Rabu, 08 Juni 2016

The Last Place On Your Space

- terkadang perjuangan itu sudah sampai pada saatnya menyerah -
Hari yang cerah. Para siswa sudah berbaris rapi dilapangan. Menunggu musik senam diputar. Ada beberapa yang berlari terburu-buru termasuk aku. Meletakkan tas dipelataran depan kelasku. Langsung masuk kebarisan paling belakang.
Disebelahku, seseorang yang aku rindukan. Aris. Dia pangkas rambut. Aku terkejut. Mimpiku beberapa hari yang lalu ternyata bisa menajdi nyata.
Aku tersenyum kepadanya. Wajahnya jutek. Aku diam tak ingin bertanya. Mungkin dia sedang kesal. Sudahlah pikirku.
Selesai senam, kami kembali baris didepan kelas masing-masing. Aku masih memandang Aris dengan wajah juteknya.
Mungkin dia masih kesal.
Pelajaran Matematikanya semakin rumit. Kepalaku semakin pusing. Bahkan gara-gara kejadian tadi pagi aku menjadi badmood.
Saat dikantinpun, Aris tetap diam. Malah yang cerewet si Cakra. Yang asyik ketawa terbahak-bahak.
Ingin mendekat, bertanya. Nanti pasti aku dicuekin lagi. Aku menarik diri kembali kekelas. Tidak bergabung dengan mereka. Apalagi sejak persahabatan kami bubar. Cakralah yang menerimaku sebagai anggota geng baru mereka.
Dikelas juga suntuk. Sesekali Agi menjahiliku. Menarik kuncir kudaku. Sesekali memperhatikan apa yang aku tulis. Dan sejak itulah aku mulai menutup diri mengenai perasaanku.
Aku mulai menulis perasaanku lewat puisi. Dan puisi puisi itu masih tersimpan di buku catatanku ketika SMP dulu yang sudah kutulis ulang di buku harianku.
Hari-hari yang begitu kaku bagiku.
Mungkin ini akhir dari masa muda yang aku bilang menyenangkan itu.
Tiba-tiba Aris datang ke kelas. Aku salah tingkah.
"Disini ada orang?"
"Gak"
Aku terdiam. Aris duduk disebelahku. Pemandangan ini sudah biasa. Karena ketika kami sekelas dulu, Aris juga sering duduk bersamaku. Mereka pikir kami adalah sepasang sahabat.
"Aku pusing. Berantam sama ayahku. Benci kali aku"
Aku diam, membiarkan Aris bercerita.
"Gak banyaknya mintaku. Belikan motor satu. Aku kan uda besar. Uda umur 14 tahun"
Aku masih diam
"Pengen kali aku kabur dari rumah"
Aris memaki.
Aku masih diam. Sampai akhirnya, Aris menundukkan kepalanya. Aku mengusap rambutnya. Wangi shampoonya aku suka sekali. Harum dan segar.
Saat itu aku masih berumur 13 tahun, aku tidak mengerti harus memberikan nasehat apa. Aku hanya bisa mengusap-ngusap rambutnya.
"Ajarin aku belajar" kata Aris yang masih menundukkan kepalanya.
Aku terkejut dengan pernyataannya itu.
"Kenapa?"
"Aku mau beli motor. Daripada aku mencuri, aku bunuh orang. Mending aku belajar"
Aku tersenyum.
"Iya nanti aku ajarin. Kalau ada PR kita kerjakan bersama"
"Iya"
Bel sekolah berbunyi. Tanda masuk kekelas.
Aris keluar kelas. Susan melirik kearahku.
Aku tersenyum pada Susan.
Susan bergidik.
Tenang saja, harimau itu akan jinak samaku. Sombongku.
Hari-hari terbebas dari kerinduan. Setiap pulang sekolah kami selalu terlambat. Aku mengajarkan Aris mengerjakan semua PRnya. Aris terbantu.
Beberapa hari berlalu sampai pada batas waktu yang terlalu singkat. Aris mulai bosan. Padahal aku sudah sekuat tenaga untuk selalu menyemangatinya. Selalu membicarakan mimpinya yang ingin jadi polisi. Mempopulerkan bandnya. Sekaligus menjadi pembalap liar nomor satu di daerahnya. Namun, itu tersia-sia sudah.
Aris tiba-tiba marah. Emosinya tinggi. Tidak mau diganggu. Bahkan ketika aku mendekat Aris marah besar. Itu aku tidak suka. Dibentak-bentak dengan nada tinggi.
Aku malu. Aku menghindar. Aku tidak mau menolongnya lagi.
"Keegoisanku adalah ketika aku berpikir bisa mengubah harimau menjadi kucing rumah yang jinak, San" aku termenung.
"Sudah kubilang. Dia itu keras kepala. Emosian"
"Iya aku tahu"
"Kamu tahu, ketika masih di SMP lamanya. Nindi juga dibuatnya seperti ini. Dibuat senang dengan pesona cowok populernya. Yang cool, tapi Nindi di marah-marahinnya di depan umum. Nindi malu. Makanya dia pindah kesini"
Aku tercengang mendegar cerita Susan. Aku baru tahu hal itu.
"Sudahlah , Je. Mending kamu sama Hardi. Setiap hari dia memandang mu dari jauh. Tidak mungkinkan kamu menerima Agi. Walaupun jahil begitu, dia diam-diam juga menyukaimu. Ternyata banyak juga penggemar rahasiamu ya. Hahahahaha. Aku kira hanya si Nindi saja"
Aku tidak tahu alasan mereka menyukaiku. Sampai sekarang aku tidak pernah bertanya kepada mereka. Pernah sih ingin bertanya kepada mereka, tapi yasudahlah. Itulah masa muda mereka menyimpan perasaan dalam diam.
Hardi, kata itu menjadi pertimbanganku. Hardi duduk sebaris denganku. Tapi, aku tidak pernah merasa Hardi mencuri-curi pandang padaku. Karena aku penasaran. Aku sengaja memandang Hardi.
Benar, Hardi sedang memandangku. Mata kami saling tatap. Aku langsung melempar pandanganku ketempat lain.
Dulu, katanya ketika kita sedang memandang seseorang secara diam-diam lalu orang yang kita pandangi melihat balik. Itulah chemistri.
Entahlah....
Hardi mulai memberanikan diri untuk menghampiri mejaku.
" Boleh Pinjem catatan agama" tanyanya yang bertubuh kekar, berambut keriting, berkulit gelap. Ternyata senyumnya Hardi manis juga.
"Eh..bisa. Tunggu ya!" Aku mengambil buku catatan agamaku.
Hubunganku dengan Hardi sebelumnya biasa saja. Kami jarang mengobrol. Paling juga mengobrol ketika ada acara hari besar agama. Atau pernah aku sepiket dengannya. Dia selalu mengerjakan seluruh tugas menyapuku. Dan aku mulai tersadar. Hardi selama ini selalu disekitarku. Namun, aku tidak menyadarinya.
Ketika acara besar agama kemarin, dia juga ikut tim nasyid sekolah. Ketika aku memegang kerincing, Hardi memedang gendang yang berada disebelahku. Ketika aku piket, dia selalu membiarkan aku pulang duluan. Dia selalu kena ikut hukuman ketika PR tidak selesai.
Ya Ampun, ternyata Hardi begitu. Aku melihat kearah Hardi.
Ternyata Hardi baik sekali. Tidak aku lihat itu semua. Tertutup oleh pesonanya Aris.
Hardi mengajakku pulang bersama. Aku mengiyakannya.
"Kamu sudah putus ya sama Aris?"
"Putus?"
"Iya"
"Kami gak pacaran"
Aku malas mengakuinya menjadi pacar. Lagian hubungan kami rahasia. Tidak ada yang tahu.
"Oh...jadi kok dekat banget"
"Kami sahabat"
"Oh..." Hardi terdiam.
Lebih banyak diamnya, daripada ngobrol. Mungkin Hardi malu. Entahlah, biarlah Hardi yang merasakan kesenangannya sendiri ketika berada didekatku.
Simpang rumah Hardi kelihatan. Hardi pamit duluan. Aku mengangguk. Hardi yang canggung, itu yang membuat dia unik.
Pernah dia bercerita ketika sewaktu kecil.
"Waktu itu ada iklan di tv"
"Iklan apa?" Tanyaku
"Iklan pembalut wanita. Jadi, aku tanya sama ibuku. Itu iklan apa. Lalu dijawab ibuku iklan permen"
"Hahahahahahha....iklan permen" aku terbahak-bahak mendengar cerita lucunya.
Bagaimana pembalut wanita bisa dijadikan permen.
Hardi walaupun pendiam seperti itu, dia selalu bisa membuatku tertawa terbahak-bahak karena leluconya.
Tapi, rasanya beda dengan Aris.
Ketika aku berada didekat Aris, aku merasa nyaman. Tulus. Seperti seorang anak yang ingin diperhatikan.
Akhir-akhir ini aku sering pulang bareng dengan Hardi. Dan itu tercium oleh geng Cakra.
Cakra menarik paksa aku kekantin.
"Liat itu, liat!" Cakra menunjuk Aris yang sedang tertidur malas di meja kantin.
"Kok kamu malah jalan sama Hardi" Cakra mengoyang-goyangakn pundakku.
"Cak...aku masih kesal sama dia. Tingkahnya aku gak suka. Dia. Marahin aku. Jangan-jangan sebentar lagi dia bisa saja memukul aku"
"Je, sekarang kamu liat apa yang terjadi sama dia"
"Udahlah Cak. Biarkan dia sendiri. Aku udah berusaha untuk menjadi terbaik. Tapi, ternyata emosinya saja yang dipakai"
"Kamu menyerah"
"Iya" aku mengangguk.
Aku juga tidak tahu hubungan kami seperti apa.
Bisa jadi kami hanya sekedar sahabat. Hanya sekedar teman. Dan aku mungkin hanya dijadikan tempat terakhir di kekosongannya.
Maka itulah, aku memberi judul cerita ini "the last place on your space"
Aku mengundurkan diri dari Geng Cakra. Aku mau berfokus belajar.
Sekarabg aku sudah kelas tiga. Waktuku tak banyak untuk memikirkan Aris.
Aku sudah berusaha membuatnya menjadi lebih baik. Ternyata dia marah kepadaku, ketika aku memberi perhatian lebih.
Mungkin aku yang belum memahaminya atau mungkin juga aku terlalu dini untuk memikirkan hal ini.
Hari-hari aku habiskan belajar dengan Susan dan Nindi. Sedangkan Nina menjauh bersama Rinne.
"Ini kok bisa gini sih?" Tanyaku menggaruk-garuk kepalaku.
"Hahahaha...inikan ada contohnya, Je" tunjuk Nindi.
"Oh. Iya..ya" aku mencatat jawaban sesuai dengan contoh.
Belajarku berjalan lancar. Bermain dengan Nindi dan Susan. Menjauh dari geng Cakra.
Fokus belajar itu lebih baik, sekaligus membatuku menjauhi Aris. Sekarang bukan masalah aku tidak perduli lagi padanya. Hanya saja, aku sudah mulai lelah dengan tingkahnya yang selalu ingin diperhatikan, setelah diperhatikan malah marah-marah. Aneh kan!!!
Menurut gosip yang beredar, sekarang Aris sedang dekat dengan kakak kelasku waktu SMP. Sekarang dia sedang bersekolah diluar kota. Wanita tionghoa itu berhasil ditaklukan oleh Aris. Gosip itu beredar cepat. Bahkan langsung disambar oleh Susan.
"Benarkan ,Je. Dia itu hanya pria nakal. Mungkin saat dekat denganmu dia juga dekat dengan orang lain"
Mulai Susan berceramah lagi. Seperti nenek-nenek kali ini.
Waktu begitu cepat berlalu. Ujian akhir semester ganjilpun tiba.
Semuanya sibuk belajar. Dan belajar.
Namun, malam sebelum ujian akhir semester ganjil tiba. Aris menelponku.
Sejak ada telpon dirumahku, ini sangat membantu bagiku.
"Lusa aku ulang tahun. Bisa datang kerumah. Cakra dan Sapta juga ada. Nanti aku jemput kerumah"
Nafasku tercekat. Aku diam sejenak. Aris mengajakku ke pesta ulang tahunnya. Aku bingung harus jawab apa. Aku tahu itu malam minggu. Tapi, di masa ujian. Mana mungkin bisa aku datang ke acara spesial itu.
Aku masih ingat, ketika di dalam kelas. Aku dan Aris sedang berbincang-bincang mengenai hari ulang tahun. Lalu aku bertanya.
"Kamu mau kado apa?"
"Aku mau kado kaset PADi terbaru. Aku suka lagu-lagunya"
"Owh..." aku tersenyum.
Mulai saat itu aku mengumpulkan uang jajanku untuk membeli kaset PADI. Zaman itu belum ada MP3 maupun bisa download gratis melalui internet seperti sekarang ini.
Dan hari itupun tiba, aku belum membeli kasetnya. Bukan lupa, tapi sebelum aku memberikannya.
"Kaya' nya aku gak bisa Ris. Ini masih masa ujian"
"Kamu selalu gitu, selalu gak ada buat aku. Belajar...belajar...terus. kamu liat aku gak belajar juga naik kelas. Aku yakin, bahkan aku gak belajar. Aku lulus SMP"
Aku tidak senang dengan nada sepelenya itu. Aku kesal sekali. Aku menutup telponnya. Tidak peduli lagi apa dia akan marah atau tidak. Aku harus menjauhinya.
Tersadar kadang aku berpikir, dari sisi apa aku terpesona padanya. Begitulah, setiap kali bertengkar.
Jika sudah kembali seperti semula, semua akan baik-baik saja.
Aku menjadi merasa aneh. Sebenarnya perasaan apa ini.
Gosip yang beredar tentang dia dekat dengan kakak kelasku dulu, itu hanya benar-benar tidak nyata.
Aku merenungkan diri. Apa yang harus aku lakukan. Seharusnya aku berbahagia dimasa mudaku.
Jalanku masih panjang. Hanya untuk memikirkan Aris yang selalu marah-marah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar