Rabu, 01 Juni 2016

Si Pengecut

"Kau kira hubungan kita ini lelucon. Sehingga kau melibatkannya kedalam tulisanmu"
Danang berteriak di dalam ruang kerjaku.
Aku tak peduli. Mataku masih fokus kelayar laptop. Pikiranku masih berkutat menyatukan kata-kata menjadi kalimat. Aku masih tidak peduli.
Danang terdiam sejenak. Melihatku mengacuhkannya. Tak memperdulikan kalimatnya.
"Kau kejam. Kukira kisah ini akan menjadi sakral. Tanpa turut kau sebar luaskan ke seluruh dunia"
Aku masih mendiamkannya.
"Dengarkan aku. Aku tidak setuju dengan tulisanmu kali ini. Kau memojokkan aku sebagi seorang penjahat dalam cerita itu. Semua orang tahu, siapa yang kau maksud. Kau terlalu kejam menilaiku seperti itu. Kau kejam sekali"
Aku mulai terganggu dengan kata kejam itu. Sejak kapan aku menjadi kejam pikirku. Aku meng-ctrl-S fileku. Menyimpan tulisanku di folder untuk aku jadikan tulisan yang ada dibuku.
Aku bangkit dari dudukku. Membalikkan tubuhku. Menghadap Danang yang masih berdiri murka melihatku. Ku tarik nafaku pelan dan menghembuskannya. Melepaskan kacamataku.
"Danang Trimukti. Siapa yang memulai kekejaman ini. Siapa?" Tanyaku dengan suara sehalus mungkin. Aku tak ingin terlihat emosi atas kejadian ini.
Danang terdiam. Dia tak tahu harus menjawab apa. Matanya masih memandangku berapi-api.
"Kau tahu Danang. Bagaimana rasanya kecewa diriku terhadap orang yang selalu bilang sayang padaku, selalu menyemangatiku, selalu menarik tanganku ketika aku terjatuh, selalu memuji tulisanku. Ketika aku mendengar langsung dari mulut itu, mulut manismu. Dibelakangku, kau menghina semua tulisanku. Aku masih ingat itu Danang. Apa kau lupa?"
Mata Danang melotot, mencoba mengingat kapan itu terjadi.
"Dua tahun yang lalu"
Danang masih berpikir.
"Di sebuah kafe, kau berkumpul dengan teman-temanmu. Kau merasa bangga memiliki kekasihku. Lalu memperlihatkan karya tulisanku ke teman-temanmu. Namun, teman-temanmu malah menghina karyaku. Aku mengira kau akan membelaku. Ternyata, ternyata....begitu terkejutnya aku ketika kau mengatakan aku ini aneh, karyaku itu sebenarnya jelek, kau terpaksa menjalin hubungan ini denganku. Kau kira aku akan murka terhadapmu. Tidak....kau salah Danang. Itu cambuk bagiku, cambuk penyemangat untukku. Mana mungkin aku akan membencimu, seharusnya aku berterima kasih padamu. Karena hal itu, buku pertamaku terbit"
Mata Danang yang melotot, kini terpejam. Dia baru teringat hal itu. Dua tahun yang lalu ketika hubungan aku dan Danang baru berumur setahun.
"Sekarang kau bilang aku kejam. Bukankah perbuatanmu lebih menjijikkan dari kata kejam. Kau memuji segalanya yang ada padaku. Tapi, tapi....dibelakangku kau dengan ringan menghinaku, menjelek-jelekkanku "
Aku duduk kembali. Membuka kembali laptopku. Cahaya layar laptopku berpendar.
"Aku minta maaf!" Suara Danang bergetar
"Mengapa kau tak memahariku?"
"Tak ada hakku untuk memarahimu, Danang!"
"Tapi aku mencintaimu. Menerima segala keanehanmu. Aku tak ingin hubungan kita ini sebagai lelucon dalam tulisanmu"
Suara Danang sudah mereda. Lembut. Serak menahan emosi yang tertekan.
"Jika kau mencintaku. Jika kau menerima segala keanehanku. Mengapa kau tak ingin memilikiku?"
Pertanyaan itu membuat gelegar didalam diri Danang. Kembali dia mematung. Berdiri menengang. Pertanyaanku menyambar bagaikan badai taifuu.
Aku mulai mengetik kalimat berikutnya. Suasana lengang. Danang berhenti bicara. Aku menyalakan musik klasik dengan volume rendah. Musik itu pas sekali dengan suasana malam ini.
"Sheera, dengarkan aku!"
"Aku sudah mendengarkanmu sedari tadi, Danang"
"Ma...ma....maukah kau me....me...nikah denganku"
Aku menghentikan tulisanku. Aku kira kata-kata yang terindah itu akan membuat hatiku bergetar. Ternyata tidak untuk saat ini. Aku semakin dingin. Tak berasa. Yang ada malam ini hanya pertengkaran bodoh atas pemikiran konyol Danang. Begitu sempit.
"Bahkan kata-kata yang paling aku nantikan selama 3 tahun ini begitu datar"
Danang kembali terdiam. Berpikir kembali. Mencoba meluluhlantahkan hatiku yang keras. Tapi, itu sia-sia. Aku masih dingin manatap layar laptopku.
Aku mulai muak atas setiap pancingan-pancingan yang aku buat. Selalu terlambat dalam merespon. Selalu begitu.
Jika ingin Danang tahu, aku sangat mencintainya. Sejak pertama obrolan itu dimulai. Ketika aku mulai terjatuh dia datang membangkitkanku. Ketika aku mulai lelah dengan keadaan dia menyemangatiku. Namun, sekarang berbeda. Mungkin karena aku terlalu mencintainya dan bergantung padanya.
Malam yang senyap hanya terdengar suara biola dalam instrumen musik klasik.
"Aku pulang!"
Danang akhirnya menyerah. Selama terdiam dia berpikir panjang untuk tidak memperpanjang hal yang sepele ini.
Danang keluar apartemenku. Aku memasang headset dan melanjutkan tulisanku.
Sebuah getaran dari ponselku.
Aku membukanya, ternyata pesan singkat dari Danang.
"Aku serius tentang perkataanku tadi. Aku mencintaimu. Ingin menikah denganmu"
Aku tahu dari dulu Danang tetaplah seorang yang pengecut. Dia tidak berani membelaku ketika karyaku di olok-olok oleh teman-temannya. Karena dia takut jika dia membelaku maka teman-temannya akan menjauh.
Bahkan sampai malam ini, ketika dia ingin mengajak aku menikah. Hanya kata-kata terbata-bata yang terucap dalam mulutnya. Seperti tidak memiliki keyakinan dalam dirinya untuk memilikiku. Dan pada akhirnya, dengan lancar dia mengetik melalui pesan singkat "aku ingin menikah denganmu".
Aku tak membalas pesan singkat itu. Aku mengabaikannya. Aku tak ingin berurusan dengan masalah ini. Biarkan aku berfokus di buku ketigaku ini.
Sipengecut tetaplah pengecut. Dia tidak akan berubah, kecuali keadaan yang mendesak. Seperti malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar