Kamis, 20 April 2017

Your Eyes

Mata itu memandang kagum terhadap pria yang sedang berdiri diujung jalan itu. Pria itu sedang menyapa setiap orang yang sedang berada disekitarnya. Melemparkan senyum ramahnya. Membuat kedua pipinya berlubang kecil, dan itu sangat menggemaskan. Sesekali pria itu membenarkan letak kacamatanya.
Dia masih terus memandang, mencoba mensugesti dirinya sendiri agar bisa berbincang dengan pria yang membuatnya tersenyum-senyum sendiri.
Sebuah getaran yang berasal dari kantong jaketnya. Dia langsung melihat layar ponselnya. Sebuah nama yang membuat moodnya berubah.
"Ada apa?" Tanyanya ketus
"Kau dimana?kau tahu deadline, deadline. Sudahkah kau mewawancarai pria sok itu?"
"Prama maksud kau?"
"Siapa lagi. Segera kau wawancara. Atau kau akan aku pindahkan ke editor fashion"
"Ciiih....ancamanmu tidak akan berpengaruh. Aku masih memantau pria sukses itu. Sekarang aku sedang berada di depan convention city"
"Baiklah. Laksanakan tugasmu"
"Tutup mulutmu dan berhenti mengangguku"
Ini tugas yang cukup berat. Pria yang dipujanya harus masuk daftar pria yang akan hancur ketika masuk ke artikel dimajalahnya. Mungkin ini akan menjadi masa kesialan baginya. Tidak bisa mengobrol banyak bersama pria itu. Tetap menjadi mata-mata. Hingga akhirnya pria itu menghampiri dirinya yang sedang duduk melamun di kafe bernuansa italia itu.
"Spagetti?"
"Tidak!" Jawabnya dengan wajah tersenyum.
"Maaf menunggu lama" kata pria itu tersenyum.
"Tidak masalah" jawabnya menyungingkan senyum kembali.
"Mereka selalu begitu, memasang wajah tersenyum padahal mereka menginginkan perusahaanku bangkrut"
"Tidak baik berprasangka buruk seperti itu"
"Kau sok bijak"
"Kita sudah mengenal sejak SMP, aku sudah tahu isi kepalamu. Pantai"
"Baiklah"
Mereka berduapun pergi keparkiran. Wanita itu membuka kunci otomatis mobil miliknya. Malam itu, angin berhembus kencang. Sepertinya akan turun hujan. Tapi, hal itu tidak menyurutkan niat mereka untuk pergi kepantai. Menikmati suara deburan ombak dan semiliran angin pantai. Menenangkan diri , serta menyelesaikan tugas.
Sepanjang perjalanan, musik jazz mengalun pelan. Wanita itu sesekali melihat kaca spion. Memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Ataupun sesekali mata-mata si Boss Cerewet itu.
"Jadi, apakah kau berhasil mendapatkan mega proyek di Amerika?"
"Tentu"
"Berapa saham yang akan kau jual untuk kali ini?"
"Tak banyak. Hanya 5% saja. Bagiku proyek ini tak penting"
"Mengapa?"
"Kakek Theo yang menginginkannya"
"Jadi?cucu yang penurut"
"Ini rahasia, kau harus bungkam"
Sakmat, rahasianya sudah terbongkar lama.
"Apa itu?"
"Aku heran sepertinya ada mata-mata yang sedang mengincarku"
Wanita itu menelan ludahnya, udara dirongganya tercekat sesaat itu juga.
"Lalu?"
"Aku hanya bercerita kepada dirimu. Tidak ada yang lain"
"Jadi kau menuduhku?"
"Tidak"
"Terus?"
"Sudahlah. Lajukan mobilmu. Aku sudah tidak sabar ingin mandi di laut. Wanita itu menambah kecepatan laju mobilnya. Ini untuk pertama kalinya pria itu merasa tidak percaya kepada wanita itu. Kekesalan didalam diri wanita itupun muncul. Tapi, tunggu saatnya tiba. Kekesalan itu akan membawanya sebuah peluang besar menuju impiannya. Menjadi seorang wakil direktur utama majalah kontroversi.
Sudah ada beberapa pengusaha hancur akibat pemberitaan yang diterbitkan oleh majalah mereka. Propaganda. Pengkhianatan. Dunia bisnis yang kejam. Semua mereka ulas dengan tim-tim yang luar biasa. Termasuk Emly, wanita hebat yang memiliki bakat dan kemampuan untuk mewawancarai dengan lihai dan jatuh terperangkap hingga akhirnya jatuh terpuruk hancur.
Sudah hampir 6 bulan, Emly ditugaskan untuk menghancurkan seorang Pria bernama Prama, teman SMPnya. Pria yang sedari dulu diam-diam dia sukai. Dan kini harus terperangkap kedalam jaring yang Emly buat. Ini memang kejam, tapi ini adalah cara Emly untuk meraih impiannya.
"Sudah sampai"
"Ummmmm....." Prama menghirup udara pantai yang segar
"Silahkan jika ingin mandi" Emly mencari tempat istirahat yang jauh dari hiruk pikuk suara musik disko.
"Ok. Belikan aku coke dan roti selai"
"Baiklah"
Emly, tidak merasa keberatan untuk melakukan perintah itu semua. Demi kedekatan dan demi impian. Semua itu menjadi satu perangkap tikus dan mendapatkan tupai.
Kantong jaket Emly bergetar. Nama itu lagi.
"Apa lagi?"
"Besok. Besok penentuannya. Apa kau sudah bersama pria sombong itu?"
"Belum"
"Lama sekali. Aku dapat kabar bahwa perusahaan Amerika itu menolak kerjasama dengan perusahaan pria sombong itu"
"Darimana kau tahu?"
"Sam, sam memberitahuku"
"Ada masalah apa?"
"Skandal. Skandal yang kau buat"
"Maksudmu?"
"Kau berhasil Emly, Pria sombong itu akan segera hancur. Kau berhasil. Sebaiknya tidak perlu lagi kau mendekatinya. Segera ke kantor. Aku menunggu"
"Tunggu dulu. Skandal apa?"
"Liburan ke Bali"
Sial. Bagaimana kebocoran liburan ke Bali itu sampai mencuat kepermukaan. Emly sudah prepare tentang rahasia mereka itu. Bahwa dia yakin tidak akan ada yang tahu. Tapi, boss cerewet itu memang lihai sekali.
"Aku akan kirim foto kalian berdua"
Foto yang mana?. Emly yakin tidak ada foto yang membuat dirinya dan Prama terlibat skandal.
"Baiklah. Aku akan menutup telponnya"
Tak lama Emly menutup teleponnya. Getaran kecil menggetarkan tangganya yang mendingin. Perasaan was-was itu kembali muncul.
Mata Emly terbelalak, melihat dirinya sedang di gendong oleh Prama. Tapi, media tidak tahu apa yang terjadi pada saat itu. Yang media tahu bahwa dengan foto itu Prama sudah terlibat skandal. Bahkan hubungan dengan mega proyek di Amerika segera batal. Semua saling berhubungan. Kejam sekali. Ternyata Emly yang terjerat duluan.
Sekembalinya Emly membawa coke dan roti selai. Begitu juga Prama yang hanya bercelana pendek mendekati pondok mereka.
"Bagaimana jika mega proyek itu tidak berhasil. Apa kau rugi besar?" Tanya Emly memandang laut yang hitam
"Kau tak perlu khawatir. Rugi besar itu tak jadi masalah"
"Tapi, kau akan kehilangan kakekmu. Aku tahu keuanganmu lagi kandas"
"Sudah cukup. Aku baik-baik saja. Kakekku juga akan sembuh"
"Tapi" perasaan sedih menyelusup seluruh perasaan Emly. Terutama perasaan bersalahnya.
"Kau tak perlu khawatir. Jika aku mengatakan tak apa-apa. Maka tidak akan terjadi apa-apa"
"Bagaimana dengan ini?"
Emly memberikan sebuah foto yang dimuat dimajalahnya. Sebuah foto yang menjadi skandal pribadi dirinya dan Prama.
Wajah Prama berubah seketika. Sekelebat mimik marah. Prama mengerutkan dahinya. Melihat foto itu dengan marah yang tertahan.
"Apa kau masih bilang jangan khawatir"
"Diam kau. Darimana mereka dapat foto-foto ini"
"Aku tidak tahu"
"Kau, aku yakin kau mata-mata itu Emly. Mengaku saja"
Emly terdiam. Dia memang mata-mata. Akan tetapi untuk masalah foto ini, dia tidak tahu menahu.
"Aku tidak tahu maksudmu. Mata-mata apa?"
"Jawab pertanyaanku?apa pekerjaanmu selain menulis cerita romansa di majalah remaja"
"Hanya itu"
"Kau bohong"
"Pram, pleas. Trust me"
"Nope. Sorry Emly. Aku sudah mendapatkan buktinya. Makanya aku ingin kita berterus terang disini. Aku yakin tidak ada yang mengikuti kita"
"Pram"
"Emly. Jujur itu lebih baik"
Emly terdiam dan tertunduk. Dia tidak akan mengakui bahwa dia adalah seorang mata-mata yang akan menghancurkan Pram.
"Sorry, kau sudah salah sangka Pram. Aku akan pergi. Selamat tinggal. Kau membuatku kecewa"
Emly menyalakan mesin mobilnya dan menuju ke kantor.
"Boss, hancurkan dia sekarang"
"Hahahaha...aku suka caramu"
"Terbitkan semua rahasia perusahaanya"
"Kau yakin mengeluarkan senjata pamungkas itu"
"Yakin, dia telah membuatku kecewa. Dia tidak mempercayaiku"
Boss itu pun tersenyum licik. Usahanya untuk meraih keuntungan dari artikel itu membuat perusahaan majalahnya akan berkembang pesat. Majalahnya akan menjadi majalah kontroversi terbesar di seluruh negeri.
Mobil Emly terparkir rapi di basement kantornya. Segera Emly menuju lantai paling atas tempat kerja bossnya itu.
Pintu terbuka lebar, boss cerewet itu sedang tersenyum-senyum memandang layar komputernya.
"Sudah puaskah kau, Jill?"
"Puas sekali. Kau berhasil. Aku bangga padamu" Jill memeluk Emly bangga.
"Kau tahu perasaanku. Hancur"
"Aku tak peduli dengan perasaanmu, Emly. Seharusnya kau berterima kasih, karena besok kau akan aku angkat menjadi wakil direktur. Kau berhasil meraih impianmu"
"Aku pergi. Aku sudah muak"
Emly kembali meluncur kebawah. Menyalakan mesin mobilnya. Malam ini menjadi malam tersial yang dimilikinya. Kemana harus pergi malam ini. Pram, masih menunggu Emly dipinggir pantai. Berharap Emly akan menjemputnya. Dan perasaan Pram itu benar. Emly terseok-seok menuju Pram. Meraih tangannya dan menggeretnya ke dalam mobil.
"Ada apa?"
"Convrensi press malam ini. Jelaskan semua skandal itu"
"Mengapa?" Pram heran.
"Aku tak ingin kau bangkrut"
"Apa maksudmu"
"Malam ini suruh seketarismu untuk mengumpulkan media masa. Dan jelaskan apa yang terjadi di foto itu"
"Tapi, foto itu belum tersebar"
"Besok itu akan dimuat di majalah itu"
"Aku harus mengaku apa?"
"Kau katakan pada media masa bahwa kita sudah bertunangan dan akan menikah"
Pram terdiam. Memandang wajah Emly lamat-lamat.
"Itu akan aku lakukan, Emly. Tanpa harus kau suruh. Apa harus malam ini aku melamarmu?"
"Tidak ada waktu bercanda. Segera kau hubungi seketarismu malam ini. Cepat!!"
Pram gelagapan meraih ponselnya. Sedangkan Emly sibuk menyetir mobil mini busnya itu melaju kearah kantor Pram.
Pram berhasil menghubungi sekretarisnya, dan malam ini juga akan dilakukan confrensi press. Sesampai dikantor Pram. Deni, sekretaris Pram langsung mencercau puluhan pertanyaan kepada Pram.
Pram masih menutup mulut. Mengganti pakaiannya dengan jas abu-abu. Begitu juga Emly yang berganti gaun yang sudah dipersiapkan oleh Pram untuk cara lamaran yang akan dilakukannya minggu depan.
"Seharusnya baju ini kau kepakai minggu depan"
Emly terdiam mengagumi gaun berwarna gading itu dengan balutan batu-batu shapire yang indah.
"Terima kasih"
"Rapikan rambutmu" Pram membatu Emly menyisir rambutnya. Dengan sangat lembut sekali, rambut Emly kembali rapi.
"Terima kasih. Maafkan aku"
"Aku yang seharusnya berterima kasih. Ternyata Jill lah yang selama ini membuat hidupku berantakan"
Emly terkejut, bagaimana Pram tahu tentang Jill.
"Jill, adalah tanteku. Dia merasa keberatan karena harta kakek teo sepenuhnya diberikan padaku"
Mata Emly terbelalak.
"Jill tidak berniat memberikan jabatan wakil direktur itu kepadamu, Emly"
Emly berbalik arah. Memandang wajah Pram lembut, sambil menitiskan airmata.
"Hanya Jill yang terlalu bodoh, telah mempertemukan kita kembali. Itulah kesalahan terbesar Jill. Dia tidak tahu bahwa kau adalah orang selama ini kucari"
Emly masih menitiskan airmatanya.
"Kau tahu, Emly. Selama 8 tahun ini aku mencarimu. Kau menghilang"
"Aku tidak menghilang. Aku mengundurkan diri dari dunia, Pram"
"Hahahahaha....kau masih seperti yang dulu. Bersiaplah. Mereka sudah datang. Termasuk Jill. Ini akan menjadi kejutan besar baginya"
Emly menghapus airmatanya dipipi dan kembali tersenyum.
Diruangan aula besar itu, sudah banyak para pencari berita berkumpul. Bahkan termasuk Jill, dugaan Pram benar sekali.
Masuklah Pram , dengan melempar senyun kesemua para media.
"Maaf malam-malam mengganggu istirahat kalian. Tapi, aku yakin kalian tidak akan beristirahat. Karena malam ini penentu siapa pemenang mega proyek itu. Malam ini juga akan mengumumkan prihal pertunanganku dengan seseorang. Seorang gadis yang sederhana yang memiliki impian yang besar. Masuklah, sayang"
Emly dengan ragu melangkah masuk , menuju ruangan. Semua mata kamera tertuju padanya. Gaunnya yang indah menambah kesan elegan yang begitu mewah. Seketika itu juga mata Jill terbelalak.
"Dasar penghianat" gumam Jill.
Setelah Confrensi press itu, Jill mencoba menghubungi Emly , namun tak berhasil. Hingga akhirnya, sebuah panggilan dari nomor yang tak dikenal menghubungi Jill.
"Hai, tante. Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Telah mempertemukan mata-matamu yang sangat luar biasa ini kepadaku"
"Apa maksudmu?"
"Tante. Aku tidak akan membawamu kepengadilan manapun atas pencermaran nama baikku"
"Tutup mulutmu. Aku tidak takut. Kartu As mu ada padaku, ponakanku tersayang"
"Silahkan dikeluarkan saja tante. Kartu Kingmu juga berada padaku"
"Maksudmu?"
"Emly" Prama tersenyum manis.
Prama mendekati Emly yang sedang duduk di balkon kantornya. Memandang lampu-lampu kota yang berkelap kelip. Menikmati malam menuju pagi.
"Terima kasih telah memilihku daripada impianmu"
Emly tersenyum memandang wajah Prama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar