Jumat, 28 April 2017

Aku juga ingin seperti itu!

-------------- wanita aneh ---------------
Tidak ada yang paling nikmat setelah setengah hari bekerja selain makan siang. Pukul 12 tepat, siang itu Sarla membeli soto daging yang enak didekat kantornya. Memesan semangkok soto di deretan para pengunjung toko. Warung soto itu tidak besar, namun karena rasanya yang enak maka setiap kali makan siang warung itu terlihat rame. Pemilik warung adalah seorang bapak-bapak paruh baya yang ditemani istrinya yang masih terlihat sangat muda.
"Mbak Sarla mesannya seperti yang biasanya ya?" Tanya Istrinya mendekati meja Sarla yang merupakan pelanggan setia.
Sarla mengangguk dan tersenyum.
Sambil menunggu Sarla menelpon seseorang.
"Halo!" Sapanya
"Halo" balas seseorang dar seberang teleponnya.
"Bagaimana keadaan Raffa?"
"Dia sudah baikan"
"Minggu ini bisakah aku bertemu dengannya?"
"Bisa saja, asalkan kau tidak memilih sibuk bekerja daripada bertemu dengannya"
Telepon itu langsung ditutup dari seberang sana. Tak ada ucapan perpisahan ataupub sekedar basa-basi. Seseorang diseberang telepon itupun merasa sudah bosan mendengarkan janji Sarla. Dengan melihat layar ponselnya yang tertera durasi teleponan , durasi itu adalah durasi terlama selama ini.
"Alvi sebaiknya kau berhenti mengeluh?" Kata Doni kepada Alvi yang sedang menyuapkan nasi sotonya ke mulut.
"Aku tidak mengeluh, hanya saja mengapa wanita itu tidak mau mencoba terlebih dahulu" Jelas Alvi.
"Aku setuju, wanita sekarang itu jual mahal" timpal Andro setuju dengan Alvi.
"Wanita yang seperti itu dia lebih mementingkan karir daripada urusan hubungan cinta. Yakinlah, kau tak bertahan lama dengannya" sambung Andro semakin membara.
"Sudahlah, kalian berdua. Bagaimana wanita mau menerima kalian. Kalau kalian sering mengeluh seperti itu" kesal Doni.
"Kau sendiri apa sudah punya kekasih. Jangan kau jawab istri orang lain itu" hardik Andro membuat mata Doni membesar kesal.
"Ck....wanita jual mahal itu tidak ada daya tariknya. Maunya ingin dikejar terus. Ketika sudah dapat, rasanya jadi hambar" keluh Alvi.
Mendengar percakapan 3 pria yang ada di samping meja Sarla. Dia merasa ingin marah. Bukankah wanita kebanyakan seperti itu. Hanya ingin dikejar dan dikejar sampai pada akhirnya wanita itu akan melihat lelaki mana yang masih bertahan serta bersedia berkorban untuk wanitanya. Dengan tangan dikepal, Sarla memberanikan diri pindah ke meja 3 pria itu.
"Hei...kalian itu lelaki kan. Seharusnya mulut kalian itu dijaga. Jangan sukanya mengeluh tentang wanita. Menceritakan semua kelemahan wanita kepada teman-temannya. Bahkan merasa sudah benar saja cara kalian mendapatkan wanita itu. Wanita itu makhluk yang butuh perhatian dan pengertian. Bukan hanya dikejar-kejar. Dan ingat wanita itu tidak ada yang jual mahal. Wanita itu hanya ingin melihat  usaha lelaki yang ingin mendapatkannya. Kalau seperti ini, usaha apa yang sudah kalian lakukan untuk mendapatkan wanita kalian!" Dengan mata yang membara, Sarla mengeluarkan uneg-unegnya. Merasa puas Sarla kembali ke bangkunya dan memakan soto daging miliknya tanpa melihat ekspresi aneh dari ketiga pria yang sudah dicerewetinya itu.
"Siapa dia?"tanya Alvi ketika istri pemilik warung itu mendekat ke meja meraka.
"Mbak Sarla, pelanggan istimewa di warung kami, mas"
"Oh" Alvi manggut-manggut sambil melihat Sarla makan dengan begitu lahap.
Pertemuan pertama saat makan siang itu sudah dikatakan sangat menyebalkan sekali. Tapi, setelah mendengarkan apa yang dikatan Sarla, Alvi berpikir itu ada benarnya juga.
Ponsel Alvi bergetar.
"Halo" sapa Alvi
"Alvi?" Tanya Manda.
"Iya, ada apa?"
"Nanti malam kau ada acara?"
"Tidak"
"Ayo makan malam di kafe waffel"
"Ok. Jam berapa?"
"Delapan, ya"
Pesan singkat Manda itu membuat Alvi sedikit merasa tidak enak. Pikiran Alvi pasti Manda akan mencoba mendekatinya hanya karena Alvi masih single dan Manda mempunyai masalah rumit dalam rumah tangganya.
"Siapa?" Tanya Doni.
"Manda. Teman sekolahku dulu. Dia mengajak aku makan di kafe waffel"
"Waaah...bagaimna kalau kau coba dulu. Siapa tahu dia cocok denganmu"
"Akan aku usahakan" jawab Alvi melihat jam ditangannya.
Sesampai direstoran Alvi bertemu dengan siswa magang yang direkrutnya dari sekolah kejuruan tata boga. Ada 4 orang siswa disana. Dengan penampilan seperti koki pada umumnya memakai pakaian seragam putih-putih serta memakai topi masak, para siswa magang itu menerima penjelasan dari Alvi.
"Kalian disini mencari ilmu bukan mencari masalah baru. Jadi saya berharap kalian bisa bekerja sama dengan tim" kata Alvi yang terlihat keren dari salah satu siswa magang itu, sambil memandangnya terus menerus.
"Siap pak!" Kata siswa magang itu serempak.
Setelah mendapatkan penjelasan, siswa magang itu kembali ke dapur untuk membantu koki-koki senior yang sedang memasak untuk makan malam.
Tapi ada seorang siswa perempuan yang masih tinggal berdiri dan mematung disitu.
"Pak Alvi" panggilnya pelan.
Alvi tersenyum kepada siswa perempuan itu.
"Nama saya Amanda, Pak. Mohon bimbingannya" Amanda mengulurkan tangannya kearah Alvi.
Alvi menyambutnya. " Selamat bekerja , Amanda. Saya harap kamu betah dan bisa bekerja sama dengan tim"
"Iya, Pak. Tapi ada yang ingin saya tanyakan?" Kata Amanda yang menghentikan langkah kaki Alvi dan Reza.
"Apa itu?"
"Apakah Pak Alvi sudah punya kekasih?"
Pertanyaan itu membuat mulut Alvi menganga, bahkan Reza sampai menahan tawanya. Alvi melihat Reza, namun Reza hanya mengangkat bahunya pelan. Tak ada kode khusus disitu. Alvi bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Hanya senyuman kecil yang bisa dia berikan kepada Amanda, dan berharao Amanda mengerti atas maksud senyuman itu.
"Dia belum punya pacar" bisik Reza setelah Alvi keluar dari ruang rapat. Dengan senyuman yang mengembang Amanda dengan semangat bekerja di sana selama 3 bulan.

Rabu, 26 April 2017

Aku juga ingin seperti itu!

------------------- Reuni Sekolah -------------
Ketika mendapatkan SMS dari Manda selaku panitia reuni sekolah, Alvi merasa senang. Dia akan bertemu dengan wanita tomboy itu setelah 12 tahun tidak bertemu.
"Apa kabarnya, Naora?" Bisiknya dalam hati yang kegirangan.
Masih didepan meja kerjanya, Alvi menulis resep baru untuk restorannya yang baru dibuka 5 tahun yang lalu. Bulan depan akan menjadi hari-hari yang sibuk. Karena akan ada perayaan memperingati ulang tahun yang ke 5 restoran milik Alvi itu.
Sesekali dia melihat jam tangannya, sesekali juga dia melihat layar handphonenya. Sebuah getaran kecil dirasakan oleh meja kerjanya. Dengan cepat Alvi membuka kunci layarnya. Dan membaca pesan singkat dari Fredi.
"Jangan lupa , besok ada reuni akbar. Dan jangan lupa, kau harus membuat menu spesial untukku"
"Baiklah, jemput aku di restoran" balas Alvi menghempaskan tubuhnya kesandaran kursinya.
13 tahun yang lalu...
Ketika itu Alvi masih dikelas 2 SMA, bersmaa Fredi dan Julian. Mereka sedang membersihkan gudang penyimpanan alat olah raga. Berisik sorak-sorak terdengar dari ruangab olah raga yang tepat berada disamping gudang penyimpanan. Ternyata ada pertandingan voli putri di gedung itu. Mereka bertigapun segera berlari meninggalkan tugas mereka sejenak. Ikut bergabung dengan penonton. Bertepuk tangan, memberikan semangat kepada tim putri dari sekolah mereka.
"Naora....Naora...!!" Teriak beberapa penonton pendukung.
Mata Alvipun tertuju kepada gadis bernama Naora. Gadis berambut pendek itu akan memulai servicenya. Dengan gaya yang pasti, dan tenaga ayunan tangan yang kuat maka bola melambung keatas lalu mengarah melewati net. Tanpa halangan bola jatuh masuk kedalam lapangan lawan, poin untuk tim putri voli sekolah mereka. Semua bersorak-sorak dan bertepuk tangan. Naomi, gadis tomboy itu begitu populer karena merupakan atlit putri bola voli yang cantik.
"Naora....naora....ayo semangat" teriak Alvi.
Naorapun melihat kearah Alvi, dan memberikan senyuman terindah yang membuat dada Alvi berdegup dengan kencang. Mata Alvi tak bergeser ketubuh tinggi atletis itu. Hanya satu sosok wanita yang membuat jantung Alvi bergetar begitu hebat. Dan saat itulah, perasaan aneh mengganjal Alvi sepanjang bersekolah. Masa-masa yang indah untuk cinta pertama.
Tok...tok...sebuah ketukan dari pintu ruang kerja Alvi berbunyi. Seorang pegawai restorannya masuk.
"Pak ada yang mencari" kata Reza
"Oh, baiklah. Terima kasih, Reza. Hm...tolong kau jaga restoran ini. Aku ada acara reuni sekolah" kata Alvi mengambil kunci mobil dan jasnya.
"Pak" panggil Reza sebelum Alvi meninggalkan ruangan.
"Ya"
"Semoga bertemu dengan wanita yang baik disana" kata Reza tersipu malu.
"Hahahahahaha...terima kasih"
Alvi menuju ruangan depan dan bertemu dengan Fredi.
Fredi berdan seperti pebisnis muda kebanyakan. Kemeja di gulung kesitu tangan, memakai kacamata dan tak lupa topi. Ferdi melambaikan tangannya.
"Apa kabar brother!" Sapa Fredi sembari memeluk Alvi erat.
"Baik brother. Hahahahaha. Lepaskan aku. Lihat pegawaiku merasa aneh melihat kita" kata Alvi yang memang sudah di lihatin oleh beberapa pegawainya. Alvi merasa malu, dan menunduk menuju keparkiran mobilnya yang berada di depan restoran miliknya.
Sesampainya di ballroom yang sudah dijanjikan itu. Pertemuan alumni SMA 12 tahun yang lalupun dimulai. Manda sebagai pembawa acara, memulai acara dengan memperlihatkan foto-foto masa lalu mereka ketika bersekolah dulu. Memakai seragam putih abu-abu berkumpul bersama dilapang menyambut murid baru. Disitu terlihat Alvi dan teman-temannya serta foto Naora yang sedang tersenyum manis.
13 tahun yang lalu.
"Alvi!" Panggil Naora yang berada ditengah kerumunan siswa yang lain. Namun Alvi tak mendengar.
"Alvi, Alvi" lalu Alvipun menoleh. Melihat senyum milik Naora, jantung Alvi masih juga bergedup kencang.
"Ada apa?" Tanya Alvi yang tersipu malu.
"Ayo foto bareng panitia" ajak Naora yang menarik tangan Alvi.
" He em" Alvi mengangguk sambil tersenyum menahan rona merah dipipinya.
Mereka tertawa bersama. Membuat gaya yang aneh-aneh, terlihat lucu sekali.
Prok...prok...prok....
Hahahhahahaha....
Gelegar tepukan tangan dan tawa menggema di ballroom itu. Seperti mesin waktu mereka kembali kemasa remaja itu. Sambil mengenang lewat slide foto yang ditampilkan oleh panitia.
Manda kembali membawakn acara berikutnya. Membacakan siswa-siswa yang sukses didalam pekerjaannya.
Dimulai dari Alvi.
"Alviano Wijaya. Tepuk tangan untuk bos restoran barat ini. Kalian bisa mendapatkan diskon jika makan direstorannya. Benarkan , Alvi?" Tanya Manda menunjuk kearah kursi Alvi dan teman-temannya.
Alvi tersipu malu dan menyungingkan senyum sungkannya.
"Selanjutnya, Putri Naora"
Ketika nama Naora disebut, jantung Alvi masih juga bergedup kencang. Mencari-cari dimana keberadaan Naora didalam ruangan itu. Namun Alvi tidak melihat keberadaan Naora.
"Sayang sekali, Naora tidak bisa datang kali ini. Dia sedang sibuk di Paris. Minggu depan dia akan kembali ke Indonesia"
Naora tetap menjadi populer dikalangan laki-laki. Begitu juga Alvi. Seusai acara resmi, para tamu dipersilahkan untuk mencicipi makanan yang tersedia. Belum ada 10 menit, Alvi sudah di kelilingi oleh teman-teman wanitanya. Beberapa dari mereka mencoba mendekati.
"Hei, Alvi apa kau sudah menikah?"
"Belum" jawab Alvi santai.
"Apa kau sudah punya pacar"
"Pacar?sudah 5 tahun aku tidak memiliki pacar"
Wajah anehpun terpasang disetiap wajah teman-teman wanitanya itu. Merasa ada yang salah dengan Alvi yang masih menyendiri diusia yang sudah pantas untuk menikah ataupun memiliki kekasih.
Lalu Manda mendekat.
"Hai , Alvi. Kau yakin belum menikah"
"Yakin"
"Aku sedang kacau dengan suamiku"
Alvi mengerutkan dahinya, mengetahui maksud dari Manda.
"Bisakah kita berbincang-bincang setelah reunian ini?" Ajak Manda mengambil segelas jus jeruk dari nampan yang dibawa oleh pelayan.
Alvi mengagguk ragu. Dan acara reuni itupun berakhir dengan kekecewaan. Karena Alvi tidak bertemu dengan cinta pertamanya Naora.

Kamis, 20 April 2017

Your Eyes

Mata itu memandang kagum terhadap pria yang sedang berdiri diujung jalan itu. Pria itu sedang menyapa setiap orang yang sedang berada disekitarnya. Melemparkan senyum ramahnya. Membuat kedua pipinya berlubang kecil, dan itu sangat menggemaskan. Sesekali pria itu membenarkan letak kacamatanya.
Dia masih terus memandang, mencoba mensugesti dirinya sendiri agar bisa berbincang dengan pria yang membuatnya tersenyum-senyum sendiri.
Sebuah getaran yang berasal dari kantong jaketnya. Dia langsung melihat layar ponselnya. Sebuah nama yang membuat moodnya berubah.
"Ada apa?" Tanyanya ketus
"Kau dimana?kau tahu deadline, deadline. Sudahkah kau mewawancarai pria sok itu?"
"Prama maksud kau?"
"Siapa lagi. Segera kau wawancara. Atau kau akan aku pindahkan ke editor fashion"
"Ciiih....ancamanmu tidak akan berpengaruh. Aku masih memantau pria sukses itu. Sekarang aku sedang berada di depan convention city"
"Baiklah. Laksanakan tugasmu"
"Tutup mulutmu dan berhenti mengangguku"
Ini tugas yang cukup berat. Pria yang dipujanya harus masuk daftar pria yang akan hancur ketika masuk ke artikel dimajalahnya. Mungkin ini akan menjadi masa kesialan baginya. Tidak bisa mengobrol banyak bersama pria itu. Tetap menjadi mata-mata. Hingga akhirnya pria itu menghampiri dirinya yang sedang duduk melamun di kafe bernuansa italia itu.
"Spagetti?"
"Tidak!" Jawabnya dengan wajah tersenyum.
"Maaf menunggu lama" kata pria itu tersenyum.
"Tidak masalah" jawabnya menyungingkan senyum kembali.
"Mereka selalu begitu, memasang wajah tersenyum padahal mereka menginginkan perusahaanku bangkrut"
"Tidak baik berprasangka buruk seperti itu"
"Kau sok bijak"
"Kita sudah mengenal sejak SMP, aku sudah tahu isi kepalamu. Pantai"
"Baiklah"
Mereka berduapun pergi keparkiran. Wanita itu membuka kunci otomatis mobil miliknya. Malam itu, angin berhembus kencang. Sepertinya akan turun hujan. Tapi, hal itu tidak menyurutkan niat mereka untuk pergi kepantai. Menikmati suara deburan ombak dan semiliran angin pantai. Menenangkan diri , serta menyelesaikan tugas.
Sepanjang perjalanan, musik jazz mengalun pelan. Wanita itu sesekali melihat kaca spion. Memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Ataupun sesekali mata-mata si Boss Cerewet itu.
"Jadi, apakah kau berhasil mendapatkan mega proyek di Amerika?"
"Tentu"
"Berapa saham yang akan kau jual untuk kali ini?"
"Tak banyak. Hanya 5% saja. Bagiku proyek ini tak penting"
"Mengapa?"
"Kakek Theo yang menginginkannya"
"Jadi?cucu yang penurut"
"Ini rahasia, kau harus bungkam"
Sakmat, rahasianya sudah terbongkar lama.
"Apa itu?"
"Aku heran sepertinya ada mata-mata yang sedang mengincarku"
Wanita itu menelan ludahnya, udara dirongganya tercekat sesaat itu juga.
"Lalu?"
"Aku hanya bercerita kepada dirimu. Tidak ada yang lain"
"Jadi kau menuduhku?"
"Tidak"
"Terus?"
"Sudahlah. Lajukan mobilmu. Aku sudah tidak sabar ingin mandi di laut. Wanita itu menambah kecepatan laju mobilnya. Ini untuk pertama kalinya pria itu merasa tidak percaya kepada wanita itu. Kekesalan didalam diri wanita itupun muncul. Tapi, tunggu saatnya tiba. Kekesalan itu akan membawanya sebuah peluang besar menuju impiannya. Menjadi seorang wakil direktur utama majalah kontroversi.
Sudah ada beberapa pengusaha hancur akibat pemberitaan yang diterbitkan oleh majalah mereka. Propaganda. Pengkhianatan. Dunia bisnis yang kejam. Semua mereka ulas dengan tim-tim yang luar biasa. Termasuk Emly, wanita hebat yang memiliki bakat dan kemampuan untuk mewawancarai dengan lihai dan jatuh terperangkap hingga akhirnya jatuh terpuruk hancur.
Sudah hampir 6 bulan, Emly ditugaskan untuk menghancurkan seorang Pria bernama Prama, teman SMPnya. Pria yang sedari dulu diam-diam dia sukai. Dan kini harus terperangkap kedalam jaring yang Emly buat. Ini memang kejam, tapi ini adalah cara Emly untuk meraih impiannya.
"Sudah sampai"
"Ummmmm....." Prama menghirup udara pantai yang segar
"Silahkan jika ingin mandi" Emly mencari tempat istirahat yang jauh dari hiruk pikuk suara musik disko.
"Ok. Belikan aku coke dan roti selai"
"Baiklah"
Emly, tidak merasa keberatan untuk melakukan perintah itu semua. Demi kedekatan dan demi impian. Semua itu menjadi satu perangkap tikus dan mendapatkan tupai.
Kantong jaket Emly bergetar. Nama itu lagi.
"Apa lagi?"
"Besok. Besok penentuannya. Apa kau sudah bersama pria sombong itu?"
"Belum"
"Lama sekali. Aku dapat kabar bahwa perusahaan Amerika itu menolak kerjasama dengan perusahaan pria sombong itu"
"Darimana kau tahu?"
"Sam, sam memberitahuku"
"Ada masalah apa?"
"Skandal. Skandal yang kau buat"
"Maksudmu?"
"Kau berhasil Emly, Pria sombong itu akan segera hancur. Kau berhasil. Sebaiknya tidak perlu lagi kau mendekatinya. Segera ke kantor. Aku menunggu"
"Tunggu dulu. Skandal apa?"
"Liburan ke Bali"
Sial. Bagaimana kebocoran liburan ke Bali itu sampai mencuat kepermukaan. Emly sudah prepare tentang rahasia mereka itu. Bahwa dia yakin tidak akan ada yang tahu. Tapi, boss cerewet itu memang lihai sekali.
"Aku akan kirim foto kalian berdua"
Foto yang mana?. Emly yakin tidak ada foto yang membuat dirinya dan Prama terlibat skandal.
"Baiklah. Aku akan menutup telponnya"
Tak lama Emly menutup teleponnya. Getaran kecil menggetarkan tangganya yang mendingin. Perasaan was-was itu kembali muncul.
Mata Emly terbelalak, melihat dirinya sedang di gendong oleh Prama. Tapi, media tidak tahu apa yang terjadi pada saat itu. Yang media tahu bahwa dengan foto itu Prama sudah terlibat skandal. Bahkan hubungan dengan mega proyek di Amerika segera batal. Semua saling berhubungan. Kejam sekali. Ternyata Emly yang terjerat duluan.
Sekembalinya Emly membawa coke dan roti selai. Begitu juga Prama yang hanya bercelana pendek mendekati pondok mereka.
"Bagaimana jika mega proyek itu tidak berhasil. Apa kau rugi besar?" Tanya Emly memandang laut yang hitam
"Kau tak perlu khawatir. Rugi besar itu tak jadi masalah"
"Tapi, kau akan kehilangan kakekmu. Aku tahu keuanganmu lagi kandas"
"Sudah cukup. Aku baik-baik saja. Kakekku juga akan sembuh"
"Tapi" perasaan sedih menyelusup seluruh perasaan Emly. Terutama perasaan bersalahnya.
"Kau tak perlu khawatir. Jika aku mengatakan tak apa-apa. Maka tidak akan terjadi apa-apa"
"Bagaimana dengan ini?"
Emly memberikan sebuah foto yang dimuat dimajalahnya. Sebuah foto yang menjadi skandal pribadi dirinya dan Prama.
Wajah Prama berubah seketika. Sekelebat mimik marah. Prama mengerutkan dahinya. Melihat foto itu dengan marah yang tertahan.
"Apa kau masih bilang jangan khawatir"
"Diam kau. Darimana mereka dapat foto-foto ini"
"Aku tidak tahu"
"Kau, aku yakin kau mata-mata itu Emly. Mengaku saja"
Emly terdiam. Dia memang mata-mata. Akan tetapi untuk masalah foto ini, dia tidak tahu menahu.
"Aku tidak tahu maksudmu. Mata-mata apa?"
"Jawab pertanyaanku?apa pekerjaanmu selain menulis cerita romansa di majalah remaja"
"Hanya itu"
"Kau bohong"
"Pram, pleas. Trust me"
"Nope. Sorry Emly. Aku sudah mendapatkan buktinya. Makanya aku ingin kita berterus terang disini. Aku yakin tidak ada yang mengikuti kita"
"Pram"
"Emly. Jujur itu lebih baik"
Emly terdiam dan tertunduk. Dia tidak akan mengakui bahwa dia adalah seorang mata-mata yang akan menghancurkan Pram.
"Sorry, kau sudah salah sangka Pram. Aku akan pergi. Selamat tinggal. Kau membuatku kecewa"
Emly menyalakan mesin mobilnya dan menuju ke kantor.
"Boss, hancurkan dia sekarang"
"Hahahaha...aku suka caramu"
"Terbitkan semua rahasia perusahaanya"
"Kau yakin mengeluarkan senjata pamungkas itu"
"Yakin, dia telah membuatku kecewa. Dia tidak mempercayaiku"
Boss itu pun tersenyum licik. Usahanya untuk meraih keuntungan dari artikel itu membuat perusahaan majalahnya akan berkembang pesat. Majalahnya akan menjadi majalah kontroversi terbesar di seluruh negeri.
Mobil Emly terparkir rapi di basement kantornya. Segera Emly menuju lantai paling atas tempat kerja bossnya itu.
Pintu terbuka lebar, boss cerewet itu sedang tersenyum-senyum memandang layar komputernya.
"Sudah puaskah kau, Jill?"
"Puas sekali. Kau berhasil. Aku bangga padamu" Jill memeluk Emly bangga.
"Kau tahu perasaanku. Hancur"
"Aku tak peduli dengan perasaanmu, Emly. Seharusnya kau berterima kasih, karena besok kau akan aku angkat menjadi wakil direktur. Kau berhasil meraih impianmu"
"Aku pergi. Aku sudah muak"
Emly kembali meluncur kebawah. Menyalakan mesin mobilnya. Malam ini menjadi malam tersial yang dimilikinya. Kemana harus pergi malam ini. Pram, masih menunggu Emly dipinggir pantai. Berharap Emly akan menjemputnya. Dan perasaan Pram itu benar. Emly terseok-seok menuju Pram. Meraih tangannya dan menggeretnya ke dalam mobil.
"Ada apa?"
"Convrensi press malam ini. Jelaskan semua skandal itu"
"Mengapa?" Pram heran.
"Aku tak ingin kau bangkrut"
"Apa maksudmu"
"Malam ini suruh seketarismu untuk mengumpulkan media masa. Dan jelaskan apa yang terjadi di foto itu"
"Tapi, foto itu belum tersebar"
"Besok itu akan dimuat di majalah itu"
"Aku harus mengaku apa?"
"Kau katakan pada media masa bahwa kita sudah bertunangan dan akan menikah"
Pram terdiam. Memandang wajah Emly lamat-lamat.
"Itu akan aku lakukan, Emly. Tanpa harus kau suruh. Apa harus malam ini aku melamarmu?"
"Tidak ada waktu bercanda. Segera kau hubungi seketarismu malam ini. Cepat!!"
Pram gelagapan meraih ponselnya. Sedangkan Emly sibuk menyetir mobil mini busnya itu melaju kearah kantor Pram.
Pram berhasil menghubungi sekretarisnya, dan malam ini juga akan dilakukan confrensi press. Sesampai dikantor Pram. Deni, sekretaris Pram langsung mencercau puluhan pertanyaan kepada Pram.
Pram masih menutup mulut. Mengganti pakaiannya dengan jas abu-abu. Begitu juga Emly yang berganti gaun yang sudah dipersiapkan oleh Pram untuk cara lamaran yang akan dilakukannya minggu depan.
"Seharusnya baju ini kau kepakai minggu depan"
Emly terdiam mengagumi gaun berwarna gading itu dengan balutan batu-batu shapire yang indah.
"Terima kasih"
"Rapikan rambutmu" Pram membatu Emly menyisir rambutnya. Dengan sangat lembut sekali, rambut Emly kembali rapi.
"Terima kasih. Maafkan aku"
"Aku yang seharusnya berterima kasih. Ternyata Jill lah yang selama ini membuat hidupku berantakan"
Emly terkejut, bagaimana Pram tahu tentang Jill.
"Jill, adalah tanteku. Dia merasa keberatan karena harta kakek teo sepenuhnya diberikan padaku"
Mata Emly terbelalak.
"Jill tidak berniat memberikan jabatan wakil direktur itu kepadamu, Emly"
Emly berbalik arah. Memandang wajah Pram lembut, sambil menitiskan airmata.
"Hanya Jill yang terlalu bodoh, telah mempertemukan kita kembali. Itulah kesalahan terbesar Jill. Dia tidak tahu bahwa kau adalah orang selama ini kucari"
Emly masih menitiskan airmatanya.
"Kau tahu, Emly. Selama 8 tahun ini aku mencarimu. Kau menghilang"
"Aku tidak menghilang. Aku mengundurkan diri dari dunia, Pram"
"Hahahahaha....kau masih seperti yang dulu. Bersiaplah. Mereka sudah datang. Termasuk Jill. Ini akan menjadi kejutan besar baginya"
Emly menghapus airmatanya dipipi dan kembali tersenyum.
Diruangan aula besar itu, sudah banyak para pencari berita berkumpul. Bahkan termasuk Jill, dugaan Pram benar sekali.
Masuklah Pram , dengan melempar senyun kesemua para media.
"Maaf malam-malam mengganggu istirahat kalian. Tapi, aku yakin kalian tidak akan beristirahat. Karena malam ini penentu siapa pemenang mega proyek itu. Malam ini juga akan mengumumkan prihal pertunanganku dengan seseorang. Seorang gadis yang sederhana yang memiliki impian yang besar. Masuklah, sayang"
Emly dengan ragu melangkah masuk , menuju ruangan. Semua mata kamera tertuju padanya. Gaunnya yang indah menambah kesan elegan yang begitu mewah. Seketika itu juga mata Jill terbelalak.
"Dasar penghianat" gumam Jill.
Setelah Confrensi press itu, Jill mencoba menghubungi Emly , namun tak berhasil. Hingga akhirnya, sebuah panggilan dari nomor yang tak dikenal menghubungi Jill.
"Hai, tante. Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Telah mempertemukan mata-matamu yang sangat luar biasa ini kepadaku"
"Apa maksudmu?"
"Tante. Aku tidak akan membawamu kepengadilan manapun atas pencermaran nama baikku"
"Tutup mulutmu. Aku tidak takut. Kartu As mu ada padaku, ponakanku tersayang"
"Silahkan dikeluarkan saja tante. Kartu Kingmu juga berada padaku"
"Maksudmu?"
"Emly" Prama tersenyum manis.
Prama mendekati Emly yang sedang duduk di balkon kantornya. Memandang lampu-lampu kota yang berkelap kelip. Menikmati malam menuju pagi.
"Terima kasih telah memilihku daripada impianmu"
Emly tersenyum memandang wajah Prama.

Senin, 03 April 2017

Teman yg hilang

"eh, ngapain sih ngikutin aku terus!" Kesal Reo kepada Asha.
Langkah Asha terhenti seketika. Dia tak punya teman lagi di sekolah barunya ini. Hanya Reo, teman kecilnya dulu.
"Kamu malu?" Tanya Asha menundukkan kepalanya.
"Aku gak mau orang lain menganggap kita pacaran"
Deg....
Hati Asha terasa sakit.
Reo melanjutkan langkahnya menuju kantin, meninggalkan Asha yang sedang bermuram hati karena perkataan Reo. Asha kembali ke kelas, duduk melamun menatap keluar jendela. Berpikir dan bertanya.
'Apa salahnya dengan anggapan orang lain. Bilang saja malu berteman denganku'.
"Sha!" Panggil Nimo, cowok keren yang kepopulerannya melebihi justin biber.
Asha menoleh, Nimo tersenyum.
"Ada apa?"
"Jadi ikut club teater kan?" Tanya Nimo sembari memberikan formulir pendaftaran anggota teater.
"Aku masih bingung, Nimo. Tahu sendirikan jadwal teater itu padat dan disiplin lagi. Takutnya aku gak mampu"
"Ya, ampun. Kan ada aku. Kita sama-sama masih junior"
"Tapi, kamu uda terkenal duluan. Jadi, mereka harap maklum dengan kepopuleranmu"
"Jangan ngaco akh. Isi formulirnya. Aku tunggu pulang sekolah di ruangan club teater"
Kesedihan yang terjadi tadi hilang sudah dengan kedatangan Nimo, yang tidak malu menjadi temannya.
Harapan muncul untuk mempunyai teman baru akan segera tiba. Asha tidak akan sendiri lagi. Dengan wajahnya yang sangat cantik itu, Asha amat tidak disukai oleh teman-teman perempuan. Asha begitu mendominan ketika berkumpul dengan mereka, sehingga teman-temannya merasa minder dan tak berarti. Itu bukan maunya Asha untuk terus-terusan didekati oleh teman-teman prianya. Mereka sendiri yang datang menghampiri Asha hanya untuk sekedar menyapa.
Bel pulang sekolah telah tiba. Nimo yang sudah menunggu Asha di dalam ruangan teater terlihat gusar. Sesekali melihat kearah pintu. Namun, Asha tak kunjung datang. Nimo hampir putus asa. Ketika pintu ruangan terbuka, terlihatlah Asha memasuki ruangan. Nimo bangkit dari duduk, semangatnya tumbuh dan segera Nimo melambaikan tangannya. Asha segera menuju ke arah Nimo. Mereka saling lempar senyuman.
"Terima kasih, ya!"Kata Nimo. Asha hanya mengangguk pelan. Acara penyambutan anggota baru di club begitu antusias. Banyak siswa baru yang mendaftar sebagau anggota teater. Karena club teater di sekolah ini sudah terkenal dan memiliki banyak prestasi. Jadi, untuk bisa memasuki clubnya harus memiliki tingkat disiplin yang tinggi, loyalitas terhadap club dan harus memiliki semangat yang tinggi serta bisa bekerja sama dengan tim.
Ketua club, Kak Vero memberikan kata sambutan kepada para pelamar anggota club. Kak Vero memiliki wajah yang tegas dan berbadan tegap. Sesuai dengan posisinya sebagai ketua club.
"Kita adalah tim, ingat T.I.M. Bekerja sama, loyalitas , disiplin dan semangat yang tinggi. Itulah sebabnya kita mampu meraih semua prestasi-prestasi itu" Kak Vero menunjuk kearah foto-foto seluruh anggota teater sedang memegang piagam kemenangan mereka setiap tahunnya.
Dan kata-kata motivasi itulah menjadi penutup pertemuan pertama ini. Dan akan dilanjutkan ke sesi berikutnya. Penyeleksian anggota baru.
Nimo tampak senang, karena dia sudah terbiasa berakting. Karena dia juga merupakan selebritis dan model terkenal. Sebab itulah, kepopuleran Nimo bisa menjadi kelebihan untuk diterima di club teater ini.
Sekarang giliran Asha memasuki ruangan. Disana sudah duduk Kak Vero, Kak Dila, dan Buk Kyle merupakan pembina club teater juga pemain teater nasional. Asha gerogi. Tangannya tak henti-hentinya berkeringan. Kepercayaan dirinya sedang diuji.
"Oh, ini si Ratu Asha"
Asha menoleh kearah Kak Dila. Perkataan itu bukan pujian, melainkan cibiran bagi Asha.
Julukan Ratu itu tersemat indah sejak SMP, hingga kini masuk ke SMA julukan itu masih tersemat dengan rapinya.
"Silahkan ambil, skripnya. Lalu tempo 1 menit kamu bisa melakonkan apa yang diperintakan skripnya" kata Buk Kyle menunjuk skrip yang ada dihadapannya.
Asha memilih lembar skrip yang paling bawah. Lalu Asha membaca isi skripnya. Ada kelegaan diraut wajah Asha. Ini kemampuannya sejak dulu. Bernyanyi. Asha diperintahkan untuk bernyanyi dengan penuh penghayatan sehingga pesan yang dinyanyikannya tersampaikan kepada semua orang.
Asha menarik nafas pelan, lalu menghembuskannya cepat. Asha langsung menumukan lagunya britney spears yang lucky. Dengan penuh percaya diri Asha mulai bernyanyi dan bersama gerakan-gerakan tubuh yang dramatis.
Susasan hening ketika Asha menyelesaikan tugasnya. Kak Vero dan Buk Kyle bertepuk tangan dan seraya berdiri. Terkagum-kagum melihat gadis yang berbakat.
"Kenapa gak jadi artis saja?" Tanya Kak Vero.
"Reo melarang saya jadi artis" jawab Asha.
"Siapa Reo?pacar kamu?" Tanya Buk Kyle.
"Teman saya"
"Oh, baiklah. Dua hari lagi pengumumannya. Semoga kamu lulus" kata Kak Vero tersenyum manis kearah Asha.
Asha keluar dari ruangan dengan wajah yang memuaskan.
"Jangan kegenitan kepada anak baru, Vero. Aku gak suka" kesal Dila.
Nimo melambai-lambaikan tangannya kearah Asha.
Asha melihatnya , segera saja dia mendekati Nimo.
"Gimana tadi?"
"Hm" Asha mengacungkan jempol keudara.
"Hahahaha....semoga kita lulus ya" kata Nimo kesenangan.
Mereka berjalan menuju gerbang sekolah. Sore ini terlihat cerah, matahari masih melukiskan semburat oranye di tepi barat. Angin yang sejuk. Ditambah dengab suasana hati yang sedang bergembira.
"Asha!" Panggil Reo dari parkiran motor guru.
Asha menoleh kearah Reo.
"Ada apa?"
"Maaf yang tadi ya"
"Gak apa-apa kok"
"Yuk, pulang bareng" Ajak Reo
"Kita pulang bertiga ya. Nimo juga naik bus yang sama"
"Nimo" Nimo mengulurkan tangannya.
"Reo" Reo menyambutnya.
Sembari menunggu bus datang. Nimo dan Reo saling bercerita. Ternyata mereka cocok. Memiliki hobi yang sama, tae kwon do. Reo merupakan asisten pelatih di club tae kwon do, sedangkan Nimo sudah lama berlatih tea kwon do di kalangan selebritis. Jadi, Asha hanya mendengarkan pembicaraan laki-laki pecinta tae kwon do. Terkadang mereka melakukan gerakan-gerakan aneh menurut Asha. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak. Dan tak terasa buspun tiba. Sesampai didalam bus, mereka sengaja duduk paling belakang hanya untuk menyambung cerita mereka.
"Asha, kamu kok diam saja?" Tanya Nimo
"Aku gak ngerti apa yang kalian bicarakan"
"Hahahaha, Asha ini memang cantik. Cuma ya gitu, tahunya hanya nyanyi saja" celetuk Reo.
"Udah berapa lama kenal dengan Asha?" Tanya Nimo.
"Sudah 15 tahun. Dari oek-oek, bahkan kami lahir dirumah sakit yang sama, diruangan yang sama. Untung saja tidak tertukar. Hahahahahah"
"Kebanyakan nonton sinetron kamu" kesal Asha.
"Jadi sudah seperti teman dekat ya"
"Dekat banget , hahahahahhaha" Reo masih tertawa.
"Terus apa kamu pernah suka dengan Asha?" Tanya Nimo.
Pertanyaan Nimo itu membuat Asha terdiam dengan wajah kaget. Pertanyaan yang keluar dengan polosnya dari bibir Nimo. Asha merasa sesak didadanya. Pikirannya mulai bertanya-tanya. Jawaban apa yang akan di katakan Reo.
"Gak lah. Hahahahahha. Gadis cengeng seperti dia tidak cocok denganku. Dia terlalu manja. Hahahahaha" kembali Reo tertawa terbahak-bahak.
Asha menahan sesak didadanya. Jadi , selama ini pertolongan-pertolongan itu hanya sebagai rasa kasihan dan kecengengan Asha semata. Asha menahan airmatanya. Rasa sedih itu menjalar keseluruh tubuhnya. Wajahnya merautkan kesedihan yang terdalam.
"Bagaimana kalau aku suka dengan Asha?" Tanya Nimo. Kembali lagi Asha kaget dengan perkataan Nimo.
Reo terdiam, tawanya tercekat oleh pertanyaan Nimo. Ingin rasanya Reo meminta Nimo untuk kembali mengutarkan pertanyaannya. Namun, bibirnya langsung berkata.
"Silahkan. Tapi, kamu harus siap mental. Karena Asha itu seperti hantu yang selalu mengikutimu. Hahahaha" dibalik tawa ada keganjalan di hati Reo.
Bus berhenti, perbincanganpun tehenti. Nimo permisi untuk turun duluan. Karena harus berganti bus lagi. Tinggallah Asha dan Reo yang saling diam. Tak ada percakapan hari ini setelah turunnya Nimo dari bus. Bahkan setelah mereka turun dari bus dan menuju kerumah hanya derapan langkah kaki mereka yang terdengar. Kecuali pernyataan terakhir Reo sebelum masuk kedalam rumahnya.
"Sha, mulai besok kamu pergi dan pulang sendirian ya. Aku merasa tidak enak dengan Nimo yang sudah blak-blakan mengatakan perasaany tadi di bus"
"Tapi..." Asha terhenti. Itu permintaan yang diinginkan Reo selama ini. Menjauh dari Asha.
"Sudahlah. Selamat sore, dah!!!" Reo masuk kedalam rumahnya dengan dada yang penuh sesak.
Begitu juga Asha berlari ke kamar tidurnya dengan isakan tangis yang menyedihkan. Sahabatnya memintanya untuk menjauh darinya.
Ini, hari yang menyenangkan sekaligus menyedihkan.
********
Pagi beranjak, dua hari berlalu. Sembari menunggu pengumunan seleksi anggota teater. Asha duduk di depan mading. Membaca satu persatu pengumunan. Dan Asha melihat pertandingan Tae Kwon Do antar sekolah yang akan diadakan minggu depan di SMA timur. Melihat pengumuman itu, Asha teringat dengan Reo yang sejak saat itu tidak pernah lagi pulang bersama mereka. Ternyata Reo sibuk latihan untuk pertandingan Tae Kwon do antar sekolah.
"Hai Lucky" sapa Kak Vero yang membawa kertas pengumuman.
"Eh....Kak Vero" Asha yang sedang melamun terhenyak melihat Kak Vero yang sedang berdiri didepannya.
"Selamat ya, Lucky" Kak Vero tersenyum manis.
"Aku lulus ya, Kak?" Tanya Asha penasaran.
"Iya. Hanya 10 orang yang lulus"
"Nimo bagaimana?"
"Mana mungkin dia tidak kami luluskan. Aktor berbakat. Hehehehe. Sekali lagi selamat ya"
Setidaknya kabar gembira ini mampu menghibur kesedihan hatinya.
"Kapan mulai latihan kak?"
"Sudah kakak tulis di lembar pengumunan. Sudah ya. Kakak kembali ke kelas dulu"
"Iya" Asha tersenyum senang membaca hasil pengumumannya. Kabar gembira ini harus segera sampai kepada Nimo.
Asha kembali ke kelas, tidak melihat Nimo disana. Ke kantin juga tidak ada. Ke perpustakaan juga tidak ada. Ke toilet, sengaja Asha menunggu di depan toilet pria. Bahkan dari beberapa siswa pria menggodanya untuk masuk saja.
Nimopun muncul dari dalam toilet, dengan hati yang sedang senang. Asha meraih tangan Nimo dan bersorak.
"Kita lulus"
Nimo masih bingung.
"Kita lulus apa?"
"Lulus masuk teater"
"Apaaaa????"
"Iya beneran"
Asha dan Nimo melompat-lompat gembira. Namun, dibalik pintu toilet ada mata yang sedang memandang iri dengan kegembiraan mereka berdua. Rasanya dia tidak rela melihat kegembiraan itu muncul di wajah mereka.
Nimo dan Asha kembali ke kelas dengab wajah gembira. Setelah Asha membertahukan bahwa besok jadwal latihan mereka kepada Nimo, datanglah Kak Dila dengan wajah cemberut dan kesal.
"Asha, aku peringatkan ya. Jangan pernah menggoda Vero. Ok"
"Eh...." Asha terkejut.
"Ada apa sih?" Tanya Nimo heran.
"Kasi tau temenmu ini ya, Nimo. Jangan genit dengan pacar orang lain"
Asha terdiam.
Plaaaak....sebuah tamparan melayang kearah Dila. Tangan besar Reo menempel keras dan membekas.
"Asha tidak serendah itu, Veromu saja yang kegenitan. Ingat itu" Reo murka melihat Asha diperlakukan seperti perempuan rendahan. Memang, Asha selalu di kelilingi laki-laki. Akan tetapi Asha selalu berusaha untuk menjauhi mereka yang genit-genit.
Suasana sekolah mendadak senyap. Hanya terdengar rintihan sakit yang dirasakan Dila.
"Daaasaaar preman gila" Kesal Kak Dila yang langsung pergi karena malu.
Nimo merasa terkejut melihat tindakan Reo yang akan membuatnya diskorsing selama 3 hari.
Suasana hening berubah menjadi haru ketika Asha menitiskan airmatanya.
"Sudahlah jangan cengeng" Reo megusap-usap kepala Asha. Dan berlalu pergi.
"Sha, sudah jangan nangis lagi" kata Nimo.
Nimo membawa Asha kedalam kelas dan menenangkan hati Asha.
"Aku keluar saja ya dari teater. Belum apa-apa, aku sudah punya musuh. Memang aku tidak pernah cocok dengan perempuan"
"Sudahlah. Gak perlu dipikirkan. Kamu harus tetap ikut teater. Temanin aku disana. Ok!" Kata-kata Nimo itu memang jitu untuk meredakan hati Asha yang bersedih. Namun, dibalik itu semua pembelaan Reo merupakan bertanda bahwa Reo masih ada disekitarnya untuk membelanya selalu. Tapi, lain halnya dengan Nimo. Ada rasa kesal yang mendalam , mengapa dia tidak begitu sigap melawan cercauan seniornya itu. Ada rasa takut untuk menghentikan cercauan itu.
*********
3 hari Reo tidak bersekolah. Ada rasa tidak enak mengganjal di hati Asha. Sepulang sekolah ini, Asha akan menemui Reo dirumahnya. Dan meminta maaf atas kejadian tempo hari..
"Reo gimana kabarnya?"tanya Nimo didalam bus.
"Aku belum ada menjenguknya. Rencana hari ini"
"Aku ikut ya!"
"Eh...." Asha bingung harus menjawab apa.
"Boleh ya. Ada yang mau aku berikan juga kepadanya. DVD pertandingan tae kwon do tingkat nasional. Beberapa hari yang lalu dia minta tolong kepadaku untuk mencarikan DVD pertandingan nasional. Ternyata pelatihku menyimpan DVDnya. Makanya hari ini ingin aku berikan"
"Baiklah" Asha mengangguk pelan sambil tersenyum.
Sesampai di depan rumah Reo. Asha memberanikan diri melangkahkan kakinya ke rumah Reo. Ini untuk kali keduanya Asha datang ke rumah Reo. Biasanya Reo yang selalu datang ke rumah Asha. Reo tinggal bersama ayahnya yang merupakan mantan atlit tae kwon do tingkat nasional. Namun, sekarang ayahnya menjadi pelatih dan menjual perlengkapan tae kwon do yang berada ditengah kota. Ayahnya seminggu sekali akan pulang untuk menjenguk Reo.
Ketukan demi ketukan tak ada sahutan dari dalam rumah.
"Sebentar" kata Asha masuk melalui samping rumah. Benar feeling Asha, bahwa pintu samping tidak pernah dikunci oleh Reo.
Asha masuk melalui dapur, dan menuju keruang depan lalu membukan pintu untuk Nimo.
"Loh kok bisa?"
"Pintu samping selalu tidak dikunci"
"Kok kamu tahu"
"Reo selalu bilang padaku. Kalau ke rumahnya masuk dari pintu samping. Karena dia selalu di kamar atas untuk latihan"
Nimo masuk sambil melihat sekeliling. Wajahnya tercengang. Banyak sekali piagam penghargaan milik keluarga Reo. Ternyata Nimo mengenal ayah Reo yang pernah menjadi pelatih di klub selebritis itu. Asha mengajak Nimo keatas. Rumah yang sepi.
Reo terlihat sedang latihan dilantai dua. Ruangan besar itu memang khusus untuk latihan tae kwon do. Reo menghentikan latihannya setelah melihat Asha dan Nimo berada di bibir pintu ruang latihan.
"Hai..." sapa Nimo
"Hai, bagaimana permintaanku"
"Ini aku bawakan" Nimo membongkar tasnya dan memberikan DVD pertandingan tae kwon do yang Nimo janjikan.
"Aku akan membuat minuman dan cemilan" kata Asha kembali kebawah dan menuju dapur.
Sedangkan Reo dan Nimo mulai menonton video pertandingan tingkat nasional itu.
30 menit berlalu, Asha selesai dengan pekerjaannya membuat minuman dan cemilan. Asha kembali ke lantai dua. Dan tangannya bergetar melihat tangan Reo sudah ada dileher Nimo yang kesakitan.
"Hentikan...hentikan....ada apa dengan kalian" Asha heran dan ketakutan.
Reo dan Nimo tidak menghiraukan Asha yang mulai gemetaran ketakuan.
Sekarang Nimo membalas dengan mengunci kaki Reo sehingga ada celah untuk melepaskan diri dari capitan lengan Reo. Ini sesi duel antara Reo dan Nimo. Tidak tahu permasalahannya apa, yang Asha tahu itu merupakan tindak kekerasan kepada manusia.
"Hiks...hiks...hikss...sudah hentikan. Aku mohon"
Reo dan Nimo melihat ke arah Asha yang menangis. Tampang heran mereka mendadak berubah menjadi tawa menggelegar.
"Hahahahaha...." mereka tertawa bersama.
Asha mengusap airmatanya.
"Kami hanya sedang latihan" kata Nimo menepuk bahu Reo.
"Dasar cengeng. Heran juga mengapa ada cowok yang suka dengannya. Hahahahha"
Wajah cemberut Asha terihat jelas. Menambahkan kegemasan dengan pipinya yang tembam memerah menahan marah.
Seusai latihan dan makan cemilan serta meminum teh buatan Asha. Nimo langsung berpamitan pulang karen hari sudah semakin sore. Asha mengantar Nimo sampai depan pintu rumah Reo. Dengan senyuman termanis Nimo berpamitan seraya mengingatan Asha.
"Minggu depan temanin aku casting model ikan ya" kata Nimo mengerlingan matanya.
Asha tak menjawab segera hanya senyuman yang terpancar dari wajahnya. Punggung Nimo sudah tak terlihat lagi, Asha kembali masuk ke dalam rumah Reo. Menapaki anak tangga. Suasana menjadi berubah. Kecanggungan antara mereka terlihat jelas sekali. Reo yang sedari tadi melanjutkan melihat video pertandingan tae kwon do. Sedangkan Asha berpura-pura melihat video juga, padahal pikirannya entah pergi kemana-mana.
"Minggu depan datanglah ke pertandingan"
Asha masih pura-pura melihat video,  dia juga mendengar apa yang dikatakan Reo. Namun, dia tidak mau menjawab. Masih ada rasa kesal dihatinya. Rasa kesal itu tidak tahu tumbuhnya darimana. Sudah sejak kapan rasa kesal itu muncul juga Asha tidak tahu. Segera Asha bangkit.
"Maafkan aku" kata Reo digemangnya nada suara yang dia getarkan.
Asha terhenti. Tangannya mengepal erat. Ubun-ubunnya tiba-tiba memanas.
"Buat apa belain aku. Buat apa? Kasian. Aku gak perlu dikasianin. Kalau pembelaan itu buat kamu di skor 3 hari begini. Lebih bai tidak perlu kamu bela. NGERTI" amarah Asha memuncak. Matanya menguraikan airmata yang tak terbendung. Asha menangis.
"Sudah kubilang jadi cewek jangan cengeng" Reo bangkit dan mendekati Asha.
"Apa pedulimu!" Asha mulai berteriak.
"Jika Nimo tak sanggup membuatmu bahagia dan mengusap airmatamu kembalilah kepadaku. Kamu harus merasakan hal yang lain, maka kamu akan tahu rasa apa yang kamu berikan kepadaku apakah melebihi rasamu ke Nimo. Aku akan memiliki rasa yang tetap sampai kamu menua nanti. Ini bukan gombalan, ya" kata-kata Reo membuat isakan Asha terhenti. Walaupun di tidak mengerti apa yang dikatakan Reo. Namun, ketika Reo mengusap-usap kepalanya itu bertanda hubungannya dengan Reo tidak akan berubah.
Ada yang merasa dia telah tiba diwaktu yang salah diantara orang yang salah.
"Sorry, tapi ini perasaanku. Aku akan berusaha mewujudkkannya" katanya dalam hati. Segera dia keluar dari rumah itu dan tidak jadi mengambil kunci kamarnya yang tertinggal di ruang latihan Reo.
Sore yang berat untuk perasaan yang terbagi-bagi. Ada semburat kebahagiaan , namun ada juga secercah kesedihan.
*****
Nimo berjalan lunglai menuju kelas. Hari dimana masih mengingat perkataan Reo di ruang latihan. Perkataan yang seharusnya tidak didengarkannya. Sesampai dikelasnya, Nimo langsung memilih tidur dibangkunya. Melupakan kata-kata itu, kata-kata yang membuat hatinya tidak enak. Nimo kembali mengingat pertemua pertamanya dengan Asha di lapangan sekolah yang penuh keriuhan. Dia melihat Asha yang sedang duduk sendiri. Seperti tidak ada teman, maka segera dia menghampiri gadis manis itu. Mereka mengobrol panjang. Mengenai sekolah dan hobi mereka. Ternyata mereka memiliki hobi yang sama, yaitu Teater. Sejak saat itu ada getaran aneh merasuki hati Nimo. Takdir begitu mudah mempertemukan mereka berdua di dalam keramaian.
"Nimo!" Panggil Asha yang sudah di sebelah bangkunya. Nimo mengangkat kepalanya.
"Ada apa?"
"Jawaban kemarin, aku tidak bisa menemanimu casting model iklan"
"Baiklah"
Asha heran melihat raut wajah Nimo, tidak seperti biasa.
"Kamu baik-baik saja?"
"Apa aku terlihat baik-baik saja"
"Tidak. Ada apa denganmu?"
Nimo tidak menjawab. Perasaan tak enak hati juga merasuki Asha saat itu.
"Apa kamu marah dengan jawabanku"
"Hm...gak kok" akhirnya Nimo menyungingkan senyumannya. Nimo tahu kalau Asha menjadi tak enak hati kepadanya.
"Maaf ya"
"Tak perlu minta maaf. Memangnya kamu mau kemana minggu depana"
"Aku mau menemani Reo ke pertandingan tingkat sekolah"
Nimo sudah menduga jawaban itu. Nimo hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
" Kalau aku sempat aku akan datang kesana juga"
"Terima kasih" senyun Asha mengembanng. Ada rasa kelegaan dihatinya. Semua berjalan baik-baik saja. Tidak bagi Nimo, sesak sekali. Apakah begini rasa cemburu. Membanding-bandingkan dirinya dengan Reo. Nimo itu kurang apa. Cerdas, tampan dan populer. Tak ada lecet sedikitpun. Tapi, mengapa wanita itu lebih memilih tetap bersama Reo yang begitu urakan dan bergaya preman. Bahkan untuk menandingi dibidang akademik jelas Reo jauh berada dibawah Nimo yang mendapatkan peringkat kedua juara umum.