa Alpha.
Fagra masih tak menjawab, matanya penuh api cemburu yang tertahan oleh sesaknya udara pagi ini.
"Fagra!" Panggil Grisa pelan. Grisa mulai gusar. Apa yang terjadi dengan Fagra pagi ini. Grisa menarik tangan Fagra mencoba menjauhi Alpha. Dengan senyuman Alpha permisi untuk pamit. Menunggu di dalam mobil.
"Kau , ada apa? Dia klienku"
"Haruskah sampai ke kolam berenag privat"
"Aku meliput kesehariannya. Demi ---"
"Demi kepuasaanmu untuk menyenangkan imajinasi gilamu, kan"
"Kau, ada apa denganmu? Semua demi majalahku, Fagra. Tidak ada yang lain. Bulan depan jika penjualan majalahku naik maka aku akan dapat promosi dari majalah tenar di Paris. Apa kau tak bangga dengan itu"
"Tidak"
"Kau, apa yang terjadi"
"Sudahlah! Aku sedang ada rapat" Fagra berlalu pergi.
Lagi...lagi....
Kau dengan seribu mimpimu....
Itu yang tak sanggup kuraih darimu...
Mimpimu lebih mengerikan dari apa yang kau lakukan....
Peri kecilku...
Aku selalu mendukungmu....
Tidak untuk seribu mimpi gilamu yang membuatku terasa jauh.
Grisa terburu-buru menuju basement. Meminta maaf kepada Alpha. Untuk hari ini cukup disini dulu. Tidak melanjutkan dengan perasaan yang tidak menentu. Itu akan merusak suasana saja. Grisa memesan taxi dan meluncur ke kantornya dengan pakaian olah raganya.
Sapaan demi sapaan menyambutnya. Senyuman kaku itu terpancar jelas. Dengan wajah aneh itu, setiap karyawan mulai bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi dengan bos mereka. Grisa merebahkan badannya di kursi kerjanya. Memikirkan kejadian pagi ini. Sungguh ini diluar pikirannya.
"Aku merasa, mereka tidak cocok" kata Alpha yang sedang menelpon Wenna
"Siapa?"
"Bosmu dengan mantan kekasihmu"
"Itu tidak benar. Mereka cocok sekali. Aku sangat iri ketika mereka ngobrol bersama. Tatapan mata mereka. Tajam sekali. Menyiratkan dia milikku atau sebaliknya"
"Aku yakin ada yang salah disana"
"Apa"
"Grisa , terlalu buta. Aku akan menyadarkannya"
"Kau...hei...kau mau apa?"
"Bye...my lil sister. Miss you so much"
"Hei...alpha...alpha!" Teriak  Wenna dari balik telepon yang sudah terputus.
Sejak api cemburu itu datang. Fagra tak satu haripun memikirkan Grisa. Dia lebih fokus dengan proyek investor yang menanamkan modal usaha pada perusahaannya. Mengembangkan pabrik baru di dua kota. Hingga akhirnya, direktur utamanya memanggilnya ke dalam ruang kerjanya.
"Selamat, Fagra. Kau sangat lihai dalam hal ini. Kerja kerasmu terbayar sudah. Aku akan mengirimmu ke Jerman untuk berkuliah. Apa kau bersedia?" Tanya direktur utama perusahaan Royal Properti.
Apa karena perasaan yang tidak karuan ini, peningkatan kinerja kerjanya bertambah. Apakah Grisa tidak diperlukannya lagi. Entahlah, Fagra hanya menggelengkan kepalanya pelan.
"Kau menolak?"
"Maaf....tidak pak. Aku akan ke Jerman memenuhi panggilan kuliah"
"Baguslah. Akhir bulan depan aku akan membawamu ke Jerman"
Peri kecilku...
Jarak...
Apakah bisa kita menaklukkannya...
Belahan bumi lain....
Apakah ini logis....
Peri kecilku...
Tunggulah aku, pulang.
Sinaran lampu yang redup membawa suasana menjadi sangat romantis. Grisa memakai gaun merah. Berdandan cantik. Tidak di restoran Italia. Melainkan di sebuah cafe taman terbuka yang berkonsep romantis. Taburan bintanh diangksa menjelaskan malam ini cerah. Ya, sangat cerah sebelum datang sebuah kabar itu.
"Bulan depan aku akan ke Jerman untuk kuliah"
"Berapa lama?"
"Dua tahun"
Glek...itu lama sekali atau hanya sekejab. Perputaran waktu itupun tiba. Akhir bulan yang dinantikan bagi Fagra. Tidak dengan Grisa yang melamun sendu dalam dirinya ingin berkata. Jangan pergi. Tapi, itu egois. Lambaian tangan Fagra mengakhiri pertahanan kesedihannya. Airmata itu membuncah mengalir sederas-deras. Grisa akan sendiri. Melakukan segala halnya sendiri. Tapi, ini tak seperti biasanya. Akankah sanggup menghadapinya sendiri.
Sesosok yang sedari tadi melihat adegan sepasang kekasih merelakan kekasihnya pergi jauh demi sebuah impian menggelengkan kepalanya. Sudah tak tahan lagi, melihat gadis impiannya itu tersedu dalam sebuah kesedihan. Kakinya melangkah pasti. Mendekap erat pundak gadis impiannya. Membiarkan lengan bajunya basah dengan airmata.
"Sudahlah. Kamu akan baik-baik saja"
Hiks...hiks....hanya itu balasan dari kalimat tegar itu.
Semua kembali kesedia kala. Tidak begitu buruk, namun tidak juga begitu baik. Komunikasi selama sebulan ini berjalan lancar. Tidak ada yang membuat debat panjang.
"Apa kau rindu, aku?" Tanya Fagra melalui video call.
Grisa mengangguk.
"Aku juga" Fagra tersenyum senang.
"Disini udaranya dingin sekali. Aku sampai-sampai mimisan"
"Separah itukah?"
"Iya. Grisa" suasan hening ketika nama "Grisa" tatapan Fagra sendu.
"Iya" jawab Grisa senyum.
"Ketika aku pulang nanti, aku akan segera melamarmu"
Gejolak apa ini. Bergetar hati Grisa mendengar kata-kata itu terucap dari bibir Fagra, lelaki yang sangat iya cintai itu.
Peri kecilku, aku tahu ini adalah janji....
Aku tidak tahu apakah ini akan aku tepati...
Tapi, aku tahu janji ini akan membelenggumu untuk tidak kelain hati...
Maafkan aku yang takut kehilanganmu....
Peri kecilku....
Tenanglah, jika aku sungguh maka itu terjadi....
Namun, aku tidak tahu kapan itu datangnya....
Alpha tertawa terbahak-bahak mendengar kisah cinta Grisa. Yang menurut Alpha begitu kaku.
"Aku yakin seyakin yakinnya. Dia tidak sungguh-sungguh mencintaimu, Gris"
"Darimana kau tahu"
"Siapa yang lebih banyak memberi dan siapa lebih banyak menerima"
"Perasaan ini bukan soal siapa yang memberi siapa yang menerima. Jika kau merasa tulus maka itulah rasa cinta tertinggi. Makanya dari dulu aku membiarkannya pergi kesana kemari, tidak mengikatnya. Itulah tulus"
"Tapi, jika dia tak jadi milikmu. Bahagiakah?"
"Entahlah. Aku hanya menjalaninya saja, seperti air sungai"
"Kau tak ingin mengetahuinya"
"Apa?"
"Apakah dia benar sungguh-sungguh mencintaimu"
"Cinta tak perlu di uji dengan sengaja, Alpha. Itu hanya orang-orang yang takut kehilangan"
"Jadi, kamu siap kehilangan"
"Apapun itu, usahaku hanya tetap bertahan menunggunya. Jikapun itu membuatnya berlalu. Berarti bukanlah dia jodohku"
Prok..prokk....Alpha tersnyum kagum melihat gadis impiannya ini berkomentar menusuk hatinya.
"Itu mengapa aku menyukaimu"
Grisa tercengang ketika Alpha bergumam kalimat itu.
Peri kecilku, ternyata zaman teknologi secanggih ini bahkan rindu tak dapat terbeli....
Bahkan rasa ingin bertemu lebih mahal dari harga sebuah pulsa data untuk menelponmu melalui video call....
Peri kecilku....
Aku ingin pulang.
Rindu padamu....
Ingin bersenda gurau....
Tapi pahit yang kurasa..
Aku sibuk, terlalu sibuk...begitu juga kau....peri kecilku....
Hubungan kedekatan Alpha dan Grisa sudah tercium awak media. Alpha yang sedang naik daun itupun mulai di buntuti paparazi. Wajah Alpha dan Grisa berseliweran dimedia cetak ataupun media televisi. Beberapa kali paparazi memergoki mereka sedang makan malam berdua. Atau Alpha sedang bermain-main kekantor majalah milik Grisa. Bahkan desas desus itu sudah menyebar seantero kantor. Bahwa Alpha sedang dekat dengan bos pemilik majalah wanita ternama itu. Bau aroma tak sedap itu tercium hingga Amerika dan Inggris. Wenna langsung menelpon Alpha. Melihat abangnya sedang di wawancarai oleh awak media dengan Grisa yang berada disampingnya menutup diri.
"Hei ... pernyataan macam apa itu. Kau sungguh-sungguh?"tanya Wenna yang mendengar bahwa gadis impian Alpha seperti Grisa.
"Ayolah, Wen. Bukannya dari dulu aku sudah ngefans dengannya"
"Tapi, ini mustahil. Semua rakyat negeri itu tahu"
"Sudahlah, Wen. Aku akan serius mendapatkannya. Tidak perduli dengan namanya Fagra itu. Siapa dia. Sehebat apa dia?secinta apa dia?aku akan memperlihatkannya kepadamu nanti. Dia tak sungguh-sungguh terhadap Grisa"
Wenna menutup telponnya dengan muka yang marah. Begitu juga Banzo yang uring-uringan melihat sahabatnya masuk televisi di acara infotaimen.
"Kau sudah gila. Bagaimana jika Fagra tahu hal ini. Bisa mati berdiri dia"
"Banzo...aku juga pusing. Banyak sekali awak media datang ke apartemen dan kantorku. Aku bingung harus sembunyi dimana"
"Makanya jangan bermain api"
"Banzo...bantu aku"
"Aku juga bingung. Mana mungkin kau ke Inggris. Bagaimana kalau kau bertemu dengan Fagra di Jerman"
"Tidak...tidak...aku tak ingin menganggu kuliahnya"
Hai peri kecilku...
Aku rindu...
Malam ini aku memandang langit penuh bintang dan seonggok bulan besar...
Kurasa ini purnama....
Aku jadi teringat padamu yang begitu menyukai bulan purnama...
Peri kecilku, aku berharap kau merindukan aku juga...
Tapi mengapa kau tak pernah menghubungiku terlebih dahulu...
Sesibuk itukah kau....?
Peri kecilku....
Bulan berganti, akhir tahun menjadi momentum yang sangat sibuk. Jadwal deadline fashion tahun depan sudah harus diterbitkan. Belum lagi masalah pollinh vote untuk sepuluh besar majalah terbaik seluruh dunia. Membuat Grisa semakin sibuk memajukan perkembangan majalahnya. Bulan depan, akhir desember Grisa akan terbang ke Paris untuk pertemuan direktur-direktur utama seluruh majalah wanita di dunia. Tak lama, hanya seminggu.
"Aku ingin tahun baru bersamamu" kata Grisa melihat wajah Fagra di layar ponselnya.
"Kau akan ke Jerman"
"Tidak"
"Lalu, aku akan ke Paris"
"Benarkah"
Grisa tersenyum sambil mengangguk pelan.
"Ke Eifel?'
"Hu um"
"Baiklah"
Peri kecil, takdirkah ini....
Dulu kau ingin sekali dilamar di landmark ini...
Eifel, mimpi kita akan terwujud tahub baru nanti....
Aku akan segera melamarmu disana....
Dengan seribu bunga rindu...
Bertekuk lutut seperti pangeran berkuda putih....
Membawa cincin bershapire ungu....
Akh, aku sudah membelikannya untukmu...
Di hari itu, sangat kunantikan....
Ini masih rahasiaku....
Kejutan untukmu...
Peri kecilku....
Sambil tersenyum senang Fagra memegangi cincin berbatu saphire berwarna ungu yang dipesannya langsung dari Spanyol. Hadiah istimewa untuk yang tercinta.
Alpha mengantarkan Grisa ke Bandara, sekalian menjemput Wenna yang pulang dari Amerika. Grisa pamit, melambaikan tangan. Dengan senyum tegar Alpha melambaikan tangannya.
"Ini lebih menyakitkan ternyata" gumam Alpha dalam hati.
Grisa langsung disambut oleh panitia lokal penyelenggara acara termewah ini. Beberapa orang yang Grisa kenal langsung menyapanya. Malaysia dan Singapura adalah partner terbaik bagi majalah Grisa. Mereka bercengkarama. Melihat jadwal acara yang lamanya seminggu itu. Beberapa dari mereka juga bertanya tentang gosip kedekatannya dengan Aktor yang menjadi pilot itu.
Grisa menjawab hanya sekedar teman, tidak lebih.
Tapi, mata-mata itu memasang rasa tak percaya. Media masa begitu membesar-besarkan masalahnya. Grisa hanya tersenyum. Ternyata acara puncaknya di malam 30 Desember. Grisa merasa itu sudah waktu yang sangat pas.
"Aku sedang menuju hotelmu. Kau siap-siap ya" Banzo mendarat mulus di Bandara Paris.
"Apa, kau sudah di Paris"
"Iya, melihatmu untuk tampil diatas podium"
"Hahahahaha....terima kasih"
"Fagra sudah datang?"
"Belum....semenjak aku , sampai dia tak membalas pesanku. Aku rasa dia sibuk"
Aku tak sesibuk itu peri kecilku...
Aku sakit....
Sakit ini merajalela...
Ketika aku melihat wajahmu tersenyum bahagia bersama pria itu...
Aku ciut....
Aku kalah...
Apa aku harus menyerah....
Memandang wajahmu yang berkilau...
Mana aku sanggup menggapaimu....
Aku mundur...
Dan aku benar-benar menyerah, peri kecilku...
Lupakan saja janji kita...
Suasana riuh sekali. Kursi-kursi merah sudah dipadati oleh penonton. Banzo mendapatkan kelaa VIP, hanya tersedia 2 kursi VIP untuk peserta. Satunya lagi untuk Fagra. Namun ketika acara dimulai kursi yang berada di sebelah Banzo masih kosong. Berkali-kali Banzo mencoba menenangkan Grisa.
"Sudahlah, biar aku yang urus. Kau segera ke backstage" tepukan halus dipundak Grisa itu sebagai penguatnya.
Banzo segera menghungi Fagra. Tak di jawab, pesan singkat tak di balas.
"Fagra" terdengar suara wanita yang sedang berada dikamar Fagra mendengar ponsel Fagra berdering.
"Ya"
"Ponselmu berdering, honey"
"Oh...biarkan saja. Itu tidak penting"
"Honey, cincinya indah sekali. Aku suka" Perempuan bule itu memeluk Fagra dengan erat. Tak melihat kekasihnya itu sedang menitiskan airmata.
"Iya"
Banzo sudah lelah menghubungi Fagra yang tak menjawab semuanya.
"Aku ingin menonton tv , honey. Malam ini ada acara seru di Paris. Seluruh direktur majalah wanita berkumpul disana"
"Silahkan"
Apakah Fagra sanggup melihat kilauan itu.
Peri kecilku, aku tak ingin tersakiti...
Lebih baik aku seperti ini lagi...
Mengabaikan janji kita....
Aku tahu aku egois....
Karena aku tak sanggup tersakiti...
Aku tak sanggup...
Peri kecilku...
Kau semakin jauh dengan seribu mimpimu...
Lampu warna warni menyoroti setiap tribun. Mulai dari bintang tamu sampai tamu spesial tersorot jelas. Semua mata tertuju pada sorotan cahaya lampu yang sedang duduk seorang pria yang begitu populer di tempat kerjanya. Pria itu tersenyum manis menyapa penonton. Tidak dengan Grisa yang hanya melamunkan Fagra yang tak ada kabar. Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang amat menyedihkan bagi Grisa, sang terkasih tak datang memenuhi undangannya. Seharusnya malam ini Grisa akan memperkenalkan kepada dunia bahwa lelaki yang beruntung itu adalah Fagra.
Acara nominasi untuk majalah wanita terbaik di bidang tulisan. Majalah Grisa termasuk nominasi. Grisa tak mengharap banyak untuk menjadi juara. Saingannya begitu hebat.
Ketika sang pembaca nomitor itu berseru dengan kata
"SriKandi"
Grisa terperanjat. Seluruh lampu sorot mengarah padanya. Ternyata majalah Grisa keluar sebagai pemenang.
Riuh tepuk tangan dari bangku penonton bergema keseluruh ruangan.
"Terima kasih kepada Tuhan yang maha Esa. Terima kasih Mama dan Papa serta sahabat terbaikku Banzo dan ---"
Tiba-tiba sesok pria yang disorot tadi mendekati podium. Semua mata tercengang.
"Wait a minute" kata Pria itu tak lain tak bukan Alpha.
"Alpha!"seru Grisa terkejut
"Good night, everyone. Disini aku akan menyatakan sesuatu keseluruh dunia. Agar dunia tahu bagaimana perasaanku"
Wenna menepuk jidatnya ketika melihat Alpha berdiri diatas podium bersama Grisa.
"Ini petaka" kata Wenna menonton dari layar televisinya.
Sorot mata itu tajam. Hatinya tak karuan. Ini gila, ini bisa membuatanya gila.
"Matikan saja acaranya tidak seru" kata Fagra kepada wanita bule itu
"Ini acara bagus. Seharusnya kamu bangga negara kamu menang di nominasi ini"
Aku bangga...
Jelas, aku bangga sekali...
Dia peri kecilku...
Dia peri kecilku...
Dia yang sedang berdiri disana dengan kemilau impiannya....
Aku yang terpuruk dengan kenaifanku yang tak mampu menggapaimu...
Aku masih si pengecut, peri kecilku....
Peri kecilku, selamat untukmu yang selalu aku sayangi...
Semua terdiam. Kalimat apa yang akan di ucapkan Alpha malam ini. Siaran langsung ini mendadak mendapat rating tertinggi. Ini bukan hanya sekedar mencari rating. Ini adalah kesungguhan.
"Aku sudah menyukai wanita yang berada disampingku sejak dulu. Sejak tulisannya terbit di mading kampus. Tapi, aku hanha diam. Aku belum menjadi seperti ini. Dia terlalu berkilau saat itu. Tulisan-tulisannya begitu mempesona. Hingga aku ingin mengenalnya. Sampai takdir membawaku kembali padanya. Grisa, didepan seluruh mata dunia. Bersediakah kamu menerima ini" sebuah kotak kecil berisikan benda berharga.
Wenna merasa panas hingga menangis, melihat abangnya benar-benar sungguh kepada Ibu Direkturnya itu.
Banzo terdiam, menahan kepalan ditangannya.
Begitu juga Fagra yang menitiskan airmatanya melihat adegan yang seharusnya itu menjadi momennya.
Peri kecilku..
Aku ingin mati sekarang....
"Terima, terima...terima" sorak-sorak dari bangku penonton menggetarkan hati Grisa.
Tembok pertahanannya berkali - kali hancur dan dibangun, untuk malam ini kepingan-kepingan itu tidak dapat disusun kembali. Alpha berhasil meruntuhkan segalanya tanpa sisa. Tangan mungil Grisa meraih kotak itu.
Wenna melongos , tersedu-sedu. Begitu juga Banzo yang tak kuat menahan airmatanya. Bahkan Fagra mematikan acara yang bisa membunuhnya malam ini.
Tepuk tangan serta siulan bahagia terdengar riuh sekali. Semua orang terharu melihat pemandangan yang persis di film-film romantis itu. Grisa mengeluarkan airmatanya.
"Maafkan aku, Fagra. Aku sudah terlalu kecewa kepadamu. Hingga malam ini , kau tak kabar. Aku pergi" kata Grisa dalam hati dan tangisnya.
"Wooooooooooaaaaaaaaaaaah" seru penonton.
"Kissing...kissing!" Teriak penonton.
Grisa menggelengkan kepalanya, dan Alpha menghargai keinginan Grisa itu.
Semua akan menjadi berubah. Kehidupan baru bagi Grisapun menjelang hingga awal tahun itu. Dibawah menara Eifel, Alpha melamar Grisa dengab sebongkah cincin saphire berwarna ungu.
Malam sebelum tahun baru itu di mulai. Grisa menelpon Fagra, namun orang lain yang mengangkatnya. Suara wanita bule dengan merdu menjawab.
"Halo!"
"Iya, apakah ini kamar Fagra"
"Iya, benar"
"Siapa , honey" terdengar lirih suara Fagra memanggil wanita itu dengan sebutan honey.
Tak ada jawaban dari Grisa. Ternyata, Fagra sudah tak menginginkannya lagi.
"Thank You, Claudia. You are the best" Fagra tersenyum sendu dalam tangisnya.
Peri kecilku....
Maafkan aku....
Inilah cara terbaik untuk menghapusmu...
Memutuskan benang merah yang kita rajut...
Sekarang berakhir sudah....
Angin yang sejuk. Grisa kedinginan. Namun, tangan Alpha menggenggam erat dan memasukkannya kedalam kantong jaketnya.
"Kita berkeliling ya"
"Hu um" senyum Grisa.

"Apakah kau baik-baik saja Fagra? Warnamu memudar, Alpha datang memberi warna cerah bagiku. Apakah kau tak merindukan aku, Fagra. Dari sahabat yang selalu tulus ingin bersamamu, Grisa"

Peri Kecil

Apa yang sedang kau lakukan peri kecilku.
Kau selalu saja melayang-layang dipikiranku.
Bahkan ketika aku sibuk.
Tak luput juga ketika melamun.
Kau sungguh menguras pikiranku.
Semua daya energiku.
Peri kecilku, datanglah malam ini.
Aku membutuhkan bahumu untuk menopang masalahku.
Malam senyap menyelimuti ruang kerja Fagra. Sebagai wakil direktur yang baru ini baginya masalah besar. Tidak tanggung-tanggung, tugasnya menumpuk hari ini. Mulai dari masalah penanganan kinerja karyawan, upah pekerja pabrik yang ingin minta dinaikkan dan perusahaan pusat meminta untuk segera melaporkan program kerja tahun depan.
Sibuk sekali. Kertas-kertas berserakan dimeja kerjanya. Kepalanya pusing. Matanya sudah mulai perih menatap layar komputer. Rambutnya berantakan tidak karuan. Bahkan dasi mahalnya terselempang acak-acakan di lantai. Ini mustahil akan selesai besok. Fagra terus menggeleng-gelengkan keplanya.
Peri kecilku, datanglah...
Datanglah kesini....
Temani aku dikala gundah....
Peri kecilku....
Sebuah ketukan halus terdengar dari balik pintu. Fagra membuka kuncinya melalui remot kendali yang berada dilaci meja kerjanya.
Seorang bertubuh mungil. Berwajah teduh. Memberikan aura baru malam ini. Grisa, datang menjenguknya malam ini di kantornya.
"Ada yang bisa aku bantu?"tanya Grisa sambil melihat sekeliling ruangan yang berantakan.
Fagra tersenyum.
"Jadi ini ruang wakil direktur itu?"
Kembali Fagra tersenyum. Seperti ada semangat baru yang tersalurkan ke seluruh tubuhnya yang lelah itu.
"Mengapa dari tadi tersenyum terus?" Tanya Grisa memungut kertas satu persatu dan menyusunya rapi diatas meja kerja Fagra.
"Luar biasa. Bagaimana bisa. Aku sedang memikirkanmu. Tiba-tiba kau muncul"
"Bukannya kita memiliki telepati yang dihubungkan benang merah, Fagra?" Grisa tersenyum kecil.
"Tunggu aku, ini akan segera selesai. 2 jam lagi"
"Baiklah. Aku paling suka menunggumu sedari dulu"
Grisa membaringkan tubuhnya diatas sofa empuk berlapis kulit dan memmbaca novel yang selalu dibawanya. Fagra yang masih berkutat dimeja kerjanya dengan kembali lancar meneruskan tugasnya yang tertunda. Tak ada pembicaraan malam itu. Kedua insan tersebut larut dalam kehingan masing-masing.
Terima kasih peri kecilku....
Kau yang paling tahu apa yang aku inginkan...
Kehadiranmu , bahkan senyuman itu bagaikan cambuk mesra untukku bekerja malam ini....
Menghabiskan waktu semalaman dikantor Fagra itu adalah hal yang biasa. Entah dimulai dari kapan telepati itu selalu muncul tiba-tiba. Tergerak. Bergetar. Dan terasa aneh , namun itu menyenangkan bagi Grisa.
"Kau , ada yang aneh di matamu?" Kata Fagra membangunkan Grisa yang terlelap dalam novelnya.
"Kotoran mata!" Cemberut Grisa.
"Hahahahaha....jika aku mengatakan ada pelangi. Itu terkesan gombal, kan!"
"Hahahhaha.....ini masih pagi, Gra. Aku sebaiknya pulang. Aku harus kerja. Bagaimana pekerjaanmu?"
"Sudah selesai"
"Kau berhutang budi lagi padaku. Seharusnya kau traktir aku makan di restoran italia"
"Baiklah. Besok malam" kata Fagra melihat kalender mejanya.
Grisa tersenyum, tapi pahit. Ketika janji sebelumnya juga begitu. Ketika semua janji terdahulu tak terpenuhi. Semua lenyap seketika bersama alasan yang klise. Lupa. Itu semua alibi bagi Fagra untuk tetap bisa bertahan dalam lingkran ternyamannya masa ini. Akan tetapi, bagaimana bisa Grisa tetap bertahan di posisinya sebagai peri kecil yang kuat. Padahal kenyataannya begitu menyiksa. Ini tidak seperti kisah dalam drama-drama favoritnya. Tidak seperti kisah-kisah romansa dalam novel sastra terbaik. Tidak seperti itu.
Jalanan mulai ramai, tak sempat untuk mandi. Grisa mencuci mukanya dan menuju kantornya menggunakan taxi pesanannya tadi. Lambaian tangan Fagra menyiratkan, tunggu aku besok itu membuat Grisa menantikan hari besok dengan semangat dan senyuman.
Peri kecilku, sungguh aku bahagia.
Bahagia bersama senyum dan semangatmu...
Ini seperti lantunan piano berbisik indah ditelingaku....
Aku tak sanggup menggapaimu....
Kau begitu sempurna dengan mimpi-mimpimu.
"Bu Grisa , saya mohon segera terbitkan artikel yang saya tulis kemajalah ibu"
"Maaf, Wen. Aku tak bisa. Tulisanmu sangat bagus. Akan tetapi, majalah kita adalah majalah netral. Tidak untuk hal ini. Maafkan aku"
"Bukankah ibu tidak suka ketidak adilan"
"Aku tahu" jawab Grisa singkat sambil berpikir, bagaimana caranya tulisan Wenna tidak terlalu mencolok atas keperpihakannya atas suatu partai politik.
"Bu, aku mohon"
"Baiklah. Aku akan mengedit ulang tulisanmu. Ini tidak mudah, Wen. Harga diri majalah ini taruhannya. Tapi, ini keadilan untuk semuanya"
"Terima kasih, bu" Wenna meraih tangan Grisa dan menggenggamny penuh harapan.
Tak ada waktu untuk melamunkan mimpi besok. Tugas Grisa didepan mata. Mengedit tulisan itu hal yang tidak mudah. Bukan juga hal yang sulit baginya sebagai seorang penulis. Ini semua berasal dari kerja kerasnya, hingga tercapai di puncak tertinggi perusahaannya. Majalah wanita ternama seantero nusantara. Gedung 10 lantai berdiri megah menjadi simbol betapa hebatnya si pendiri majalah ini.
Berkali-kali Grisa melihat ponselnya. Tak ada pesan ataupun telepon. Yang ada hanya layar hamparan bunga matahari yang menjadi wallpaper ponselnya.
Tak ada Fagra hari ini. Sibuk. Bisa jadi. Pikirnya.
"Grisa. Kau dimana?" Tanya Fagra malam itu. Sudah pukul 7 malam. Malam ini, janji itu.
"Aku masih dikantor. Karyawanku ngotot ingin menerbitkan tulisannya. Ini akan menjadi petaka jika aku tidak mengeditnya"
"Kau sibuk?"
"Tidaklah. Aku tidak pernah sibuk. Kau, ada apa?'
"Proposalku di tolak perusahaan pusat!"
"Bagaimana bisa?"
"Kata mereka itu terlalu mengancam perusahaan. Bisa-bisa aku akan turun jabatan besok"
"Ayolah, semangat. Aku tak suka mendengar keluhanmu"
Peri kecilku, maafkan aku.
Aku sengaja melupakan janjiku padamu hanya untuk menepati janji lainnya....
Maaf....
Aku yakin kau selalu memaafkanku...
"Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin sendiri"
"Baiklah. Aku tahu itu. Hubungi aku jika kau sudah bisa diajak bicara"
"Iya"
Telepon ini adalah alasan untuk Fagra melupakan janjinya kepada Grisa. Dan Grisa mengetahuinya. Ini sangat menyakitkan. Tetes airmatanya turun lembut membasahi pipinya yang mengering karena AC. Ini sungguh terlalu. Grisa menyiksa dirinya terus menerus. Diperdayakan perasaan yang dia tidak tahu sampai kapan ini akan berakhir. Tak muda untuk mengakhirinya.
Peri kecilku, aku sedang tidak sendiri.
Aku takut jujur padamu...
Bukan hanya kau yang di hati....
Tapi, wanita ini lemah tanpaku...
Ini bukan mengkhianatimu, kan. Peri kecilku.
Tawa gelak itu, suasana itu. Tidak terlihat masalah bagi Fagra. Malam ini, dia sedang menyenangkan hati seorang gadis dalam selipan kehidupannya saat ini. Senyum sumringah dari wajah gadis ayu itu melingkar tulus. Genggaman tangannya menghangatkan suasana di restoran italia yang bercahaya redup ini. Sungguh romantis.
"Apa kau tidak sibuk, Fagra?"
"Tidak, demi kau"
"Gombal"
"Ini jujur"
"Serius?"
"Sungguh"
"Aku suka matamu, bagaimana bisa mata itu menyihirku malam ini"
"Kau ternyata lebih gombal dariku"
Mereka berdua saling pandang dan masuk kedalam sebuah perasaan yang menggetarkan.
Peri kecilku, ini bukan penghianatankan.
Aku masih butuh kau...
Tapi, dia terlalu menggoda ku...
Maafkan aku....
Tak ada pagi yang tak indah. Karena pagi adalah awal dari segalanya. Senyuman bertebaran dimana-mana. Sapaan semangat selalu membuncah langit-langit bagi pekerja keras. Dan setiap orang berharap bahwa hari ini akan selalu pagi untuk selamanya. Begitu juga Grisa, hatinya sedang senang bukan kepalang. Terbitan majalahnya bulan ini meningkat pesat. Artikel yang ditulis Wenna begitu memukau.
"Selamat , Wenna. Kau akan dapat bonus bulan ini"
"Terima kasih , buk. Seharusnya aku yang berterima kasih kepada ibu karena sudah memberikan izin untuk artikelku"
"Sudahlah. Bagaiman malam ini kita makan malam di retoran italia. Apa kau bisa?"
"Maaf, buk. Malam ini aku tidak bisa. Aku sudah ada janji dengan seseorang" kata Wenna tersenyum tersipu malu.
"Kekasihmu?atau pujaan hatimu?"
"Apa bedanya, bu?"
"Kekasih itu sudah pasti pujaan hatimu. Akan tetapi pujaan hati belum tentu kekasihmu"
"Ibu, luar biasa. Wajar ibu menjadi penulis nomor satu di negeri ini. Untuk saat ini masih pujaan hati, bu"
"Baiklah. Aku turut senang. Aku menunggu kabar gembira darimu"
Wenna mengangguk dan segera pamit untuk kembali ke ruangannya.
Langit cerah menjelang tengah hari. Warna biru terlihat jelas dari balik kaca ruangan Fagra. Tatapan kosong, bingung dan bersalah. Semua bercampur dalam tugas yang tak urung selesai. Deadline sudah didepan mata. Proposal program kerja ditolak mentah-mentah.
Peri kecilku, aku mohon hubungi aku saat ini. Aku ingin mendengar suaramu.
Tawamu memmbawa semangat bagiku.
Pemikiranmu, daya dengarmu yang tulus.
Peri kecilku, aku mohon.
Sebuah deringan ringtone ponsel milik Fagra terdengar jelas. Ringtone itu berbeda dari nada dering lainnya. Itu spesial. Tanda dari langit memberi keberkahan baginya. Jika ingin maka dapat.
"Hai, sedang apa?" Tanya Grisa dibalik telepon kantornya.
"Kau memakai fasilitas kantor untuk urusan pribadi?"
"Siapa bilang ini urusan pribadi. Minggu depan aku akan menemui direktur perusahaanmu. Aku ingin mewawancarainya"
"Tapi ini akan menjadi perbibcangan pribadi pada akhirnya"
"Sudahlah, kau catat tanggal di kalendermu sekarang. Aku tahu betul kau pelupa akut"
Tidak untuk hal ini peri kecilku...
Sungguh aku ini pengingat...
Mengingat semua janjiku padamu....
Tapi, sungguh aku tak sanggup menggapaimu....
Dihadapan seribu mimpimu...
"Aku sudah mencatatnya di kalenderku"
"Baiklah, terima kasih"
"Hanya itu?"
"Iya"
"Tidak ada yang lain?"
"Tidak"
"Misalnya kau rindu aku, gitu"
"Hahahahahhaa....ini sudah siang, Fagra. Sebaiknya kau cuci mukamu. Mungkin kau kelelahan"
"Aku memang merasa lelah, Grisa"
"Aku tahu maksudmu. Nanti malam aku kan ke kantormu"
"Tidak untuk malam ini"
Maaf, peri kecilku. Aku menolakmu untuk kali ini.
Karena ada janji istimewaku pada wanita spesial itu.
"Oke...oke...."
Terasa ada sesak didalam hati. Tercekat dalam menahan emosi. Ini tidak bisa di tolerir, perasaan yang mengambigu ini tidak seharusnya hadir saat ini. Marah. Untuk apa. Bukan salag siapa-siapa. Tak ingin salah sangka Grisa langsung menutup teleponya dengan rasa kecewa.
Suara itu menumbuhkan semangat baru untuk Fagra melanjutkan tugasnya dan segera menyelesaikannya. Akan tetapi ada seorang yang merasa hampa ketika melihat laya komputernya, terlamun dalam kekecewaan pada pengharapan besar. Ini sudah semakin salah.
"Bagaimana, kau suka cincinya?" Kata Fagra memberikan cincin berbatu saphire ungu.
"Suka. Terima kasih"
"Kau cantik sekali malam ini"
"Sudah jangan menggombal. Aku tidak terlalu suka. Itu terdengar menggelikan"
Peri kecil, dia mirip denganmu. Tak suka aku gombalin.
Senyum tulusnya juga mirip denganmu...
Aku....
"Aku serius. Ini jujur"
"Aku sudah terlalu bosan dengan kata-kata itu"
"Tidak akan bosan jika kata-kata itu keluat dari mulutku. Aku kangen sekali denganmu"
"Hehehehe....kangenmu itu bukan hanya untukku, kan!"
Lihatlah peri kecilku, dia mirip sekali denganmu. Menebak tepat pada sasarannya. Bahwa dia tahu aku juga merindukanmu peri kecilku.....
Namun, aku tak sanggup menggapaimu...
Malam ini menjadi malam panjang kebahagian bagi Fagra. Tidak halnya dengan Grisa yang sedang duduk sendiri menatap langit hitam berbintang diatas gedung miliknya. Berasama beberapa kaleng minuman ringan dan sekotak donat cokelat, malam ini Grisa lupa akan dietnya. Rindu ini begitu menyiksa. Sudah hampir seminggu dia tidak bertemu dengan Fagra. Ingin menelponya, Grisa tahu ini akan membuatnya merasa terganggu dengan kesibukannya malam ini untuk menyelesaikan tugasnya. Angin malam berhembus pelan kedasar sebuah rasa yang menghampa. Tak lama sebuah pesan singkat mendarat dilayar ponselnya.
"Datanglah kekantor, aku sedang sendirian. Ada yang ingin aku bicarakan padamu"
Bergegas Grisa segera menuju kantor perusahaan dimana Fagra bekerja. Berlali menuruni anak tangga, karena semua eskalator dan lift sudah tidak beroperasi lagi. Tak peduli kakinya lecet karena menahan beban tubuhnya. Pertanyaan pertanyaan bermunculan didalam pikirannya. Segera Grisa memesan taxi melalui ponsel pintarnya. Tepat Grisa sampai digerbang kantornya, begitu tepat juga taxinya menjemputnya.
"Royal Properti ya, Pak"
"Iya, mbak"
Taxi membelah kegelisahan Grisa. Perasaanya berbunga-bunga. Rindu yang terpendam akan membuncah malam ini. Lalu lalang kenderaan tak membuatnya merasa terganggu, suara klakson yang membahan ketika lampu merah terasa amat merdunya.
Dan pintu itupub terbuka. Fagra sedang duduk menghadap jendela. Grisa masuk keruangan dengan rasa yang bergetar. Hening. Fagra bangkit dan berbalik. Sebuah tetesan airmatanya terurai lembut dipipinya.
"Kau, ada apa?" Tanya Grisa mendekati Fagra.
Fagra terduduk dilantai, kakinya lemah. Tak sanggup berdiri.
"Tugas ini menyiksaku" jawab Fagra menutup wajahnya yang penuh airmata.
Maaf, maafkan aku peri kecilku.
Ini bukan tangis karena tugasku....
Ini tangisku karena sudah merasa bersalah padamu...
Bersalah karena aku membohongimu....
Bukankah aku begitu kejam....
Tapi, mengapa kau masih berada disisiku...
Sungguh aku tak sanggup menggapaimu....
"Selemah itukah, kau sampai menangis karena tak selesaikan tugasmu?"
"Iya, aku bingung"
Bukan karena tugasku, akan tetapi dengan perasaanku....
Aku butuh kau peri kecilku...
Tapi wanita itu butuhku..
"Huft!!! Kau banyak berhutang budi padaku. Aku akan membantumu untuk menyelesaikan tugas-tugasmu. Mari kita kerjakan bersama"
"Terima kasih" Fagra mengusap airmatanya dan tersenyum senang. Itu sudah cukup membuat Grisa bahagia, hanya senyuman itu yang membuat tanda tanya besar dalam dirinya terjawab sudah. Grisa sangat mencintai pria ini, tulus dari dalam hatinya.
Grisa memegang kendali keyboard komputer milik Fagra, sedangkan Fagra berkutat mencari informasi dari berkas-berkas program kerja beberapa tahun yang lalu. Bukankah ini sebuah team kecil yang sangat kompak dan harmonis. Saling mendengarkan, menerima pendapat lain. Tersenyum semangat ketika sudah merasa lelah. Dan melakukan tos pada akhir tugasnya. Ini lebih romantis dari kisah drama-drama favorit Grisa.
"Uurrrrrggghhhhh....sudah jam 5 pagi. Aku harus segera pulang"
"Aku antar"
"Tidak perlu. Aku tidak semanja itu, Fagra. Sebaiknya kau mandi, dab istirahatlah sejenak. Agar kau segar kembali ketika rapat kerja nanti. Semangatlah. Aku selalu mendukungmu, selalu berada disisi terbaikmu" Grisa tersenyum.
Energi baru itupun muncul kembali. Ini bukan masalah perasaan lagi. Ini sudah masuk ke ranah energi hebat yang merasuk kedalam diri Fagra dan membuat hidupnya kembali hidup.
Kembali pagi, suasana kantor majalah wanita itu kembali ramai. Beberapa jurnalis sibuk mengetik artikel-artikel untuk diterbitkan bulan depan. Majalah bulanan yang bergengsi, tidak hanya membahas tentang belanja ataupun perhiasaan dab fashion , lebih mengarah kepada independen female. Grisa mulai sibuk membaca artikel-artikel yang dikirim oleh penulis-penulis dikantornya melalui email. Memberikan catatan-catatan kecil di setiap tulisan. Apa yang harus diubah atau sekedar mengurangkan kata-kata mubazir.
Wenna masuk membawakan secangkir teh manis dingin.
"Bagaimana kau tahu, aku suka teh manis dingin?"tanya Grisa heran.
"Dari dulu aku menyukai tulisan-tulisan ibu. Di tulisan itu selalu ada kata teh manis dingin menjadi minuman favorit si tokoh utama. Aku rasa ibu menyukai teh manis dingin"
"Hahahaha...cerdas sekali"
Wenna meletakkan teh manis dinginnya diatas meja kerja milik Grisa.
Tak sengaja Grisa melihat kearah jemari Wenna.
"Dari pujaan hatimu?" Tanya Grisa langsung menatap layar komputernya.
"Iya. Katanya batu shapire berwarna ungu itu membawa aura semangat"
Grisa melayang jauh kebeberapa tahun yang lalu. Disebuah kafe tempat dimana Fagra dan Grisa yang masih meniti karir diawal pekerjaan mereka. Grisa membawa majalah tentang perhiasaan.
"Lihat, lihat. Cincin berbatu saphire ungu ini cantik sekali ya"
"Iya. Apalagi kalau punya uang. Hahahaha"
"Hahahaha...manusia kere seperti kita mana bisa membeli ini"
"Kau menginginkannya?"
"Hu um"
"Tenang saja, jika aku menjadi direktur di perusahaan itu ( sambil menunjuk kearah gedung Royal Properti ) aku akan membelikanmu cincin shapire berwarna ungu ini"
"Hahahahaha...kau berjanji?"
"Iya aku janji"
Dan itu akan menjadi pahit untuk dikenang. Dan menjadi butir-butir kekecewaan beriktunya.
Peri kecilku, kita berhasil....
Proposalku diterima....
Sungguh aku membutuhkanmu....
Aku tak ingin kehilanganmu...
Akan aku singkirkan segala rasa dari arah manapun....
Malam ini, aku menunggumu...
Aku tak ragu lagi...
Aku akan meraihmu...
Suara klakson mobil dari arah belakang itu membuyarkan lamunan Fagra yang sedang mengemudi. Lampu hijau menyala. Segera Fagra melajukan mobilnya menuju sebuah restoran italia.
Memesan tempat duduk yang paling strategis untuk melihat pemandangan dimalam hari dari lantai 10. Ini akan menjadi makan malam romantis untuknya. Mengutarakan hatinya, kepada peri kecilnya yang sudah membantunya menyelesaikan tugasnya. Dengan perasaan bahagia, Fagra mengirimkan pesab singkat untuk Grisa.
"Malam ini, pukul 7. Meja nomor 24. Restoran Italia, favoritmu. Berdandalah, aku ingin melihatmu memakai gaun Merah. Buat aku terpesona malam ini"
Grisa tercengang, ini bukan ilusi. Fagra mengirim pesan singkat ini kepadanya. Tak tahu harus membalas apa. Grisa masih terdiam dibalik meja kerjanya. Tak tanggung-tanggung Grisa meninggalkan kantornya sesiang ini. Memesan taxi menuju kesebuah salon ternama di kota. Grisa mulai memanjakan dirinya. Ini malam akan menjadi malam istimewa untuk Grisa. Harus tampil cantik dan mempesona, itu pesan Fagra dalam smsnya.
Membeli gaun merah yang menawan, membeli high heels dengan warna yanh senada, tas tangan serta perhiasaan permata yang melingkar di leher dan tangannya serta jemarinya . Grisa menarik perhatian orang lain, pukul 7 wib. Grisa sudah duduk manis dengan sejuta rasa. Menunggu, begitulah Grisa yang sedari dulu selalu menunggu.
Sebuah telepon membuat Fagra membanting setir kemudinya. Menuju sebuah apartemen sederhana di kawasan pinggir kota. Fagra cemas, wajahnya tak karuan. Ini mustahil. Apa yang terjadi setelah percakapan tadi siang. Ternyata memunculkan masalah baru.
"Maaf, aku tak ingin membohongi perasaanku lagi. Aku tak ingin mengkhianatinya"
Gadis bercincin shapire ungu itu terdiam di dalam ruang kerjanya.
"Maafkan aku. Aku menyesal telah membuatmu merasa nyaman"
Gadis itu masih diam. Senyum tulusnya memudar.
"Maafkan aku"
Dan teleponpun terputus. Sedih, kecewa, sakit bahkan ini akan menjadi gila. Gadis itu segera kembali ke apartemennya dan menagis sejadi-jadinya. Rasanya hancur berkeping-keping. Ini keterlaluan. Bagaimana bisa pujaan hatinya membohonginya selama ini. Dia tertipu, hatinya hancur, terpuruk dalam kesedihab sehingga tak sadar mana yang nyata dan ilusi. Tak ada harapan hidup lagi, cintanya telah dikhianati. Bahkan daun-daun itu menggugurkan dirinya sendiri. Dan tersadar sekarang gadis itu sedang berada dirumah sakit , terbaring lemah tak berdaya. Selang infus yang membalut tenaganya tak mengembalikan energi dalam dirinya. Sayatan luka itu sebagai bukti dia menyerah untuk kali ini.
Grisa mulai gelisah, sudah hampir setengah jam dia menunggu Fagra sendiri. Seperti patung dalam diam. Apakah Fagra melupakan janjinya lagi. Tidakkah ini menjadi kebiasaan buruk yang terbiasa. Marah, tidak bisa. Grisa tak dapat melakukannya. Kecewa, sudah menjadi makanannya sampai saat ini. Hanya karena sebuah perasaan yang disebut tuluslah dia bertahan pada posisinya yang sekarang. Menunggu dan akhirnya kecewa.
Ponsel Grisa bergetar, segera dibukanya pesan singkat yang diharapkannya dari Fagra, ternyata pesan itu tak seperti yang diharapkannya.
Grisa langsung bergegas memenuhi panggilan pesan singkat itu.
Peri kecilku, aku....
Aku sudah banyak bersalah kepadamu...
Aku ingin bersujud meminta maaf padamu...
Namun lidahku kelu...
Bahkan malam ini ketika ku berjanji mengabaikan perasaan yang lain...
Aku tak bisa...
Sungguh aku tak bisa...
Aku mohon, maafkan aku peri kecilku...
Hatiku terasa sesak dengan rasa bersalahku...
Aku sungguh-sungguh dengan perasaanku....
Ingin memiliku bukan yang lain...
Janjiku....
Fagra sampai dikamar dimana gadis yang baru saja merasa tersakiti olehnya terbaring lemah tak berdaya. Fagra mendekati tempat tidur itu. Melihat wajah sendu gadis yang pucat itu membuat hatinya luluh lantah tak beraturan, bertebaran kepingan-kepingan penyesalan-penyesalan.
"Hai, selamat malam" kata Fagra pelan, membuat gadis itu terenyum melihat wajah Fagra.
"Apa kau baik-baik saja?"
Gadis itu mengerjabkan kedua matanya.
"Maafkan aku" kata Fagra meraih tangan dingin itu.
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalnya sambil tersenyum.
"Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu"
Peri kecilku....
Aku, aku kembali terperosok...
Bantu aku untuk kembali....
Peri kecilku, bantu aku....
Langkah itu terhenti tepat di bibir pintu kamar inap pasien. Gaun merah itu berkibar lembut dengan megahnya. Tak satupun dari mereka melihat keperihan ini. Grisa menahan airmatanya.
"Bu, aku sedang dirumah sakit. Aku sudah tidak kuat lagi. Pujaan hatiku mengkhianatiku. Maafkan aku buk direktur"
Segala rasa cemas terhadap penulis terbaiknya berubah menjadi rasa kecewa yang tak terbendung. Pujaan hatinya sama persis dengan pujaan hati si penulis terbaik di kantornya. Batu shapire yang diinginkannya ternyata melingkar dijari manis penulis terbaiknya. Langkah ini harus mundur sebelum mereka tahu bahwa ada seorang wanita yang sedang menangis menahan perih dihatinya. Ternyata kesigapan mata Wenna begitu tajam.
"Buk Direktur"
Wajah Fagra berpaling, memandang wajah wanita yang hendak dilihatnya malam ini. Jantungnya berdegup kencang.
Peri kecilku, apakah itu kau...
Cantik sekali....
Cantik sekali, gaun itu cocok dengamu...
Tapi...
Mengapa kau begitu cepat tahu akan keadaan ini...
Peri kecilku...
Aku mohon jangan pergi dariku....
Jangan menangis dihadapanku...
Aku tak ingin melihat airmatamu...
"Mengapa ibuk menangis?" Tanya Wenna yang masih menggenggam tangan Fagra.
Mereka bersandiwara dihadapan gadis yang sedang lemah ini.
"Kau begitu bodoh , Wenna. Selalu berpikir pendek. Keras kepala. Hanya ingin didengarkan. Seharusnya kau sadar untuk hal semacan ini. Masih banyak yang menginginkanmu"
Ini bukan airmata sedih karena melihat karyawan terbaiknya melakukan hal bodoh, akan tetapi pemandangan tangan itu tergenggam erat. Penuh semangat, dan itu menyakitkan.
"Aku tahu itu, buk. Tapi aku sangat mencintai pria ini. Dia yang diam-diam selalu memberiku semangat. Dia yang selalu memberiku kejutan kecil. Aku sangat mencintainya"
Grisa hanya mengangguk , membiarkan airmatanya mengalir. Tak juga Fagra mengeluarkan airmatanya. Tak ada sesal.
Peri kecilku..
Aku mohon berhentilah menangis....
Aku tahu itu tangisan bukan untuknya....
Aku tersiksa sekali....
Aku tak sanggup....
Hentikanlah....
Aku mohon....
Kau masih merajai pikiran dan perasaanku...
Separuhnya milikmu...
Sampai saat ini....
Tapi, aku tak tega melihat gadis rapuh ini terkulai lemah...
Maafkan aku....
Fagra pamit untuk ketoilet, dia tidak sanggup melihat keadaan Grisa yang menangis menatap hampa.
"Ibuk cantik sekali, gaunnya indah"
"Apa kau menginginkannya?"
"Untuk apa?"
"Berkencan dengan pujaan hatimu"
"Sekarang dia bukan hanya pujaan hatiku, buk. Sekarang dia sudah menjadi kekasih hatiku" bisik Wenna yang terdengar perih itu.
Grisa tersenyum. Lidahnya kaku. Tak sanggup bicara. Hanya memandang kosong.
"Ibuk sedang berkencan ya. Siapa pria beruntung itu?aku ingin sekali berkenalan dengannya. Kapan-kapan kita jalan-jalan bersama yuk, buk"
Grisa hanya tersenyum. Pria beruntung itu sudah ada disini, sedari tadi.
Grisa mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku harus kembali, tubuhku sangat lelah, Wenna"
"Iya, buk. Terima kasih"
"Cepat sembuh. Katakan kepada kekasihmu, jika dia melakukan hal ini lagi. Aku akan membawanya ke Neraka"
"Hahahahaha...." Wenna tertawa terbahak-bahak. Inspiratornya memberikan jawaban yang begitu menambah energinya malam ini.
Grisa meninggalkan kamar Wenna dengan sejuta rasa sedih dan kecewa. Ini memilukan untuknya. Ketegaran ini sudah sampai di ambang batas.
"Bawa saja aku ke Neraka, Gris. Bawa saja" suara Fagra terdengar lembut dilorong rumah sakit yang mulai sepi itu.
Grisa menghentikan langkahnya.
"Masa lalu ketika saling kenal, hanya saat ini kita saling mengenal, dan bahkan masa datang kita juga tidak saling mengenal. Bukankah seperti itu roda kehidupan ini, Gra?"
"Gris...."
"Jagalah dia. Aku akan nenyeretmu di neraka paling dalam jika kau melukainya. Ini sungguh-sungguh. Aku serius"
"Gris...."
Peri kecilku...
Inikah jawabanmu....
Sebeginikah perasaanmu...
Mengapa kau tak memintaku untuk tinggal bersama disisimu....
Peri kecilku....
Berbaliklah....
Beritahu aku bahwa kau mencintaiku....
Menginginkanku...
"Fagra, aku mencintaimu. Sungguh tulus dari dalam hatiku" Grisa membanjiri pipinya dengan airmata keperihannya. Begitu juga Fagra yang tak sanggup melangkah meraih Grisa yang berlalu.
Aku tak mampu melangkah....
Aku tak mampu....
Bantu aku peri kecilku...
Jangan pergi....
Bagian terdalamku ada bersamamu....
Peri kecilku...
Aku...
Aku juga mencintaimu....
Kelu bibirku tak sanggup ucapkan....
Lihatlah aku yang sudah terpuruk dalam....
Jangan tinggalkan aku....
Grisa tak mendengar lagi isi telepati itu. Benang merah itu telah terputus dengan sendirinya. Membuat jarak yang begitu lebar. Hingga diantara merak sudah tak terjadi apa-apa lagi. Saling melupakan dalam heningnya malam. Membiarkab waktu berlalu dengan kesibukan masing-masing. Tak ada kabar dengan telepati itu.
Tapi tida untu malam ini. Sudah hampir berlalu selama setahun. Suara telepati terdengar lagi. Benang merah itu kembali muncul.
"Buk, hari ini adalah hari jadian aku dengan kekasihku"
Ya, tepat setahun sudah airmata itu mengering.
"Selamat, ya" Grisa tersenyum senang, tidak dihatinya.
"Aku dan kekasihku mempunyai rencana liburan ke pulau. Ibu ingin ikut bersama pujaan hati ibu"
"Eh....aku tidak bisa janji, Wenna. Pujaan hatiku sedang sibuk saat ini" Grisa berbohong, belum ada pujaan hati miliknya saat ini.
"Ayolah, buk. Please!" Mohon Wenna sungguh-sungguh.
"Huft!! Baiklah, akan aku pikirkan"
Ketik Fagra mendengarkan perkataan Wenna melalui ponselnya. Fagra terdiam sejenak. Sudah hampair 365 hari dia tak bertemu langsung dengan peri kecilnya.
Apakah kau sudah memiliki kekasih peri kecilku??
Masih ada rasa sesak didada ketika kabar seperti ini terdengar olehnya.
Akhirnya Grisa menyetujui untuk ikut liburan kepulau bersama Wenna. Grisa segera menghubungi Banzo, temannya ketika kuliah dulu dan juga teman Fagra.
"Apa kau sudah gila, Gris. Menerima ajakan si Wenna" kata Banzo menyeruput kopi lattenya.
"Iya" jawab Grisa lemas.
"Ayolah, kau ini gak perlu berpura-pura tegar. Jujur katakan pada Wenna bahwa Fagra adalah orang yang kau cintai. Aku aku benci orang itu saat ini" kata Banzo dengan mata berapi-api.
"Sebenarnya aku juga tak ingin ikut. Tapi, Wenna ngotot" jawab Grisa semakin bingung.
"Baiklah. Kita ikut. Tapi, kau harus ikut rencanaku"
"Aku tak ingin balas dendam , Banzo. Bukankah balas dendam terbaik itu adalah membuatnya menyesal. Bukan melakukan hal yang sama seperti dirinya"
"Hahahaha....itulah mengapa aku selalu setia berteman denganmu. Kau jenius"
"Hahahahaha....sudahlah. kau bersediakan untuk ikut"
"Iya" kata Banzo bersemangat.
Apa kau sudah bisa menerima kenyataan ini, peri kecilku...
Mengapa kau tega menyakiti perasaanmu...
Aku tak ingin melihat kau menangis lagi dihadapanku....
Peri kecilku....
Aku merindukanmu...
Lamunan Fagra terbuyar lagi ketika , tangan Wenna menyentuh wajahnya.
"Kamu kenapa?" Kata kau berubah menjadi kamu, klise disetiap hubungan.
"Tidak apa-apa!"
"Aku sudah buat rencana liburan kita bersama ibu direkturku. Lihatlah!"
Fagra melihat tulisan-tulisan indah Wenna yang menambah kekosongan dipikirannya.
Fagra menjadi tidak fokus membacanya. Membayangkan hal-hal yang akan membuatnya merasa bersalah. Ini tidak akan menjadi liburan yang nyaman baginya.
Pagi itu, menjadi awal baru benang-benang merah itu terajut kembali. Telepati itu juga terdengar samar-samar dilangit-langit biru. Awan yang berarak membawa perlindungan di tengah sinar matahari. Deburan ombak memecahkan keheningan pagi ini.
"Sayang, bolehkah aku berenang bersama Wenna?" Tanya Banzo yang kedengarannya seperti mengejek Fagra.
Fagra tertawa dalam hati. Fagra tahu betul hubungan Banzo dengan Grisa. Sahabat karib sejak kuliah dahulu.
Grisa mengangguk. Begitu juga Wenna meminta izin ingin berenang dilaut bersama Banzo.
"Pasangan kekasih yang romantis ya"
Entah mengapa ada kelegaan dihati Fagra sejak melihat Banzo adalah orang dibawa liburan ke pulau.
"Tak perlu mengejekku seperti itu"
"Hahahahaha.....apa kau tidak rindu padaku, Gris"
Grisa terdiam. Memandang laut yang membiru. Deburan ombak menghempaskan nyawanya kembali kebumi.
Grisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan beranjak pergi meninggalkan Fagra sendiri di payung malas tepi pantai.
Ini akan lebih baik untuk dihindari.
Malampun tiba, Wenna membuat panggangan menyala. Malam ini mereka memanggang cumi-cumi, udang dan beberapa hewan laut yang mereka pesan dari restoran hotel tempat mereka menginap.
Wenna senang sekali. Melihat suasana yang begitu dia inginkan. Liburan bersama kekasihnya dan inspiratornya selama ini.
"Ouuucch" teriak Grisam ketika mengeluarkan kepitingnya dari dalam box.
"Kenapa sayang!" Segera Banzo bangkit dari tempat duduknya. Fagra kalah cepat dari Banzo, dan diapun mengurungkan niatnya untuk melihat keadaan Grisa.
"Sudah...aku merasa geli kau panggil sayang" lirih Grisa
"Biar keliatan kita seperti pasangan sungguhan"
"Itu menjijikkan, Banzo"
Wenna duduk disebelah Fagra langsung berkata.
"Mereka pasangan yang mesra ya"
Fagra mengangguk menahan tawa melihat tingkah Banzo yang begitu mencolok sekali.
"Apa kau tidak lihat, Fagra menahan tawanya atas tingkahmu" lirih Grisa.
"Hahahhahahah...." tiba-tiba saja tawa Banzo membuat Wenna dan Fagra terkejut. Mereka langsung mendekati Grisa dan Banzo.
"Ada apa?" Tanya Wenna heran.
"Kau lihat ini, Wenna. Bosmu yang begitu jenius terkadang amat sangat bodohnya. Dia melepaskan tali pengikat capit kepiting ini"
"Ya, ampun buk"
"Hahahahahhaha.....dia memang bodoh dari dulu" Fagra melepaskan tawa dan mengeluarkan kalimat yang membuat Wenna bertanya
"Dari dulu?" Herannya.
Fagra segera terdiam.
Suasana menjadi hening. Tatapan ingin tahu Wenna kepada Fagra begitu tajam. Fagra salah tingkah.
"Apa kamu mengenal buk Grisa dari dulu"
Banzo ingin bergerak, namun ditahan oleh Grisa.
"Kami jalan-jalan dulu ya" kata Grisa tak ingin suasana menjadi kaku.
"Ayok, sayang" kata Banzo kesenangan.
Grisa menarik Banzo ketepi laut.
Peri kecilku....
Mengapa kau tinggalkan aku dengan masalah ini....
Kemana perginya peri kecilku dahulu...
Yang selalu ada membantuku....
Bahkan tidak ku memberitahumu, kau sudah mengerti itu....
Peri kecilku....
Bantu aku....
Fagra bingung harus berbuat apa. Lidahnya terasa terjepit benda keras. Fagra mematung, wajah ingin tahu Wenna masih berkelebat di hadapannya.
"Aku dan Grisa adalah teman kuliah. Begitu juga Banzo"
"Jadi, Banzo itu teman kuliah kamu dan Ibuk Grisa"
Fagra mengangguk.
"Wah, beruntung Banzo, sahabat menjadi kekasih. Bukankah itu terdengar sangat romantis. Seperti drama favoritku"
Fagra mengangguk pelan.
"Apakah kamu mengenal ibu direkturku dengan baik"
Fagra mengangguk pelan.
Bagaimana aku tidak mengenal peri kecilku....
Aku lebih mengenalnya dari siapapun dimuka bumi ini....
"Kira-kira makanan apa yang disukai buk Grisa?"
"Dia sangat rakus dalam makanan. Semua makanan dia sukai"
"Oh....terus dia suka hadiah apa?"
"Hadiah apapun dia terima"
Fagra teringat beberap tahun yang lalu. Ketika mereka sedang berada diwarung pinggir jalan. Saat itu Grisa baru saja diterima sebagai penuli artikel disebuah koran harian. Begitu juga Fagra yang baru diterima sebagai marketing di perusahaan Royal Properti.
Tapi ada yang lebih istimewa dari hal itu. Malam itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun mereka berdua.
"Selamat ulang tahun" kata Grisa menyerahkan kadonya kepada Fagra.
"Selamat ulang tahun juga" tak ada kado dari Fagra.
"Bukalah" kata Grisa tersnyum.
Sebuah dompet kulit asli yang masih dipakai Fagra sampai saat ini.
"Kau mau apa?"
Grisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bilang saja"
Kembali Grisa menggelengkan kepalanya.
"Hm....baiklah jika kau tak ingin memberitahuku. Kita keatas atap royal properti. Aku akan memberikanmu kejutan.
"Benarkah" hati Grisa senang bukan kepalang.
Sesampainya diatas tingkat tertinggi gedung royal properti. Pemandangan menakjubkanpun terlihat sangat indah sekali. Lampu-lampu kota yang seperti bintang dilangit. Dan ketika memandang langit bertaburan bintang-bintang.
Ini seperti sedang berada diantara dua dunia. Melayang-layang bersama hembusan angin malam.
"Terima kasih"
"Aku akan selalu berada disampingmu dan selalu mendukungmu"
"Fagra...hei...fagra" kata Wenna mencoba menyadarkan Fagra dari lamunannya.
Fagra terhenyak.
"Akhir-akhir ini kau selalu melamun. Apa ada masalah?"
"Tidak"
"Besok ibu direktur ulang tahun. Aku ingin memberi kejutan untuknya!"
"Besok?"
Akh, Fagra baru ingat. Bahwa tanggal ulang tahun Grisa selama ini adalah tanggal ulang tahun yang di palsukan untuk menambah umurnya.
"Jadi, bantu aku membuat kejuatannya"
"Iya"
Grisa dan Banzo kembali dari jalan-jalanya.
"Ayo, Wenna tidur" ajak Grisa.
"Loh, seharusnya ibu tidur bersama kekasih ibu dong"
Mata Fagra terbelalak. Bahkan Banzo juga terkejut.
"Wenna, sebaiknya kau melakukan hal itu setelah menikah. Ayo tidur" ajak Grisa.
"Baik, buk direktur" Wenna menurut.
Banzo dan Fagra saling pandang menahan tawa. Grisa yang mereka kenal seperti itulah, tidak ada yang berani membantah perintahnya. Wajar jika Grisa menjadi direktur disebuah majalah bulanan ternama seantero negeri.
"Akhirnya kita punya waktu berdua untuk bicara" kata Banzo menyerahkan sebotol minuman penambah energi.
"Kau apa kabar?aku kira kau masih diluar negeri" kata Fagra.
"Aku memang masih di luar negeri. Grisa memintaku pulang. Kau tahu, kan. Perintah Grisa itu adalah titah"
"Hahahahahaha......" Fagra tertawa. Sudah lama mereka tak berbincang seperti ini.
Terakhir ketika mereka tamat kuliah , dan Banzo harus pergi melanjutkan studynya keluar negeri.
"Aku sudah mendengar semua cerita dari Grisa. Aku tak memihak manapun. Itu soal perasaan"
"Sampai saat ini aku juga masih bingung, Banzo. Padahal sudah ada Wenna disisiku. Kucoba menahan tak memikirkannya, aku selalu memikirkannya"
"Dari dulu kau juga begitu, kan. Pengecut"
Fagra terdiam memandang laut hitam.
"Sudahlah. Kalau boleh aku meminta, serhakan Grisa kepadaku. Aku tidak main-main"
Fagra terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.
Aku tak ingin peri kecilku berada di pikiran orang lain....
Hanya aku....
Aku tak akan membiarkan pikiran lain menghantui peri kecilku....
Masih ada aku disini....
Yang membutuhkanmu....
"Besok Grisa ulang tahun palsu. Berpura-puralah terkejut untuk menyenangkan hati Wenna"
"Hm...baiklah"
Akan terasa perih ketika aku tahu bahwa orang yang sangat kukenal menginginkanmu , peri kecilku....
Sakit sekali...
Lebih baik aku mati saja....
Suara terompet kecil terdengar ribut di bibir pantai itu. Malam yang seru. Sebuah blackforest membumbubg tinggi dengan sebuah angka yang sudah tidak pantas lagi dirayakan seperti ini. Balon-balon berwarna-warni berserakan di atas pasir putih itu. Angin membawanya terbang tak tentu arah.
Nyanyian ulang tahun untuk Grisa terdengar meriah. Fagra dan Banzo menpuk nepuk tangannya dengan keras. Dipikiran mereka berdua ada ide keisengan. Mata Banzo memberi kode kepada Fagra untuk segera melakukan aksi jahil mereka. Banzo menarik tangan Grisa dan Fagra menarik kaki Grisa sehingga Grisa terjatuh ke pasir. Banzo memegang tangan Grisa , lalu Fagra menarik kaki Grisa dan membawa tubuh Grisa ke tepian laut.
Banzo dan Fagra mengangat Grisa, dan menganyunkan Grisa lalu melemparnya ke lautan.
"Satu..dua...tiiiiiii...ga" teriak Fagra dan Banzo.
Byuuuuuurrrrrr.....Grisa terlempar kedalam lautan. Terseret ombak. Dan tubuhnya terasa kedinginan. Fagra dan Banzo tertawa bersama.
"Gila kalian ya. Dingin tau!!!" Grisa senang sambil tertawa.
Tidak dengan Wenna. Melihat Fagra berlari mengambilkan handuk untuk Grisa dan membalutkannya ketubuh Grisa. Pemandandanga yang membuat sakit mata. Mereka begitu akrab sekali. Sesekali handuk kecil yang ditangan Fagra mengeringkan rambut Grisa yang basah. Lalu ketika Grisa menolak Fagra hingga terjatuh kedalam lautan dan basah. Serta tawa mereka yang begitu renyah sekali. Membuat rasa cemburu tumbuh di hati Wenna. Malam ini akan menjadi nostalgia bagi Grisa, Fagra dan Banzo yang sudah lama tidak bertemu.
"Apa hubunganmu dengan ibuk Grisa?" Tanya Wenna didalam kamar hotel yang sepi.
"Aku dan Grisa teman kuliah"
"Tapi, aku melihatnya lebih dari itu"
"Jangan suka mengada-ngada. Aku hanya teman kuliahnya"
"Kau menyukainya, kan" tiba-tiba kata itu membuat sesak di hati Fagra. Dia tak ingin larut dalam emosinya disaat yang bahagia ini.
Ya, aku memang benar menyukainya....
Tapi, aku sadar aku tak mampu meraihnya...
Hingga aku menyerah dan mencoba melupakannya...
Bagaimana aku bisa bertahan sejauh ini tanpa peri kecilku....
Fagra terdiam. Tak ingib menjawab dan segera keluar kamar menemui Banzo.
"Apa yang terjadi, wajahmu muram seperti itu" kata Banzo membuka pintu kamarnya. Grisa langsung berdiri dari duduknya yang sedang menonton tv.
Plak....sebuah tamparan mendarat dipipi Fagra. Banzo tercengang. Grisa menarik tangan Fagra untuk segera masuk ke dalam kamar.
"Sudah kubilang. Jangan pernah kau menyakiti penulis terbaikku itu. Aku akan menyeretmu keneraka"
Fagra mematung memegang pipinya yang untuk pertama kali di tampar oleh Grisa, peri kecilnya marah.
Pukul aku lagi, peri kecilku...
Tamparan ini adalah kado terbaik untukku...
Inilah balasan yang pantas untukku yang sudah membuat airmatamu menetes kala itu....
Terima kasih, peri kecilku...
Kau kembali...
Banzo hanya menyaksikan adegan itu terdiam. Tak ingin membela siapa-siapa lebih baik diam. Membiarkan kedua sahabatnya bertengkar hebat. Bukan untuk kali pertama Grisa dan Fagra bertengkar seperti ini. Ketika masih kuliah dahulu mereka sering menengkarkan masalah hal sepele, berdebat tak ada yang mau mengalah. Dan Banzolah sebagai penengah. Tidak untuk malam ini, Banzo memilih diam diantara perasaannya itu.
"Wenna, apa kau sudah tidur?" Tanya Grisa sekembalinya dari kamar Banzo dan Fagra.
Tak ada jawaban dari Wenna yang belum tidur itu.
"Baiklah, ada sesuatu yang harus kau ketahui tentangku. Karena kau penulis terbaikku. Aku akan menceritakan segalanya kepadamu. Bagaimana aku mengawali kisahku ini"
"Aku bertemu Fagra ketika , kami melihat pengumuman hasil tes masuk universitas. Kala itu, aku melihat seorang pria yang sangat canggung dengan keadaan keramaian. Dia bingung. Memutar-mutar kearah yang bisa dibilang tersesat dikeramaian. Aku mendekatinya. Dia malu, menundukkan kepalanya. Aku bertanya apa yang dia cari. Ternyata dia ingin tahu hasil lulusan tes untuk fakultas ekonomi. Akhirnya aku membantunya melihat hasil tes ujian untuk fakuktas ekonomi. Tapi, bodohnya aku tidak menanyakan siapa namanya. Lalu akupun berbalik kepadanya dan bertanya.
"Namamu siapa?" Tanyaku saat itu.
"Fagra Wentaru"
Nama yang asing. Aku kira dia adalah blasteran bule. Ternyata tidak sama sekali.
Namanya terpampang berada di peringkat pertama untuk jurusan ekonomi. Aku memberikan selamat pada atas hasil tesnya. Dan setelah itu kami bersama-sama mendaftar ulang. Mencari kos-kosan. Hingga akhirnya kami bertemu Banzo dari Fakultas Arsitektur yang secara tak sengaja takdir kami bertemu dikantin. Lambat laun kami menjadi akrab. Hingga Banzo yang orang kaya raya memberikan tumpangan hidup gratis selama kuliah. Kami tinggal satu apartemen mewah milik Banzo. Semakin hari kami semakin akrab. Kami sering bertengkar hal-hal sepele, lalu Banzo datang menengahi antara kami. Dan setelah kami lulus kuliah, dan Banzo keluar negeri. Hubunganku dengan Fagra semakin dekat. Ada rasa aneh yang tumbuh di hati kami berdua. Kami berteman, bersahabat dan perasaan kami berubah menjadi cinta. Kami tak pernah menyatakan perasaan kami. Tapi, kami tahu bahwa kami saling mencintai. Kami menyebutnya telepati benang merah. Namun , rasa memiliki yang aku rasakan tidak seperti yang kau rasakan, Wenna. Aku membiarkan Fagra berkelana kesana kemari mencari apa yang dia inginkan. Aku tak pernah menuntutnya untuk tetap tinggal disisiku. Mungkin itu juga kesalahanku membiarkannya terlalu lama berkelana sehingga dia berpikir aku tak membutuhkannya. Sampai kau datang dikehidupan kami, Wenna. Aku meninggalkanya" airmata Grisa menetes membasahi bantal.
Tiba-tiba saja, pelukan Wenna berhambur ketubuh Grisa.
"Maafkan aku, buk direktur. Maafkan aku. Aku tidak tahu hal itu"
"Sudahlah. Bahagialah bersamanya. Aku baik-baik saja"
Wenna bersedih mendengar kata-kata itu. Wenna menanangis sejadi-jadinya. Dalam isak dia merasa menyesal.
Terima kasih peri kecilku....
Kau hebat....
Aku mencintaimu....
Kau kuat....
Maka dari itu aku selalu ingin bersamamu....
Kau mengajarkanku ke tegaran....
Semangatmu membara....
Aku ingin bersamamu selamanya....
Suara deru mesin pesawat terdengar. Suara operator informasi yang membacakan jadwal penerbangan keluar negeripun terdengar merdu.
Banzo dengan tas ransel favoritnya. Dan Wenna dengan koper Pinknya. Mereka berdua melambaikan tangan kearah Grisa dan Fagra. Banzo kembali kekampusnya, karena waktu liburan sudah usai. Dan Wenna harus ke Amerika untuk mengambil hadiah terbaiknya atas tulisan artikel bahasa inggrisnya yang secara diam-diam Grisa mengirimkannya ke majalah wanita ternama di dunia.
"Apa kau tidak merasa sedih, kekasih pergi keluar negeri?"
"Kau tidak perlu menyindirku seperti itu. Secara tidak langsung kau menyindir dirimu sendiri" kata Grisa masih melambaikan tangan kearah Wenna dan Banzo.
"Semoga kalian bahagia!" Teriak Wenna
Grisa dan Fagra terkejut.
"Apa kau memutuskannya?"
"Tidak. Dia yang meminta putus. Dia mencampakkanku"
"Bohong"
Wenna dan Banzo memasuki ruang check ini.
"Sepertinya kekasihmu selingkuh dihadapanmu. Lihat itu"
Banzo membuat dua jari bertanda peace diudara seraya tangan kanannya merangkul pundak Wenna.
"Hahahahhaa... gawat sifat playboynya mulai kambuh" kata Grisa geleng-geleng kepala dan tertawa.
Grisa dan Fagra tertawa bersama.
"Hahahahahaha...."
"Uurrrrrgghhhhh.....!!!!" Teriak Grisa.
"Ada apa?" Tanya Fagra terkejut.
"Itu .... lihat itu... pilotnya ganteng banget" Grisa kesenangan.
"Gris...."
"Cari tahu akh, siapa pilot itu" Grisa tersnyum senang.
"Grisaaaaaa.....!!!!" Teriak Fagra.
Kau tetap peri kecilku....
Tidak akan ada yang bisa mengubahmu....
Takdir kita dibenang merah telah menyatu....
Aku ingin kau, peri kecilku....
Terima kasih peri kecilku....

Jumat, 21 Oktober 2016

Ini sungguhan

Kau itu racun, yang meracuni pikiranku tentangmu. Bahkan kau meracuni orang-orang disekitarmu, hingga tanpa sadar mereka sedang berada di zonamu.
Kau itu gila, yang menggilai seluruh saraf di jantungku. Membuatku bergetar hebat ketika melihat tingkah gilamu hingga aku tersenyum-senyum sendiri.
Kau itu inspirator, yang menginspirasi segala kehidupan setiap orang bahkan aku terjerumus dalam kata-katamu.
Kau itu sihir, yang menyihir mata setiap orang untuk melihat kearahmu selalu, termasuk aku yang selalu diam-diam melihat kehidupanmu dibalik layar kaca yang aku tidak tahu apakah itu benar atau tidak.
Kau itu aspirin, ketika aku merasa pusing dan sakit. Dengan hanya membaca seluruh tentangmu pusing dan sakitku menghilang.
Kau itu kau, tetap menjadi dirimu sendiri. Apa adanya dengan imajinasi nakalmu.
Sungguh, labuhan ini akan berharap kapalmu bertengger lama disini.
Sungguh , ini adalah khayalan tingkat tinggi.
Sungguh, bahkan namamu yang absurd tersebut jelas dalam keheningan malam.
Sungguh, sejak kapan ini terjadi.
Sejak tragedi itu mencuat kepermukaan.
Sejak aku membaca seluruh kata-katamu.
Sejak ada didalam pikiranku, hei.....kaulah orang persis aku tunggu.
Si Racun
Si Gila
Si Inspirator
Si Sihir
Si Aspirin
Ini sudah berlalu....
Berlalu dalam diamku....
Aku si pengecut yang tidak berani bertindak hanya karena atas nama sebuah gender.....

Sedang berjalan menuju ke keramaian. Hiruk pikuk, dan bebauan yang tidak diinginkan....
Katanya orang yang sedang kasmaran akan mampu menjadi pujangga hebat.
Entahlah!!!!
Utk inisial BK

Selasa, 11 Oktober 2016

Simple

Ada keteraturan yang bimbang pada diri seorang gadis. Terhadapnya sebuah kelucuan yang logis. Bagaimana tidak, tertawa atas ilusi yang di bangunnya. Menangis atas harapan yang diciptakannya.
Sekarang dia sedang menulis. Menulis apa yang ada didalam pikirannya. Tanpa berpikir betapa sakitnya ketika dia harus mengingat hal itu kembali.
Hei, dia tersenyum kecil. Bagaimana bisa ketika hati dan rasanya sakit, dia masih mencoba menyunggingkan rasa bahagia.
Tidak...tidak....
Itu hanya pura-pura. Dan gadis itu sangat mengagumi seseorang yang mampu mengeluarkan segala risau kepada semua orang.
Berceloteh sesukanya, menikmati nasehat-nasehat indah, bersemayam dalam syahdunya nirwana pikiran. Setelah itu lega.
Namun, gadis ini lebih memilih menuliskannya daripada harus berbicara. Biarkan mereka yang mengerti akan tetap mengerti. Dan biarkan mereka yang tidak mengerti menafsirkan tanda tanya dimana-mana.
Kembali, gadis itu tersenyum simpul di raut wajah senang dalam kebohongan.
Apakah itu bahagia?
Apakah itu sisa kesenangan?
Semua bagaikan api yang membakar didalam pikiran gadis itu. Buruk sekali.
Melalaikan yang seharusnya di lakukan. Menyapa pagi ketika mentari di ufuk timur. Bersujud kearah condong ke matahari terbenam.
Sungguh, itu ritual yang luar biasa. Dimana gadis itu menemukan siapa yang harus dipercaya.
Dirinya sendiri yang ada diriNya!
Gadis itu masih berpikir. Rentang 5 waktu dalam sehari. Kebahagian itu seyogyanya milik pribadi , tak diatas ke bohongan publik semata.
Menyisirkan segala cara untuk menghilangkan kesedihan. Menggerus hari tanpa melihat diri sendiri terkikis.
Gadis kecil itu mencoba bangkit dari tumbukan hatinya yang terlalu tinggi dibangun dinding penghalang.
Cukup indahkah mata itu memandang apa yang terjadi.
Sudah baikkah caranya membaca situasi layangan fatamorgana.
Sungguh, gadis itu ingin keluar. Menjadi hal baru dalam metamorfosis kehidupannya.
Hanya saja, normalitas dan tabu menjadi penghalang dalam sel-sel berjeruji besi.
Kapan gadis itu akan bangkit?
Menunggu pahlawan tak bertopeng bersedia menarik tangannya dan terbang tanpa sayap. Atau menunggu sebuah tali merah yang tak kasat mata?
Ini sudah terlalu lama. Menutup mata dari sebuah kata bahagia. Bahkan , ketika menemukan hal baru yang menarik di kehidupan nyata, bahwa itu hanya ilusi imajinasi.
Tak ada yang tahu tentang apa yang diinginkannya untuk esok hari. Akan nyata ataylu hanya imajinasi yang terperangkap pada sebuah harapan.
Gadis itu akhirnya menitiskan airmatanya. Mengingat tentang rasa yang pernah hadir. Bukan hanya sekedar balas dendam untuk mengadili seseorang. Hanya saja ini berlaku untuk dirinya sendiri. Melihat makanan kesayangannya di makan oleh orang lain. Tidak merebut kembali. Bukan berarti gadis itu lemah. Akan tetapi, dia tidak ingin melihat makanan kesayangannya itu menjadi begitu spesial, padahal rasanya sama saja. Setelah masuk kerongkongan akan terasa hambar. Bahkan ampasnya begitu bau.
Gadis itu kembali tersenyum tipis. Membodohi dirinya sendiri. Tidak perduli atas apa yang di lihatnya. Takut akan melihat kenyataan bahwa dia hidup bersama orang yang tak diinginkan. Padahal, hidup yang ditakutkannya itu belum terjadi. Ini diluar batas. Tidak ada yang disesali kecuali tidak di kerjakan sama sekali.
Jangan mengecoh gadis itu lagi. Tolong, hentikan ketikan ini. Ini sudah melanggar privasi.
Bagaimana bisa aku masuk kedalam pikiran gadis itu. Apakah aku menjadi mesin yang memacu syaraf-syaraf dalam otakku.
Akalku, tolong berhentilah. Tulisan ini sungguh sangat mengerikan. Akan ada banyak mata dan pikiran yang salah menafsirkan.
Akan ada yang merasa bangga bahwa dia termasuk kedalam tulisan ini.
Tunggu dulu, berhenti mengetik. Atau aku akan mengancammu untuk menjadi orang lain lagi.
Stop!!!
Ini perintah. Aku yang berkuasa.
Gadis kecil itu hanyalah sosok yang tampak dari permukaan. Wajah yang selalu gembira dan menebarkan senyum.
Tataplah dia dalam-dalam, ada sebuah lembah yang jika kau masuk kedalamnya kau akan mengerti dari sebuah perjalanan yang telah dilewati.
Ini sungguh kacau, berantakan dan tidak terkendali.