Selasa, 07 Juni 2016

The Last Place on Your Space

- kejahatan di waktu muda itu, memicu adrenalin. Dan itu membuat perasaanku buta -
Kedekatanku sangat kurahasiakan kepada sahabat-sahabatku. Yang mereka tahu aku dan Aris hanya sebatas teman biasa. Padahal aku dan Aris sering pulang bersama.
"Eh nanti ada rapat osis tentang perpisahan kakak kelas, jangan lupa!" Kata kak Paulin.
Nina, Nindi dan Susan saling memandang lalu mengangguk.
"Jam berapa?"
"Jam ke 7 dan 8"
"Pas pelajaran Agama" Nina kesenangan.
Lagian guru agama kami tidak datang. Kelas sudah dipastikan ribut. Lain halnya aku dengan Aris. Kami memanfaatkan dua jam ini untuk saling mengobrol.
Karena hari ini dan berikutnya kami tidak akan bisa pulang bersama lagi.
Kami mulai mengobrol tentang apa saja. Sampai pada pertanyaan Aris yang membuat aku salah tingkah.
"Je, sekarang kamu punya pacar ga?"
"Gak punya"
"Masa' sih. Gak percaya"
"Iya beneran. Kalau aku pacaran ayahku pasti marah besar"
"Oh...iya..iya"
"Jadi, kalau aku bilang mau jadi pacarmu. Berarti aku pacar pertamamu lah ya"
Ya ampun, mukaku panas sekali. Gerah. Entah karena cuacanya yang panas atau perkataan Aris yang membuatku begitu panas. Dadaku deg-degan. Jantungku berpacu begitu cepat. Ya Ampun aku belum siap untuk menjawabnya. Apa yang harus aku lakukan. Tanganku, yak henti-hentinya menggoyang-goyangkan pulpen. Cepat sekali, bahkan lebih cepat dari kilat.
Aku terdiam menunduk.
"Kenapa?" Tanyanya
"Kenapa kami begitu blak-blakan sekali. Aku bingung. Itu bercanda atau serius?"
"Aku serius bertanyanya"
"Bukan soal bertanyanya. Tapi, soal pernyataan terakhirmu"
"Oh...itu, memangnya kenapa?"
"Gak apa-apa!" Kataku sambil menelan ludah.
Ya ampun, apakah aku sudah jadian atau belum. Tapi, aku tidak mau ke GR-an secepat itu. Aku tidak mau.
Kepada siapa aku bercerita saat ini. Tidak mungkin kepada sahabatku. Palingan juga mereka tidak akan percaya. Terutama Nindi, dia tidak akan setuju. Dia tahu betul tingkah Aris di sekolah lamanya dulu. Yang aku tahu dia suka menjahili anak perempuan, dan lebih parah lagi dia seorang playboy.
Saat itu aku merahasiakan segalanya dari sahabat-sahabatku.
Saat itulah, aku mulai menulis di buku harianku. Aku menulis segalanya disana. Menulis apa saja tentang perasaanku. Curhat searah, sudah menjadi kebiasaanku sejak SMP.
Hari berganti hari, seorang murid bernama Cakra pindah lagi dari sekolah yang sama dengan Aris. Cakra yang lebih pendek, tingginya sepantaran dengan aku memiliki kulit yang lebih gelap dari Aris. Cakra sudah mengenal Aris sejak SD bahkan TK. Aku satu TK dengan Cakra , namun tidak sekelas.
Aku berkenalan dengan Cakra, begitu juga Nina dan Nindi. Susan dan Rinne tidak begitu tertarik dengan Cakra.
Bertambah lagi temanku. Akhirnya formasi terbaru kami adalah Aris, Aku, Nina, Sapta, Nindi, Cakra, Susan dan Rinne.
Tapi, setelah dekat dengan para anak laki-laki Susan dan Rinne sedikit menjauh dari kami.
"Kalian itu terlihat begitu akrab sama anak murid laki-laki. Awas, entar disangka ganjen"
Cecar Susan sewot.
"Kok gitu sih, San. Kami kan selalu ada buat kalian berdua" Nindi yang dewasa selalu memberi alasan yang damai.
"Tapi, kalian itu udah beda. Lebih banyak menghabiskan waktu bersama mereka. Tau sendirikan mereka itu murid-murid"
Susan mulai kesal.
"Liat kami apa bandel?"
"Memang gak sekarang, tapi itu bakalan terjadi"
Dan prediksi Susan memang benar. Aku, Nina, dan Nindi jadi begitu berubah.
Ketika pelajaran Agama, kali pertamanya kami membolos. Aris yang mempunyai ide gila ini. Aku, Nina, Nindi, Sapta dan Cakra serta Aris kumpul dimeja paling belakang. Merencanakan pembolosan kami. Tak tiknya cantik sekali. Awalnya Aris , Sapta dan Cakra memang sengaja tidak masuk kelas. Demi, menolong kami yang tidak ingin ternodai keteladanan kami sebagai murid. Mereka menunggu hingga satu les pelajaran sebelum usai di kantin sekolah.
"Kalian permisi saja, pura-pura kekamar mandi. Terus lari kekantin. Entar sebelum bel bunyi, kalian sudah balik lagi kekelas" begitu instruksi Aris.
Brilian bukan.
"Entar kalo ditanya dari mana. Jawab aja, dari WC setelah itu kalian dipanggil guru buat bantuin beresin buku di perpustakaan. Bereskan"
Kami hanya mengangguk-angguk takjim mendengar penjelasan Aris tentang misi bolos kami.
Guru agam belum datang, Aris, Sapta dan Cakra keluar kelas dan menuju kekantin. Sebelum benar-benar menghilang Aris berdiri disampingku.
"Kutunggu di kantin"
Ya ampun, hebat sekali kan. Pembolosan berencana. Kelakuan burukku untuk pertama kalinya. Dan itu berjalan sukses.
Sesampai dikantin kami membeli minuman es merah. Lalu mengadu cangkir.
"Tos"
"Misi pembolosan pertama berhasil" kata Cakra yang berada disamping Nindi.
Sapta di samping Nina dan aku sudah pasti berada disamping Aris.
Kami kadang-kadang tertawa mendengar candaan Cakra yang memiliki mata sayu. Terkadang juga tertawa mendengar kesombongan Sapta yang memang anak orang kaya. Dan aku selalu terkagum ketika Aris bercerita tentang Bandnya.
Masa muda yang indah bukan. Tak masalah seburuk apapun aku dimasa lalu, ini merupakan masa lalu yang indah bagiku. Tidak akan terlupakan.
Sekembali dari kelas, alasan kami tidak dicurigai oleh guru agama. Guru agama kami hanya menangguk dan begitu saja percaya.
Dan begitulah kenakalan pertama dan selanjutnya dimulai.
Susan mulai curiga dengan tingkah kami yang selalu permisi bertiga kekamar mandi. Selalu lama.
"Kalian, kok lama sekali sih dari kamar mandi"
"Ngantri, San" jawabku seadanya.
Susan memang paling cerewet. Dia seperti ibu-ibu. Sebegitu dewasanya Nindi, Susan lebih daripada Nindi. Mungkin level ekspret dewasanya. Sedangkan aku, jangan tanya. Tingkahku masih seperti bocah.
"Kalian jangan bohong. Aku dengar dari ibu kantin kalian sering bolos ketika pelajaran agama" Susan mulai mengintai.
Kami bertiga terdiam, aku , Nina dan Nindi. Sedangkan Rinne asik membaca majalah remaja yang baru saja dibeli Nindi.
"Je, nilai kamu paling tinggi itu agama. Seharusnya kamu pertahankan itu. Nina, kamu mau di usir dari rumah tantemu kalau mereka dengar langsung hal ini. Nindi, kamu iti berprestasi jangan buat masa mudamu yang gemilang ini hancur karena mereka"
Susan persis seperti ibu kami. Tapi, aku senang mempunyai sahabat seperti Susan. Perhatian dan selalu memberi pencerahan.
Kami bertiga masih terdiam. Berpikir dalam-dalam. Mungkin yang dikatakan susan itu benar.
"Jadi, aku mohon jauhi mereka" kata terakhir Susan tidak bisa kami terima. Mereka juga sahabat kami. Mana mungkin kami menjauhi mereka. Terutama aku, hei!!! Sahabat kalian ini sedang kasmaran bersama Aris. Tolong jangan di usik keindahan cerita ini. Ingin rasanya aku berteriak seperti itu.
Tapi, yasudahlah. Kami menurut perkataan Susan. Kami kembali seperti semula.
Namun tidak pada saat perpisahan anak kelas 3.
Suasana sekolah ramai. Beraneka macam baju. Untuk para penari memakai baju seragam. Ada juga beberapa berpakaian aneh untuk tampil drama sekolah. Kakak-kakak kelas yang berdandan cantik dan ganteng dan itu membuat hati Nina sedih.
Dia harus berpisah dengan salah satu idolanya, Alsan. Nina memang sedang dekat dengan Alsan saat itu.
Diam-diam Nina menyukai Alsan sejak kelas 1 SMP. Bahkan Nina sering curi-curi pandang ke arah Alsan ketika kami baris dilapangan.
Mungkin Nina merasakan hal yang sama aku rasalan terhadap Aris.
Berbicara Aris, dia tidak datang hari ini ke sekolah. Tidak mengikuti acara perpisahan. Padahal hari ini kami bebas. Tidak ada halangan untuk bertemu setelah Susan mengontrol pertemuan kami. Perasaanku tidak begitu menyenangkan. Padahal hari ini banyak wajah-wajah ceria karena tidak belajar.
"Eh ini ada surat" kata Cakra memberikanku secarik kertas, yang betuliskan.
"Bolos yuk, Je. Ajak Nina dan Nindi"
Itu surat dari Aris. Aku sembunyikan, takut ketauan Susan.
Aku mengguit bahu Nindi dan mengajaknya kekamar mandi. Aku menyerahkan secarik kertas itu kepada Nindi.
Nindi memandangku, dan aku mengangguk. Nindi setuju. Kami bolos sekolah.
"Nina, gimana?" Tanyaku
"Dia gak akan mau, apalagi hari terakhir perpisahan sama Alsen"
"Oh...iya..iya"
Aku dan Nindi segera kekelas mengambil tas secara diam-diam. Suasana kelas kosong tak seorangpun melihat. Tas kami lempar dari jendela sebelah kanan kelas yang langsung berhadapan dengan tembok setinggi 3 meter.
Cakra sudah menunggu didekat tembok itu, disitu juga ada Sapta, Arfino, Nikki dan Roni.
Hanya aku dan Nindi berdua perempuan yang ikut bolos saat itu.
Pertama, aku yang diangkat Cakra dan Sapta karena memang badanku saat itu sangat ringan sekali, 43 kilogram ( jangan tanya berapa berat badanku sekarang ). Lalu aku harus melangkahi tembok setinggi 3 meter, saat itu rok sekolahku pendek, sudah pasti aku sangat kesusahan. Tapi, tidak masalah ini memaju adrenalinku. Ternyata disebrang tembok sudah ada Aris.
"Lompat!" Katanya yang bersiap-siap menagkapku.
Huuuup!!!
Lompat, Aris dengan sigap menangkapku. Akhirnya kami sama-sama jatuh berdua.
Ya, ampun mukaku memerah lagi. Pandangan kami begitu dekat. Aku menimpai Aris. Agak lama, mungkin aku menikmati adegan ini atau memang kakiku yang susah di gerakkan.
Lalu menyusul, Sapta yang lompat. Melihat kami seperti ini. Sapta geleng kepala.
"Nantikan bisa, loh. Bantu dulu Nindi. Aku gak sanggup menampungnya sendiri"
Badan Nindi memang besar, bahkan badanyalah yang paling besar. Bukan gendut ya, hanya besar dan tinggi. Lebih tinggi daripadaku.
Aku malu ketika Sapta mengatakan hal itu.
"Nanti apanya?" Kata Aris segera membangkitkanku.
Sapta menyikut lengan Aris sambil tersenyum aneh.
Nindi lompat, dilanjutkan Cakra, Arfino, Nikki dan Ronni.
Kami meninggalkan sekolah dan menuju sebuah tempat yang kami namakan tempat rahasia.
Tempat biasanya mereka dan teman-teman mereka yang dari lain sekolah mengumpul. Sekedar menghabiskan beberapa obrolan tentang banyak hal.
Aku keluar ruangan, disitu pengap. Banyak asap-asap yang tersisa. Aris mengikutiku.
"Kenapa keluar?" Tanyanya
"Pengap banget didalam. Aku gak tahan"
"Yauda, diluar aja"
Aku dan Aris sedang memandang sebuah persawahan yang luas. Kami sedang berada disalah satu rumah teman mereka yang sudah tidak ditempati lagi.
Warnanya hijau, sangat hijau sekali. Pemandangan yang sejuk.
"Je...!" Panggil Aris pelan.
"Ya" sahutku sambil memandang wajahnya.
"Kamu gak malu berteman dengan aku?"
"Gak lah"
"Aku ini bandel, merokok, terkadang main judi kartu, brutal bahkan sering emosian" kata Aris yang duduk disebelahku.
"Gak malu kok" aku tersenyum padanya.
"Jadi, gak masalah kalau kita jadian?"
Aku terdiam sejenak. Aku tidak mengerti dengan kata jadian itu. Aku belum pernah mengalami kenangan-kenangan jadian itu.
"Maksudnya gimana?" Tanyaku polos.
"Malam minggu aku datang kerumah boleh, gak?"
Mataku terbelalak. Cowok , malam minggu datang kerumah. Apa kata ayahku nanti. Bisa-bisa aku kena gampar, mungkin bisa diusir.
"Em..." aku bingung menjelaskannya
"Gak boleh ya. Udah ada cowo lain yang datang ya?"
"Eh..gak..gak....kami tahu sendirikan ,Ris. Ayahku bagaimana. Dia gak suka kalau aku kedatangan cowo ke rumah. Bisa-bisa aku kena marah"
Aris terdiam. Aku juga terdiam.
Suasana lengang.
"Kalau gitu, disekolah saja. Kita backstreet"
Untuk pertama kalinya aku melakukan backstreet dengan Aris. Bahkan Nindipun tidak mengetahuinya.
Hubungan kami rahasia. Ini seperti drama taiwan yang tayang setelah 2 tahun kemudian judulnya Nine ball. Cerita, seorang berandalan menyukai gadis baik-baik. Dan orang tua si gadis melarang hubungan mereka. Akh...cukup tragis drama taiwannya pada saat itu.
Aku dan Aris kembali kedalam. Melihat Cakra yang sudah meler, disampingnya ada Nindi yang sedang mengipas-ngipas Cakra. Lalu, Sapta dan lainnya asyik dengan dunia mereka yang sedang ngefly.
Beginikah seorang anak-anak nakal itu. Aku melirik ke Aris.
"Kok kamu ga ikutan meler?" Bisikku pelan ketelinganya
"Gak mungkin didepan kamu. Aku juga harus punya harga diri donk didepan kamu" Aris berbalik berbisik.
"Hehehehe...terus kalau dibelakangku" aku hanya tersenyum senang.
"Itu lain cerita"
"Hehehehe"
Setidaknya Aris menghargai aku yang sedang berada disampingnya.
Pembolosan kami ini terdengar oles Susan. Aku dan Nindi disidang secara diam-diam. Tidak diketahui Nina dan Rinne.
Susan murka, dia marah besar
"Kalian berdua, pilih mana? Aku atau mereka?"
Mata Susan melotot.
Pilihan yang sulit. Ini cinta, dihalangi oleh sahabatku sendiri.
"Je, kamu itu kalau nilai ujian semester akhir nanti kamu tidak dapat kenaikan. Ingat, kamu jangan merengek-rengek kepadaku. Kamu juga, Nindi. Jika nilai kamu anjlok, kita tidak perlu berteman lagi. Aku tidak suka sahabatku sendiri jadi brandalan. Ngapain aja kalian di rumah itu?"
Aku dan Nindi hanya menunduk diam, saling pandang.
"Jangan-jangan kalian ketularan mereka. Apa coba kelebihan mereka? Gak ada kan? Mereka itu anak buangan dari sekolah sebelah. Mereka tidak bergu---na---!! Ingat itu"
Aku mulai gerah. Susan terus mengoceh. Introgasi ini begitu melelahkan.
Memang yang dikatakan Susan itu benar semua. Apa hebatnya mereka. Mereka hanya memberikan kesenangan sesaat, dan pada akhirnya aku dan Nindi mendapatkan hasil yang tidak memuaskan. Itulah yang terjadi.
Tapi, tidak dengan perasaanku. Ini benar-benar buta. Sudah hilang akal. Aku tidak menghiraukam Susan, aku mengikuti perasaanku.
Aku menyukai Aris, bagaimanapun bentuk dan tingkah Aris. Dia pesona bagiku. Lelaki keren, memegang gitar di Bandnya, penuh kharisma. Itu dulu yang aku lihat dari dirinya.
Pemimpin anggota yang super super hebat.
Aku menyukainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar