Senin, 25 September 2017

Sepatu Abing

"tapi sepatu ini kebesaran, mak!" Kata Abing melihat ukuran sepatu milik bapaknya yang sudah tidak muat lagi dan warna sudah berubah menjadi hitam keputih-putihan dan beberapa ada retakan halus disana.
"Tak apalah, Bing. Mamak rasa kau kelihatan ganteng kalau memakai sepatu milik bapak kau itu"
"Tapi Abing malu , mak"
"Lebih malu lagi kau tak punya sepatu. Maafkan mamak ya , Bing. Mamak belum bisa belikan sepatu buat kau, nak"
Abing mematung lama, masih protes untuk memakai sepatu bekas bapaknya itu. Abing tidak tahu bahwa sepatu itu pernah berjaya dimasanya. Sepatu semi kulit, berwarna hitam kilat. Setiap hari disemir oleh bapaknya yang baru saja diterima sebagai tukang bersih-bersih lahan yang penuh rumput.
"Selamat ya, Pak. Besok bapak diterima di perkebunan ini. Mulai besok berpakaian rapi dan bersepatu bagus ya , Pak. Karena besok direktur akan datang kesini"
Apa tidak senang betul, bapaknya baru diterima menjadi tukang bersih-bersih lahan. Disambut pulak oleh direktur perkebunan itu. Maka sore itu bapaknya menyibukkan mamak untuk ditemani ke pasar membeli sepatu semi kulit yang resmi, tak lupa pula membeli sekaleng semir beserta sikatnya.
"Pak, bapak itu cuma tukang bersih-bersih tak perlulah seresmi ini. Beli sepatu, mahal pulak. Lusa kita mau makan apa?" Keluh mamak yang sedang memilih sepatu untuk bapak dengan harga semurah-murahnya, agar lusa mereka masih bisa makan nasi.
"Kau tahu, Mak. Mandor Basar menyuruhku membeli sepatu bagus. Direktur mau datang. Kau lihat, suami kau ini baru diterima kerja jadi tukang bersih-bersih kebun saja disambut oleh direktur. Bukan main hebat suami kau ini, kan" bapak bangga sambil tertawa.
Mamak hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja, terlalu percaya diri sekali suaminya kali ini. Sepatu semi kulit itu akhirnya ditemukan pada toka barang bekas pakai. Dengan harga yang miring, dan dengan memikirkan resiko lusa tidak makan, mamak dengan berat hati mengeluarkan uang beberapa puluh ribuan dari dompet yang bertuliskan 'toko mas abadi jaya'.
Sesampai dirumah mamak mengomel sepanjang malam. Tak uruang Kak Asih terkena imbasnya, begitu pula bang Andeng dan Abing si bungsu terkena imbas paling sial. Sudah kena omelan mamak, kena lagi omelan si kakak dan berlanjut si abang juga tidak mau kalah. Akhirnua si bungsu yang malam tidur di dipan luar kamar bersama bapak yang memeluk kotak sepatu yang baru dibelinya.
Keesokan paginya, bapak lebih cepat bangun daripada ayam berkokok. Bahkan adzan juga belum berkumandang. Tidak seperti biasanya. Kali ini bapak bersujud lebih lama dan khusu. Abing yang masih terlelap dalam mimpinya yang tahun depan akan masuk SD. Andeng yang sudah tidak sabar menunggu hasil ujian lulus-lulusan. Dan Asih yang sedang menunggu hasil ujian beasiswa kuliahnya. Semua berharap kebaikan termasuk bapak. Sepertiga malam itu bapak bersujud syukur lebih dalam lagi. Ketika perekonomian keluarganya sedang dirudung masalah karena terlalu banyak biaya untuk dikeluarkan agar anak-anak tidak seperti dia hidupnya. Malam itu linangan air mata bapak begitu bening sekali, air mata ketulusan seorang bapak yang begitu menyanyangi anak-anaknya. Seorang bapak yang rela bekerja ditengah terik matahari, berlimpah keringat yang membasahi tubuhnya. Bapak yang lebih memilih pulang petang karena menggarap kebun orang daripada duduk di warung membicarakan politik dan ekonomi negeri ini. Bapak, ya bapak malam itu berdoa lebih panjang. Bersyukur ada pekerjaan layak untuk dia bisa bertahan menghidupi seluruh keluarganya.
Matahari sudah mulai terbit, warna jingga terlihat dari ufuk timur. Dan embunpun mulai menyingsing keudara lenyap dibalik sinar mentari pagi itu. Sepatu yang baru dibeli kemarin sudah berkilau di tebaran sinar matahari pagi itu. Semangat bapak pagi itu luar biasa sekali. 1000%, kata Abing.
"Bapak keren sekali" kata Abing melihat bapaknya yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam itu ditambah sepatu yang berkilau akibat semiran bapak yang terlalu bersemangat. Hitam dan berkilau. Seperti sepatu baru.
"Bapak kau ini selalu keren, nak. Kau pandanglah bapak kau ini. Betapa tampannya" bapak sambil membenarkan kerah bajunya.
"Orang miskin seperti kita ini tidak kenal keren dan ganteng, pak" kata mamak cemberut.
"Mak, kau dengar baik-baik ya. Kita ini tidak miskin. Kita hanya kurang kaya saja"
Dan bapak pun berpamitan setelah sarapan pagi. Ya, pagi itu bapak keren dan ganteng dengan rambut di sisir rapi setelah memakai tanco. Ya, pagi itu senyum bapak mengembang indah sekali. Dan hari itu juga bapak pergi untuk selamanya. Kenangan pahit itulah yang membuat sepatu berkilau itu disimpan dalam-dalam. Sebisa mungkin tak terlihay, jangan sampai terlihat. Karena disitu ada senyum bapak yang keren dan ganteng. Hanya akan menambah duka kesedihan dikeluarga ini. Bapak pergi karena demi menyelamatkan seorang direktur perkebunan itu. Jika bapak tidak sigap, maka entah jadi apa dia sampai hari.
Dibalik itu juga, Kak Asih menerima beasiswa berkuliah di pulau jawa. Segala akomodasi ditanggung oleh bapak direktur. Abang Adeng lulus dan masuk ke SMA favorit di provinsi. Dan tinggallah Abing dan mamaknya dirumah. Biaya sekolah Abing sampai kuliah sudah ditanggung oleh bapak ditektur.
Doa apakah bapak malam itu?hingga dia harus pergi dan meninggalkan begitu banyak perhatian. Bapak, dialah yang berdoa agar anak-anak mencapai cita-cita setinggi langit. Dan bapak menukarnya dengan meninggalkan mereka selama-lamanya.
"Kau doakan bapak kau selalu ya, Sih. Kau juga Adeng. Mamak merindukan kalian berdua" pelukan mamak membuncah pada tangisan kami sekeluarga. Ini adalah peristiwa tersedih setelah saat bapak hendak disholatkan. Mereka saling berpelukan. Melepaskan keikhlasan. Menjadi tabah dalam situasi apapun.
Perpisahan itu tidak terasa sudah setahun berlalu, ketika Abing meminta dibelikan sepatu. Mamak tidak punya uang, gaji dari pembantu rumah tangga belum juga dibayar. Upah menggosok pakaian sudaj dikirimkan untuk keperluan Asih yang mendadak.
"Mak, minta saja sama bapak direktur" kata Abing merengek malam itu.
"Bing, kau tahu nak. Walaupun bapak dan mamak kau ini miskin, tapi mamak tidak pernah meminta-minta. Kita miskin, tapi jangan pernah meminta-minta"
Ketika mamak teringat dengan kata-kata bapak itu, maka mamakpun teringat bahwa ada sepatu yang setahun lalu tersimpan berdebu dibawah lemari kayu milik mereka. Kotaknya sudah tak berwarna lagi, karena ditelan oleh abu. Dan ketika dibuka kotaknya beberapa anak kecoa sudah berdiam saling memandang wajah mamak, dan tak lama mereka kabur secepat kilat. Mamak membersihkan debu disepatu itu. Warnanya memudah dan ada beberapa retakan disana.
"Kau pakai sajalah, ini"
"Kebesaran lah , mak"
"Tak apa"
"Nanti kalau mamak ada uang, mamak belikan. Tapi, kau harus janji. Kau belajar yang tekun. Ikuti jejak kedua saudara kau itu"
"Iya, mak" abing mengangguk pelan dan mantap.
Langkah kaki Abing yang terserat-seret karena sepatunya kebesaran, membuat teman-temannya tertawa melihat cara Abing berjalan. Abing tidak perduli. Persis seperti bapaknya Abing memiliki kepercayaan diri yang kuat. Menyusuri lorong-lorong kelas hingga masuk kekelas, Abing tetap menegakkan kepalanya. Sudah terlihat sebagai calon pemimpin.
Ketika dibarisan, seorang guru melihat sepatu Abing yang kebesaran. Guru tersebut memanggilnya kebelakang barisan.
"Siapa nama kau, nak?" Tanya Buk Amel, yang merupakan guru kelas satu.
"Abing, buk"
"Mana orang tuamu?"
"Ayahku dikuburan, buk. Sedangkan mamak sedang rumah tuan"
"Bapak kau penjaga kuburan?"
"Tidak, buk. Dia sedang tertidur pulas disana. Sedang memandang kami dsri atas sana"
Buk Amel bingung.
"Bapak sudah meninggal setahun yang lalu buk" akhirnya Abing menyerah memberitahukan hal itu. Mengapa Abing seperti bercanda. Karena Abing tidak suka dikasihani karena dia seorang anak yatim. Benar saja, ketika Abing mengatakan kebenaran kepada Buk Amel, raut wajah buk Amel berubah. Ada rasa iba disana. Sebenarnya tadi dia hendak memperingati Abing soal sepatunya. Tapi, ketika tahu bahwa Abing anak seorang yatim, buk Amel menghentikan niatnya sejenak. Buk Amel tahu, bahwa anak-anak dikampung itu bukan dari kalangan kelas atas. Mereka hanya buruh perkebunan, dan itu tidak tetap. Sebagaian bekerja di bagian jasa pembersih rumah mandor dan asisten kebun.
Hari pertama Abing masuk sekolah sudah menonjol. Rasa percaya diri membawanya menjadi ketua kelas. Abing sudah lancar membaca. Sebelum bersekolah Abing setiap malam mengaji membaca Al-Qur'an bersama bapak selepas magrib dan menunggu isya.
"Nak, jika kau sudah lancar membava al-qur'an. Inshaallah kau akan lancar membaca"
Benar, ketika Abing berumur 5 tahun dia tidak dimasukkan TK, biaya mahal untuk pendidikan TK itu. Dengan tegas bapaknya mengajarinya mengaji dan membaca. Terkadanh Abing menangis tersedu-sedu karena bentakan bapaknya. Dan itulah yang menumbuhkan rasa ketegasan di dalam diri Abing.
Sang Ketua Kelas. Seseorang yang berkuasa. Tapi, Abing bukan dididik untuk menjadi penguasa yang adil. Abing termasuk adil untuk dikelasnya. Teman-teman sekelesnya menyukai Abing sejak pertama Abing tampil didepan kelas. Anak kelas satu SD sudah bisa mengatakan tujuan hidupnya dan cita-citanya. Dan itu yang selalu diajarkan ileh bapak. Setiap kali Abing ikut mengantarkan kak Asih kesekolahnya, bapak selalu berkata.
"Kau lihat kakak kau, cita-citanya menjadi dokter. Bapak percaya, kakak kau bisa meraihnya. Cita -cita kau apa, Bing?"
"Aku ingin jualan baso saja, pak"
"Bah, tidak berkelas sekali cita-cita kau, Bing"
"Kakak Asih mau menjadi dokter, bang Adeng mau jadi polisi. Sudah direbut semua cita-cita yang berkelas, pak"
"Jadilah guru, nak. Tanpa guru kakak kau tidak akan menjadi dokter. Dan abang kau tidak akan menjadi polisi"
Abing terdiam.
"Tapi......"
Perkataan itu terpotong oleh lelehan airata Abing , yang sedang menjelaskan cita-citanya yang membawa dia teringat dengan bapaknya. Dan seluruh kelas terdiam, beberapa orang sudah melelehkan airmatanya. Dan buk Amelpun, tak luput dari rasa sedihnya. Ada rindu dihati Abing yang tersampaikan oleh airmatanya.
Waktu begitu cepat berlalu, Kak Asih menyelesaikan perkuliahannya tepat waktu, 4 tahun menjadi sarjana kedoktetan. Tinggal menunggu panggilan untuk koas ke daerah-daerah. Abang Andeng juga sedang mengikuti pelatihan di akademi kemiliteran. Sedangkan Abing sedang menunggu panggilan untuk olimpiade sains tingkat provinsi.
Setelah urusan adminitrasi kak Asih selesai, maka Kak Asihpun pulang kampung menemui Mamak dan Abing. Selama 4 tahun tak pulang-pulang, tak pernah juga dijenguk. Biaya tiket pesawat itu sama besarnya untuk biaya makan mereka selama 2 bulan. Dengan rasa rindu yang membuncah, Kak Asih memeluk mamak yang tidak datang keacara wisudanya. Saat itu hati Kak Asih teriris sekali. Melihat teman seangkatannya berfoto bersama didepan papan bunga dengan keluarganya. Namun, Kak Asih hanya berfoto dengan Bang Andeng yang berkebetulan singgah didaerah dekat kampus Kak Asih. Maka Bang Andeng dan kedua rekannyalah yang berfoto dengan Kak Asih saat wisuda.
Kak Asih bercerita tentang kehidupannya, yang padahal semua cerita itu sudah pernah Kak Asih tulis dalam surat-suratnya. Namun, Abing dan mamak tetap mendengarkannya dengan tekun.
"Bing, kau harus raih cita-cita kau"
"Iya, kak"
"Kau bilang kau mau jadi guru?"
"Iya kak, bapak yang menginginkan itu"
Abing melontarkan kata Bapak, 4 tahun berlalu. Bapak benar-benar tidak ada diantara mereka. Berkat doa bapak malam itu, mereka tetap hidup sampai sekarang.
"Ya, Allah kabulkanlah cita-cita anak-anakku. Walaupun itu membuatku kehilangan nyawaku"
Makbul, doa bapak saat itu didengar oleh langit yang hening dan penuh bintang itu. Sepertinya malaikat jibril sedang turun dan menyampaikan doa bapak secepat kilat.
Kak Asih bersedih, begitu juga mamak dan Abing. Mereka rindu bapak.
Tak ada yang bisa mengalahkan kegagalan selain bagkit lagi. Tidak ada yang bisa mengalahkan kemalasan selain kekuatan tekad. Dan tidak akan ada pengkhianatan proses terhadap hasil.
Begitulah hukum alam itu berlaku. Mereka bangkit, mereka tak meminta dikasihani, mereka tak meminta wajah-wajah sedih mereka. Kak Asih diterima pegawai negeri sipil di rumah sakit ternama di ibukota negara. Abang Andeng sudah ditempatkan di kota dia bersekolah dan menjadi prajurit terbaik, hingga dia harus pergi ke luar negeri untuk bersekolah lagi. Dan Abing, juga sudah berhasil menjadi seorang sains. Namun, dia tetap memilih menjadi apa yang diinginkan oleh bapaknya.
Mereka tidak bermalas-malasan. Mereka tidak mengeluh dengan kehidupan mereka. Mereka tidak pernah menyerah, ketika mereka gagal. Tapi, mereka selalu merindukan sosok bapak.
"Kau baik-baik saja di Jepang, Bing?" Tanya Kak Asih yang baru saja selesai memberikan penyuluhan tentang bahaya makanan dan minuman yang mengandung MSG.
"Lagi musim dingin disini, kau tau kak. Salju itu mirip es serut. Tinggal kau tambahkan sirup saja, jadilah itu"
"Hahahaha....."
"Mamak bagaimana kabarnya?"
"Mamak sehat-sehat saja. Mamak senang sekali waktu pulang kampung kemarin"
"Kekuburan bapak kalian?"
"Iya. Bapakpun sedang tersenyum melihat kami datang"
Airmata itupun meleleh. Kesuksesan ini, seharusnya bapak melihat itu semua. Bapak yang tegas, bapak yang adil, bapak yang bijaksana dan bapak yang percaya diri.
"Bang Adeng, kapan pulang dari Amerika?"
"Bulan depan. Pulanglah kau bulan depan. Kumpul kita, ya"
"Inshaallah, kalau proyekku selesai bulan ini. Aku pulang kak"
Abing kecil melangkah maju kedepan kelas menyeret-nyeret sepatu milik bapaknya yang kebesaran. Dengan gagah berani dan percaya diri, Abing melihat seluruh kelas memandang satu persatu teman-teman sekelasnya.
"Kalian adalah akan menjadi teman-teman terbaikku"
Semua bertepuk tangan.
Keluarga, guru, teman dan seluruh kerabat mereka punya andil masing-masing dikehidupan kita. Sayangilah keluargamu, hormatilah guru-gurumu, berakrablah dengan teman-temanmu dan sopanlah terhadap kerabat-kerabatmu. Karena disana ada rezeki yang tak terduga akan menanti kedatanganmu.

Selasa, 12 September 2017

Krisis percaya diri

Krisis Percaya Diri
Sudah hampir 6 tahun saya menjadi tenaga pendidik dan pengajar. Ada banyak hal yang saya temui dilingkungan yang saya tekuni. Untuk pertama kalinya saya menemukan hal yang sangat besar mempengaruhi apa yang sedang terjadi saat yang lalu hingga saat yang ini. Hal itu adalah "kepercayaan diri".
Entah dimulai sejak kapan. Tapi, ketika saya bersekolah dulu juga "kepercayaan diri" ini sudah menjadi krisis sekali. Jadi, saya menyebutnya krisi percaya diri.
Awal mulanya, saya mengetahui hal ini ketika saya sedang memberikan tugas latihan matematika. Setelah itu saya mempersilahkan siswa-siswa saya untuk mengulasnya kedepan kelas. Namun, apa yang terjadi????
Yang terjadi mereka hanya diam. Seperti sedang ketakutan. Tidak berani maju kedepan kelas.
"Loh, kenapa gak yang maju?" Saya bertanya.
"Takut salah , buk!"
"Loh, kenapa kalau salah?"
"Nanti kalau salah ibu marah"
Dan saat itu mata saya terbelalak kaget. Sejak kapan pulak saya marah ketika mereka salah menjawab.
Inilah yang terjadi. Kenapa?apakah penyebab seperti ini.
Kebetulan saya mengajar di sekolah menengah kejuruan. Kemungkinan besar, sejak didasar mereka tidak dilatih untuk memberanikan diri untuk maju kedepan kelas. Atau bisa jadi, ada trauma kena marah oleh guru mereka sebelumnya ketika mereka menjawab salah.
Atau bisa jadi, orang tua mereka di rumah selalu marah-marah kalau mereka melakukan hal yang tidak sesuai dengan perintah orang tua.
Saya juga masih belajar, bagaimana caranya untuk tidak marah-marah ketika mereka melakukan kesalahan. Walaupun terkadang suka "kebablasan".
Jadi, bagaimana solusinya menumbuhkan kepercayaan diri mereka.
Saya juga masih mencari tahu. Untuk saat ini saya baru menemukan cara " biarkan siswa itu menyelesaikan soal dengan cara mereka. Biar itu salah ataupun benar. Memberikan motivasi keberanian untuk tampil kedepan kelas. Jika jawaban salah , maka di perbaikai. Bukan diketawain atau dimarahin "
Dulu juga ada seoranh gadis yang saya kenal. Gadis itu hyperactive. Sukanya kesana kemari. Suatu saat ornag tuanya merasa kesal. Akhirnya gadis itu dimarahi habis-habisan. Dilarang kemana-mana. Tidak boleh ini dan itu. Dan sampai dia masuk kesekolah dasar, kepercayaan diri itu tumbuh. Namun, surut ketika orang tuanya menyepelekan kemampuan. Maka, gadis itu kembali minder. Masuk ke SMP dan SMA juga seperti itu. Kepercayaan dirinya tidak stabil. Selalu merasa takut untuk tampil. Akan tetapi, seiring waktu gadis itu mempunyai trik untuk menumbuhkan kepercayaan diri dalam dirinya. Dia mulai bisa bangkit, mulai bisa percaya diri. Karenna dia serng mengikuti seminar-seminar kepercayaan diri.