Selasa, 07 Juni 2016

The Last Place on Your Space

- Murid pindahan itu, menguncang hatiku pada saat pandangan pertama -
Aku sangat menyukai novel. Apapun itu jenisnya, kecuali horor. Bahkan aku ingin sekali memiliki novel sendiri, karanganku. Tapi, mustahil bagiku. Karena setiap kali aku menulis di blog tak ada seorangpun yang membaca.
Jikapun ada yang membaca itu hanya aku yang menyuruhnya membaca.
Sekarang sudah tahun 2016. Aku masih tetap menjadi seorang anak perempuan yang aneh.
Anak perempuan yang begitu menyukai anime dan hal-hal yang barbau jepang.
Pernah aku berkeinginan untuk menulis tentang sebuah hubungan pasangan seorang insan yang sedang berada dijepang.
Namun hasilnya tulisanku itu tidak selesai. Aku juga belum pernah kejepang. Bagaimana aku bisa membayangkan jepang itu seperti apa.
Aku rebahkan tubuhku, setelah lelah seharian mencari novel. Akhirnya aku mendapatkan sebuah buku yang 14 tahun yang lalu aku inginkan.
Maka dari situlah, aku mulai membuka album fotoku yang tercetak di dalam album kenangan masa mudaku ketika SMP dulu.
Lalu, mencari buku harianku yang penuh dengan seseorang yang bernama Aris.
Dialah cinta pertamaku, kurasa begitu.
Dia yang memberikan senang, kerisauan, kerinduan, kecemburuan bahkan sakit hati yang mendalam.
Namun, aku bingung harus mulai darimana. Mungkin lebih baik memulai dengan kata Aku.
Baiklah,
Aku, saat itu duduk dikelas 2 SMP. Sejak saat itu untuk pertama kalinya aku melihat ada seorang pria sekeren Aris, murid pindahan dari sekolah sebelah sekolahku.
Ini sangat mustahilkan. Begitu mustahil bagiku. Dia takdirku saat itu. Bagaimana bisa, ternyata aku dan Aris pernah satu TK bersama. Itu terbukti ketika seorang teman sekelasku bernama Santos menunjukkan foto bersama ketika kami TK dulu. Disitu ada fotoku, dan dibelakang fotoku ada foto seseorang yang akan aku ceritakan disini. Aris.
Senyumku mengembang, mungkin ini sudah takdir kami untuk bertemu lagi.
Aris memperkenalkan dirinya didepan kelas. Anak laki-laki yang memiliki tinggi 165 cm, berkulit cokelat tua lebih kehitam sih. Dengan logat pesisir yang khas. Dia begitu membiusku yang sedang duduk di bangku nomor dua bersama Vina.
Sekolahku adalah sekolah yang mayoritasnya adalah orang-orang keturunan tionghua. Aku dan beberapa teman yang lainnya hanyalah minoritas.
Setelah Aris memperkenalkan dirinya, Dia langsung duduk dibangku paling belakang bersama teman ketika SDnya dahulu.
Oh ya, sekolah ku adalah sebuah yayasan yang didalamnya ada TK, SD, SMP dan saat aku masih SMP itu mereka sedang membangun kelas untuk SMA.
Baiklah....
Sekolahku menjadi menyenangkan saat ini. Walaupun pada akhirnya, Aku dan Aris tidak sekelas. Aku berada di kelas A dan Aris kelas B. Kebersamaan kami di kelas A tidak bertahan lama. Pembagian kelas karena murid kami sudah terlalu banyak.
Untuk pertama kalinya aku berkenalan dengan Aris ketika pelajaran Agama.
Aku bersama sahabatku, Nina dan Nindi menuju kantin. Saat itu kami belajar agama di kantin. Atau mencari kelas kosong ketika pelajaran olahraga sedang berlangsung. Atau tukaran kelas dengan agama lain.
Disaat inilah kami berkenalan, setelah seminggu saling tersenyum tanpa saling menyapa.
Nina dan Nindi duduk berdua. Disana juga ada Fiki dan Mai. Lalu, aku duduk sendirian. Biasanya aku duduk bersama Nina atau Nindi.
"Disini kosong?" Tanya Aris menghampiri bangkuku
"Eh..iya"
"Boleh duduk sini?"
"Eh...boleh" napasku tercekat, rasanya aku malu sekali, mukaku berasa panas.
Pelajaran agamapun dimulai. Duduk bersama kami tidak diperbolehkan. Guru Agama kami marah-marah. Mengatakan laki-laki dan perempuan dilarang duduk bersama-sama.
Hatiku melongos saat itu. Kesenangan ini hanya sementara.
Setelah selesai pelajaran Agama, Aris mendatangiku lagi di bangkuku. Kali ini, aku dan teman-teman yang lain sudah kembali kekelas kami.
"Hei, kita belum kenalan!" Kata Aris masih berdiri disebelah bangkuku.
"Ya, ampun Ris. Jangan sok keren gitu deh!" Kata Nindi, yang merupakan teman sekelasnya ketika SMP dahulu.
Namun, Nindi terlebih dahulu pindah kesekolahku. Setahun kemudian Aris menyusul. Dan akan ada murid baru lagi setelah Aris, yang akan mengisi kisah ini.
"Hehehe...Nin. aku juga pengen kenalan sama dia" logat kental pesisirnya itu membuatku sedikit tergelitik.
Sepertinya aku harus mengenalnya lebih jauh.
"Dia itu anaknya buk Tati, guru matematika di sekolah kita dulu"
"Eh, masa' sih? Bener ya?" Aris bertanya padaku.
"Iya" aku tersenyum
"Benerkan!" Kata Nindi sambil tertawa.
Ketika ini sepertinya aku harus memutar lagu sheila on 7 satu album untuk mengingat kembali semua kejadian manis ketika disekolah dulu, ketika masa mudaku berlangsung sangat ekstrim.
Akhirnya, Aris mengetahui namaku. Dia mengatakan namaku unik. Terdiri dari dua huruf. Dan mudah diingat, dan mungkin hanya akulah satu-satunya memiliki nama seperti ini di dunia.
Dan akupun mulai dekat dengan Aris.
Setiap istirahat sekolah, Aris selalu saja ikut "nimbrung" bersama kami. Aku , Nina, Nindi, Susan dan Rinne biasanya kami akan berbincng enak di dalam kelas. Mengenai apa saja, dan Aris terkadang suka tertawa sendiri melihat tingkah kami. Aris sebenarnya sudah banyak temannya. Teman-teman SMP ini hampir semuanya adalah teman SDnya. Bahkan ketika aku singgung masalah aku dan Aris pernah satu TK , dia amat terkejut.
"Makanya, aku sempat berpikir kalau nama kamu itu gak asing" Aris mengingat masa lalunya ketika TK
"Eh, ingat ya. Aku juga baru tahu. Santos yang memberitahuku beberapa hari yang lalu"
"Oh....tunggu dulu aku coba ingat ya. Hahahaha, kami sering ngompolkan waktu TK. Karena takut main jungkat-jungkit"
Akh sial banget, Aris cuma ingat bagian itu dimasa TK. Tapi, sebenarnya juga aku tidak ingat Aris waktu TK. Aku hanya ingat Feni dan OA ( ini akan aku ceritakan juga dikisahku yang lain ). Mereka berdua sahabat waktu TK-ku.
"Hahahaha....." semua tertawa ketika Aris menceritakan itu.
"Haduh, jangan buat malu deh"
"Ya, Ampun Je. Setomboy ini takut jungkat-jungkit" Nina mengejekku
Disahut dengan Susan.
"Hahahaha...aku malah senang main jungkat-jungkit"
Saat itu aku jadi bahan tertawaan mereka. Tapi, bagiku ini indah. Membuat sahabat-sahabatku tertawa. Rasanya masa mudaku tidak begitu kaku. Namun pada akhirnya semua itu akan terasa kaku.
Hari berganti hari, Aris semakin akrab denganku. Aris tidak segan-segan untuk duduk disebelahlu. Kaki kami terkadang saling beradu. Dadaku mau copot rasanya. Duduknya terlalu dekat, sampai aku bisa merasakan bulu kakinya menyentuk kulit betisku.
"Nanti pulang bareng, yuk!" Ajaknya
"Eh...bukannya setiap hari kamu di jemput?"
"Selama seminggu ini , supirnya pulang kampung"
"Kenapa gak ngajak yang lain?" Tanyaku deg-degan.
"Yang searah pulangnya, kan cuma kamu. Nina rumahnya didepan sekolah. Nindi malah jalurnya berbeda. Susan dan Rinne naik bus sekolah"
"Maksud aku sama cowok gitu"
"Mana asik pulang bareng cowo, ga ada deg-degannya"
Nah kan, aku benar-benar kembali kemasa lalu itu. Dimana aku sedang menyirami bunga-bunga indahnya perasaan cinta, kurasa.
Benar saja selama seminggu, aku dan Aris pulang bersama. Selalu ada percakapan menarik. Kami sama-sama menyukai musik, terutama PADI, band yang paling populer di awal tahun 2000an.
"Lagu padi mana yang kamu suka?"Tanya disuatu siang kami sedang berjalan menuju pangkalan angkot.
"Aku suka semua, tapi baru-baru ini aku suka kasih tak sampai, sih"
"Loh, kok sama!"
"Akh, masa?"
"Iya, bener"
Kami berbincang lain hal lagi. Mengenai guru-guru yang killer. Mengenai musik lagi. Dan akhirny jarak antara sekolah dengan pangkalan angkot begitu sangat dekat. Kebersamaan ini , selalu di akhiri dengan lambaian tangan.
Mulailah, aku mencari persamaan-persamaan antara dan Aris.
Begitu banyak sekali persamaan.
Bisa saja, aku dan dia merupakan anak tertua. Menyukai lagu yang sama. Dan pada saat itu hanya itu yang aku dapat.
Bukankah ini peluang besar.
Entahlah...
Sebulan ini hubungan kami sangat dekat. Aku kira aku mulai menyukainya. Pikirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar