Minggu, 12 Juni 2016

Pi

Menjemputnya dalam sebuah diskusi panjang
Berdebat dengan hati yang terdalam
Merambat ke naruni sang pesalah
Aku tertegun sesaat
Menikmati aroma keharuman cinta

Menjemputnya dalam sebuah diskusi panjang
Mendamba kehangatan sebuah kasih yang luas
Bak samudera dengan seluruh dunianya
Bagaikan aliran deras merasuki sanubari terpanjang

Menjemputnya dalam sebuah diskusi panjang
Mengais kerinduan yang membuncah kelangit
Menggetar jiwa si pengkhilaf
Meminta ampun dalam sujud terlama

Menangis disetiap kenangan hitam menyala
Meraung di sesatnya hari tanpa cahaya
Meringis perih di hembusan noda-noda
Mengiba ampunan atas segalanya

Menjemputnya dalam sebuah diskusi panjang
Malam-malam menjadi saksi kebimbangan
Malam-malam menjadi saksi ketaatan
Malam-malam menjadi saksi kerinduan
Malam-malam menjadi saksi kecintaan

Bergetar...
Aku bergetar...
Ketika hawa itu merasuki tubuhku...
Sakit...
Sakit sekali....
Ketika cambuk itu menusuk nusuk tulangku...
Airmataku...
Airmata yang mana....
Airmata kepura-puraan kah?
Airmata ketulusan kah?
Hanya Dia yang tahu...
Dia....
Dia...
Yang telah membisikkan kepadaku tentang kehidupan yang terlalu singkat ini...
Yang membuatku mengampun-ngampun dalam tangis di setiap sujudku
Aku bersalah...
Dan aku rindu hal itu...
Sekarang ...
Mengapa hampa?

Rabu, 08 Juni 2016

3 Takdir

Aku tidak mengerti aliran takdir itu sendiri. Hanya yang aku tahu bahwa kebetulan itu tidak ada didunia, semua itu adalah rencana awal yang sudah diikat mati dalam sebuah perjanjian yang sakral.
Aku suka mengada-ngada. Mencocokkan hal yang tidak penting. Tapi, terkadang disitu aku melihat ketakjuban yang terjadi.
3 takdir, mungkin aku akan bercerit tentang 3 takdir. Lebih kearah prosesnya dari pada hasilnya.
Ada 3 takdir yang menurutku unik.
Usiaku saat ini tidaklah tergolong muda lagi. Bahkan sudah pantas menggendong anak, begitula teman temanku selalu berkata.
Hm...iya juga.
Hei, bukankah aku sudah berusaha untuk melalui prosesnya. Mencoba membuka hati, yang akhirnya aku tetap menjadi "the last place on your space". Bahkan di ketiga takdirku.
Baiklah, takdir pertama.
Pertama kali aku bertemu dengannya berumur 5 tahun, dan proses itu aku temukan lagi setelah aku berumur 15 tahun. Aku bertemu lagi dengan takdir pertamaku.
Takdir kedua, aku bertemu dengannya ketika berumur 7 tahun, setelah itu prosesnya juga terjadi 10 tahun kemudian, saat usiaku 17 tahun.
Lalu, takdir ketigaku aku bertemu dengannya ketika usia 14 tahun. Dan proses itu terjadi 10 tahun kemudian.
Entahlah, ketiga takdirku ini akan kubuat cerita.
Dan semua berakhir pada kata "the last place on your space"

The Last Place On Your space

- Gadis - gadis berpengaruh dan The Bejat Group -
Sudah tidak terasa, aku dan teman-teman lainnya harus meninggalkan sekolah. Sebelum acara perpisahan disekolah. Kami pergi berlibur ke sebuah danau terbesar se asia.
Aku bersama Nindi memakai pakaian yang sama. Kaos putih, celana jeans ponggol dan sepatu bertali.
Sebelum pergi, Nindi mengajak membeli pakaian dalam. Benar saja, aki harus membeli pakaian dalam baru.
Mengitari pasar yang dekat rumah Cakra. Dan disitu untuk pertama kalinya aku bertemu dengan takdir ketigaku. Dia sedang berjalan dengan teman-temannya. Memakai kaos oblong berwarna biru.
Aku dan Nindi sempat singgah di toko Cakra, membeli rok untuk Nindi. Adiknya, sangat mengenal kami berdua.
"Eh...pacar bang Cakra!" Teriaknya.
Seisi toko melihat kami.
Saat itu, Cakra dan Nindi sudah jadian.
Lalu datang ibu-ibu paruh baya.
"Mana pacarnya bang Cakra?"
"Itu" tunjuk Mikel ke arah Nindi.
Nindi menjadi malu. Ya ampun ini seperti sedang mencari tahu keberadaan Cakra.
"Cakranya lagi maen sama temennya. Dia gak dirumah"
"Kami gak mencari Cakra kok buk. Kami mau beli rok"
"Oh..yauda pilih pilih saja. Nanti dapat diskon"
Nah, kami berterima kasih kepada Mikel telah berteriak lantang tentang hubungan Nindi dan Cakra. Kami hanya terkikik saling pandang.
Hari ini...
Semua membawa bekal masing-masing. Aku membawa tas ranselku. Demi, liburan ini aku dan Nindi meminjam kamera manual. Saat itu, kamera digital masih sangat langka. Dan membeli film satu rol, yang berisi 36 negatif film dan bonus 4.
Tak ada yang ketinggalan, bus sudah datang. Aku berkumpul dengan geng Cakra yang datangnya lebih awal. Kami menunggu di sebuah rumah makan yang dekat dengan sekolah kami.
"Kami bawa aja , Je?" Tanya Cakra
"Bawa baju doank"
"Kamera?"
"Sama Nindi"
Tiba-tiba Aris muncul. Dia diantar oleh ayahnya. Tas ranselnya di letakkan diatas meja. Memeriksa kembali isi tasnya. Semua dikeluarkan. Lalu dia bersamalam dengan ayahnya.
"Apa ini?" Tanyaku.
Ingat, kami sudah berteman. Sudah baikan. Tidak ada lagi marah-marahan. Sudah bisa saling menerima. Begitulah.
"Obat-obatan"
"Hahahahahahha" Cakra tertawa terbahak-bahak.
"Untuk apa?" Tanyaku yang juga menahan tawa. Seorang Aris, anak nakal dan bandel harus membawa obat kemana-mana. Aku tak percaya itu.
"Iya, mamakku ini yang masukkan"
Tak lama kami dipanggil masuk kesekolah terlebih dahulu. Mengabsen murid yang ikut. Aku masih tidak percaya saja kalau Aris membawa seluruh obat dalam liburan kali ini.
Didalam bus aku duduk dengan Nindi. Cakra bersama Miko yang duduk dibelakang bangku kami. Selebihnya dengan pasangan masing-masing. Setengah perjalanan. Cakra minta tukar posisi. Akhirnya aku duduk dengan Miko. Sepanjang perjalanan Miko, asyik juga diajak mengobrol.
Aris malah ngambek hanya gara-gara kami tertawai masalah dia membawa obat. Begitulah dia, ngambeknya luar biasa.
Perjalanan panjang, akhirnya kami sampai juga.
Tepat sore hari, pukul 3 kami sampai di mess tempat kami menginap.
Setiap kali aku ke danau ini. Maka yang pertama kali kulihat adalah mess itu. Banyak kenangan gila terjadi disitu.
Bahkan aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan ketika menginap disitu.
Aku dan Nindi langsunh memilih untuk berjalan-jalan bersama Cakra dan Miko. Kami mengabadikan seluruh momen lewat kamera. Setiap ada tempat yang bagus, langsung foto. Aku dan Nindi begitu akrab. Tak ada yang memisahkan persahabatan kami saat itu. Aku tahu Nindi dan begitu juga sebaliknya. Semua aku ceritakan padanya. Dialah sehabat terbaikku saat itu.
Berjalan menuju keatas, udara semakin dingin. Menjelang malam, kami diberi pengumuman agar tidak terlalu jauh berjalan. Dan pukul 10 harus sudah ada di mess. Kami mengiyakan.
Aku dan geng, akhirnya aku Nindi memberi nama geng kami.
Gadis-gadis berpengaruh and the bejat group. Yang terdiri dari Aku dan Nindi sebagai gadis. The bejat group Cakra, Aris, Sapta, Arfino, Nikki, Roni, Tossi, Deno, Miko dan Jokki.
Kami menikmati malam ini. Khusunya buat Nindi dan Cakra.
Malam itu, kami berjalan menuju keatas. Melihat pemandangan danau yang menghitam. Udara yang dingin membuat kaki kami gemetar. Aku memakai jaket kesayanganku. Berwarna putih biru langit. Aku menyukai biru langit sejak dulu. Makanya aku mempunyai nama penas aozorajio yang artinya langit biru jio ( nama asliku dalam pembacaan dalam bahasa inggris ).
Miko mulai usil. Ide gilanya menakuti orang berdampak senjata makan tuan.
"Eh...stop! Kita berhenti disini. Kita kejutin orang yang lewat"
Kami nurut, kecuali Cakra dan Nindi yang terus berjalan.
Ketika ada yang lewat , kami yang sedang bersembunyi tiba-tiba keluar dan mengagetkan teman-teman yang lain.
Semua terkejut, mengeluarkan cacian terhadap kami. Itu tidak masalah. Kami hanya tertawa saja.
Puas menakuti teman-teman. Terhenti tawa kami setelah Aris lewat.
"Gak terasa kalian bau kemenyan disini"
Dalam gelap kami saling memandang. Mengendus-ngendus bau kemenyan. Benar. Baunya terasa banget. Kami berlarian. Aku paling jago lari. Lariku sangat kencang, sampai pada sebuah rumah yang terang benderang. Kami ngos-ngosan. Wajah Nindi dan Cakra heran.
"Kalian kenapa?"
"Si Aris kurang kerjaan. Entah apa dikasi taunya kalau dia nyium bau menyan"
"Hahahahaha...makanya jangan nakutin orang" Aris tertawa terbahak-bahak.
Nindi dan Cakra juga ikut tertawa.
Sisanya kami semua menghadap ke luasnya danau. Angin malam yang semakin dingin. Membuat geng the bejat group mempunyai inisiatif untuk "minum".
Aku tidak terlalu perduli dengan hal ini. Biarlah mereka menikmati masa muda mereka dengan seperti itu. Mungkin itu akan menjadi cerita untuk anak-anak mereka nanti.
Hanya tertinggal aku, Nindi , Miko dan Cakra.
Tak banyak bicara, kami hanya memandang kosong kedepan.
Dan aku memikirkan Aris saat itu.
Kemana dia? Setelah keusilannya tadi. Dia tidak ada terlihat. Biarlah dia menghilang.
Tak lama Cakra juga ikut nimbrung dengan yang lain untuk minum.
"Belum ngantuk Je?"
"Belum"
"Jalan-jalan kedermaga asoy yuk" ajak Nindi.
Kami meninggalkan Miko sendiri yang sedang tergelatak memandang langit berbintang.
Sudah pukul 11 malam, Cakra yang kebanyakan minum akhirnya tepar. Tidak sadarkan diri, terkulai di lantai. Jokki memanggil Nindi untuk segera datang ke kamar Cakra.
"Ada apa?" Tanya Nindi
"Cakra ngamuk-ngamuk"
"Gara-gara apa?"
"Panjang ceritanya. Dia udah berentem tadi sama Tossi. Hanya gara-gara jam tangannya dipinjam Tossi"
"Terus!"
"Udahlah, ayok kekamar sekarang. Dia manggil-manggil namamu dari tadi" Jokki segera membawa kami kekamar Cakra.
Benar saja, Cakra terkulai diatas tempat tidur tak sadarkan diri.
Terlihat jam tangan di atas meja sebekah tempat tidurnya retak. Mungkin itu hasil amukannya tadi.
Nindi bergeser ke sisi tempat tidurnya.
Mata Cakra terbuka sedikit.
"Nin....aku sayang sama mu" itu terus yang terucap berulang-ulang kali.
Nindi membalas "iya, aku juga. Tidurlah, jangan kelayapan lagi. Aku gak suka liat kamu kaya' gini"
Nindi membantu meluruskan kaki Cakra.
Kami meninggalkan mereka berdua dikamar. Biarlah itu lebih nyaman buat Cakra.
Dan aku harus sendirian. Yang lainnya sudah pada tidur.
Itu sudah pukul 12 malam.
Aku mencari angin sejenak. Disana ada Aris yang sedang duduk sendiri. Aku menghampirinya. Aku tahu dia baru selesai minum, tapi entah kenapa dia tidak teler.
"Kok belum tidur?" Tanyaku menghampirinya
"Gimana mau tidur, liat kawan bertengkar. Yang satu gak kuat minum. Sok-sok-an minum banyak, padahal baru seteguk udah tumbang. Sikawan satu lagi, gak sor kalau barangnya dipake. Yaudalah gimana mau tidur. Kalau gak ada aku mungkin udah bunuh-bunuhan orang itu"
"Terus kamu jadi pahlawan gitu"
"Bukannya gitu. Kalau gak kuat minum itu jangan minum"
Aku hanya tersenyum.
Kalau bisa dibilang Arislah pioner kebandalan di geng the bejat group. Dialah bosnya. Tak ada yang berani ganggu dia. Lihat saja sudah minum berapa teguk tidak meler. Teman yang lainnya sudah terkapar didalam kamar.
"Aku ketoilet dulu ya. Jangan kemana-mana. Kawanin aku disini"
"Iya"
Mana mungkin aku melewatkan momen ini. Bisa berdua dengan Aris. Dan itu sudah pukul 2 pagi.
Nindi baru keluar dari kamar Cakra.
"Gimana cakra?" Tanyaku
"Udah tidur"
"Owh syukurlah"
"Keatas yuk, Je. Jalan-jalan"
"Udah jam satu ni serem juga"
"Tapi, masih rame kok"
"Iya juga sih"
Kamipun beranjak untuk jalan. Namun terhenti dengan suara teriakan Aris.
"Eh, mau kemana kalian?"
"Keatas"
"Awas nanti di culik"
Sebelum benar-benar berjalan jauh kami sudah mencium bau kemenyan lagi. Lalu kami balik ke halaman depan mess.
Disitu sudah ada Miko dan Aris yang sedang bermain gitar.
Aku dan Nindi ikut bergabung sambil makan kacang dan minuman ringan.
Aris menyanyikan beberapa lagu. Kami juga ikutan bernyanyi.
Miko akhrinya ketiduran di bangku taman. Begitu juga Aris yang sudah tak tahan lagi matanya tertidur juga.
Aku dan Nindi balik kekamar kami, melihat jam sudah pukul 3 pagi.
Padahal sepanjang hari, selama dalam perjalan pergi Aris begitu murung. Tak ada yang mengajal dia bicara. Tapi, setelah kami berbicara padanya. Mengobrol panjang, Aris begitu ceria kembali. Menyanyikan lagu-lagu PADI, DEWA,  dan Sheila on 7. Begitulah kenapa kami menyebut diri kami gadis-gadis berpengaruh. Kekuatan kami begitu dahsyat membuat orang bahagia.
Seperti itulah , banyak kejadian yang terlewati malam itu. Semua kami anggap menjadi kenangan masa muda yang tak terlupakan. Indahnya.

The Last Place On Your Space

- terkadang perjuangan itu sudah sampai pada saatnya menyerah -
Hari yang cerah. Para siswa sudah berbaris rapi dilapangan. Menunggu musik senam diputar. Ada beberapa yang berlari terburu-buru termasuk aku. Meletakkan tas dipelataran depan kelasku. Langsung masuk kebarisan paling belakang.
Disebelahku, seseorang yang aku rindukan. Aris. Dia pangkas rambut. Aku terkejut. Mimpiku beberapa hari yang lalu ternyata bisa menajdi nyata.
Aku tersenyum kepadanya. Wajahnya jutek. Aku diam tak ingin bertanya. Mungkin dia sedang kesal. Sudahlah pikirku.
Selesai senam, kami kembali baris didepan kelas masing-masing. Aku masih memandang Aris dengan wajah juteknya.
Mungkin dia masih kesal.
Pelajaran Matematikanya semakin rumit. Kepalaku semakin pusing. Bahkan gara-gara kejadian tadi pagi aku menjadi badmood.
Saat dikantinpun, Aris tetap diam. Malah yang cerewet si Cakra. Yang asyik ketawa terbahak-bahak.
Ingin mendekat, bertanya. Nanti pasti aku dicuekin lagi. Aku menarik diri kembali kekelas. Tidak bergabung dengan mereka. Apalagi sejak persahabatan kami bubar. Cakralah yang menerimaku sebagai anggota geng baru mereka.
Dikelas juga suntuk. Sesekali Agi menjahiliku. Menarik kuncir kudaku. Sesekali memperhatikan apa yang aku tulis. Dan sejak itulah aku mulai menutup diri mengenai perasaanku.
Aku mulai menulis perasaanku lewat puisi. Dan puisi puisi itu masih tersimpan di buku catatanku ketika SMP dulu yang sudah kutulis ulang di buku harianku.
Hari-hari yang begitu kaku bagiku.
Mungkin ini akhir dari masa muda yang aku bilang menyenangkan itu.
Tiba-tiba Aris datang ke kelas. Aku salah tingkah.
"Disini ada orang?"
"Gak"
Aku terdiam. Aris duduk disebelahku. Pemandangan ini sudah biasa. Karena ketika kami sekelas dulu, Aris juga sering duduk bersamaku. Mereka pikir kami adalah sepasang sahabat.
"Aku pusing. Berantam sama ayahku. Benci kali aku"
Aku diam, membiarkan Aris bercerita.
"Gak banyaknya mintaku. Belikan motor satu. Aku kan uda besar. Uda umur 14 tahun"
Aku masih diam
"Pengen kali aku kabur dari rumah"
Aris memaki.
Aku masih diam. Sampai akhirnya, Aris menundukkan kepalanya. Aku mengusap rambutnya. Wangi shampoonya aku suka sekali. Harum dan segar.
Saat itu aku masih berumur 13 tahun, aku tidak mengerti harus memberikan nasehat apa. Aku hanya bisa mengusap-ngusap rambutnya.
"Ajarin aku belajar" kata Aris yang masih menundukkan kepalanya.
Aku terkejut dengan pernyataannya itu.
"Kenapa?"
"Aku mau beli motor. Daripada aku mencuri, aku bunuh orang. Mending aku belajar"
Aku tersenyum.
"Iya nanti aku ajarin. Kalau ada PR kita kerjakan bersama"
"Iya"
Bel sekolah berbunyi. Tanda masuk kekelas.
Aris keluar kelas. Susan melirik kearahku.
Aku tersenyum pada Susan.
Susan bergidik.
Tenang saja, harimau itu akan jinak samaku. Sombongku.
Hari-hari terbebas dari kerinduan. Setiap pulang sekolah kami selalu terlambat. Aku mengajarkan Aris mengerjakan semua PRnya. Aris terbantu.
Beberapa hari berlalu sampai pada batas waktu yang terlalu singkat. Aris mulai bosan. Padahal aku sudah sekuat tenaga untuk selalu menyemangatinya. Selalu membicarakan mimpinya yang ingin jadi polisi. Mempopulerkan bandnya. Sekaligus menjadi pembalap liar nomor satu di daerahnya. Namun, itu tersia-sia sudah.
Aris tiba-tiba marah. Emosinya tinggi. Tidak mau diganggu. Bahkan ketika aku mendekat Aris marah besar. Itu aku tidak suka. Dibentak-bentak dengan nada tinggi.
Aku malu. Aku menghindar. Aku tidak mau menolongnya lagi.
"Keegoisanku adalah ketika aku berpikir bisa mengubah harimau menjadi kucing rumah yang jinak, San" aku termenung.
"Sudah kubilang. Dia itu keras kepala. Emosian"
"Iya aku tahu"
"Kamu tahu, ketika masih di SMP lamanya. Nindi juga dibuatnya seperti ini. Dibuat senang dengan pesona cowok populernya. Yang cool, tapi Nindi di marah-marahinnya di depan umum. Nindi malu. Makanya dia pindah kesini"
Aku tercengang mendegar cerita Susan. Aku baru tahu hal itu.
"Sudahlah , Je. Mending kamu sama Hardi. Setiap hari dia memandang mu dari jauh. Tidak mungkinkan kamu menerima Agi. Walaupun jahil begitu, dia diam-diam juga menyukaimu. Ternyata banyak juga penggemar rahasiamu ya. Hahahahaha. Aku kira hanya si Nindi saja"
Aku tidak tahu alasan mereka menyukaiku. Sampai sekarang aku tidak pernah bertanya kepada mereka. Pernah sih ingin bertanya kepada mereka, tapi yasudahlah. Itulah masa muda mereka menyimpan perasaan dalam diam.
Hardi, kata itu menjadi pertimbanganku. Hardi duduk sebaris denganku. Tapi, aku tidak pernah merasa Hardi mencuri-curi pandang padaku. Karena aku penasaran. Aku sengaja memandang Hardi.
Benar, Hardi sedang memandangku. Mata kami saling tatap. Aku langsung melempar pandanganku ketempat lain.
Dulu, katanya ketika kita sedang memandang seseorang secara diam-diam lalu orang yang kita pandangi melihat balik. Itulah chemistri.
Entahlah....
Hardi mulai memberanikan diri untuk menghampiri mejaku.
" Boleh Pinjem catatan agama" tanyanya yang bertubuh kekar, berambut keriting, berkulit gelap. Ternyata senyumnya Hardi manis juga.
"Eh..bisa. Tunggu ya!" Aku mengambil buku catatan agamaku.
Hubunganku dengan Hardi sebelumnya biasa saja. Kami jarang mengobrol. Paling juga mengobrol ketika ada acara hari besar agama. Atau pernah aku sepiket dengannya. Dia selalu mengerjakan seluruh tugas menyapuku. Dan aku mulai tersadar. Hardi selama ini selalu disekitarku. Namun, aku tidak menyadarinya.
Ketika acara besar agama kemarin, dia juga ikut tim nasyid sekolah. Ketika aku memegang kerincing, Hardi memedang gendang yang berada disebelahku. Ketika aku piket, dia selalu membiarkan aku pulang duluan. Dia selalu kena ikut hukuman ketika PR tidak selesai.
Ya Ampun, ternyata Hardi begitu. Aku melihat kearah Hardi.
Ternyata Hardi baik sekali. Tidak aku lihat itu semua. Tertutup oleh pesonanya Aris.
Hardi mengajakku pulang bersama. Aku mengiyakannya.
"Kamu sudah putus ya sama Aris?"
"Putus?"
"Iya"
"Kami gak pacaran"
Aku malas mengakuinya menjadi pacar. Lagian hubungan kami rahasia. Tidak ada yang tahu.
"Oh...jadi kok dekat banget"
"Kami sahabat"
"Oh..." Hardi terdiam.
Lebih banyak diamnya, daripada ngobrol. Mungkin Hardi malu. Entahlah, biarlah Hardi yang merasakan kesenangannya sendiri ketika berada didekatku.
Simpang rumah Hardi kelihatan. Hardi pamit duluan. Aku mengangguk. Hardi yang canggung, itu yang membuat dia unik.
Pernah dia bercerita ketika sewaktu kecil.
"Waktu itu ada iklan di tv"
"Iklan apa?" Tanyaku
"Iklan pembalut wanita. Jadi, aku tanya sama ibuku. Itu iklan apa. Lalu dijawab ibuku iklan permen"
"Hahahahahahha....iklan permen" aku terbahak-bahak mendengar cerita lucunya.
Bagaimana pembalut wanita bisa dijadikan permen.
Hardi walaupun pendiam seperti itu, dia selalu bisa membuatku tertawa terbahak-bahak karena leluconya.
Tapi, rasanya beda dengan Aris.
Ketika aku berada didekat Aris, aku merasa nyaman. Tulus. Seperti seorang anak yang ingin diperhatikan.
Akhir-akhir ini aku sering pulang bareng dengan Hardi. Dan itu tercium oleh geng Cakra.
Cakra menarik paksa aku kekantin.
"Liat itu, liat!" Cakra menunjuk Aris yang sedang tertidur malas di meja kantin.
"Kok kamu malah jalan sama Hardi" Cakra mengoyang-goyangakn pundakku.
"Cak...aku masih kesal sama dia. Tingkahnya aku gak suka. Dia. Marahin aku. Jangan-jangan sebentar lagi dia bisa saja memukul aku"
"Je, sekarang kamu liat apa yang terjadi sama dia"
"Udahlah Cak. Biarkan dia sendiri. Aku udah berusaha untuk menjadi terbaik. Tapi, ternyata emosinya saja yang dipakai"
"Kamu menyerah"
"Iya" aku mengangguk.
Aku juga tidak tahu hubungan kami seperti apa.
Bisa jadi kami hanya sekedar sahabat. Hanya sekedar teman. Dan aku mungkin hanya dijadikan tempat terakhir di kekosongannya.
Maka itulah, aku memberi judul cerita ini "the last place on your space"
Aku mengundurkan diri dari Geng Cakra. Aku mau berfokus belajar.
Sekarabg aku sudah kelas tiga. Waktuku tak banyak untuk memikirkan Aris.
Aku sudah berusaha membuatnya menjadi lebih baik. Ternyata dia marah kepadaku, ketika aku memberi perhatian lebih.
Mungkin aku yang belum memahaminya atau mungkin juga aku terlalu dini untuk memikirkan hal ini.
Hari-hari aku habiskan belajar dengan Susan dan Nindi. Sedangkan Nina menjauh bersama Rinne.
"Ini kok bisa gini sih?" Tanyaku menggaruk-garuk kepalaku.
"Hahahaha...inikan ada contohnya, Je" tunjuk Nindi.
"Oh. Iya..ya" aku mencatat jawaban sesuai dengan contoh.
Belajarku berjalan lancar. Bermain dengan Nindi dan Susan. Menjauh dari geng Cakra.
Fokus belajar itu lebih baik, sekaligus membatuku menjauhi Aris. Sekarang bukan masalah aku tidak perduli lagi padanya. Hanya saja, aku sudah mulai lelah dengan tingkahnya yang selalu ingin diperhatikan, setelah diperhatikan malah marah-marah. Aneh kan!!!
Menurut gosip yang beredar, sekarang Aris sedang dekat dengan kakak kelasku waktu SMP. Sekarang dia sedang bersekolah diluar kota. Wanita tionghoa itu berhasil ditaklukan oleh Aris. Gosip itu beredar cepat. Bahkan langsung disambar oleh Susan.
"Benarkan ,Je. Dia itu hanya pria nakal. Mungkin saat dekat denganmu dia juga dekat dengan orang lain"
Mulai Susan berceramah lagi. Seperti nenek-nenek kali ini.
Waktu begitu cepat berlalu. Ujian akhir semester ganjilpun tiba.
Semuanya sibuk belajar. Dan belajar.
Namun, malam sebelum ujian akhir semester ganjil tiba. Aris menelponku.
Sejak ada telpon dirumahku, ini sangat membantu bagiku.
"Lusa aku ulang tahun. Bisa datang kerumah. Cakra dan Sapta juga ada. Nanti aku jemput kerumah"
Nafasku tercekat. Aku diam sejenak. Aris mengajakku ke pesta ulang tahunnya. Aku bingung harus jawab apa. Aku tahu itu malam minggu. Tapi, di masa ujian. Mana mungkin bisa aku datang ke acara spesial itu.
Aku masih ingat, ketika di dalam kelas. Aku dan Aris sedang berbincang-bincang mengenai hari ulang tahun. Lalu aku bertanya.
"Kamu mau kado apa?"
"Aku mau kado kaset PADi terbaru. Aku suka lagu-lagunya"
"Owh..." aku tersenyum.
Mulai saat itu aku mengumpulkan uang jajanku untuk membeli kaset PADI. Zaman itu belum ada MP3 maupun bisa download gratis melalui internet seperti sekarang ini.
Dan hari itupun tiba, aku belum membeli kasetnya. Bukan lupa, tapi sebelum aku memberikannya.
"Kaya' nya aku gak bisa Ris. Ini masih masa ujian"
"Kamu selalu gitu, selalu gak ada buat aku. Belajar...belajar...terus. kamu liat aku gak belajar juga naik kelas. Aku yakin, bahkan aku gak belajar. Aku lulus SMP"
Aku tidak senang dengan nada sepelenya itu. Aku kesal sekali. Aku menutup telponnya. Tidak peduli lagi apa dia akan marah atau tidak. Aku harus menjauhinya.
Tersadar kadang aku berpikir, dari sisi apa aku terpesona padanya. Begitulah, setiap kali bertengkar.
Jika sudah kembali seperti semula, semua akan baik-baik saja.
Aku menjadi merasa aneh. Sebenarnya perasaan apa ini.
Gosip yang beredar tentang dia dekat dengan kakak kelasku dulu, itu hanya benar-benar tidak nyata.
Aku merenungkan diri. Apa yang harus aku lakukan. Seharusnya aku berbahagia dimasa mudaku.
Jalanku masih panjang. Hanya untuk memikirkan Aris yang selalu marah-marah.

Selasa, 07 Juni 2016

The Last Place On Your Space

- persahabatan masa muda itu bergelora, seperti lautan -
Saat liburan tiba. Kegiatan kami isi dengan berkemah disalah satu sekolah swasta di kawasan lain. Aku, Nindi dan Nina ikut berkemah.
Padahal sebelumnya kami juga berkemah disekolah. Sangat menyenangkan sekali. Aku menyukai berkemah, karena ayahku salah seorang pembimbing pramuka.
Ketika disekolah dulu berkemah, kami tidak tidur ditenda. Kami tidur dikelas. Memasak sendiri.
Pagi, perkemahan disekolah dibuka oleh wakil kepala sekolah. Dengan semangat dia memberikan nasehat bahwa pramuka itu sangat baik mengajarkan disiplin pada diri kami.
"Kalian harus tahu, pramuka itu sangat bagus sekali. Mengajarkan disiplin, ketangkasan dan kecekatan. Hidup pramuka" seperti ketua ormas yang sedang berkampanye.
Kami bersorak.
Aku ditugaskan membawa kuali dan alat masak. Setiap siswa diwajibkan membawa 2 muk beras, 3 buah cabai, 3 siung bawang merah dan putih, cabai rawit, 2 buah tomat, 3 telur ayam dan 4 bungkus mie instan.
Pembukaan yang meriah.
Ketika malam kami hendak memasang api unggun. Ternyata cuaca berkehendak lain. Hujan turun berlahan-lahan. Semua siswa berlarian kedalam kelas.
Dan disinilah si Agi, mulai menjahili. Mematikan lampu ruangan kami, lalu menakut-nakuti kami dengan selendang putih.
Itu, sangat menyeramkan. Kami berteriak. Agi dan Daris tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaa...mampus lu orang!"
"Pigi kelen" teriak kami yang ada diruangan itu.
Sial, Agi belum menghentikan kejahilannya padaku dan kawan - kawan. Agi, membunyikan suara-suara aneh dari luar jendela. Suara-suara yang kami takuti ini malam . Dan itu...
"Eh...lu Gi. Lu tadi malam nakut-nakuti kita lagi" kata Lila
"Jam berapa?"
"Jam 12an gitu"
"Wa udah tidur tu" Agi beralasan
"Bohong lu. Bilang aja lu nakut-nakuti kami kan"
"Gak loh...lu gak percaya benerlah sama wa"
Lila dan Agi bertengkar mengenai masalah suara siapa tadi malam itu.
Darwis menyangkal kalau itu suara Agi. Tapi, kebenarannya Agi memang sudah tidur saat itu. Sudah dipastikan itu memang suara yang terdengar bukan suara Agi.
Kami merinding....
Sejak saat itu, aku mulai ragu untuk ikut berkemah lagi. Tapi, liburan ini. Nindi dan Nina memaksa aku ikut. Untuk hari pertama aku ikut. Tapi, untuk hari kedua aku tidak bisa ikut, karena demam. Aku dipulangkan. Belum sempat juga menginap di perkemahan aku sudah tumbang.
Akhirnya, ketika masuk sekolah. Liburan telah usaipun tiba. Nindi dan Nina. Mereka menjadi aneh.
Nindi, seperti menghindar dari Nina.
"Aku mulai tidak menyukai Nina, Je!"
"Kenapa?"
"Selama berkemah, dia itu bisanya nyuruh-nyuruh aku terus. Sikap bossynya muncul. Aku gak suka" Nindi sewot.
"Kan memang dari dulu kaya' gitu dianya" jawabku.
"Tapi, ini sudah keterlaluan buatku. Aku tidak suka"
"Ya udah, maafin aja lah"
Percakapan itu berakhir ketika, Susan datang. Tubuh susan itu seperti doraemon. Setelah aku pikir-pikir, bahkan dia sama cerewetnya seperti doraemon.
Aku dan Nindi merahasiakan hal ini. Kami tidak ingin memberitahukan siapa-siapa. Bisa jadi gosip besar kalau geng kami bubar.
Geng, persahabatn kami begitu solid. Tidak ada yang berani terhadap kami. Semua mata iri ketika kami selalu jalan berlima setiap kali kami hendak kekantin. Para cowo-cowo juga melirik lama ketika kami sedang berbincang. Ada Nina dan Nindi yang selalu jadi bahan perhatian. Mereka cantik, dan memiliki pustur tubuh yang semampai seperti model majalah remaja. Belum lagi, Nindi yang pintar. Dan Nina yang cantik blasteran jawa dan tionghua, wajah orientalnya membuat sebagian pria oriental menyukainya. Aku, Susan dan Rinne, hanya sebagai pelengkap saja.
Aku bukanlah tipe anak perempuan yang selalu dilirik oleh laki-laki. Tidak pernah. Pacaran, aku kalah jauh daripada Nindi yang selama setahun lalu sudah memiliki 2 pacar dan 2 mantan.
Kalau masalah ini, aku kalah jauh dari mereka. Begitu juga Nina, yang sedang dekat dengan salah satu temannya ketika SD dulu.
Susan, yang masih diam-diam mengagumi Lilian, cowo tionghua yang memiliki kecerdasan yang luar biasa. Selalu mendapatkan ranking 3 besar. Dan Rinne, sepertinya dia tidak tertarik dengan cowok.
Aku, jangan tanya. Seluruh kisah ini adalah kisah cinta pertamaku semasa muda dulu.
Bicara tentang cinta pertamaku, sudah dua hari Aris tidak masuk sekolah.
Aku mendengar desas desus Aris menolak sekolah karena alasan yang belum aku ketahuinya.
Sudahlah, aku harus berfokus kepada hubunganku dengan para sahabatku.
Siang itu pelajaran bahasa indonesia. Nindi permisi keluar kelas. Ke toilet. Aku diajak Ninda untuk menemaninya ke kantor tata usaha untuk membayar uang sekolah.
Ketika melewati kamar mandi, ide iseng Nina muncul.
"Yuk...kita kunci si Nindi dikamar mandi"
"Eh...jangan akh!"
"Biar dia ketakutan" Nina terkikik memikirkan ide jahilnya
Aku mengikut saja. Nina mengunci pintu toilet yang didalamnya ada Nindi. Sekembali dari kantor tata usaha. Pintu ternyaa sudah terbuka. Aku dan Nina saling memandang.
"Siapa yang buka?"
"Gak tahu"
Begitulah pembicaraan kami hanya dengan kode pandangan tanpa bicara.
Dikelas, Nindi sudah menangis. Salah satu jarinya berdarah. Aku mendekati bangkunya.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Ada orang yang ngunci aku dikamar mandi"
Aku tercekat, nafasku terhenti. Melirik Nina yang cuek.
"Iya, lihat ini. Kukunya Nindi sampai berdarah. Untung ada Fred yang bukain pintu"
Fred. Dalam hatiku. Aku terdiam. Ini sudah salah sebaiknya aku mengaku saja. Tapi, Nina memanggilku.
"Yauda, Nindi. Jangan nangis lagi"
Nindi mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku berbalik ke bangku Nina.
"Kenapa dia?" Tanya Nina pelan.
"Jarinya berdarah"
"Oh...terus kenapa nangis?"
"Ulah kitalah, ngunci Nindi dikamar mandi. Mungkin dia coba buka pintunya. Terus kukunya berdarah"
"Biarin aja. Jangan buka mulut ya"
"Memangnya kenapa sih kalian dua?"
"Gak apa-apa"
Aku jadi bingung. Apa yang terjadi sebenarnya diantara Nindi dan Nina. Mereka sepertinya mulai memendam kebencian.
Tapi, kupikir ini akan berdampak baik-baik saja setelah seminggu.
Ternyata aku salah. Seminggu setelah kejadian Nindi dikunci dikamar mandi. Mungkin Nindi merasa sudah mengetahuinya. Bukan dariku, entah siapa. Mungkin saja perkiraannya. Entahlah...
Nina mengajal kami ke sebuah toko peralatan sekolah. Nina ingin membeli sebuah penggaris, busur, jangka dan pensil. Aku, Nindi dan Nina berjalan bertiga.
Awalnya aku kira ini akan menjadi hal yang menyenangkan.
Tetapi ini adalah petaka pertama bagi persahabtan kami.
Sebelum berbelanja, kami singgah dulu makan miso langganan kami. Menikmati semangkuk miso yang masih panas.
"Ok!!!siapa yang paling pedas misonya dia yang di traktir" kata Nina bersemangat yang memang suka makan pedas.
"Ok!" Kataku
Nindi juga setuju.
Satu sendok cabe, lanjut dua sendok cabe, lanjut 3 sendok cabe, dan lanjut 4 sendok cabe. Aku tidak sanggup lagi. Ini sudah begitu pedas bagiku. Begitu juga Nindi. Nina menambah satu sendok lagi cabe.
Alhasil, selesai makan. Bibir kami seperti memakai lipstik. Merah sekali, karena pedas.
"Hahaha...cantik kali bibir kita ya"
Saat ini tukang misonya sudah tidak berjualan lagi. Aku sedih sekali. Padahal ditempat miso itu banyak sekali kenangan bersama sahabatku. Setiap pulang sekolah bareng, kami selalu makan miso disitu.
Akhirnya, kami ke toko peralatan sekolah yang paling tenar saat itu. Nama tokonya seperti sebuah nama tempat di suatu negara.
Nina, mulai bertingkah. Menyuruh kami membawa tasnya, membawa bukunya dan membawa sebuah semangka yang tadi dibelinya. Nindi mulai sebal sekali. Seperti bos saja.
Aku , tak perlu tanya. Aku sangat menikmatinya. Karena saat itu yang aku tahu aku ingin menikmati masa mudaku saja.
Nindi, mengguit siku tanganku.
"Yok...tinggalin aja"
"Eh..."
"Udah letakin aja disitu"
"Tapi..."
"Biarin aja. Ayok"
Nindi terus menarik tanganku.
Ada apa dengan mereka berdua. Seperti ada perang dingin yang terselubung.
Sama-sama mencari taktik untuk menjatuhkan dengan membawa umpan. Sudah pasti umpannya aku.
Aku ini seperti bola saja ya. Dibawa kesana ikut, dibawa kesini ikut. Bagaimana jika bola ini tiba-tiba meledak mungkin pada saat itu, seketika itu juga aku akan melihat drama anak sekolah yang sedang beradu mulut dengan alasan yang sepele.
Namanya, juga remaja masa pubertas. Sekarang aku menganggapnya seperti itu.
Dulu, ketika masa itu hadir. Aku menganggapnya seperti sinetron.
Ya, saat itu sinetron yang sedang tayang bertema remaja, persahabatan, pengkhianatan sahabat, geng-geng di sekolah, memperbutkan cowok populer.
Ya begitulah, ya kan.
Aku sangat menikmati masa mudaku.
Keesokan paginya. Wajah Nina cemberut. Dia tak ingin berbicara denganku. Duduknya pindah bersama Rinne. Susan curiga.
"Ada apa ini?" Tanya Susan Nindi dan Aku.
"Gak ada apa-apa!"
"Terus kenapa Nina pindah duduknya?"
"Gak tahu" jawab Nindi.
Pertengkaran dingin ini cepat sekali merebak. Semua membicarakan yang terjadi antara geng kami. Alhasil, aku ditarik paksa oleh Cakra kekantin. Menginterogasiku.
"Kenapa Nindi dan Nina?"
"Gak tahu. Gak ada apa-apa!"
"Kok kata mereka, Nindi dan Nina bertengkar"
"Aku gak tahu loh, Cak"
Aku tetap tutup mulut. Ini aib persahabatanku. Tidak boleh ada yang tahu. Selama dikantin , ternyata Susan sudah membuat keputusan. Persahabatan kami harus di akhiri.
Aku sedih sekali. Kami menjadi dua kubu.
Kubu Nina dan Kubu Nindi.
Ini sulit bagiku. Aki harus memihak kesiapa. Karena aku siumpan yang tidak tahu menahu, yang sebenarnya akulah yang banyak tahu.
Aku jadi teringat ketika kami menginap di rumah Nina. Kami meonotont film Shark dan film julia robert yang aku lupa judulnya, tapi aku masih ingat soundtracknya yang nyanyi the cross.
Kami sama-sama berbaring. Menceritakan tentang asmara kami ketika SD.
Nina bercerita tentang kenalannya bernama Airul. Nindi menceritakan seseorang yang sedih ketika dia pindah rumah. Dan aku tidak mungkin aku menceritakan Aris didepan mereka. Setidaknya aku juga pernah ketika SD ada di cocok-cocokkan dengan teman-temanku.
"Pokoknya kita harus jadi sahabat terbaik"
Kata Nina
"Iya" kataku semangat.
Nindi juga ikut mengangguk.
Sepanjang malam kami bercerita apa saja. Mulai dari westlife, trend masa saat itu, asmara, keluarga, cita-cita, dan masih banyak lagi.
"Aku nanti pengen menikah diusia 25 tahun" kata Nindi.
Kan kuingat lagi, sepertinya Nindi menikah diusia 25 tahun.
"Kalau aku diusia 26 tahun lah" kata Nina
"Kalau aku..." aku diam sejenak. Tidak tahu kapan aku akan menikah. Tapi saat itu sebuah angka aku sebutkan. Dan mereka berdua tertawa.
Itu tetap menjadi rahasiaku.
Bercita-cita menjadi ibu 2 orang anak. Itulah kami dulu. Mendapatkan suami yang ideal, misalnya saja seperti artis tampangnya. Namanya anak muda yang masih pubertas. Wajar sekali mempunyai imajinasi yang tinggi.
Dan kenangan itu berakhir saat ini. Saat Nindi dan Nina bertengkar hebat. Tawa yang biasanya kami buat harus lenyap segera. Tingkah jahil Nina pun akan menghilang. Candaanku ketika bersama akan hanyut bersama ombak permasalahan yang sepele.
Aku masih terhuyung masalah dengan sahabtaku. Datang lagi satu masalah, Aris tidak masuk-masuk sekolah selama seminggu. Inisiatifku adalah bertanya pada adiknya yang SD juga disitu.
"Hadi....!" Panggilku ketika Hadi dikelasnya.
"Ada apa kak?"
"Bang Aris kemana?udah seminggu gak masuk sekolah?"
"Bang Aris merajok. Gara-gara gak dibeliin motor. Dia berantem sama Ayah"
Aku terkejut. Gara-gara itu dia gak sekolah.
"Ya ampun. Bilang sama bang Aris suruh sekolah"
"Hehehehe....kakak rindu ya sama bang Aris"
Sial ne anak SD sudah mengerti rindu-rindu.
Tapi, benar juga aku memang rindu dengan Aris. Seminggu tidak bertemu. Sampai terbawa mimpi. Melihat Aris potong rambut. Rapi sekali. Aku senang melihat dia rapi.
Aku kembali ke wilayah SMP.
Dengan badan yang lemas, mendengar alasan tidak sekolahnya Aris. Aku mengobrol dengan Cakra.
"Aris kok gitu ya ,Cak"
"Dia kan memang gitu, Je. Pantang tak top istilahnya. Aku yakin motor itu mau saingan sama sapta"
"Berarti geng kelen juga lagi ada masalah ya"
"Laki-laki itu gak kaya' perempuan. Kalau kesal berantem mulut. Terus bekotan selamanya. Laki-laki itu cukup berantem fisik, besoknya udah santingan rokok bareng"
Aku mengangguk-angguk.
"Akh!!!salahnya, Aris uda buat ultimatum gak boleh dekatin kamu, Je. Kalau, gak aku jadiin pacar juga kamu"
"Ada-ada ajalah"
"Eh, Nindi udah punya pacar belum. Sama abang kelas itu udah putus dia"
"Owh, sama Roki. Udah"
"Jadi, lagi kosong dianya"
"Iya"
"Aku deketin akh!"
"Aku ganteng kan, Je"
"Ganteng!"
Aku mengacungkan jempol semangat kepada cakra.

The Last Place On Your Space

- kenakalan itu tidak masalah asal tahu batasannya -
Akhir-akhir menjelang ujian semester akhir. Pikiranku tidak fokus. Aris sedang sibuk dengan Bandnya, dan aku sedang sibuk belajar. Kami jarang bertemu. Bahkan ketika istirahat aku tidak bisa bebas. Susan sudah mengultimatum bahwa aku harus belajar untuk mencapai nilai bagus.
Aku akui aku paling tidak bisa begitu cepat menangkap pelajaran eksak, seperti matematika, elektronika, fisika. Namun, nilai jelekku itu bisa diimbangi dengan nilai agama, arab melayu, bahasa indonesia, kesenian yang tinggi. Padahal, aku suka sekali bahasa inggris. Karena sudah hampir 4 tahun kursus bahasa inggris. Dan dikursus inilah, aku akan menemukan  2 takdirku yang lain.
Aku mulai tekun belajar. Intesitasku bertemu Aris terhalang. Ketika pulang sekolahpun dia tidak terlihat. Senyumku sedikit menghilang. Aku mulai layu. Seperti orang kecanduan, aku kehilangan obat penumbuh semangatku. Layu, lemah dan malas.
Sesekali aku membaringkan kepalaku diatas meja di kelasku.
Susan selalu memukul kepalaku dengan penggaris plastik. Aku malas.
Namun, siang itu sedikit berbeda. Susan tidak masuk sekolah karena sakit. Senang bukan kepalang. Aku bisa bertemu Aris hari ini.
Dikantin...
Aris duduk bersama teman-temannya. Aku , Nina dan Nindi duduk disebelah bangku mereka.
"Udah siap belajarnya?" Teriak Aris.
Aku menunduk. Aku tahu dia sedang menyindirku.
"Siapa. Siapa?" Cakra mulai berbisik-bisik dan itu kedengaran olehku.
"Anak yang mau mendapatkan predikat teladan"
Aku tetap diam. Sebenarnya ingin marah atas tingkah Aris seperti itu.
Apa dia tidak tahu betapa tersiksanya aku ketika belajar tanpa melihat wajahnya. Tanpa mendengar detail suaranya. Itu menyiksa. Apalagi ditambah sindiriannya hari ini. Aku mengabaikannya, aku tetap memakan semangkok mie kuah yang ada dihadapanku.
"Aku kan sudah gak dianggap lagi" kembali Aris berteriak.
Nindi dan Nina melihat kearahku. Dalam pandangan mereka bertanya.
"Kenapa dia?"
Aku hanya mengangkat bahu pelan.
"Mungkin udah gila?" Kata Nina
"Mungkin lah, cuekin aja"
Aku tahu, Aris sedang menyindirku lagi.
Aku mulai tidak tahan. Rasanya dadaku memanas. Tidak mengerti maksud dari perkataan Aris tadi. Seharusnya dia bertanya terlebih dahulu tentang apa yang terjadi padaku, bagaimana perasaanku.
Sepulang sekolah, aku pulang sendirian. Ternyata Aris menunggu digerbang sekolah. Aku mengabaikannya. Dadaku masih sesak jika mendengar ulang perkataannya tadi dikantin yang membuat mood belajarku hilang. Aku melaluinya.
"Gitu sekarang, aku sudah gak dianggap lagi" Aris tiba-tiba menarik tanganku.
"Ris...ini masih disekolah. Jaga sikap!" Kata mencoba melepaskan genggaman Aris.
"Hm....teruskan aja belajar. Lupakan aku"
Aku terdiam. Mengapa Aris jadi begini. Biasanya dia tidak pernah begitu marahnya kepadaku. Tapi, kali ini pandangannyapun begitu aneh.
"Kita pulang bareng yuk" ajakku
Aris mengikutiku yang beriringan disebelahku.
"Aku rela ningglain jemputanku, yang udah pasti aku dimarahin oleh ayahku. Ini buat kamu!"
Aku menunduk. Memilih kata yang tepat.
"Aku juga begitu, Ris. Beberapa hari ini aku harus belajar untuk mencapai ketinggalanku"
"Aku tahu, tapi setidaknya kamu bisa bagi waktu buat aku. Aku sendiri!"
"Jadi aku harus bagaimana?"
"Kita jalan yuk kekota. Berdua!"
"Aku bakal kena marah ayahku kalau pulang telat"
"Aku juga"
Dan kami sudah sampai kota. Bersama anak-anak kota yang lain. Aku dan Aris menaiki angkot kota. Sepanjang perjalanan. Aku banyak diam. Begitu juga Aris. Sesekali aku memandang wajahnya. Aku rindu sekali. Aku tersenyum tipis.
"Kenapa tersenyum. Aku ganteng, kan!"
"Ye...ke GR-an"
"Aku memang ganteng dan kerenkan?"
"Ye...gak tuh!"
"Ikh...gak mau ngaku"
"Hahahaha"
Tawa itu membawaku kesebuah tempat makan. Kami lapar. Dua mangkok baso dan dua teh manis dingin terhidang dimeja kami. Ini pertama kalinya aku jalan berdua dengan Aris. Tak banyak yang kami bicarakan.
Hanya musik, Bandnya Aris, lalu soal hubungan kami.
"Apa sih enaknya belajar?. Toh, tetap bisa naik kelas. Liat aja nanti. Aku yang gak belajar bisa tetap naik kelas"
"Iya, sih"
"Terus buat apa dipaksa belajar?"
"Rankingku kacau, Ris"
"Itu gak mennetukan masa depanmu. Nikmati aja hidup mudamu, Je. Seperti ini, mungkin kamu bisa cerita kepada masa depanmu tentang kamu dimarahi ayahmu hari ini. Itu pastikan!"
"Hehehehehe...benar juga"
Aris selalu tampil beda dihadapanku. Aku tidak tahu itu akan menjadi kata-kata paling benar yang pernah terucap oleh seorang anak nakal yang tidak mau belajar disekolah.
"Ris, lain kali jangan sindir-sindir aku seperti tadi, ya. Sakit loh!"
"Iya, maaf ya"
Aku dan Aris sudah baikan. Dan itu menjadi moodboosterku untuk belajar.
Jangan tanya, betapa marahnya ayahku ketika aku pulang sore. Tanpa permisi terlebih dahulu. Ayahku mengomel sepanjang malam. Menceramahiku segala hal. Aku tahu aku salah, makanya aku lebih baik diam.
Mungkin Aris juga sedang kena omelan Ayahnya. Nasib, aku dan Aris memiliki ayah yang keras dan berdisplin tinggi.
Ujian semester berlangsung. Seminggu berkutat dengan buku. Dan itu sudah dipastikan akan membuatku jarang bertemu Aris. Tapi, kali ini Aris memakluminya. Dia tidak menyindir-nyindirku lagi.
Kami mulai masing-masing. Jarang bertemu. Sibuk ujian. Bahkan pulang sekolah aku tetap sendiri berjalan ke pangkalan angkot.
Tidak untuk hari ini, cuaca sedikit mendung.
Pulang cepat.
"Je, kamu sendirian aja?" Tanya Agi.
Oh ya, Agi adalah seorang siswa keturunan tionghua yang sangat baik padaku. Dia terkadang membantuku saat belajar. Walaupun lebih banyak dia mengejekku karena aku ini sedikit lambat dalam belajar. Kata orang, Agi menyukaiku. Aku juga tidak tahu alasan dia menyukaiku.
Karena yang aku tahu Agi itu orang yang paling usil sedunia.
Dulu belum mengenal Aris, setiap kali pulang sekolah aku selalu jadi bahan ejekan dan kejahilannya. Bisa aja Agi selalu menjegal kakiku, dan aku hampir terjatuh. Lalu mengejk-ngejekku karena aku salah mengerjakan soal matematika didepan kelas. Selalu ada bahan untuk dijadikan ejekan bagi Agi.
"Ya sendiri, kenapa?"
"Kemana gengnya?"
"Mereka masing-masing lah"
"Eh, kamu lagi deket ya sama geng Aris?"
"Em...iya"
"Jauhi, Aris itu anak yang gak baik. Dia anak nakal. Di SD aja dia suka bandel sama teman-temannya"
"Oh..."
Dulu ketika SD, Agi juga teman TK-ku. Juga teman TK Aris bahkan sampai SD.
Aku hanya mengangguk - angguk saja. Mencoba menerima. Tapi itu memang kenyataannya.
"Je, jauhi dia sebelum kamu jadi anak bandel. Aku udah dengar desas desus juga kalau dia pemakai narkoba"
"Heh!!!????" Aku mengerutkan dahiku
"Aku serius, kamu itu udah bodoh dalam hal pelajaran jangan bodoh lagi dalam hal memilih kawan. Bilangin juga ke Nindi dan Nina"
"Udah kaya' susan aja, cerewet banget!"
"Aku tuh, lebih suka kalian baca majalah remaja dikelas sambil ngebahas westlife ataupun apalah itu. Daripada kalian ketawa ketiwi sama geng Aris. Sebenarnya aku gak suka!!"
"Gi, itu rumah kamu kan?? Kenapa kamu terus aja"
"Aku mau nemenin aku pulang. Sejak sama Aris aku gak bisa lagi pulang sama kamu"
Agi tetaplah Agi. Tak peduli apa yang terjadi Agi tetaplah selalu mengejekku dengan kata "bodoh". Aku tak pernah marah, baginya aku cinta monyetnya. Mengejek bodoh itu adalah hal terpositif menunjukkan perasaannya. Menjahiliku itu menunjukkan Agi ingin dianggap sebagai laki-laki juga dimataku.
Namun, perbedaan itu membuat aku menidakmungkinkan segalanya. Mana mungkin timbul rasa di sebuah perbedaan yang begitu besar. Aku hanya menikmati cinta monyetnya. Tidak pernah mengeluh, walaupu terkadang aku sedikit kesal karena merasa malu dihadapan murid lain Agi selalu menjahiliku.
Agi benar-benar mengantarku sampai pangkalan angkot. Sebagai salam perpisahan dia menjeggal kakiku, dan aku hampir terjatuh.
"Booodoooooohhhh!!! Hahahahahahaha" Teriaknya sambil berlari memutar dan menghilang.
Aku menarik nafasku, karena kaget hampir terjatuh. Yang menjahiliku malah senang dengan tertawa riang.
Aku tak ingin merusak cinta monyetnya Agi dengan berkata padanya.
"Tolong, jangan ganggu aku lagi. Sekarang aku sedang dekat dengan Aris"
Tidak, tidak akan aku lakukan itu. Biarlah Agi bersama cinta monyetnya.
Ujian semester telah usai. Masih ada waktu seminggu menikmati sekolah sebelum libur panjang. Dan aku menikmatinya sekali. Susan sudah tidak lagi bawel terhadap belajarku. Aris juga sudah mulai mencuri-curi pandang lagi kepadaku.
Kegiatan seminggu ini, sekolah kami mengadakan tanding voli. Dari kelas kami cukup menarik. Agi ikutan bergabung. Walaupun aku tahu ukuran tubuh Agi tidak cocok menjadi pemain voli. Karena kekurangan anggota tim voli kelas kami mengizinkannya ikut bergabung.
Pertandingan pertama untuk anak kelas satu. Kelas satu A melawan kelas satu B. Pertandingan yang seru, yang akhirnya dimenangkan oleh kelas satu A.
Pertandingan berikutnya kelas dua A dan kelas dua B.
Aku bingung mendukung siapa. Kelasku atau Aris. Terkadang aku bersorak untuk kelasku, terkadang aku bersorak untuk Aris.
Aris terlihat keren saat bermain voli. Memang dia pernah berkata padaku. Olah raga yang disukainya adalah voli. Di sekitar rumahnya dia sering diajak bermain voli untuk tim daerahnya.
Aris mengambil alih service, aku melihatnya. Ketika tangannya mengudara dan bola mencuat keudara, lalu tangan kanannya memukul cepat menghentakn bunyi desingan yang kuat. Bola melewati net disambut Fred, yang mengoper kearah Neddu dan melempar melewati net. Sapta menahan bola, mengoper Aris yang dibelakang. Lalu Arid mendorong bolanya melewati net.
Permainan yang seru. Bola belum ada jatuh di daerah lawan. Bola masih mengudara sana dan sini. Mata kami masih tertuju pada satu bola, hati deg-degan. Dan
"Aaaaaaakkkkkkkkhhhhhh!!!!" Aku berteriak lemas.
Poin untuk tim kelasku. Fred berhasil menservice dengan baik. Aris kelelahan, tapi dia tetap semangat. Dia membuka seragam olahraganya. Hanya memakai kaus dalam tak berlengan.
Aris itu tidaklah gemuk, malah keliatan kurus. Tapi ototnya lumayan juga. Perut yang ramping, lalu Aris tersenyum padaku.
"Semangat!!!" Kataku tanpa suara.
Aris mengaggukkan kepalanya.
Oh, momen yang indah bagiku. Melihat Aris tersenyum padaku. Setidaknya aku masih diingatnya saat dia bertanding.
Pertandingan dimenangkan oleh kelas kami. Semua bersorak gembira. Besok adalah pertandingan penentu melawan kelas tiga.
"Capek ya?" Kataku menghampiri Aris yang penuh keringat.
"Kok malah dekat-dekat. Keringatan gini. Bau juga!"
"Gak kok" aku mengendus-ngenduskan hidungku.
"Hahahahaha...." Aris tertawa, lalu mengusap-ngusap rambutku.
Tak ada yang tahu karena kami sedang berada di balik kantin sekolah. Berdua. Mereka teman-teman sekelasku masih bersorak-sorak bergembira.
Sama seperti hatiku yang sedang bersorak-sorak bergembira bersama Aris.
Kami menikmati segelas es merah. Dan semangkok mie kuah.
Bukankah ini romantis sekali. Menikmati masa muda dengan caraku sendiri. Aris memang terbaik pada saat itu.
"Aku lihat kemarin kamu pulang sama Agi?"
"Eh dia yang pengen ngantar. Aku gak ada ngajak"
"Aku udah tau loh, kalau Agi itu suka sama kamu"
"Eh..."
"Jangan buat aku cemburu. Lain kali kalau gak ada teman pulang ya bilang ke aku. Biar aku temenin"
"Eh...iya..iya"
Aku cuma gak pengen nanti kalau aku dan Aris pulang bareng lagi, ketahuan oleh Susan dan pasti Susan akan murka sekali.
Tak lama Cakra dan Sapta datang, disusul Nindi dan Nina.
"Mesra kali?" Tanya Cakra
"Iya ...kelen pacaran ya?" Kata Sapta.
"Gak...." kata Aris.
Aku melihatnya, seperti ada rasa yang sakit ketika Aris mengatakan seperti itu. Apa yang terjadi dengan kesenangan ini. Aku cuma bisa diam. Tidak mau membantah. Jika aku membantah rahasia kami akan terbongkar. Usahaku untuk tetap bertahan pada Aris akan sia-sia.
Kami mengobrol apa saja. Mengenai pembalap moto GP valentino Rossi. Tentang musik dan Bandnya Aris. Tentang hobi sapta yang suka balap motor. Tentang Cakra yang baru saja diputusin oleh pacarnya. Tentang semua hal. Sampai pada akhirnya Sapta berkata.
"Eh...aku baru dapat VCD bajakan film dewasa dari mobil bosku"
"Apa judulnya?" Tanya Cakra
"Bandung lautan air" kata Sapta sedikit berbisik.
"Eh, lagi terkenal itu" Aris ikutan.
Aku, Nindi dan Nina hanya terdiam. Tidak mengerti  tentabg apa pembicaraan mereka.
"Kalian mau ikut nonton?" Tanya Cakra
"Nonton apa?"
"Nonton film blue, mau ga?" Tanya Sapta
Aku, Nindi dan Nina saling berpandangan.
"Rame-rame?"
"Iya. Dirumah kawanku" kata Sapta
"Gak deh" kata Nindi.
"Kenapa?" Tanya Cakra
"Mending dirumahku aja. Besok keluargaku pergi undangan ke luar kota. Seluruh keluarga ikut pergi. Pulangnya palingan malam"
"Hahahahhaa....bagus juga itu" Cakra tertawa senang.
Dan pembicaraan ini mengenai strategi menonton film dewasa dirumah Nindi.
Bagiku ini pertama kali menonton film dewasa. Apalagi nontonnya rame-rame bersama teman. Bagiku tak masalah, asal tahu batasannya.
Seusai pertandingan voli hari ini, yang dimenagnkan oleh anak kelas 3. Aku dan teman yang ingin menonton film dewasa berkumpul didepan pintu gerbang sekolah. Aris membawa motornya dan memboncengku. Lalu cakra bersama Nindi. Dan Nina bersama Sapta.
Sapta membawa VCD itu didalam tasnya. Menyembunyikan dengan rapi. Agar tidak ketahuan oleh guru.
Nakal, benar-benar nakal. Tapi, aku masih tahu batasannya.
Walaupun nakal seperti ini, ayahku tidak pernah dipanggil oleh pihak sekolah.
Begitulah nakalnya anak remaja.
Sesampai dirumah Nindi yang kosong. Kami duduk diruang tamunya, Nindi mempersilahkan masuk keruang TV. Sebelum menonton, aku , Nindi dan Nina memasak mie instant rebus. Sapta, Aris dan Cakra sedang mengotak ngatik VCD playernya.
Selesai memasak kami keruang TV. Melihat Sapta sudah tergelatak, Cakra yang berbaring dan Aris duduk disudut ruangan. Posisi yang pas.
Karena ini menonton film dewasa, maka kami yang perempuan agak menjauh dari mereka.
6 piring mie instant tersaji.
Dan VCDnyapun diputar.
Aku masih belum berani melihat filmya. Aku malah menikmati sepiring mie instan kuahnya.
Film itu benar-benar terputar. Dan anehnya, suara itu menggema seluruh ruangan. Dengan speakernya yang nyaring. Kami saling memandang.
"Gimana ne ngecilin suaranya?" Tanya Sapta buru-buru
"Itu...itu tombol volumenya" tunjuk Nindi kearah VCD player.
"Yang mana, Nin?. Cepat-cepat. Ntar ketauan sama tetangga"
Suara yang mungkin terdengar saat film dewasa itu sudah pastilah tahu sendiri kan. Kami kebingungan. Bagaimana jika ada yang mengetuk dan kami ke 'gep' sedang nonton film dewasa ramai-ramai. Mungkin kami akan diamuk massa.
Akhirnya, Sapta dapat mengecilkan volumenya. Kami lanjut menonton lagi. Kulihat setelah makan mie, Aris tertidur pulas. Mungkin dia lelah karena membantu tim kelas kami bermain voli tadi.
Aku mengguncangkan bahunya. Memberikan bantal kursi padanya.
"Tidurnya pake ini" kataku memberikan bantalnya.
"Hem...iya" mata Aris masih terpejam meraih bantalnya.
"Baeknyalah si Jeje ni" kata Cakra yang masih memakan mie.
Sapta malah serius menonton. Sesekali dia menarik mienya dengan seluprutan yang aneh. Menggetarkan badannya. Cakra malah bolak balik kekamar mandi. Aku , Nindi dan Nina hanya tertawa. Karena kami memang tidak fokus menontonya.
Dan halangan berikutnya adalah mati listrik.
Belum lagi selesai menonton filmnya malah mati listrik. Sapta kesal. Aku rasa dia sedang menikmati betul filmnya. Cakra malah ketiduran.
Tidak enak juga membangunkan Aris dan Cakra saat ini. Masih pukul 11 siang.
Sekolah dicepatkan pulang karena sudah selesai ujian.
Akhirnya, pukul satu siang kami membangunkan  mereka yang sudah terbangun dari tidurnya. Listrik belum juga belum menyala.
"Pulang yok!" Ajak Nina
"Ayoklah. Tapi VCDnya gimana ne?"
"Kalau gak nyala-nyala listriknya bagaimana?" Nindi juga pusing.
Jika ketahuan orang tuanya bisa gawat.
Kami juga memikirkan hal itu.
"Tenang aja, gambar cover VCDnya kan gambar teletubbis"
"Oh....iya ya" kata Nindi tenang.
Dan kamipun permisi pulang bersama. Aku di bonceng Aris sampai pangkalan angkot. Aku melarangnya mengantarku sampai kerumah. Itu sangat berbahaya. Belum ada tanda-tanda boleh aku berpacaran oleh ayahku.
Hari yang menyenangkan.
Menikmati masa muda yang nakal.
Aku tidak akan pernah melupakan hal ini. Selama masih bisa membatasi, aku akan tetap dijalan ini.

The Last Place on Your Space

- kejahatan di waktu muda itu, memicu adrenalin. Dan itu membuat perasaanku buta -
Kedekatanku sangat kurahasiakan kepada sahabat-sahabatku. Yang mereka tahu aku dan Aris hanya sebatas teman biasa. Padahal aku dan Aris sering pulang bersama.
"Eh nanti ada rapat osis tentang perpisahan kakak kelas, jangan lupa!" Kata kak Paulin.
Nina, Nindi dan Susan saling memandang lalu mengangguk.
"Jam berapa?"
"Jam ke 7 dan 8"
"Pas pelajaran Agama" Nina kesenangan.
Lagian guru agama kami tidak datang. Kelas sudah dipastikan ribut. Lain halnya aku dengan Aris. Kami memanfaatkan dua jam ini untuk saling mengobrol.
Karena hari ini dan berikutnya kami tidak akan bisa pulang bersama lagi.
Kami mulai mengobrol tentang apa saja. Sampai pada pertanyaan Aris yang membuat aku salah tingkah.
"Je, sekarang kamu punya pacar ga?"
"Gak punya"
"Masa' sih. Gak percaya"
"Iya beneran. Kalau aku pacaran ayahku pasti marah besar"
"Oh...iya..iya"
"Jadi, kalau aku bilang mau jadi pacarmu. Berarti aku pacar pertamamu lah ya"
Ya ampun, mukaku panas sekali. Gerah. Entah karena cuacanya yang panas atau perkataan Aris yang membuatku begitu panas. Dadaku deg-degan. Jantungku berpacu begitu cepat. Ya Ampun aku belum siap untuk menjawabnya. Apa yang harus aku lakukan. Tanganku, yak henti-hentinya menggoyang-goyangkan pulpen. Cepat sekali, bahkan lebih cepat dari kilat.
Aku terdiam menunduk.
"Kenapa?" Tanyanya
"Kenapa kami begitu blak-blakan sekali. Aku bingung. Itu bercanda atau serius?"
"Aku serius bertanyanya"
"Bukan soal bertanyanya. Tapi, soal pernyataan terakhirmu"
"Oh...itu, memangnya kenapa?"
"Gak apa-apa!" Kataku sambil menelan ludah.
Ya ampun, apakah aku sudah jadian atau belum. Tapi, aku tidak mau ke GR-an secepat itu. Aku tidak mau.
Kepada siapa aku bercerita saat ini. Tidak mungkin kepada sahabatku. Palingan juga mereka tidak akan percaya. Terutama Nindi, dia tidak akan setuju. Dia tahu betul tingkah Aris di sekolah lamanya dulu. Yang aku tahu dia suka menjahili anak perempuan, dan lebih parah lagi dia seorang playboy.
Saat itu aku merahasiakan segalanya dari sahabat-sahabatku.
Saat itulah, aku mulai menulis di buku harianku. Aku menulis segalanya disana. Menulis apa saja tentang perasaanku. Curhat searah, sudah menjadi kebiasaanku sejak SMP.
Hari berganti hari, seorang murid bernama Cakra pindah lagi dari sekolah yang sama dengan Aris. Cakra yang lebih pendek, tingginya sepantaran dengan aku memiliki kulit yang lebih gelap dari Aris. Cakra sudah mengenal Aris sejak SD bahkan TK. Aku satu TK dengan Cakra , namun tidak sekelas.
Aku berkenalan dengan Cakra, begitu juga Nina dan Nindi. Susan dan Rinne tidak begitu tertarik dengan Cakra.
Bertambah lagi temanku. Akhirnya formasi terbaru kami adalah Aris, Aku, Nina, Sapta, Nindi, Cakra, Susan dan Rinne.
Tapi, setelah dekat dengan para anak laki-laki Susan dan Rinne sedikit menjauh dari kami.
"Kalian itu terlihat begitu akrab sama anak murid laki-laki. Awas, entar disangka ganjen"
Cecar Susan sewot.
"Kok gitu sih, San. Kami kan selalu ada buat kalian berdua" Nindi yang dewasa selalu memberi alasan yang damai.
"Tapi, kalian itu udah beda. Lebih banyak menghabiskan waktu bersama mereka. Tau sendirikan mereka itu murid-murid"
Susan mulai kesal.
"Liat kami apa bandel?"
"Memang gak sekarang, tapi itu bakalan terjadi"
Dan prediksi Susan memang benar. Aku, Nina, dan Nindi jadi begitu berubah.
Ketika pelajaran Agama, kali pertamanya kami membolos. Aris yang mempunyai ide gila ini. Aku, Nina, Nindi, Sapta dan Cakra serta Aris kumpul dimeja paling belakang. Merencanakan pembolosan kami. Tak tiknya cantik sekali. Awalnya Aris , Sapta dan Cakra memang sengaja tidak masuk kelas. Demi, menolong kami yang tidak ingin ternodai keteladanan kami sebagai murid. Mereka menunggu hingga satu les pelajaran sebelum usai di kantin sekolah.
"Kalian permisi saja, pura-pura kekamar mandi. Terus lari kekantin. Entar sebelum bel bunyi, kalian sudah balik lagi kekelas" begitu instruksi Aris.
Brilian bukan.
"Entar kalo ditanya dari mana. Jawab aja, dari WC setelah itu kalian dipanggil guru buat bantuin beresin buku di perpustakaan. Bereskan"
Kami hanya mengangguk-angguk takjim mendengar penjelasan Aris tentang misi bolos kami.
Guru agam belum datang, Aris, Sapta dan Cakra keluar kelas dan menuju kekantin. Sebelum benar-benar menghilang Aris berdiri disampingku.
"Kutunggu di kantin"
Ya ampun, hebat sekali kan. Pembolosan berencana. Kelakuan burukku untuk pertama kalinya. Dan itu berjalan sukses.
Sesampai dikantin kami membeli minuman es merah. Lalu mengadu cangkir.
"Tos"
"Misi pembolosan pertama berhasil" kata Cakra yang berada disamping Nindi.
Sapta di samping Nina dan aku sudah pasti berada disamping Aris.
Kami kadang-kadang tertawa mendengar candaan Cakra yang memiliki mata sayu. Terkadang juga tertawa mendengar kesombongan Sapta yang memang anak orang kaya. Dan aku selalu terkagum ketika Aris bercerita tentang Bandnya.
Masa muda yang indah bukan. Tak masalah seburuk apapun aku dimasa lalu, ini merupakan masa lalu yang indah bagiku. Tidak akan terlupakan.
Sekembali dari kelas, alasan kami tidak dicurigai oleh guru agama. Guru agama kami hanya menangguk dan begitu saja percaya.
Dan begitulah kenakalan pertama dan selanjutnya dimulai.
Susan mulai curiga dengan tingkah kami yang selalu permisi bertiga kekamar mandi. Selalu lama.
"Kalian, kok lama sekali sih dari kamar mandi"
"Ngantri, San" jawabku seadanya.
Susan memang paling cerewet. Dia seperti ibu-ibu. Sebegitu dewasanya Nindi, Susan lebih daripada Nindi. Mungkin level ekspret dewasanya. Sedangkan aku, jangan tanya. Tingkahku masih seperti bocah.
"Kalian jangan bohong. Aku dengar dari ibu kantin kalian sering bolos ketika pelajaran agama" Susan mulai mengintai.
Kami bertiga terdiam, aku , Nina dan Nindi. Sedangkan Rinne asik membaca majalah remaja yang baru saja dibeli Nindi.
"Je, nilai kamu paling tinggi itu agama. Seharusnya kamu pertahankan itu. Nina, kamu mau di usir dari rumah tantemu kalau mereka dengar langsung hal ini. Nindi, kamu iti berprestasi jangan buat masa mudamu yang gemilang ini hancur karena mereka"
Susan persis seperti ibu kami. Tapi, aku senang mempunyai sahabat seperti Susan. Perhatian dan selalu memberi pencerahan.
Kami bertiga masih terdiam. Berpikir dalam-dalam. Mungkin yang dikatakan susan itu benar.
"Jadi, aku mohon jauhi mereka" kata terakhir Susan tidak bisa kami terima. Mereka juga sahabat kami. Mana mungkin kami menjauhi mereka. Terutama aku, hei!!! Sahabat kalian ini sedang kasmaran bersama Aris. Tolong jangan di usik keindahan cerita ini. Ingin rasanya aku berteriak seperti itu.
Tapi, yasudahlah. Kami menurut perkataan Susan. Kami kembali seperti semula.
Namun tidak pada saat perpisahan anak kelas 3.
Suasana sekolah ramai. Beraneka macam baju. Untuk para penari memakai baju seragam. Ada juga beberapa berpakaian aneh untuk tampil drama sekolah. Kakak-kakak kelas yang berdandan cantik dan ganteng dan itu membuat hati Nina sedih.
Dia harus berpisah dengan salah satu idolanya, Alsan. Nina memang sedang dekat dengan Alsan saat itu.
Diam-diam Nina menyukai Alsan sejak kelas 1 SMP. Bahkan Nina sering curi-curi pandang ke arah Alsan ketika kami baris dilapangan.
Mungkin Nina merasakan hal yang sama aku rasalan terhadap Aris.
Berbicara Aris, dia tidak datang hari ini ke sekolah. Tidak mengikuti acara perpisahan. Padahal hari ini kami bebas. Tidak ada halangan untuk bertemu setelah Susan mengontrol pertemuan kami. Perasaanku tidak begitu menyenangkan. Padahal hari ini banyak wajah-wajah ceria karena tidak belajar.
"Eh ini ada surat" kata Cakra memberikanku secarik kertas, yang betuliskan.
"Bolos yuk, Je. Ajak Nina dan Nindi"
Itu surat dari Aris. Aku sembunyikan, takut ketauan Susan.
Aku mengguit bahu Nindi dan mengajaknya kekamar mandi. Aku menyerahkan secarik kertas itu kepada Nindi.
Nindi memandangku, dan aku mengangguk. Nindi setuju. Kami bolos sekolah.
"Nina, gimana?" Tanyaku
"Dia gak akan mau, apalagi hari terakhir perpisahan sama Alsen"
"Oh...iya..iya"
Aku dan Nindi segera kekelas mengambil tas secara diam-diam. Suasana kelas kosong tak seorangpun melihat. Tas kami lempar dari jendela sebelah kanan kelas yang langsung berhadapan dengan tembok setinggi 3 meter.
Cakra sudah menunggu didekat tembok itu, disitu juga ada Sapta, Arfino, Nikki dan Roni.
Hanya aku dan Nindi berdua perempuan yang ikut bolos saat itu.
Pertama, aku yang diangkat Cakra dan Sapta karena memang badanku saat itu sangat ringan sekali, 43 kilogram ( jangan tanya berapa berat badanku sekarang ). Lalu aku harus melangkahi tembok setinggi 3 meter, saat itu rok sekolahku pendek, sudah pasti aku sangat kesusahan. Tapi, tidak masalah ini memaju adrenalinku. Ternyata disebrang tembok sudah ada Aris.
"Lompat!" Katanya yang bersiap-siap menagkapku.
Huuuup!!!
Lompat, Aris dengan sigap menangkapku. Akhirnya kami sama-sama jatuh berdua.
Ya, ampun mukaku memerah lagi. Pandangan kami begitu dekat. Aku menimpai Aris. Agak lama, mungkin aku menikmati adegan ini atau memang kakiku yang susah di gerakkan.
Lalu menyusul, Sapta yang lompat. Melihat kami seperti ini. Sapta geleng kepala.
"Nantikan bisa, loh. Bantu dulu Nindi. Aku gak sanggup menampungnya sendiri"
Badan Nindi memang besar, bahkan badanyalah yang paling besar. Bukan gendut ya, hanya besar dan tinggi. Lebih tinggi daripadaku.
Aku malu ketika Sapta mengatakan hal itu.
"Nanti apanya?" Kata Aris segera membangkitkanku.
Sapta menyikut lengan Aris sambil tersenyum aneh.
Nindi lompat, dilanjutkan Cakra, Arfino, Nikki dan Ronni.
Kami meninggalkan sekolah dan menuju sebuah tempat yang kami namakan tempat rahasia.
Tempat biasanya mereka dan teman-teman mereka yang dari lain sekolah mengumpul. Sekedar menghabiskan beberapa obrolan tentang banyak hal.
Aku keluar ruangan, disitu pengap. Banyak asap-asap yang tersisa. Aris mengikutiku.
"Kenapa keluar?" Tanyanya
"Pengap banget didalam. Aku gak tahan"
"Yauda, diluar aja"
Aku dan Aris sedang memandang sebuah persawahan yang luas. Kami sedang berada disalah satu rumah teman mereka yang sudah tidak ditempati lagi.
Warnanya hijau, sangat hijau sekali. Pemandangan yang sejuk.
"Je...!" Panggil Aris pelan.
"Ya" sahutku sambil memandang wajahnya.
"Kamu gak malu berteman dengan aku?"
"Gak lah"
"Aku ini bandel, merokok, terkadang main judi kartu, brutal bahkan sering emosian" kata Aris yang duduk disebelahku.
"Gak malu kok" aku tersenyum padanya.
"Jadi, gak masalah kalau kita jadian?"
Aku terdiam sejenak. Aku tidak mengerti dengan kata jadian itu. Aku belum pernah mengalami kenangan-kenangan jadian itu.
"Maksudnya gimana?" Tanyaku polos.
"Malam minggu aku datang kerumah boleh, gak?"
Mataku terbelalak. Cowok , malam minggu datang kerumah. Apa kata ayahku nanti. Bisa-bisa aku kena gampar, mungkin bisa diusir.
"Em..." aku bingung menjelaskannya
"Gak boleh ya. Udah ada cowo lain yang datang ya?"
"Eh..gak..gak....kami tahu sendirikan ,Ris. Ayahku bagaimana. Dia gak suka kalau aku kedatangan cowo ke rumah. Bisa-bisa aku kena marah"
Aris terdiam. Aku juga terdiam.
Suasana lengang.
"Kalau gitu, disekolah saja. Kita backstreet"
Untuk pertama kalinya aku melakukan backstreet dengan Aris. Bahkan Nindipun tidak mengetahuinya.
Hubungan kami rahasia. Ini seperti drama taiwan yang tayang setelah 2 tahun kemudian judulnya Nine ball. Cerita, seorang berandalan menyukai gadis baik-baik. Dan orang tua si gadis melarang hubungan mereka. Akh...cukup tragis drama taiwannya pada saat itu.
Aku dan Aris kembali kedalam. Melihat Cakra yang sudah meler, disampingnya ada Nindi yang sedang mengipas-ngipas Cakra. Lalu, Sapta dan lainnya asyik dengan dunia mereka yang sedang ngefly.
Beginikah seorang anak-anak nakal itu. Aku melirik ke Aris.
"Kok kamu ga ikutan meler?" Bisikku pelan ketelinganya
"Gak mungkin didepan kamu. Aku juga harus punya harga diri donk didepan kamu" Aris berbalik berbisik.
"Hehehehe...terus kalau dibelakangku" aku hanya tersenyum senang.
"Itu lain cerita"
"Hehehehe"
Setidaknya Aris menghargai aku yang sedang berada disampingnya.
Pembolosan kami ini terdengar oles Susan. Aku dan Nindi disidang secara diam-diam. Tidak diketahui Nina dan Rinne.
Susan murka, dia marah besar
"Kalian berdua, pilih mana? Aku atau mereka?"
Mata Susan melotot.
Pilihan yang sulit. Ini cinta, dihalangi oleh sahabatku sendiri.
"Je, kamu itu kalau nilai ujian semester akhir nanti kamu tidak dapat kenaikan. Ingat, kamu jangan merengek-rengek kepadaku. Kamu juga, Nindi. Jika nilai kamu anjlok, kita tidak perlu berteman lagi. Aku tidak suka sahabatku sendiri jadi brandalan. Ngapain aja kalian di rumah itu?"
Aku dan Nindi hanya menunduk diam, saling pandang.
"Jangan-jangan kalian ketularan mereka. Apa coba kelebihan mereka? Gak ada kan? Mereka itu anak buangan dari sekolah sebelah. Mereka tidak bergu---na---!! Ingat itu"
Aku mulai gerah. Susan terus mengoceh. Introgasi ini begitu melelahkan.
Memang yang dikatakan Susan itu benar semua. Apa hebatnya mereka. Mereka hanya memberikan kesenangan sesaat, dan pada akhirnya aku dan Nindi mendapatkan hasil yang tidak memuaskan. Itulah yang terjadi.
Tapi, tidak dengan perasaanku. Ini benar-benar buta. Sudah hilang akal. Aku tidak menghiraukam Susan, aku mengikuti perasaanku.
Aku menyukai Aris, bagaimanapun bentuk dan tingkah Aris. Dia pesona bagiku. Lelaki keren, memegang gitar di Bandnya, penuh kharisma. Itu dulu yang aku lihat dari dirinya.
Pemimpin anggota yang super super hebat.
Aku menyukainya.

The Last Place on Your Space

- Murid pindahan itu, menguncang hatiku pada saat pandangan pertama -
Aku sangat menyukai novel. Apapun itu jenisnya, kecuali horor. Bahkan aku ingin sekali memiliki novel sendiri, karanganku. Tapi, mustahil bagiku. Karena setiap kali aku menulis di blog tak ada seorangpun yang membaca.
Jikapun ada yang membaca itu hanya aku yang menyuruhnya membaca.
Sekarang sudah tahun 2016. Aku masih tetap menjadi seorang anak perempuan yang aneh.
Anak perempuan yang begitu menyukai anime dan hal-hal yang barbau jepang.
Pernah aku berkeinginan untuk menulis tentang sebuah hubungan pasangan seorang insan yang sedang berada dijepang.
Namun hasilnya tulisanku itu tidak selesai. Aku juga belum pernah kejepang. Bagaimana aku bisa membayangkan jepang itu seperti apa.
Aku rebahkan tubuhku, setelah lelah seharian mencari novel. Akhirnya aku mendapatkan sebuah buku yang 14 tahun yang lalu aku inginkan.
Maka dari situlah, aku mulai membuka album fotoku yang tercetak di dalam album kenangan masa mudaku ketika SMP dulu.
Lalu, mencari buku harianku yang penuh dengan seseorang yang bernama Aris.
Dialah cinta pertamaku, kurasa begitu.
Dia yang memberikan senang, kerisauan, kerinduan, kecemburuan bahkan sakit hati yang mendalam.
Namun, aku bingung harus mulai darimana. Mungkin lebih baik memulai dengan kata Aku.
Baiklah,
Aku, saat itu duduk dikelas 2 SMP. Sejak saat itu untuk pertama kalinya aku melihat ada seorang pria sekeren Aris, murid pindahan dari sekolah sebelah sekolahku.
Ini sangat mustahilkan. Begitu mustahil bagiku. Dia takdirku saat itu. Bagaimana bisa, ternyata aku dan Aris pernah satu TK bersama. Itu terbukti ketika seorang teman sekelasku bernama Santos menunjukkan foto bersama ketika kami TK dulu. Disitu ada fotoku, dan dibelakang fotoku ada foto seseorang yang akan aku ceritakan disini. Aris.
Senyumku mengembang, mungkin ini sudah takdir kami untuk bertemu lagi.
Aris memperkenalkan dirinya didepan kelas. Anak laki-laki yang memiliki tinggi 165 cm, berkulit cokelat tua lebih kehitam sih. Dengan logat pesisir yang khas. Dia begitu membiusku yang sedang duduk di bangku nomor dua bersama Vina.
Sekolahku adalah sekolah yang mayoritasnya adalah orang-orang keturunan tionghua. Aku dan beberapa teman yang lainnya hanyalah minoritas.
Setelah Aris memperkenalkan dirinya, Dia langsung duduk dibangku paling belakang bersama teman ketika SDnya dahulu.
Oh ya, sekolah ku adalah sebuah yayasan yang didalamnya ada TK, SD, SMP dan saat aku masih SMP itu mereka sedang membangun kelas untuk SMA.
Baiklah....
Sekolahku menjadi menyenangkan saat ini. Walaupun pada akhirnya, Aku dan Aris tidak sekelas. Aku berada di kelas A dan Aris kelas B. Kebersamaan kami di kelas A tidak bertahan lama. Pembagian kelas karena murid kami sudah terlalu banyak.
Untuk pertama kalinya aku berkenalan dengan Aris ketika pelajaran Agama.
Aku bersama sahabatku, Nina dan Nindi menuju kantin. Saat itu kami belajar agama di kantin. Atau mencari kelas kosong ketika pelajaran olahraga sedang berlangsung. Atau tukaran kelas dengan agama lain.
Disaat inilah kami berkenalan, setelah seminggu saling tersenyum tanpa saling menyapa.
Nina dan Nindi duduk berdua. Disana juga ada Fiki dan Mai. Lalu, aku duduk sendirian. Biasanya aku duduk bersama Nina atau Nindi.
"Disini kosong?" Tanya Aris menghampiri bangkuku
"Eh..iya"
"Boleh duduk sini?"
"Eh...boleh" napasku tercekat, rasanya aku malu sekali, mukaku berasa panas.
Pelajaran agamapun dimulai. Duduk bersama kami tidak diperbolehkan. Guru Agama kami marah-marah. Mengatakan laki-laki dan perempuan dilarang duduk bersama-sama.
Hatiku melongos saat itu. Kesenangan ini hanya sementara.
Setelah selesai pelajaran Agama, Aris mendatangiku lagi di bangkuku. Kali ini, aku dan teman-teman yang lain sudah kembali kekelas kami.
"Hei, kita belum kenalan!" Kata Aris masih berdiri disebelah bangkuku.
"Ya, ampun Ris. Jangan sok keren gitu deh!" Kata Nindi, yang merupakan teman sekelasnya ketika SMP dahulu.
Namun, Nindi terlebih dahulu pindah kesekolahku. Setahun kemudian Aris menyusul. Dan akan ada murid baru lagi setelah Aris, yang akan mengisi kisah ini.
"Hehehe...Nin. aku juga pengen kenalan sama dia" logat kental pesisirnya itu membuatku sedikit tergelitik.
Sepertinya aku harus mengenalnya lebih jauh.
"Dia itu anaknya buk Tati, guru matematika di sekolah kita dulu"
"Eh, masa' sih? Bener ya?" Aris bertanya padaku.
"Iya" aku tersenyum
"Benerkan!" Kata Nindi sambil tertawa.
Ketika ini sepertinya aku harus memutar lagu sheila on 7 satu album untuk mengingat kembali semua kejadian manis ketika disekolah dulu, ketika masa mudaku berlangsung sangat ekstrim.
Akhirnya, Aris mengetahui namaku. Dia mengatakan namaku unik. Terdiri dari dua huruf. Dan mudah diingat, dan mungkin hanya akulah satu-satunya memiliki nama seperti ini di dunia.
Dan akupun mulai dekat dengan Aris.
Setiap istirahat sekolah, Aris selalu saja ikut "nimbrung" bersama kami. Aku , Nina, Nindi, Susan dan Rinne biasanya kami akan berbincng enak di dalam kelas. Mengenai apa saja, dan Aris terkadang suka tertawa sendiri melihat tingkah kami. Aris sebenarnya sudah banyak temannya. Teman-teman SMP ini hampir semuanya adalah teman SDnya. Bahkan ketika aku singgung masalah aku dan Aris pernah satu TK , dia amat terkejut.
"Makanya, aku sempat berpikir kalau nama kamu itu gak asing" Aris mengingat masa lalunya ketika TK
"Eh, ingat ya. Aku juga baru tahu. Santos yang memberitahuku beberapa hari yang lalu"
"Oh....tunggu dulu aku coba ingat ya. Hahahaha, kami sering ngompolkan waktu TK. Karena takut main jungkat-jungkit"
Akh sial banget, Aris cuma ingat bagian itu dimasa TK. Tapi, sebenarnya juga aku tidak ingat Aris waktu TK. Aku hanya ingat Feni dan OA ( ini akan aku ceritakan juga dikisahku yang lain ). Mereka berdua sahabat waktu TK-ku.
"Hahahaha....." semua tertawa ketika Aris menceritakan itu.
"Haduh, jangan buat malu deh"
"Ya, Ampun Je. Setomboy ini takut jungkat-jungkit" Nina mengejekku
Disahut dengan Susan.
"Hahahaha...aku malah senang main jungkat-jungkit"
Saat itu aku jadi bahan tertawaan mereka. Tapi, bagiku ini indah. Membuat sahabat-sahabatku tertawa. Rasanya masa mudaku tidak begitu kaku. Namun pada akhirnya semua itu akan terasa kaku.
Hari berganti hari, Aris semakin akrab denganku. Aris tidak segan-segan untuk duduk disebelahlu. Kaki kami terkadang saling beradu. Dadaku mau copot rasanya. Duduknya terlalu dekat, sampai aku bisa merasakan bulu kakinya menyentuk kulit betisku.
"Nanti pulang bareng, yuk!" Ajaknya
"Eh...bukannya setiap hari kamu di jemput?"
"Selama seminggu ini , supirnya pulang kampung"
"Kenapa gak ngajak yang lain?" Tanyaku deg-degan.
"Yang searah pulangnya, kan cuma kamu. Nina rumahnya didepan sekolah. Nindi malah jalurnya berbeda. Susan dan Rinne naik bus sekolah"
"Maksud aku sama cowok gitu"
"Mana asik pulang bareng cowo, ga ada deg-degannya"
Nah kan, aku benar-benar kembali kemasa lalu itu. Dimana aku sedang menyirami bunga-bunga indahnya perasaan cinta, kurasa.
Benar saja selama seminggu, aku dan Aris pulang bersama. Selalu ada percakapan menarik. Kami sama-sama menyukai musik, terutama PADI, band yang paling populer di awal tahun 2000an.
"Lagu padi mana yang kamu suka?"Tanya disuatu siang kami sedang berjalan menuju pangkalan angkot.
"Aku suka semua, tapi baru-baru ini aku suka kasih tak sampai, sih"
"Loh, kok sama!"
"Akh, masa?"
"Iya, bener"
Kami berbincang lain hal lagi. Mengenai guru-guru yang killer. Mengenai musik lagi. Dan akhirny jarak antara sekolah dengan pangkalan angkot begitu sangat dekat. Kebersamaan ini , selalu di akhiri dengan lambaian tangan.
Mulailah, aku mencari persamaan-persamaan antara dan Aris.
Begitu banyak sekali persamaan.
Bisa saja, aku dan dia merupakan anak tertua. Menyukai lagu yang sama. Dan pada saat itu hanya itu yang aku dapat.
Bukankah ini peluang besar.
Entahlah...
Sebulan ini hubungan kami sangat dekat. Aku kira aku mulai menyukainya. Pikirku.

Sabtu, 04 Juni 2016

Oka-San

Entah mengapa sepanjang perjalanan pulang ke rumah dari kota Medan yang kepikiran hanya dia.
Rindu wajahnya.
Rindu senyumnya.
Mungkin karena sudah lama tidak bertemu dengannya di dunia dan di alam mimpi makanya sampai seperti ini rindunya.
Jika ditanya seberapa rindunya?
Jelas aku jawab
"Aku sangaaaaaaaaaaaaaaaasssssaat rinduuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu~ sekaliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii~~~~~~~~ kepadanya"
Lebay, gak....ini fakta.
Memang aku lagi rindu sama dia.
Akh, kangennya ya pas hari-hari kaya' gini.
Hari sabtu menjelang malam minggu ( eh...kita ngomongin siapa disini???)
Maksunya hari-hari kaya' gini adalah datangnya bulan penuh berkah, bulan suci romadhon. Ini terjadi setiap tahunnya.
Jadi, tanpa aku suruhpun. Kenangan-kenangan siluet selama 17 tahun bersamanya bermunculan.
( meneteskan air mata, alhamdulillah sudah tidak lagi. Setelah tahu betapa bahayanya tetesan airmata itu ketika kita merindukan seseorang yang sudah tidak bisa peluk dan cium lagi)
Jadi, ketika mengingat. Teringatlah aku pada sebuah fase yang luar biasa. Ketika aku mengenal "IBU" dalam hidupku.
Sejak aku lahir sampai detik 17 tahun aku hidup. Tak pernah terbersitpun aku menginginkan bahwa IBU harus pergi selamanya. Tidak pernah. Walaupun secerewet, sekepo, semerepetnya IBUku aku tidak pernah berpkikir seperti itu.
She is my Mom, yang melahirkan aku kedunia. Memberikan sebagian gennya kepadaku, memberikan sebagian nutrisi dan gizi makanan ketika aku masih di dalam kegegelapan, dan memeberikan darahnya kepadaku yang disebut ASI.
Sosok IBUku susah pasti kubilag
She is the one and only, never changed.
Ibuku adalah seorang pekerja keras.
Yup beliau pekerja keras. Mampu mengurus rumah, suami, tiga orang anak ( putri ), lalu beratus-ratus anak orang yang didiknya. Dan itu semua terselesaikannya dengan semangatnya.
Baiklah, akan aku beri tahu rutinitas ibuku selama 17 tahun bersamaku.
Beliau pukul 4 pagi sudah mulai bangun. Lalu mulai memasak didapur, yang bumbu2nya sudah di racik di malam hari. Pukul 5 pagi beliau mulai mencuci baju ( manual, belom ada mesin cuci di kala itu ). Pukul 6 membersihkan seluruh rumah, menyapu, mengelap debu, mengepel lantai. Kadang berbagi tugas dengan ayah yang mengurus kami ( putri2nya ). Pukul 7 berangkat ke sekolah. Pukul 1 siang balik kerumah, istirahat sejenak ( beliau bukan robot, beliau manusia ada rasa lelahnya ), tapi namanya seorang ibu tidaklah banyak waktu istirahatnya. Rengekan adik ku yang paling kecil membangunkannya. Sampai sore, tepat pukul 5 sore kami putri-putrinya sudah bercemong bedak dan wangi. Lalu beliau melanjutkan masak untuk malam. Pukul 7 sampe jam 9 malam waktunya dihabiskan bersama kami putri-putrinya. Membantu kami mengerjakan PR dan belajar. Pukul 9 beliau melanjutkan mengisi usahanya berjualan es lilin ( yups, ini berselang hanya sekitar 4 tahunan untuk biaya uang jajan aku dan adikku yang nomor dua bersekolah sore "sekolag arab" )sampai jam 10 malam, lanjt meracik bumbu masakan buat besok hari. Seperti itulah setiap harinya.
Bahkan akhir pekan tidak bisa santai, waktunya menggosok baju. Bukan kah itu pekerja keras namanya....
Yes, she is a hard worker...love you mom!!!
Ibuku itu seorang yang kuat....
Kuat secara fisik dan mental. Secara fisik Ibuku jarang sakit, sekali sakit berdampak membawa dirinya berada disisi Allah selamanya. Kuat mental, aku tahu beliau sangat kuat mental. Menghadapi cobaan demi cobaan dia tidak pernah mengeluh kesiapapun. Tidak kesiapapun.
Ibuku itu seorang penyabar....
Dia sangat sabar sekali, entahlah hanya aku tahu sesabar apa beliau. Sabar menghadapi ayahku yang trempramen yang hobinya marah-marah, ringan tangan ( bukan mukul secara fisik ) tapi ngerusak benda yang didepan kalok lagi marah. Itu baru 1 kali sabar. Nah, tiba ke anak-anaknya. Akulah cerminan ayahku, kami memiliki sifat yang sama. Persis. Seperti sedang bercermin saja kalau melihat ayahku. Jadi, 2x sabar. Dan itu juga berlaku untuk anak2 didiknya yang disekolah.
Jadi, sabarnya berlipat-lipat ( kata salah satu anak didiknya, bahwa ibuku adalah guru matematika paling sabar sedunia. Kan jarang tu guru matematika yang penyabar ). Bahkan, ketika di landa "hal" itu, beliau tetap sabar.
Ibuku ternyata bisa menangis....
Ini untuk kali pertama aku melihatnya menangis, tersedu, tatapan kosong ( akh sudahlah, sebenarnya aku tak ingin teringat kejadian ini. Tapi, ini sangat membekas sekali diingatanku "blue" ). Kadang tanpa sadar aku juga pernah dengar tangisan yang ditahan beliau ketika sedang mencuci baju. Aku tidak tahu persis alasan tangisan itu. Mungkin aku masih terlalu kecil saat itu.
Ibuku yang pertama kali mengajarkan aku pentingnya kejujuran....
Pernah suatu hari ketika aku SD. Salah satu guru memanggilku ke ruang kelas. Ketika itu baru saja selesai ujian bahasa indonesia. Guru tersebut memberitahukanku bahwa nilai ujian bahasa indonesiaku sepertinya akan rendah, maka bapak itu berinisiatif membantuku dengan cara memberikan soal beserta lembar jawabannya untuk kubawa kerumah. lalu menjawabnya setelah itu meletakkan lembar jawaban itu pagi2 sekali ke lemari. Tidak, aku tidak melakukan itu.
Sepulang sekolah aku langsung menemui ibuku yang sedang membersihkan perabotan di dapur.
"Mak, kakak dikasi inilah sama pak *** ( maaf nama gurunya disensor ya "
"Loh untuk apa kak?"
"Nilai bahasa indonesia kakak kata bapak itu rendah. Jadi, disiruh jawab dirumah biar tinggi nilainya"
"Gak usah kak, lebih baik jujur daripada nokoh ( bohong ) kaya' gini. Udah buanga aja itu"
Aku nurut kata ibuku. Aku kesekolah bertemu dengan bapak guru itu. Dan mengatakan seperti yang ibuku katakan. Lalu bapak itu berkata : "kau bakalan jadi orang sukses nanti geo. Baguslah bapak senang. Jadi, nilai mu tetap bapak naikkan, karena kau sudah mau jujur tidak berbuat curang" ( alfatihah untuk bapak ***** ( rahasia ).
Itulah sepintas kelebihan tentang ibu, selain dari situ juga banyak kelebihan-kelebihan lainnya yang aku dengar dari adik-adiknya. Beliau adalah seorang kakak yang bertanggung jawab, anak tertua dari 5 bersaudara dapat mengkordinir adik-adiknya, rajin, tegas dan masih banyak lagi.
Yes, that woman is my mom!!
Terkadang IBUku juga sangat menyebalkan.
Beliau terlalu KEPO ( istilah anak sekarang ). Beliau mulai merambah hal-hal pribadiku. Misalnya beliau suka sekali membaca buku diariku yang sengaja aku sumbunyikan yang akhirnya ketauan juga.
Bahkan "benda" itu juga ketauan olehnya. Itu adalah menjadi salah satu rahasia terbesar kami kepada Ayahku. Jikapun ayahku tau mengenai "benda" itu, sudah dipastikan aku bisa diusir, dihapus namaku dari daftar kartu keluarga dan kemungkinan besar bakalan dibunuh. Alhamdulillah sampai sekarang itu tidak pernah terjadi padaku. Aku tidak diusir, namaku masih ada di KK dan aku masih hidup. Ibuku tidak memberitahukan kepada Ayahku. Itu membuatku senang, dan mulailah pertobatan nasuha...( hehehehe ).
Yes ,she is my Mom yang selalu marah-marah kalau aku telat pulang kerumah ( wajar ), menjemputku ketika lupa pulang saat nonton kibot ( hehehehehhe..... :D ), yang merepet setiap kali pekerjaan di rumah gak beres ( nyapu ga bersih, memang sengaja ni mak biar dapat lakik ewokan...hehehheh ), yang dengan sabar membantu mengerjakan PR matematikaku yang kadang aku repetin gata-gara ga sesuai sama yang diajarkan oleh guruku, yang selalu, selalu, selalu....
Aku merindukannya...
Ini puasa kesekian kalinya aku tak bersamanya.
Padahal aku merindukan masakannya....
Terutama sate, ibuku paling pinter masak satu daging...
I miss you so much, Mom...
I love you
I wish we will be meet in a paradise....
Allah bless you, Mom....

Kamis, 02 Juni 2016

New Change

Episode 2.
Akhirnya Seno Mengetahuinya
***
Bali, Hotel Bali Indah.
Pukul 07.00 waktu Bali, lebih cepat satu jam dibandingkan Medan. Matahari pagi menampakkan dirinya di ufuk timur. Ara sudah bersiap-siap. Koper dan tas tambahan sudah tersusun rapi di lobi hotel. Menuju Bandara Ngurah Rai. Penerbangan pukul 09.00 waktu Bali. Transit di Bandung selama 2 hari. Ingin menikmati kota Bandung.
Ara masih mengingat jelas perkataan Seno kemarin pagi. Tentang mengapa Seno memilih gadis lemah itu.
"Akh!!!bilang kau memang menyukainya" gerutu Ara merapikan rambuntnya yang berantakan.
Ara menunggu taxi Bandara datang menjemput. Menghirup udara sejenak. Ara akan meninggalkan Bali, sudah 3 hari di Bali membuatnya cukup untuk terbang lagi ketempat yang baru.
Ara akan merindukan Bali. Keramahtamaan penduduknya. Budayanya. Gadis bali yang anggun dengan kebaya putih. Gadis Bali yang selalu tersenyum manis. Serta anak-anak bali yang selalu ceria.
Bisakah Ara seceria dahulu. Ceria setelah kehilangan Seno. Mungkin Seno benar, Ara akan tetap bisa hidup tanpanya. Banyak teman-teman yang ada disekatar Ara. Yang selalu ada kapanpun Ara kehendaki. Berbeda halnya dengan Anggun. Wanita lemah kesepian itu membutuhkan semangat Seno untuk tetap disisinya.
Taxi Bandara merapat ke halaman depan hotel. Salah satu office boy membawakan koper beserta tas-tas tambahan. Untuk oleh-oleh.
Ara menundukkan kepala tanda terima kasih telah membantu menganggkat barang-barangnya.
Taxipun melaju sedang. Aroma dupa Bali dan sesajen selalu terletak di sudut dasboard taxi di Bali. Awalnya Ara mual dengan aromanya. Bahkan di hotel juga ada. Tiga hari berlalu, aroma itu menjadi biasa baginya.
"Mbak mau kemana?" Tanya supir taxi itu ramah sambil mengembangkan senyumnya.
"Ke bandara, pak"
Jawab Ara seadanya sambil memandang luar kaca jendela taxi.
"Maksud saya, Mbak mau kemana, ke Jakarta, Surabaya atau Lombok. Hehehe"
"Oh...saya mau ke bandung, pak!"
"Orang bandung ya, Mbak!"
"Gak pak"
Hanya sekenanya saja. Tidak berantusias untuk menjawab. Dan itu sebagai tanda bahwa supir taxi itu harus berhenti bertanya. Tugasnya hanya mengantar Ara ke Bandara Ngurah Rai, bukan sebagai wartawan yang menanyai penumpangnya yang sedang berkabut perasaannya.
Taxi hampir tiba di Bandara Ngurah Rai. Patung Raksasa yang tinggi menjulang sebagai tanda bahwa taxi sudah berada di lingkup Bandara.

*****
Medan, masih pukul 6 pagi.
Hari ini jadwal Seno padat sekali. Menjelang akhir bulan. Semua pekerjaan harus selesai sebelum tanggal 30. Menyelesaikan laporan bulanan. Menginput data sepanjang bulan. Bekerja dengan giat.
Anggun membangunkannya pagi dengan suara merayu dari seberang telepon.
"Mas, bangun dong. Katanya mau berangkat kekantor lebih awal"
"Iya....!" Jawab Seno malas, mengusap matanya melihat jam dinding masih pukul 6 pagi.
"Nanti aku kekantor ya. Nganter makan siang buat, mas" Anggun yang sedang memasak didapur mempersiapkan bekal makan siang untuk Seno. Gadis yang rajin. Gadis yang lemah lembut. Sangat kontras sekali dengan Ara yang begitu ramai. Selalu membuat keceriaan kepada setiap orang. Ketika berkata suaranya selalu menggelegar.
Tapi tampak beda setelah percakapan itu di mulai pagi kemarin. Seno hafal betul suara yang membawa keceriaan itu seperti menghilang bersama kepedihan yang terasa.
"Iya!!" Seno bangkit dari tidurnya dan langsung kekamar mandi.
"Anggun sayang Mas" kata Anggun centil sambil ber-emmmuaaah dari balik telepon.
Ganjil terasa bagi Seno dengan salam penutup itu. Dia tak pernah melakukan hal yang menggelikan itu ketika sedang menelpon Ara.
Ara, kembali Ara yang dipikirannya. Selau Ara. Mebandingkan Anggun dengan Ara. Walaupun itu sangat kejam untuk Anggun. Tapi, Seno tidak bisa menepis bayangan itu. Hanya ada Ara dipikiran Seno saat ini.
Seno melihat layar ponselnya. Mencari nama Ara di kontaknya. Dan memanggilnya.
"Hallo!" Sapa Ara yang baru selesai check in
"Cepat sekali bagunnya. Tumben!" Kata Seno mencoba bercanda yang setiap pagi mereka lakukan.
Ara hanya diam. Tak membalas gurauan itu.
"Ada apa?" Tanya Ara dengan suara dingin.
"Aku kangen" kata Seno
"Owh!!!" Jawab Ara semakin dingin.
"Kamu gak kangen!"
"Pantaskah kau menghianati Anggun seperti ini. Cukup Sen. Biarkan aku lepas darimu. Ini cukup menyiksaku"
"Lalu mengapa telponku kamu angkat, jika memang ingin lepas"
Ara terdiam. Mencari alasan yang logika. Tapi, jawabannya hanyalah perasaan itu masih tersisa. Dia juga memikirkan Seno saat ini. Memikirkan hari-hari yang telah terlewati. Tapi, pengkhianatan itu membuat Ara mengubur segala.
"Gak sengaja kepencet layar ponselku"
"Hahahhahahahha.....aku tahu kamu, Ra. Tahu sekali. Bisakah kamu mengatakan kalau kamu juga kangen sama aku" kata Seno yang membuat Ara segera memutuskan percakapan itu.
"Ra..."
Tut'..tut...tut.....
"Urghhhhh!!!"
Seno harus segera mandi dan pergi kekantor. Jika telat itu berarti pekerjaannya akan molor sampai besok akan lembur juga.

****
Dalam pesawat komersil menuju Bandung
Ara duduk di kursi 11A. Dekat jendela pesawat. Itu menyenangkan. Melihat pulau-pulau dari ketinggian 3600 kaki. Melihat hamparan lautan yang berkilauan karena pantulan cahaya matahari. Awan-awan yang bergumpal-gumpal berarak pelan. Seperti bisa menggapainya. Persis gula-gula berwarna putih. Bukankah itu lezat sekali. Namun tidak selezat perasaan Ara didalam pesawat itu. Memandang kosong keluar jendela. Kata "kangen" itu seperti membiusnya kembali. Membuatnya bisa dalam dingin. Hatinya berontak. Seno begitu kejam terhadap dirinya dan Anggun. Kejam mengatakan kata-kata sakral itu meluncur lancar dari mulutnya.
Seno begitu kejam. Mempermainkan perasaannya. Mempermainkan perasaan Anggun wanita yang lemah dan kesepian itu.
Ara mencoba memejamkan mata.
Perjalanan 1 jam 20 menit menuju Bandung.
Pesawat itu melaju dengan kecepatan normal. Pramugari mulai hilir mudik menjajakan makanan dan minuman. Ada beberapa penumpang bolak balik ke toilet. Beberapa kali lampu tanda mengenakan sabuk pengamanan berbunyi. Bahkan pilot sekali mengatakan bahwa cuaca sedang buruk diluar. Terlalu banyak gumpalan awan besar. Mungkin awan-awan itu sedang bercengkrama.
"Mbak, Ara!!" Teriak salah satu penumpang yang Ara kenal, dia Tina. Sepupu Seno.
"Tina!!"
"Mas..mas...bisa tukeran tempat duduk ga?" Mohon Tina pada penumpang yang ada disebelah Ara.
Pria itu menyetujuinya. Siapa yang menolak permintaan gadis manis itu.
"Sedang apa kamu di Bali?" Tanya Ara mengubah raut wajah sedih menjadi senang, seketika itu juga.
"Urusan kerjaan , Mbak. Kantor wilayah Bali mengadakan pelatihan untuk akademi perhotelan dimedan, Mbak" Tina selalu bersemangat. Sama seperti Ara dahulu yang riang dan bersemangat.
"Berapa lama?"
"Aku sudah empat hari di Bali. Mbak ngapain di Bali. Kok mas Seno gak ikut?"
"Mbak juga ada urusan" jawab Ara
Urusan yang tidak bisa dia katakan kepada Tina. Semua akan terlihat menyedihkan jika di bicarakan disini.
"Oh...ntar yang jemput mas Seno ya, Mbak. Kalau gitu aku bisa numpang, nih!"
"Eh...mbak mau ke Bandung. Ada urusan kedua di Bandung"
"Owh" Tina mengangguk-anggukan kepalanya.
"Berapa hari di Bandung?"
"2 hari saja"
"Hem....jangan selingkuh loh mbak dari mas Seno. Mas Seno itu orangnya setia. Awas ya, Mbak. Hehehehe!" Tina tidak tahu apa yang sudah terjadi.
Biarlah Tina masih menganggap Ara akan menjadi sodara sepupu yang menyenangkan.
Pesawat mendarat dengan mulus.
Para penumpang mulai membuka sabuk pengamannya. Turun dari pesawat dengan tertib.
Ara berpisah dengan Tina. Ara melambaikan tangannya.
Sesampai di Bandung. Ara dijemput oleh Egi, teman kuliahnya. Egi menunggu Ara di area pejemputan. Masih menunggu koper dan beberapa tas lainnya. Ara menelpon Egi.
"Gi, aku lagi nunggu barang di bagasi. Agak lama"
"Eh, gak apa-apa, atuh!! Egi, mah masih sanggup nunggu"
"Eh...logatnya uda kental banget sundanya. Hahahaha"
"8 tahun ,Ra. Lagian, suamiku juga orang sunda kan. Mau gak mau mesti belajar bahasa sunda"
"Iya deh....eh...uda mulai ni barang-barang bagasi keluar. Tunggu aku ya!"

****
Medan, perusahaan asuransi jiwa dan pendidikan bagian analisis.
Seno, masih berkutat didepan layar komputernya. Matanya sudah hampir merah. Perih selama berjam-jam menatap komputer.
"Seno, ada tamu tu!"
Ini masih pukul 9 pagi.
"Siapa?"
"Pacar kau lah!" Teriak Andi
Seluruh ruangan tertawa.
Sial sekali, jam segini Anggun sudah datang. Pekerjaan Seno masih banyak. Mau tidak mau Seno harus menemuinya. Gadis yang tidak bisa hidup tanpanya.
"Sayang, kamu sibuk ya?" Tanya Anggun yang melihat Seno keluar dari pintu ruangannya.
"Iya, aku sibuk banget. Kan akhir bulan. Seharusnya kamu telpon aku dulu"
"Maaf ya, Mas. Anggun ganggu" Anggun merunduk merasa bersalah.
Tiba-tiba ponsel Seno berbunyi. Panggilan dari Tina.
"Hallo mas seno!" Sapa Tina ceria
"Hallo, Tin. Apa kabar?" Seno membalas sapaan Tina dengan senyum yang mengembang. Sepupu dekatnya itu selalu menularkan aura keceriaan.
"Sehat, Mas. Mas gimana?"
"Sehat. Ada apa Tin?"
"Hem....aku ketemu Mbak Ara dipesawat perjalanan dari Bali ke Bandung"
"Heh!!!" Seno segera menghindar dari Anggun.
Ini pembicaraan yang dirahasiakan Seno. Wajah Anggun berubah tanya tanda.
"Loh, Mas kok kaget gitu!"
"Eh, gak kok"
"Hem....sepertinya Mbak Ara banyak bawa oleh-oleh. Ntar aku minta, ya Mas. Hehehhe"
"Iya, tenang saja"
Pikiran Seno berubah menjadi khawatir. Ara tak pernah memberitahu kepergiannya ke Bali atau ke Bandung. Ara sudah berubah pikirnya. Seno menggaruk-garuk kepalanya. Pikirannya harus segera menghubungi Ara. Dia khawatir.
Seno tak begitu banyak cerita dalam percakapannya dengan Tina. Sebaiknya segera Seno menghubungi Ara.
Melihat kontak, lalu mencari nama Ara dan menghubunginya.

****
Dalam perjalanan dari Bandara menuju kantor Egi tidak terlalu jauh. Pemandangan kota Bandung yang rapi, walaupun macet akan tetap menjadi kenangan bagi Ara.
Ditempat inilah dia bertemu dengan Seno, beberapa tahun yang lalu. Pertemuan yang tak disangka-sangka. Seperti sebuah skenario. Egi tidak mengenal Seno.
"Eh, kamu itu sudah tidak muda lagi loh, Ra. Kenapa gak memikirkan menikah. Jangan karir mulu yang nomorsatukan" Egi mulai mencercau
"Eh...kalau ada jelas aku sudah tidak main-main lagi dalam hubungan ini. Masalahnya tidak ada"
"Hahahahaha....kamu sih. Susah move on ya"
"Hehehehe...aku juga merasa begitu"
"Beberapa bulan yang lalu, Arda menghubungi emailku"
"Arda?" Dahi Ara mengerut
"Iya, anak arsitek yang dekat sama kamu dulu waktu kuliah"
"Iya, maksud aku, ada apa dia menghubungimu?"
"Masalah kerjaan. Katanya dia ada proyek di bandung. Tapi, sampai sekarang belum ada ketemu"
"Oh...kamu sekarang jadi konsultan design enak banget ya!"
Ponsel Ara bergetar. Melihat layarnya Ara langsung memasukkan lagi ponselnya ke dalam tasnya.
"Kenapa ga diangkat, Ra?"
"Gak penting, nomorya gak dikenal"
Ara berbohong. Egi tidak boleh tahu tentang keadaan hatinya saat ini.
Perjalanan yang tidak buruk. Hanya karena macet, sesekali membuat Egi kepanasan. Emosi. Maklum orang batak. Egi membawa Ara makan di sepanjang jalan Dago. Banyak jajanan ringan disini. Sebagian toko masih ada baru buka. Ada juga sudah banyak pengunjungnya.
"Makan ala barat aja ya. Entar siang aku ajak masakan sunda"
"Oke, aku ikut aja"

*****
Medan, Kantor asuransi jiwa dan pendidikan.
Wajah Anggun cemberut, karena melihat Seno meninggalkannya begitu saja tanpa membawa bekal makanan yang di buatnya. Airmata Anggun mulai jatuh. Anggunpun keluar gedung bertingkat itu dan langsung memanggil taxi dan pulang ke rumah.
Sedangkan Seno dikamar mandi membasuh mukanya. Meremas rambutnya, matanya benar-benar merah.
Beberapa kali menghubungi Ara, namun tidak diangkat.
Kali ini ponselnya berbunyi. Ara.
"Ada apa?" Tanya Ara ketus
"Kami dimana?"
"Di toilet"
"Bohong. Sejak kapan kamu pinter bohong ,Ra!"
"Apa maksudmu?"
"Kamu di Bandung sekarangkan?"
"Bukan urusanmu lagi, Sen. Aku berada dimana. Tolong hapus semua kontakku. Jangan pernah menghubungiku lagi"
Sakit terasa di hati Ara.
"Bukankah kamu bilang kita bisa berteman"
"Maaf, saat itu aku salah bicara"
"Ra.."
"Apa?"
"Bisakah kamu memaafkanku.  Aku ingin kita bisa berteman"
"Aku sudah memaafkanmu"
"Ra!"
"Sen, seharusnya kau tahu sebaiknya kota harus saling melupakan. Harus saling membantu untuk melupakan. Ini teleponan terakhir dari kita. Aku ikhlas kau bersamanya"
"Ra!"
"Iya. Selamat tinggal"
Airmata menetes dengan derasnya. Ara menahan perih selama ini. Membunuh rasanya kepada Seno. Seseorang yang bahkan bukan siapa-siapa lagi, namun tetap khawatir padanya.
Seno mengantukkan pelan kepalanya. Betapa bodohnya dia telah melepaskan orang yang benar-benar dia sayangi hanya demi orang yang tidak bisa hidup tanpanya.

*****
"Kamu kenapa, Ra?" Tanya Egi melihat wajah dan mata sembab Ara
"Gak apa-apa, kok!"
"Kamu nangis?kamu kenapa?"
"Aku gak apa-apa, Egi" Ara mencoba sekuat tenaga menutupi airmatanya.
Namun, rasa sakit yang luar biasa ini tidak dapat ditutupinya. Airmata itu jatuh lagi.
Ara menunduk. Egi berpindah duduk ke samping Ara. Memeluknya. Mengusap tambut Ara.
"Aku yakin, kamu kesini bukan untuk pekerjaan"
Ara terisak. Dia sudah tidak kuat lagi.
"Kita pulang saja kerumahku"
Ara masih menunduk dan terisak.
"Sudah...sudah!" Egi menepuk-nepuk pelan pundak Ara.
Sepanjang perjalanan pulang kerumah Egi. Tak banyak pembicaraan. Egi sesekali melirk kearah Ara yang pandangannya keluar dengan wajah yang hampa.
Untuk menyenangkan hati Ara, Egi memutar lagu-lagu semasa kuliah mereka dahulu. Dan mulai bernyanyi dengan suara cemprengnya. Dan itu tetap menjadi obat mujarab bagi Ara. Membuat senyuman kecil diwajahnya. Memori itupun terulang kembali.

New Change

Episode 1.
Pembicaraan Penting
Berdiri di pinggir pantai Kuta, Bali. Menikmati angin yang semilir. Ara sedang berpikir. Mengingat kembali kejadian seminggu yang lalu. Membawanya kedalam jurang yang terdalam. Pekerjaan yang tidak tuntas. Asmara yang terpecah belah. Pengkhianatan seorang teman. Keluarga yang ricuh. Semua terjadi pada waktu yang sama. Siapa yang tahan dengan itu semua. Apa yang bisa dilakukan Ara selain melarikan diri ke Bali. Menjauh dari kota bernama Medan.
Pukul 17.00 waktu Bali.
Matahari memerah dibatas cakrawala. Memberi warna oranye di ufuk barat. Air laut yang kelap kelip dipantulkan oleh cahaya matahari senja.
Ara menarik nafasnya dalam-dalam. Menghembuskannya pelan-pelan.
"Lupakan, lupakan. Semua akan baik-baik saja" katanya dalam hati dengan mata terpejam.
"Excuse Me!!!" Salah seorang bule yang sedang berjalan berhenti di sebelah Ara.
"Oh...sorry!!! What happen?"Ara terkejut. Bule itu tinggi sekali. Berewokan. Hidung mancung. Bibir merah tipis.
"Your hat, flow away"
"Oh...no problem. I will buy it, later"
Bahkan seorang asing saja perduli padanya. Tapi, hari-hari yang membuat frustasi ini. Tak ada seorangpun yang perduli.
Ara kembali memandang senja yang mulai terbenam. Menikmati sunset di Bali adalah anugerah terindah yang pernah ada. Sunset di Kuta menjadi rutinitas setiap harinya.
Para bule bebas memakai bikini, jika ini terjadi di Medan. Dengan senantiasa banyak yang tidak setuju.
Para penduduk sekitar ada yang berjualan topi pantai. Ada juga yang sedang membawa anjing mereka berjalan ditepi pantai. Ada yang sedang mengepang rambut para turis. Sunset sempurna telah tiba, dengan waktu sepersekian detik mentari yang gagah tenggelam di telan samudera hindia.
Ara kembali ke hotel. Merebahkan tubuhnya yang lelah berjalan. Namun, bukan hanya lelah berjalan. Akan tetapi beban pikiran yang semakin rumit.
Ponsel Ara bergetar. Ara meraih ponselnya yang berada dimeja sebelah tempat tidurnya. Ara menatap layar ponselnya. Membaca panggilan masuk itu. Seno.
Pria yang membuat asmaranya berantakan. Membuat bertambahnya kerumitan dalam hidupnya. Mengabaikan panggilan itu. Ara menutup matanya.
Ara tak ingin berurusan lagi dengan pria bernama Seno. Baginya itu sudah berakhir.
Kembali ponsel Ara bergetar. Dan itu terus berulang-ulang kali. Dan Ara tetap mengabaikannya. Tak ingin mengubrisnya. Masih terasa sakit. Sampai saat liburan seperti ini juga. Ponsel itu akhirnya berhenti bergetar.
Ara melihat ponselnya. Sepuluh pesan misscall. Dan satu pesan singkat. Ara membuka pesan singkat itu.
"Aku mohon angkat telponnya. Ada yang harus aku bicarakan padamu. Bisakah kau berdamai dengan amarahmu?"
Ara tak membalasnya.
Lebih baik membersihkan diri. Berendam di bathup dengan air hangat. Ara benar-benar menikmati liburannya. Menginap dihotel bintang lima. Terletak di Jimbaran, Bali. Menikmati fasilitas hotel yang mewah. Aromaterapi lafender adalah solusi terbaik untuk relaxasi malam ini.

****
Di Medan.
Disebuah kamar kecil disudut kota bernama Medan. Ada seorang pria bernama Seno sedang uring-uringan. Menatap layar ponselnya. Berharap segera dapat balasan dari Ara. Namun, hal itu sia-sia.
Amarah mengusainya malam ini.
"Uuurrrrrgghhhhhh!!!!. Seharusnya dia mendengarkan dulu penjelasanku" gerutu Seno.
Malam yang malam panas, sepanas hati Seno yang belum menerima balasan apapun dari Ara.
Berkali-kali Seno melihat layar ponselnya. Hanya wallpaper bergambarkan pemandangan alam berastagi yang tertera. Tak ada notifikasi yang masuk. Kecewa.
Seno merebahkan tubuhnya. Memandang langit-langit kamar. Mengulang kenangan yang terjadi beberapa hari yang lalu.
Padahal sebelumnya semua baik-baik saja. Begitu indah. Tak terbayangkan akan seperti ini.
Sebuah nada dering berbunyi. Seno langsung meraih ponselnya. Hatinya melongos setelah melihat nama seseorang di layar ponselnya. Seseorang yang sebenarnya tak ingin Seno menghubunginya. Dengan berat hati Seno mengangkat telepon itu.
"Hallo!" Sapa Seno
"Sayang!!kok lama sekali mengakat telponya. Mas Seno lagi ngapain sih?"
"Aku tadi lagi dikamar mandi"
Perbincangan yang seperti biasa. Itu membosankan.
****
Bali, Hotel Bali Indah.
Ara selesai melepaskan kepenakannya berendam di bath up dengan aromaterapi. Pikirannya sudah tenang saat ini. Sudah saatnya untuk berbicara dengan Seno. Mungkin itu panggilan yang sangat penting.
Ara mengambil ponselnya, duduk di balkon kamar hotel. Menatap lampu-lampu yang seperti berkelap kelip dari lantai 5.
Melihat layar ponselnya, dan ternyata Seno mencoba menguhunginya lagi. Sepuluh kali panggilan misscall. Ara menghirup udara malam Jimbaran malam ini.
Memberanikan diri menelpon kembali Seno.
Ara menyentuh layar ponselnya dan memilih panggilan keluar dengan nama Seno.
"Nomor yang ada tuju sedang sibuk" hanya di jawab oleh operator.
Kecewa.
Ternyata pembicaraan penting yang dimaksud penting itu tidaklah serius. Ara menon-aktifkan ponselnya. Melemparkannya tempat tidur. Dan Ara kembali duduk menatap hampa di balkon kamar hotelnya.
****
Medan, disebuah kamar kecil di sudut kota Medan.
"Sayang!!! Aku matikan sebentar ya telponnya. Ada telpon penting"
"Emang dari siapa sih?" Penting banget gitu ya!"
"Bos"
Kebohongan demi kebohongan itu pun menjadi biasa bagi Seno.
Seno langsung menghentikan percakapannya dengan Anggun. Wanita yang berhasil membuat Seno berpaling dari Ara.
Seno secepat mungkin menelpon balik Ara. Namun, hanya kekecewaan kembali yang hadir. Hanya sambutan dari suara operator yang mengatakan bahwa sang pemilik ponsel sedang tidak mengaktifkan ponselnya.
"Uurrrrghhhh!!! Sial.."
Seno segera menonaktifkan ponselnya. Malam ini dia tak ingin menerima telpon dari siapapun. Termasuk Anggun yang mencoba menghubungi Seno. Yang ada jawaban dari operator. Anggun kesal.
****
Bali, Hotel Bali Indah.
Sinar mentari pagi masuk dari balik gordhin berwarna kream itu. Ara membuka matanya perlahan. Terasa berat. Masih pusing.
Menyalakan televisi, melihat berita pagi ini. Tidak ada yang menarik. Sebuah ketukan pintu terdengar.
"Room Service"
Ara membuka pintu kamarnya. Seorang gadis manis menyambutnya.
"Kamarnya mau dibersihkan, buk?"
"Ntar siang saja ya"
"Saya mau mengganti handuknya"
Ara mempersilahkan masuk petugas room service itu. Kembali ketempat tidur. Membalikkan badan, meraih ponsel. Dan mengaktifkan kembali. Sederet pesan singkat sudah untuk dibaca.
Pesan pertama dari Ayu , teman sekantor Ara.
"Hm...yang liburan gak mau diganggu. Aku titip oleh-oleh ya sayang! Bule ganteng bisa , gak!!hahahaha"
Ara tersenyum - senyum sendiri.
"Terima kasih buk" gadis room service itu pamit keluar kamar.
Ara hanya mengangguk pelan.
Pesan kedua dari Tiara, adik Ara.
"Kak, jangan lupa oleh-oleh buatku. Kain batik khas bali"
Ara menyungingkan senyumannya.
Pesan ketiga dari Dasta, sahabat terbaik Ara.
"Eh, coba kau bawakan dulu bule berbikini kemedan, Ra. Cocok kau rasa?
"Hahahahaha, kau kira bule berbikini itu mau dengan kau?" Ara langsung membalas pesan singkat itu segera.
Tak ada alasan baginya untuk berlama-lama membalas pesan singkat dari Dasta.
Kembali lagi Ara membuka pesan berikutnya.
Dari mama yang meminta oleh-oleh.
Dan berakhir pada pesan singkat berikutnya. Yang membuat raut wajahnya berubah.
Pesan dari Seno.
"Aku mohon, dengarkan penjelasanku, Ra! Angkat telponku"
Pesan berikutnya juga dari Seno
"Kenapa ponselmu tidak aktif?"
Pesan berikutnya
"Ra, besok pagi setelah kamu membaca pesan ini. Aku mohon balaslah pesanku ini"
Jemari Ara tergerak pada tulisan replay. Menyentuhnya.
Lalu merangkai kalimat yang tepat untuk dibalas.

*****
Medan, masih terlihat belum terang. Matahari masih enggan untuk muncul. Mendung di pagi hari sudah menjadi kebiasaan di Medan. Lalu tiba-tiba panas disiang hari dan hujan di mulai pada waktu senja dan berakhir setelah pukul delapan malam.
Seno, tidak bisa tidur. Memikirkan semuanya. Kebahagian yang dia peroleh dalam yang lama terhempas bebas pada waktu yang singkat.
Gejolak hati yang sebenarnya dia belum tahu kemana arah geraknya.
Ponselnya berdering tanda pesan singkat masuk. Dengan malas dia membuka ponselnya. Dan itu dari Ara.
Senang bukan kepalang Seno pagi itu. Wajahnya kembali cerah. Senyuman kecil mengembang dipipinya. Akhirnya, Ara membalas pesan singkatnya.
"Balas"
Seno tahu persis, balasan singkat ini. Seno tahu persis maksud dari pesan yang begitu singkat ini.
Seno langsung menghubungi Ara.
"Pagi, Ra!"
"Pagi, Sen!"
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Aku baru bangun tidur"
"Hehehe....dasar tukang tidur!" Seno mencoba mencairkan pembicaraan yang beku ini.
Ara tak bertanya balik
"Apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Ra, bisakah kamu mendengarkan aku sebentar. Mendengerkan penjelasanku"
Ara diam , mengangguk pelan. Seno mengerti tanda itu.
"Aku memilihnya karena dia mengatakan padaku tidak bisa hidup tanpaku. Aku tidak bisa membiarkan wanita lemah itu terkulai hanya tak bisa bersamaku"
Ara masih diam. Dan itu juga tanda bahwa Seno harus melanjutkan penjelasannya.
"Aku yakin seribu persen, kamu bisa hidup tanpaku. Wanita lemah itu kasian sekali. Tidak mempunyai teman. Hanya ada aku. Sedangkan kamu, tanpaku masih banyak teman yang bisa bersamamu. Ayu, Dasta, Ari dan Naomi. Mereka sahabat baikmu, kan!!"
Ara masih terdiam. Kali ini Seno tahu tandanya dia harus berhenti. Memberikan kesempatan Ara berbicara.
Ara masih diam. Airmatanya jatuh dari sudut mata. Air bening itu mengalir dengan suara yang tertahan. Ara menutup mulutnya. Mencoba untuk menetralkan suaranya. Dia tak ingin Seno tahu bahwa dia sedang menangis saat ini.
"Ra...!!!kamu masih disitukan?"
Ara mengangguk pelan. Tak ada gunanya, Seno tak melihat anggukan itu. Seno butuh suaranya. Butuh bicara dengannya.
Ara mengusap pipinya. Menyelesaikan tangisnya di menit kelima perbincangan satu orang itu.
"Terima kasih telah menganggapku mampu hidup tanpamu. Aku rasa itu benar" Ara melancarkan bicaranya.
"Aku tahu kamu kuat dan tegar. Akan ada pria yang lebih baik dan pantas untukmu"
Kembali Ara menangis. Airmatanya jatuh lagi kepipi yang masih lembab.
"Sen..terima kasih!"
"Ra, seharusnya aku yang meminta maaf padamu. Aku tak ada niat menyakitimu. Sumpah demi Tuhan, aku tak ingin kamu terluka"
"Terima kasih" Ara menahan suara tangisnya.
Membuncah sudah tangisnya. Seno mendengar. Dan itu membuat Seno tak kuasa menangis juga.
"Ra...aku minta maaf. Aku mencintaimu. Tapi, aku tak bisa meninggalkan wanita lemah itu. Dia rapuh"
Ara membiarkan suara tangis itu pecah. Bahkan bukan hanya dinding kamar yang tahu dia sedang menangis. Seno juga sudah mengetahuinya.
Dua menit berlalu, tangisan itu terhenti. Pintu kamar Seno berbunyi. Sebuah ketukan dari luar membuat tangisan itu sejenak menghilang.
"Seno.  Ada tamu. Anggun sudah datang"
Ara mendengar suara itu.
"Temui dia. Aku baik-baik saja. Kita masih bisa berteman"
Hal konyol yang pernah terucapkan oleh Ara. Mana mungkin dengan kekecewaan itu muncul mereka bisa menjadi teman.
"Bentar, Ma. Seno mandi dulu!"
Seno kembali ke ponselnya.
"Ra...maafkan aku. Setelah pembicaraan ini, bisakah kita bertemu?"
"Tidak"
Ini adalah kata tidak yang ditegaskan pertama kali yang terlontar dari bibir Ara selama mereka saling dekat. Ini bantahan pertama yang begitu menusuk hati Seno.
Perbincangan itu ditutup dengan mengucapkan terima kasih dan kata maaf.

****
Bali, Hotel Indah Bali.
Pandangan kosong mengarah jauh sampai ke Medan. Menembus dinding kamar hotel. Ara memandang hampa di semburat wallpaper ponselnya. Semua sudah berakhir. Pagi ini percakapan itu sudah membuktikan bahwa Seno telah memilih wanita bernama Anggun itu.
Ara membasuh wajahnya dengan air hangat. Menyikat giginya. Dan tanpa mandi, turun ke lobi. Menyewa sepeda motor. Lalu berkeliling Jimbaran sendirian. Menghabiskan kekecewaan yang sedang dihadapinya.
Hari yang indah.
Matahari selalu cerah di bali. Tidak pernah mendung. Angin pantai yang menyibak rambut. Suara deburan ombak.
Ini terlalu indah jika hanya dilihat dengan mata yang berair.
Ara masih menangis yang tertahan.
Ponselnya bergetar. Dasta menelponnya.
"Hoiiii.....!!!!lagi dimana kau?"
"Di hatimu" Ara segera menetralkan dirinya
"Hahahaha....apa yang kau cari disana?"
"Bule ganteng yang berewokan"
"Hahahahaha....kok kau ya. Jangan lupa bawa bule berbikini. Bisakan?"
"Hahahaha.....berani bayar berapa kau?"
"Hahahaha....sampe kapan kau disana?"
"Seminggu!"
"Enak kali kau ya!"
Awalnys Dasta tidak tahu menahu tentang prihal liburan singkat Ara ke Bali. Akhirnya, Ara tidak tahan tidak memberitahukannya. Ara sempat menyembunyikan kepergian ini dari Dasta. Mendadak. Hanya akan membuat dia bertanya-tanya saja.
Ara tertawa riang mendengarkan lelucon Dasta. Wajahnya kembali cerah. Airmatanya sempurna menghilang.
"Bukankah hidup ini menyenangkan!" Kata Ara di akhir perbincangan.
"Akh...sok paten kali kau. Hahahhaha"
"Hahahaha"
Ara bersiap-siap kembali mengitari Jimbaran dan langsung ke pantai Blue Point untuk memandang sunset.