Rabu, 01 Juni 2016

Kesempatan Baru

Kubiarkan jendela itu terbuka lebar. Langit biru terlihat jelas disana. Seperti hatiku yang terbuka lebar dengan rasa yang baru. Mencoba memilih kata yang tepat dengan rasa ini. Tragedi masa lalu itu, mengubah cara berpikirku tentang rasa. Namun, aku selalu berterima kasih telah diajarkan bagaimana rasa yang lama itu datang.
Kumenatap lamat-lamat langit biru siang ini. Angin yang berhembus pelan menerpa seluruh rambutku. Memutar kembali kenangan itu dalam pikiranku. Tatapanku hampa menuju tingginya langit.
"Kau janji tidak akan meninggalkanku?" Katanya dalam sebuah senyuman lebar.
"Aku berjanji"
"Kau janji selalu ada disisiku?"
"Aku berjanji"
"Kau janji akan bersamaku selamanya?"
"Aku berjanji"
Janji itu masih terpatri sampai saat ini. Bahkan ketika rasa baru yang datang itupun masih tetap menjadi janji terbaik bagiku. Janji yang dibuat hanya untukku.
Aku tidak tahu dengan perasaan baru ini. Apakah akan seluas langit atau malah lebih. Apakah akan sebadai perasaanku terdahulu. Sekarang aku lebih banyak menerima daripada memberi. Apakah itu sama dengan rasa yang ada sebelumnya.
Aku takut sekali.
Aku menyukai langit biru. Langit yang memberiku jawaban-jawaban atas takdir ini. Membuatku tetap berdiri diatas masa lalu yang pahit oleh getirnya sebuah rasa yang dahsyat.
"Kau tidak hidup dari masa lalu yang sakit, tapi kau hidup karena ada semangat yang membuat kakimu melangkah maju" kata rasa yang baru itu.
Aku terdiam. Mungkin dia benar.
Aku masih menatap langit biru. Membuka lebar jendela itu. Membuat cara baru menghirup rasa yang mulai kucicipi ini. Menghelakan nafas. Merangkai kata-kata untuk merajut masa depan.
"Akhirnya yang berjanji akan mengkhianti, bukan. Dia, kau dan bahkan aku bukanlah Tuhan yang berjanji lalu ditepati. Ingat itu!"
Aku menoleh ke wajah baru itu. Menggebu sekali. Selalu memberi sudut pandang yang berbeda. Dialah wanita yang membuatku seperti pria kerdil.
Aku masih menatap langit biru yang luas. Membolak-balikkan pikiranku. Menimbang rasa itu kembali. Melihat bola matanya yang bersemangat. Sekujur tubuhku bergetar ketika dia mulai membuka mulutnya untuk mengutarakan apa yang ingin dikatannya.
"Lihat...lihat!!!siapa yang akan pergi meninggalkan semuanya. Kita, manusia akan pergi, bukan?. Mungkin giliran aku besok"
Aku terhenyak, kali ini perkataannya kepadaku memberi respon dengan wajah terkejutku. Jika besok dia pergi, maka rasa setelah rasa baru ini akan seperti apa.
Ini saja sudah cukup bagiku. Wanita berambut hitam panjang itu menatapku tajam. Aku masih kosong.
"Dia benar-benar meninggalkanku. Padahal kami sudah berjanji tidak akan saling meninggalkan"
"Bukan dia yang berjanji akan tetap bersamamu selamanya. Tapi, hanya kau. Hanya kau yang berjanji tidak akan meninggalkannya"
Kembali pandanganku kearah wanita yang penuh semangat itu.
"Sudah setahun"
"Aku tahu. Bisakah kau melupakan janji itu"
Aku kembali menatap langit. Bagaimana mungkin aku akan melupakan janji itu begitu saja. Akarnya sudah merambat. Batangnya mulai kokoh. Bahkan dedaunannya mulai rindang. Begitu mudahkah menebang pohonnya.
"Aku bisa menebang pohon rasa yang kau buat dimasa lalu itu, aku janji"
"Dan besok kau akan menebang pohon itu dengan menumbuhkan pohon baru. Dan kembali lagi kau menghilang"
Wanita itu terdiam sejenak. Ternyata dia telah salah bicara mengenai janji. Aku menatapnya hampa.
"Kau tahu hal paling menyedihkan, ketika kau rindu pada seseorang namun kau tak bisa menatap wajahnya lagi untuk selamanya"
Wanita itu masih terdiam. Masih memilih kata-kata semangat apalagi yang akan terlontar dari bibirnya yang merah.
Dia menunduk. Entah apa yang dipikirkannya. Dia tidak akan tahu rasa menyakitkan ini.
"Ketidakadilan terjadi padaku saat ini. Dia..." aku sambil memandang langit biru.
"Dia dapar memandang wajahku sesuka hatinya, sedangkan aku hanya bisa memandang lewat pikiranku. Terasa ganjil sekali, ketika kau hanya bisa memandang fotonya lagi tersenyum. Padahal kau ingin tahu bagaimana raut wajahnya yang sedang merajuk. Raut wajahnya yang sedang menangis. Raut wajah...."
"Cukup" rasa baru itu menghentikan cercauanku yang mulai ngelantur. Dia menatap, penuh harap.
"Lupakan itu, ada rasa baru yang menghampirimu saat ini"
Aku juga menatapnya, bola matanya berkaca-kaca.
"Apa kau terluka dengan kisahku?"
"Tidak. Karena aku yakin kesempatan itu tidak hany sekali datangnya. Aku yakin kesempatan itu ada diwaktu yang tepat"
Airmatanya jatuh. Ini untuk pertama kalinya aku memberikan rasa luka kepada rasa baruku.
Aku sedih. Tapi, tidak begitu menyanyat, hanya saja sedih. Membuat airmatanya mengalir. Aku hanya ingin memberi penjelasan padanya. Tentang apa yang aku rasakan ketika memandang langit biru.
Wanita itu tertunduk, tangis. Dia menutup wajahnya yang penuh airmata. Mungkin dia sedang berpikir. Ketulusan yang telah dia beri harus dihancurkan oleh kisah sepenggal setahun yang lalu.
"Maafkan aku!!!"
Sesal dihati telah membuatnya menangis siang di langit yang biru ini.
"Maafkan aku!!!"
Wanita masih berada didalam kesedihannya.
"Terima kasih telah memberikanku banyak ketulusan.  Selalu menjadi pendengar yang baik. Menerima apa yang pahit dalam hidupku"
Wanita itu masih tertunduk, sekarang menatap lantai.
Kembali aku memandang langit biru dari balik jendela yang sengaja aku buka lebar-lebar. Angin kembali menerpa rambutku.
"Aku tahu ini tidak mudah. Tapi, aku akan terus berjuang dengan ketulusanku" rasa baru itu mulai berbicara dengan suara yang bergetar
Aku menatap rambut hitamnya. Mengelusnya pelan.
"Bisakah kau menerima masa laluku?"
"Aku tidak memintamu berdiri dimasa lalumu. Yang aku tahu, kau hari ini. Bukan yang lalu"
Kata-kata itu membuatku kembali bergetar. Sehebat inikah rasa baru itu. Rasa yang rela berjuang untuk mendapatkan perhatianku.
Aku tersenyum bahagia menatapnya. Walaupun wajahnya sudah dipenuhi lunturan maskara.
"Aku selalu membuka kesempatan baru untukmu. Selalu"
Aku kembali tersenyum bahagia.
Rasanya melebihi langit yang luas. Melebihi ombak dilautan. Ini semesta, ini badai topan terdahsyat yang menggelayuti perasaanku.
Semangatnya. Kata-katanya.
"Terima kasih kesempatan baruku"
Kami menatap langit biru siang menjelang sore. Menikmati perbincangan yang teramat bermakna dalam hatiku. Angin berhembus pelan, membawa perlahan-lahan diriku yang terikat dengan langit biru yang selalu menatapku dari kejauhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar