Sabtu, 03 Juni 2017

Second Time

"Lebih baik aku memendam perasaan ini sendiri daripada aku harus kehilanganmu untuk kedua kalinya"
Merri mengambil tas congklang miliknya. Siang itu dia melangkah keluar rumah menuju sebuah toko buku di pertigaan kota. Dengan langkah kaki yang pasti Merri menuju halte bus menunggu bus nomor 34 yang akan mengantarnya ke halte bus kota. Dari halte bus kota Merri berjalan 100 meter kearah timur menuju toko buku bernama Sumber Ilmu. Toko buku lama yang bangunannya tidak begitu besar namun memiliki isi buku terlengkap dikota itu. Merri tiba didepan toko buku Sumber Ilmu. Langkah kakinya terhenti ketika Naomi menyambut kedatangannya.
"Pagi, Merry!" Sapa Naomi yang sedang bertugas membersihkan rak buku disebelah kanan pintu masuk.
"Pagi, Naomi. Apa kabarmu hari ini?"
"Untuk hari ini aku cukup sehat, Merry. Kabarmu, Merry?"
"Aku sedang bersemangat hari ini. Novel yang kutunggu-tunggu selama 4 tahun akhirnya terbit"
"Oh...novel itu. Dia berada dirak buku New Relase. Kau tahukan tempatnya dimana?"
Merri mengangguk-anggukan kepalanya.
Toko buku ini bukan hanya sekedar sebagai jembatan Merri untuk memuaskan hobi membacanya. Namun, didalam toko buku ini ada seseorang yang merupakan bagian dari masa lalunya yang hilang dan menimbulkan penyesalan. Seseorang itu bekerja dibagian kasir toko buku ini. Yang membuat Merri semakin rajin untuk membeli buku.
"Kaisar mana?" Tanya Merri kepada Naomi setelah melihat meja kasir masih kosong.
"Oh, Kaisar sedikit terlambat. Adiknya sedang sakit"
"Hm" Merri menganggukan kepalanya sekali. Dan pamit untuk mengambil novel yang telah lama dinantikannya.
Selain mencari novel itu, Merri melihat ke barisan rak buku mengenai berkebun. Merri senang berkebun. Bahkan kebun miliknya sudah dipenuhi berbagai macam sayuran dan buah-buahan. Sembari mengambil buku untuk dibeli, ditoko ini juga menyediakan tempat baca. Disudut berukuran 2 x 3 meter itu terdapat rak buku yang menjulang keatas hingga langit-langit toko menyimpan banyak buku klasik. Merri terhanyut dalam buaian huruf demi huruf buku yang dibacanya. Hingga dia tidak sadar bahwa seseornag telah berdiri di sebelahnya.
"Ehem" deheman pertama yang diacuhkan. Mata Merru masih tertuju kebuku.
"Ehem" deheman kedua lebih nyaring dan membuat kepala Merri menoleh kearah sumber suara.
"Kaisar. Kau sudah datang?" Tanya Merri tersenyum.
"Sudah dari lima menit yang lalu"
"Ehm...terima kasih sudah memberi info tentang novel barunya. Akhirnya...."
"Akhirnya apa?" Tanya Kaisar
"Akhirnya aku bisa baca novelnya"
Mereka tertawa bersama.
Waktu saat mereka tertawa bersama terasa kembali kemasa 15 tahun yang lalu. Ketika mereka dipertemukan dalam sebuah komunitas pecinta buku disekolah mereka. Saat itu yang mereka menjadi junior di komunitasnya. Seiring waktu mereka menjadi akrab sekali. Berbagi informasi mengenai buku yang mereka baca. Berbagi cerita referensi buku terbaik. Terkadang mereka berdua lebih banyak berdebat tentang isi buku yang menurut mereka sangat kontroversi. Perdebatan itu yang sangat menyenangkan sekali.
"Sudah kubilang, kan pengarang buku ini pasti seorang penjahat"
"Mana mungkin seorang penjahat bisa menulis sebagus ini"
"Aku lebih yakin kalau pemeran penjahat kelas kakapnya itu adalah dirinya sendiri"
"Jangan ngaco"
Dan perdebatan itupun membuahkan hasil, Kaisar menang untuk pendapatnya saat itu. Penulisnya ada seorang narapidana disebuah penjara terkekat didunia.
Dimulai saat itu, tumbuhlah bunga krisan diantara mereka. Bunga berwarna kuning itu bersemi diantara hari-hari mereka. Memberi warna cerah disetiap langkah mereka. Namun, bunga krisan itu tak bertahan lama. Tak bertahan oleh terpaan badai egois yang begitu emosional.
"Kaisar, aku suka kamu" kata Merri disuatu sore sepulang mereka dari rapat mingguan komunitas pecinta buku.
Langkah kaki Kaisar tehenti. Hatinya bergetar hebat. Bagaimana bisa seorang Merri menyukainya. Dia pria yang tak sempurna. Lahir dari keluarga broken home. Ayah dan Ibu yang pergi tak pernah kembali. Dia harus mengurus nenek dan adik perempuannya yang sakit-sakitan. Sedangkan Merri, perempuan pintar dan suka bergaul yang memiliki senyum yang indah itu teramat sempurna bagi Kaisar. Walaupun kenyataan teramat pahit baginya, pernyataan Merri meyakinkan bahwa perasaannya selama ini yang disimpannya sendiri tidaklah bertepuk sebelah tangan. Jika ini sebuah mimpi, maka Kaisar harus segera bangun dari tidur yang nyenyak.
"Maaf, Mer. Aku tidak bisa"
Kaisar tidak berani memandang wajah Merri yang dia yakin Merri memasang wajah sedih. Bagaimana bisa seorang pria yang tak tahu diuntung ini menolak pernyataan Merri. Sungguh diluar dugaan Merri jawaban yang terucap oleh Kaisar. Tubuh Merri membeku, raut wajahnya berubah sedih. Matanya terasa panas, ketika Kaisar meranjak pergi ketika itu juga airmata Merri jatuh membasahi pipinya.
Setelah kejadian itu, Kaisar menjauh. Dia merasa tidak enak atas jawabannya itu. Merri sendiri. Ini memang kejam untuk Merri, tapi Kaisar tahu bahwa Merri akan baik-baik saja. Kehilangan Kaisar bukan berarti membuat hidup Merri hancur. Dan Kaisar kali ini juga benar. Merri tetap memberi senyuman kepada siapapun juga yang menyapanya setiap pagi. Tetap bergembira bersama teman-temannya. Masih membaca buku favoritnya Sharlock Holmes dibawa pohon rindang ketika jam istirahat. Merri tidak berubah sama sekali. Dia tetap menjalani rutinitasnya seperti biasa. Tidak dengan Kaisar, dia selalu menghindar terus menghindar. Kaisar tak ingin melihat wajah Merri, karena akan menumbuhkan rasa bersalahnya karena telah membuat sedih Merri. Hingga Kaisar harus pergi meninggalkan komunitas pecinta buku demi rasa bersalahnya itu. Kaisar lebih memfokuskan diri bekerja setelah pulang sekolah. Kehidupannya berubah menjadi seorang pekerja keras.
15 tahun berlalu...
"Bagaimana kabar adikmu?" Tanya Merri meletakkan buku yang dibelinya dimeja kasir.
Kaisar memeriksa kode buku dan memberi cap untuk setiap buku yang sudah terverifikasi.
"Dia hanya demam. Tugas kuliah menumpuk akhirnya kelelahan"
"Oh"
"230.000 rupiah" kata Kaisar memberikan struk pembelian.
"Hu um. Semoga adikmu cepat sembuh"
Kata Merri memberikan lembar uang 250.000 rupiah kepada Kaisar.
"20.000 kembaliannya"
"Em...ini ada kue yang aku beli ditoko roti disebelah halte. Berikan pada adikmu. Padahal sebenarnya ini untukmu" Merri masih dengan rasa yang sama dikala 15 tahun yang lalu.
"Terima Kasih" Kaisar dengan sejuta penyesalannya.
Merri meninggalkan toko buku itu. Melangkah menuju sebuah taman kota yang selalu dia datangi ketika ingin membaca buku baru miliknya. Angin siang itu sangat sejuk, awan menggumpal menutupi teriknya matahari. Sekotak eeg portuguise dan sebotol jus jeruk dingin mengantar Merri larut dalam cerita yang ditulis oleh seorang yang mereka debatkan dulu ketika mereka masih bersama di komunitas pecinta buku.
"Apakah Kaisar keluar dari komunitas, kak?" Tanya Merri kepada wakil ketua komunitas pecinta buku itu.
"Secara resmi belum. Tapi, sudah hampir sebulan Kaisar tidak pernah hadir dalam rapat mingguan"
"Hm..."
"Kenapa? Apa yang terjadi dengan kalian berdua. Apa kalian putus?"
"Eh....putus. kami tidak sedang pacaran. Kami hanya berteman"
"Oh....aku mengira kalian sedang pacaran. Bahkan satu komunitas ini menyangka seperti itu juga"
"Hah! Ya , ampun. Kami tidak seperti itu, kak. Kaisar sahabat terbaikku. Kami sama-sama menyukai buku"
"Hehehehe, padahal kalian itu cocok sekali"
"Hehehehe"
Tak ada yang tahu kabar Kaisar. Bahkan disekolahpun Kaisar tidak begitu menonjol. Hanya sesekali mereka berpapasan, yang ada mereka tidak saling kenal. Bertemu itu sudah sangat menyiksa hidup Kaisar. Maka setiap kali tanpa sengaja bertemu Kaisar lebih baik menghindar daripada harus bertemu lagi dengan Merri.
Sore menjelang, Merri kembali kerumah. Dia berjalan kaki menuju halte bus Taman. Menantikan bus no 37 menuju halte bus disekitaran rumahnya. Kaki-kaki Merri membawanya berjalan menyusuri taman kota yang sejuk menghijau itu. Sebuah takdir pertemuan dengan seorang temannya ketika satu komunitas dahulu.
"Merri!!Merri!!!" Teriak Anggun.
Merri menoleh, melihat Anggun melambai-lambaikan tangannya. Merri tersenyum dan berjalan menuju Anggun.
"Apa kabarnya?" Tanya Anggun sembari memeluk Merri erat.
"Aku baik-baik saja. Kabarmu gimana?"
"Hahahaha, aku juga baik-baik saja. Hanya aku semakin subur. Hehehehe"
Ia, Anggun benar. Tubuhnya menggemuk semenjak dia menikah.
"Sudah berapa anakmu?"
"Baru dua. Ini yang ketiga" Anggun menunjuk perutnya yang membuncit.
"Woooow" Merri terkejut. Anggun sudah memiliki dua orang anak, dan sekarang akan menyusul tiga.
"Kau sendiri sudah berapa anakmu?"
Merri tersenyum.
"Aku belum menikah" jawab Merri.
"Ya, Ampun Merri. Apa tidak ada lelaki yang menginginkanmu?"
"Hehehehehe. Aku rasa begitu" jawab Merri mengangkat bahu.
Dan percakapan panjang itu berkahir pada sebuah pernyataan Anggun yang membuat Merri terkejut. Ada perasaan yang teriris ketika Anggun mengucapkan kalimat demi kalimat mengenai Kaisar. Ternyata Kaisar hanya menghilang dari dirinya, tapi tidak menghilang bagi teman-temannya yang lain.
Anggun bercerita semuanya dan segalanya. Merri terdiam tanpa berkomentar apapun. Kejutan-kejutan demi kejutan tiap kalimat yang keluar dari mulut Anggun semakin membuat matanya panas.
"Aku sangat salut dengan Kaisar, Mer. Eh, sekarang dia bekerja sebuah toko buku loh" papar Anggun dan tak sengaja melihat plastik buku milik Merri.
"Kau sudah bertemu dengannya?" Tanya Anggun.
Merri mengangguk pelan.
"Sudah berapa lama?"
"6 bulan yang lalu"
"Apa kalian sudah berbaikan?" Pertanyaan Anggun yang ambigu membuat Merri bingung harus menjawab apa.
"Kami tidak pernah bertengkar, Anggun. Jadi, kami memang baik-baik saja" jelas Merri menyisakan rasa sedih yang mendalam.
"Baguslah kalau begitu. Aku harap kalian baik-baik saja. Oh, ya. Aku pulang dulu ya. Kalau ada waktu singgah kerumahku. Satu blok dari taman ini, belok kanan nomor rumah 12. Aku tunggu kedatangan kalian"
Kalian, Merri bingung kata Kalian yang dimaksud. Apakah Merri dan Kaisar?atau apakah untuk seluruh anggota komunitas dahulu. Merri hanya mengangguk dan melambaikan tangan sabagai salam perpisahan.
Langkah Merri berubah haluan. Dia tidak berniat pulang kerumah secepat ini. Kakinya membawa dirinya menuju toko buku itu lagi. Perasaanya membara ingin bertemu Kaisar. Ingin rasanya segera berdebat dengannya lagi seperti 15 tahun yang lalu.
Dengan nafas yang tersengal-sengal Merri tiba didepan toko buku Sumber Ilmu. Merri membuka pintu toko tersebut. Langkahnya beriringan dengan angin kecil yang masuk kedalam rongganya. Seperti rasa lega yang sudah lama tertahan oleh sebuah kenangan yang menyakitkan itu.
"Nermosu akhrinya bertemu Pramzia. Dibukit pertama kali mereka bertemu. Laula Kheil, berhasil mempertemukan mereka" Merri bersemangat mengulang kembali tulisan yang ada didalam novel yang baru dibelinya tadi siang.
Kaisar tertegun. Merri dengan nafasnya yang tersengal-sengal menuju meja kasir dan menerobos pengunjung yang lain membuat heran seisi toko itu.
"Merri!" Kata Kaisar menunjuk kearah belakang Merri yang sudah berjejer pembeli buku menunggu antrian.
Merri baru tersadar bahwa dia sedang mengacau. Wajahnya memerah karena malu dan langsung menunduk mundur kebelakang antrian.
Merri menunggu Kaisar berganti shift pukul 6 sore sambil membaca buku klasik di sudut baca.
Setelah Kaisar memberikan kunci laci kasir kepada temannya, dia langsung menemui Merri yang sedang membaca.
"Hei. Apa yang membuatmu begitu bersemangat?" Tanya Kaisar sambil tertawa kecil.
"Sudahlah, aku malu sekali" Merri masih menunduk malu.
"Bagaimana Nermosu dan Pramiza bertemu?" Tanya Kaisar yang berada didepan Merri.
"Sudahlah, kau jangan meledekku"
"Hahahahaha. Sudah kukatakan Laula Kheil itu orang jahat. Dia memang jahat. Bagaimana bisa Nermosu bertemu Pramiza lagi. Jangan-jangan dia ingin bangun kerajaan kegelapan lagi"
"Mereka hanya bertemu, bukan berarti mereka mau bangun kerajaan lagi. Kau sudah baca bukunya? Sudah halaman berapa? Aku baru selesai di bab 5"
"Aku belum sempat membaca. Lagian sekarang waktuku tidak cukup untuk membaca"
"Oh...jadi setelah ini kau mau kemana?"
"Kerumah sakit, bergantian dengan nenek menjada adikku"
"Aku ikut" Merri bersemangat
"Tidak perlu"
"Pokoknya aku ikut"
"Ada apa denganmu? Tak seperti biasanya. Kau tak pernah ngotot seperti ini"
"Pokoknya aku ikut"
"Merri, ada apa?"
"Pokoknya aku ikut" Merri menitiskan airmatanya. Rasanya ia ingin sekali menjadi bahu sandaran bagi Kaisar. Akan tetapi Kaisar adalag lelaki yang tegar. Mana mungkin lelaki setegar Kaisar itu menangis.
"Baiklah, baiklah. Tak perlu sampai menagis begitu kalau kau ingin ikut"
Merri menyerot hidungnya yang penuh air. Dan mengusap airmatanya.
Mereka berdua meninggalkan toko buku itu berjalan menuju halte kota menunggu bus 45 yang mengantarkan mereka kerumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak memperdebatkan buku milik Hans, pengarang novel fantasi yang memiliki banyak kontroversi. Sesekali perdebatan itu amat sengit, hingga mereka berdua memilih diam. Bahkan semenit kemudian mereka berdebat lagi mengenai banyak hal. Kerinduan masa lalu itu, membuat mereka merasa lega. Hiburan perdebatan itu membawa mereka sampai kerumah sakit.
Kaisar membuka pintu kamar milik adiknya yang sedang dirawat. Disana ada neneknya yang sedang menonton acara kuis favoritnya.
"Nek, bagaimana kabar Prisa?"
"Demamnya sudah turun. Tapi, kepalanya masih pusing. Ehm...siapa dia?" Tanya neneknya ketika melihat Merri.
"Oh, syukurlah kalu begitu. Dia Merri , nek. Musuhku paling berat. Hehehehe"
"Bagaimana kau bisa membawa musuhmu ke rumah sakit, Kaisar. Jangan bercanda"
"Saya tema sekolah Kaisar, Nek"
"Siapa namamu, nak?"
"Merri"
"Oh, kau yang bernama Merri itu?" Neneknya terkejut dan itu juga membuat Merri terkejut langsung memandang Kaisar.
"Nenek!" Kata Kaisar menjadi aneh. "Sebaiknya nenek mandi dan pulang. Istirahatlah dirumah. Malam ini biar aku yang menjaga"
"Iya, baiklah. Nenek segera berkemas"
Segera neneknya berkemas, memasukkan baju kedalam tas yang dibawanya tadi pagi. Sesegera mungkin dia berkemas dan berpamitan kepada Kaisar dan Merri.
Sebelum pulang.
"Nak Merri ada yang ingin nenek bilang padamu"
Kaisar langsung mencegah Merri mengikuti Neneknya.
"Disini aja" kata Kaisar sambil memandang wajah neneknya.
"Kau kenapa, Kaisar. Nenekmu ini hanya ingin mengatakan sesuatu hal saja"
"Disini saja, nek"
"Baiklah, baiklah. Merri, nenek cuma mau bilang kepadamu. Jadilah sayap bagi cucuku ini. Bawalah dia terbang dari kehidupan yang membuat dia tersiksa" isakan nenek itu membuat hati Merri teriris dan ingin menangis.
"Nek" Kaisar menegang.
"Dia sudah terlalu banyak berkorban untuk kami berdua. Masa mudanya bahkan cinta pertamanya" isakan berikutnya benar-benar menitiskan airmaya Merri.
"Nek" Kaisar mulai bergetar menahan rasa haru.
"Jadi, nenek mohon jadilah sayapnya"
Merri menghambur menuangkan pelukan ketubuh nenek itu. Rasanya begitu menyedihkan sekali harus mendengarkan kisah yang baru beberapa jam lalu dia dengar dari temannya yang bernama Anggun.
"Kau tahu, Merri. Ayah dan Ibunya pergi meninggalkan Kaisar dan adiknya yang masih kecil. Dia dititipkan oleh neneknya yang sebatang kara. Kaisar, pernah bercerita kepadaku bahwa dia tidak akan menyeret perempuan yang disayanginya dalam kesusahan hidupnya. Saat itu aku bilang padanya, itu namanya egois. Kenapa kau tidak menceritakan segalanya kepada perempuan itu. Dia menjawab , aku tidak tega melihat dirinya menjadi susah"
Merri masih memeluk nenek Kaisar dengan erat. Seperti melepas rindu panjang yang tak terbalas. Kaisar yang berdiri dibelakang Merri menunduk malu dengan seribu rasa yang tak terucapkan. Seusai neneknya pamit  dengan kesedihan dan kelegaan, Kaisar masuk kembali kedalam ruangan dimana adiknya dirawat. Melihat tubuh kurus adiknya Kaisar tidak tega selang dan jarum infus menusuk ke kulit adiknya itu. Berdasarkan hasil cek darah yang baru saja dilihat Kaisar bahwa adiknya terkena tipus. Padahal Kaisar sudah menasehati adiknya untuk tidak membantunya bekerja mencari uang. Cukup hanya dia yang mencari uang untuk memenuhi biaya sehari-hari keluarga mereka dan membiayai kuliah adiknya.
"Kenapa tidak pernah cerita padaku?" Tanya Merri menggenggam seluruh bukunya dipangkuannya.
"Maaf, aku tidak bisa"
"15 tahun lamanya. Aku kehilangan sahabatku, aku kehilangan seseorang yang teramat penting bagiku"
"Maaf, Mer. Aku tidak bisa"
Tok...tok...tok...ketukan dari pintu kamar adiknya itu membuat suasana menjadi cari. Seorang perawat membawa senampan makan malam untuk Prisa sudah tersaji. Perawat itu meletakkan makan malam itu diatas meja sebelah tempat tidur Prisa.
"Jangan lupa dimakan ya obatnya"
"Iya suster"
Dan perawat itupun berlalu dari mereka. Menutup kembali pintu kamar. Dan suasana kembali seperti semula, membeku dalam sebuah tanda tanya besar.
"Pulanglah. Aku antar sampai depan halte" kata Kaisar.
Merri menggelengkan kepalanya.
"Jangan keras kepala. Ayo pulang"
"Aku mau disini, aku tidak mau pulang" kata Merri meninggikan volume suaranya.
"Ada apa denganmu, Merri. Mengapa kau menjadi sekeras ini"
"Pokoknya aku mau disini. Tidak mau pulang" Merri berteriak.
"Merri. Jangan pernah berpikir kau akan menjadi sayapku seperti kata nenekku. Aku tidak akan menyeretmu untuk hal itu"
Merri terdiam, rasanya dia ingin menangis.
"Kau masih setega yang dulu, Kaisar"
Kaisar terdiam. Mematung sambil memandang Merri melangkah keluar kamar inap adiknya itu. Kali ini Kaisar yang melihat punggung sedih itu melaju tanpa berbalik. Berbeda dengan waktu itu, punggung itu sempat berbalik. Seperti menandakan ada kesempatan kedua yang bisa diraihnya kembali. Namun, hari ini kesempatan kedua menjadi kesempatan terakhirnya itupun menghilang.
Merri pergi dengan rasa yang sama seperti waktu itu.
"Kakak kok setega itu dengan kak Merri?"
"Sudahlah, jangan kau pikirkan itu"
Prisa hanya tersenyum kecut mendegar perkataan kakaknya itu. Dia tidak ingin menambah beban hidup bagi kakaknya itu dengan bertanya hal itu lagi.
"Makan obatmu, aku mencari makan malam. Aku segera kembali"
Prisa mengangguk pelan.
Keadaan selama 6 bulan yang sangat dijaga oleh Merri dan Kaisar ternyata runtuh juga oleh kenangan 15 tahun yang lalu. Kini mereka hidup masing-masing. Merri tidak pernah terlihat lagi di toko buku Sumber Ilmu. Demi menghindari Merri , Kaisar mengundurkan diri menjadi kasir dan berpindah bekerja. Mereka kembali menjadi seperti dahulu. Tidak saling menyapa jika bertemu. Tidak saling menghubungi dikala rindu.
Setahun berlalu...
Merri mengunjungi teman kuliahnya dahulu disebuah pabrik baja diluar kota. Merri pergi sendirian. Membawa mobilnya menempuh waktu 2 jam. Sepanjang jalan dipenuhi pabrik-pabrik baja yang di pimpin oleh Wendi bersaudara. Salah satu keturunan Wendi adalah suami teman Merri. Mengunjungi teman lama mungkin akan menghiburnya.
"Merri, apa kabar?" Tanya Sasha yang menggendong anak keduanya itu sambil menyambut kedatangan Merri di depan gerbang rumah milik mereka.
"Aku baik-baik saja" jawab Merri yang masih didalam mobilnya.
"Ayo masuk kerumah" ajak Sasha.
Merri masuk kedalam rumah yang begitu besar. Istri dari seorang pengusaha baja amatlah membuat hidup Sasha berubah drastis. Sasha yang dulu dekil sekarang menjadi bersih dan mulus. Semua perawatan dilakukannya untuk menyenangkan suaminya.
Mereka kehalam belakang, yang tembus langsung melihat pemandangan pabrik baja milik suami Sasha.
"Hidupmu luar biasa ya, Sha!"
"Kau seharusnya tahu kisahku, Mer. Tak direstui bahkan Sam ingin keluar dari rumah ini demi aku"
"Aku tahu. Kau melarangnya, kan" kata Merri berdiri menghadap pemandangan para pekerja yang mulai beristirahat makan siang.
"Iya. Lebih baik aku tidak bersamanya jika Sam harus meninggalkan orang tuanya. Aku bersabar selama 4 tahun. Aku tak ingin membuat hidup Sam kacau, Mer. Kalau memang kami dipersatukan Tuhan akan memberi jalan. Kau tahu, diakhir tahun ke 4 aku menunggu, dia melamarku. Orang tuanya setengah hati menyetujui. Rumah tangga kami tidak semulus yang kau lihat Mer. Aku dikucilkan selama 2 tahun menikah. Setelah putra kami ini lahir, barulah ibunya mau menyapaku. Intinya kita harus bersabar dalam hal apapun. Kau bagaimana, apa kau masih bersabar menunggu pangeran masa sekolah mu dulu?"
Merri tersenyum kepada Sasaha.
"Entahlah. Padahal selama 15 tahun aku tidak bertemu dengannya, 2 tahun lalu kami dipertemukan. Hanya 6 bulan aku merasakan kebahagian. Dia pergi lagi , Sha. Dengan alasan yang sama seperti waktu itu"
"Sudahlah, cari saja yang lain"
"Bagaimana bisa di usia kita yang gak muda lagi ini. Aku juga tidak tertarik mengikuti segala acara perjodohan"
"Ya, kalau begitu sabar saja. Akan ada orang yang menerimamu apa adanya"
Merri hanya tersenyum mendengar kata-kata Sasha itu.
"Oh ya, minggu lalu Papamu datang untuk membuat MOU dengan perusahaan baja milik kami"
"Oh ya...."
"Iya, kami juga membuat tim didalam MOU itu. Hari ini kami mengundang kepala timnya untuk makan siang bersama kita disini. Kepala timnya lumayan cakep loh, pekerja keras lagi. Setahun ini dia mampu menyelesaikan semua target perusahaan kami. Makanya Sam mengangkatnya jadi kepala tim. Aki harap kau membuka hatimu, dia masih lajang"
"Eh, jadi rencanamu mengundangku kesini untuk berkenalan dengan pria itu"
"Iya, hehehehe....maafkan aku, Mer. Minggu lalu Mamamu curhat masalahmu. Aku jadi gak tega melihat mamamu bersedih seperti itu. Makanya aku atur rencana ini. Dan mamamu setuju"
"Aku balik aja deh" Merri sebenarnya tidak suka acara seperti ini, dia merasa terjebak.
"Ayolah, Mer. Sekali ini aja. Kalau pria ini tidak membuatmu merasa deg-degan. Maka tidak ada lain kali dari ku. Cukup kali ini aja. Coba, ya!. Aku mohon"
Sasha mengatupkan kesepuluh jarinya memohon agar Merri tetap mengikuti makan siang yang sudaj direncanakannya seminggu yang lalu.
"Baiklah sekali ini saja. Jika ini tidak berhasil, berhenti mencampuri urusan asmaraku , ya!" Kata Merri masih kesal.
"Iya, iya aku janji. Bersiaplah bentar lagi mereka tiba. Pakai lipstikmu, Mer"
"Tidak mau" Merri masih cemberut.
Bagaimana bisa dia terjebak oleh rencana mama dan Sasha. Biasanya dia paling cepat tanggap jika dia sedang dijodoh-jodohkan. Kali ini, perjodohannya berjalan tanpa ada rasa aneh. Untuk kali ini Merri mengikuti saran Sasha.
Mereka kedapur menyiapkan makan siang yang masih tersisa didapur. Sebuah taman belakang menjadi tempat acara makan siang dan acara perjodohan itu.
Sebuah mobil jeep berwarna hitam memasuki gerbang rumah milik Sasha.
"Ayo masuk, anggap saja rumah sendiri" kata Sam kepada kepala tim proyek mereka.
"Terima Kasih pak"
"Sha.....Sasha. Kami sudah tiba, apa kau sudah menyediakan makan siang yang lezat" kata Sam yang setengah berteriak dari ruang tengah yang terdengar sampai kedapur.
"Iya, Sam" teriak Sasha "aku tinggal dulu, kau yang bawa sisanya. Aku harus menyambut tamu istimewa kita" kata Sasha menyikut manja Merri.
"Baiklah"
" Hai, Sam. Hai, Kepala Tim. Silahkan masuk, ayo aku antar kemeja makan dikebun belakang"
Sam dan Kepala Tim itu mengikuti langkah kaki Sasha menuju kebun belakang rumah mereka. Meja bundar dengan 4 kursi berwarna cokelat menyambut kedatangan tamu istimewa itu. Berbagai hidangan pembukan, menu utama dan penutup serta buah sudah tersaji dengan rapi.
"Tunggu sebentar, aku harus membantu temanku membawa minuman kita" kata Sasha berpamitan.
"Dia sudah datang" kata Sam kepada istrinya, Sasha mengerlingkan matanya. Dan Sam-pun tersenyum. Rencana mereka berhasil.
Sesampainya didapur, Merri masih berdiri menghadap jendela. Tanpa sadar minuman yang dibuatnya tumpah ruah. Merri melamun.
"Merri. Ada apa ini? Minumannya, tumpah. Bagaimana ini. Tamu istimewanya sudah datang. Aduh, kau melamun lagi"
"Eh, maafkan aku, Sha"
"Ya. Ampun Mer. Aku mohon sekali ini saja. Cobalah untuk tidak memikirkan pangeran masa lalumu itu. Cobalah pria yang sedang duduk disana"
Merri melihat punggung pria yang dimaksud Sasha.
"Baiklah"
"Oke...oke....mari kita bawa minuman ini. Mereka akan menunggu lama karena ini"
"Iya"
Merri membawa seteko minuman jus jeruk yang diperasnya sampai-sampai tumpah meluap keluar teko. Ketika mendekati meja itu, langkag Merri terhenti. Punggung yang dilihatnya dari kejauhan tadi tampaknya dia mengenalinya setelah mendekati meja makan itu. Benar saja, punggung itu tidak asing lagi.
"Kaisar" kata Merri lirih, membuat Sasha dan Sam terperanjat kaget.
Kaisar berbalik , menoleh kearah Merri.
"Merri"
Inikah sebuah takdir yang bernama kebetulan itu. Tapi, ini rencana perjodohan. Sasha memang tahu Merri mempunyai pangeran dimasa lalu. Akan tetapi Merri tidak pernah memberi tahu siapa nama pangeran itu kepada siapapun kecuali teman sekolahnya dahulu.
Merri masih mematung begitu juga Kaisar. Sam dan Sasha tidak menyangka bahwa mereka sudah saling kenal.
"Kalian sudah saling kenal?" Tanya Sasha kepada Kaisar.
Kaisar mengangguk.
"Baguslah kalau begitu. Sebaiknya kita makan dulu" ajak Sam yang sudah lapar.
Selama makan siang itu. Merri lebih banyak diam daripada harus berkata-kata. Hatinya, ya hatinya sudah tidak karuan lagi. Secepat mungkin Merri menghabiskan makanannya. Padahal makanan yang tersedia adalah makanan favorit Merri, tapi dia tidak berselara.
"Baiklah. Aku tinggal sebentar ya. Aku mau melihat pengeranku dulu" kata Sasha bangkit dari duduknya.
"Sha, pangeran masa lalu" kata Merri seketika itu juga.
Sasha menghentikan langkahnya. Melihat kearah Kaisar, dan Merri mengangguk.
"Astaga. Merri kau bisa bantu aku kan" Sasha langsung mengerti maksud dari Merri. Sasha menarik tangan Merri mengikutinya masuk kedalam rumah.
"Dia orangnya? Yang menolakmu dua kali itu. Kaisar?"
Merri mengangguk.
"Maafkan aku Mer. Maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu"
Merri menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tak apa-apa, Sha. Aku pulang ya"
Sasha tahu, perasaan Merri.
"Mer, maafkan aku ya"
"Iya. Baiklah, sampaikan salamku kepada putri Rara dan pangeran Ram serta suamimu. Aku pulang" sambil mencium pipi kanan dan pipi kiri Sasha. Merri meninggalkan ruangan itu.
Sasha mengantarkan sahabatnya itu sampai kedepan pintu rumah mereka. Disana sudah berdiri Kaisar, disebelah mobil Merri.
Melihat Kaisar berada disana, Merri mengurungkan langkahnya. Perlahan-lahan Merri mendekati mobilnya.
"Berikan kunci mobilnya padaku" kata Kaisar meminta kepada Merri.
Merri salah tingkah. Dia tidak bisa menahan rasanya saat ini. Daripada dia harus tersedu lagi, sebaiknya dia mengikuti maunya Kaisar.
Kunci mobil milik Merri diberikan oleh Merri. Kaisar membuka pintu mobil dan menyilahkan Merri duduk disebelah kemudi. Kaisar permisi kepada kedua bosnya itu. Meminta izin hari ini mengantar Merri pulang.
"Kita mau kemana?" Tanya Merri bingung.
"Luala Kheil, telah membunuh Pramiza. Kasihan Nermosu sendirian dikastil yang mereka bangun diatas bukit" kata Kaisar mengingat kembali kisah dua sahabat dalam cerita Laula Kheil yang menjadi penulis favorit Merri.
"Kau sendiri yang bilang, kalau Laula Kheil itu Jahat"
"Tapi, masih ada Franca yang menemani Nemosu"
"Franca?"
"Buku kelima dari serial Laula Kheil. Aku yakin itu ada sangkut pautnya untuk cerita Yonakza Hill, apa kau tidak membaca buku ke 6 seri Bombom Rock"
"Ya aku membacanya. Aku juga berpikir kesitu. Ternyata pemikiran kita sama"
"Hahahahahha....setelah hampir 17 tahun berdebat baru kali ini kita memiliki pemikiran yang sama" kata Kaisar yang membuat Merri memandang pria yang sedang menyetir mobilnya itu.
"Kita mau kemana?" Tanya Merri heran karena rute jalan pulang yang berbeda.
"Ke kastil Versius diatas bukit Yonakza menikmati bebatuan Bombom. Aku menemukannya setahun yang lalu. Dan aku memikirkanmu"
Sekali lagi Merri hanya bisa memandang Kaisar. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi pada Kaisar selama dua tahun ini.
" Bagaimana kabar nenek dan Prisa?" Tanya Merri. Agak lama Kaisar menjawab.
"Mereka sudah meninggal. 2 bulan setelah Prisa keluar dari rumah sakit. Dia meninggal dunia. Dan 4 bulan berikutnya nenek juga menyusul"
Mata Merri berkaca-kaca.
"Jangan berbohong" kata Merri tak percaya.
"Aku tidak berbohong. Cahayaku sudah meredup, Mer. Makanya aku pergi menjauh dari kota itu. Akhirnya aku menemukan bukit indah itu dan terus memikirkanmu"
"Kaisar. Kau tidak sedang mengarang cerita?"
"Tidak"
Sampailah mereka disebuah bukit. Diatas bukit itu ada sebuah tempat beratap tanpa dinding dan dibawahnya bertabur batu-batu nisan.
"Aku mengajakmu kemakam mereka, agar kau percaya"
Yang dimaksud Kastil Yonakza adalah tempat menunggu orang-orang sedang berziarah. Sedang kan Bombom Rock adalah batu-batu nisan yang sama seperti di novel bombom rock. Batu nisan para pahlawan yang rela berkorban untuk sang raja.
"Penuhilah permintaan nenekku, Mer"
Kata Kaisar ketika mereka sampai dipusara Nenek dan adiknya itu.
Merri menangis ketika harus menemukan pusara itu. Dua orang yang menjadi sayap Kaisar telah patah. Dia membutuhkan sayap baru, Merrilah orangnya.
Merri masih menahan isak tangisnya. Terharu bahkan sedih melihat apa yang terjadi dengan Kaisar. Hidupnya penuh kesedihan. Setegar apa Kaisar ini.
Sore itu, sayap baru telah mengepakkan diudara. Diatas bukit Yoknaza diantara bebatuan bombom rock. Senja itu tenggelam dalam kesabaran yang pasti.
"Narmosu tidak sendirian lagi" kata Kaisar lirih memandang senja yang mengoranye.