Selasa, 07 Juni 2016

The Last Place On Your Space

- kenakalan itu tidak masalah asal tahu batasannya -
Akhir-akhir menjelang ujian semester akhir. Pikiranku tidak fokus. Aris sedang sibuk dengan Bandnya, dan aku sedang sibuk belajar. Kami jarang bertemu. Bahkan ketika istirahat aku tidak bisa bebas. Susan sudah mengultimatum bahwa aku harus belajar untuk mencapai nilai bagus.
Aku akui aku paling tidak bisa begitu cepat menangkap pelajaran eksak, seperti matematika, elektronika, fisika. Namun, nilai jelekku itu bisa diimbangi dengan nilai agama, arab melayu, bahasa indonesia, kesenian yang tinggi. Padahal, aku suka sekali bahasa inggris. Karena sudah hampir 4 tahun kursus bahasa inggris. Dan dikursus inilah, aku akan menemukan  2 takdirku yang lain.
Aku mulai tekun belajar. Intesitasku bertemu Aris terhalang. Ketika pulang sekolahpun dia tidak terlihat. Senyumku sedikit menghilang. Aku mulai layu. Seperti orang kecanduan, aku kehilangan obat penumbuh semangatku. Layu, lemah dan malas.
Sesekali aku membaringkan kepalaku diatas meja di kelasku.
Susan selalu memukul kepalaku dengan penggaris plastik. Aku malas.
Namun, siang itu sedikit berbeda. Susan tidak masuk sekolah karena sakit. Senang bukan kepalang. Aku bisa bertemu Aris hari ini.
Dikantin...
Aris duduk bersama teman-temannya. Aku , Nina dan Nindi duduk disebelah bangku mereka.
"Udah siap belajarnya?" Teriak Aris.
Aku menunduk. Aku tahu dia sedang menyindirku.
"Siapa. Siapa?" Cakra mulai berbisik-bisik dan itu kedengaran olehku.
"Anak yang mau mendapatkan predikat teladan"
Aku tetap diam. Sebenarnya ingin marah atas tingkah Aris seperti itu.
Apa dia tidak tahu betapa tersiksanya aku ketika belajar tanpa melihat wajahnya. Tanpa mendengar detail suaranya. Itu menyiksa. Apalagi ditambah sindiriannya hari ini. Aku mengabaikannya, aku tetap memakan semangkok mie kuah yang ada dihadapanku.
"Aku kan sudah gak dianggap lagi" kembali Aris berteriak.
Nindi dan Nina melihat kearahku. Dalam pandangan mereka bertanya.
"Kenapa dia?"
Aku hanya mengangkat bahu pelan.
"Mungkin udah gila?" Kata Nina
"Mungkin lah, cuekin aja"
Aku tahu, Aris sedang menyindirku lagi.
Aku mulai tidak tahan. Rasanya dadaku memanas. Tidak mengerti maksud dari perkataan Aris tadi. Seharusnya dia bertanya terlebih dahulu tentang apa yang terjadi padaku, bagaimana perasaanku.
Sepulang sekolah, aku pulang sendirian. Ternyata Aris menunggu digerbang sekolah. Aku mengabaikannya. Dadaku masih sesak jika mendengar ulang perkataannya tadi dikantin yang membuat mood belajarku hilang. Aku melaluinya.
"Gitu sekarang, aku sudah gak dianggap lagi" Aris tiba-tiba menarik tanganku.
"Ris...ini masih disekolah. Jaga sikap!" Kata mencoba melepaskan genggaman Aris.
"Hm....teruskan aja belajar. Lupakan aku"
Aku terdiam. Mengapa Aris jadi begini. Biasanya dia tidak pernah begitu marahnya kepadaku. Tapi, kali ini pandangannyapun begitu aneh.
"Kita pulang bareng yuk" ajakku
Aris mengikutiku yang beriringan disebelahku.
"Aku rela ningglain jemputanku, yang udah pasti aku dimarahin oleh ayahku. Ini buat kamu!"
Aku menunduk. Memilih kata yang tepat.
"Aku juga begitu, Ris. Beberapa hari ini aku harus belajar untuk mencapai ketinggalanku"
"Aku tahu, tapi setidaknya kamu bisa bagi waktu buat aku. Aku sendiri!"
"Jadi aku harus bagaimana?"
"Kita jalan yuk kekota. Berdua!"
"Aku bakal kena marah ayahku kalau pulang telat"
"Aku juga"
Dan kami sudah sampai kota. Bersama anak-anak kota yang lain. Aku dan Aris menaiki angkot kota. Sepanjang perjalanan. Aku banyak diam. Begitu juga Aris. Sesekali aku memandang wajahnya. Aku rindu sekali. Aku tersenyum tipis.
"Kenapa tersenyum. Aku ganteng, kan!"
"Ye...ke GR-an"
"Aku memang ganteng dan kerenkan?"
"Ye...gak tuh!"
"Ikh...gak mau ngaku"
"Hahahaha"
Tawa itu membawaku kesebuah tempat makan. Kami lapar. Dua mangkok baso dan dua teh manis dingin terhidang dimeja kami. Ini pertama kalinya aku jalan berdua dengan Aris. Tak banyak yang kami bicarakan.
Hanya musik, Bandnya Aris, lalu soal hubungan kami.
"Apa sih enaknya belajar?. Toh, tetap bisa naik kelas. Liat aja nanti. Aku yang gak belajar bisa tetap naik kelas"
"Iya, sih"
"Terus buat apa dipaksa belajar?"
"Rankingku kacau, Ris"
"Itu gak mennetukan masa depanmu. Nikmati aja hidup mudamu, Je. Seperti ini, mungkin kamu bisa cerita kepada masa depanmu tentang kamu dimarahi ayahmu hari ini. Itu pastikan!"
"Hehehehehe...benar juga"
Aris selalu tampil beda dihadapanku. Aku tidak tahu itu akan menjadi kata-kata paling benar yang pernah terucap oleh seorang anak nakal yang tidak mau belajar disekolah.
"Ris, lain kali jangan sindir-sindir aku seperti tadi, ya. Sakit loh!"
"Iya, maaf ya"
Aku dan Aris sudah baikan. Dan itu menjadi moodboosterku untuk belajar.
Jangan tanya, betapa marahnya ayahku ketika aku pulang sore. Tanpa permisi terlebih dahulu. Ayahku mengomel sepanjang malam. Menceramahiku segala hal. Aku tahu aku salah, makanya aku lebih baik diam.
Mungkin Aris juga sedang kena omelan Ayahnya. Nasib, aku dan Aris memiliki ayah yang keras dan berdisplin tinggi.
Ujian semester berlangsung. Seminggu berkutat dengan buku. Dan itu sudah dipastikan akan membuatku jarang bertemu Aris. Tapi, kali ini Aris memakluminya. Dia tidak menyindir-nyindirku lagi.
Kami mulai masing-masing. Jarang bertemu. Sibuk ujian. Bahkan pulang sekolah aku tetap sendiri berjalan ke pangkalan angkot.
Tidak untuk hari ini, cuaca sedikit mendung.
Pulang cepat.
"Je, kamu sendirian aja?" Tanya Agi.
Oh ya, Agi adalah seorang siswa keturunan tionghua yang sangat baik padaku. Dia terkadang membantuku saat belajar. Walaupun lebih banyak dia mengejekku karena aku ini sedikit lambat dalam belajar. Kata orang, Agi menyukaiku. Aku juga tidak tahu alasan dia menyukaiku.
Karena yang aku tahu Agi itu orang yang paling usil sedunia.
Dulu belum mengenal Aris, setiap kali pulang sekolah aku selalu jadi bahan ejekan dan kejahilannya. Bisa aja Agi selalu menjegal kakiku, dan aku hampir terjatuh. Lalu mengejk-ngejekku karena aku salah mengerjakan soal matematika didepan kelas. Selalu ada bahan untuk dijadikan ejekan bagi Agi.
"Ya sendiri, kenapa?"
"Kemana gengnya?"
"Mereka masing-masing lah"
"Eh, kamu lagi deket ya sama geng Aris?"
"Em...iya"
"Jauhi, Aris itu anak yang gak baik. Dia anak nakal. Di SD aja dia suka bandel sama teman-temannya"
"Oh..."
Dulu ketika SD, Agi juga teman TK-ku. Juga teman TK Aris bahkan sampai SD.
Aku hanya mengangguk - angguk saja. Mencoba menerima. Tapi itu memang kenyataannya.
"Je, jauhi dia sebelum kamu jadi anak bandel. Aku udah dengar desas desus juga kalau dia pemakai narkoba"
"Heh!!!????" Aku mengerutkan dahiku
"Aku serius, kamu itu udah bodoh dalam hal pelajaran jangan bodoh lagi dalam hal memilih kawan. Bilangin juga ke Nindi dan Nina"
"Udah kaya' susan aja, cerewet banget!"
"Aku tuh, lebih suka kalian baca majalah remaja dikelas sambil ngebahas westlife ataupun apalah itu. Daripada kalian ketawa ketiwi sama geng Aris. Sebenarnya aku gak suka!!"
"Gi, itu rumah kamu kan?? Kenapa kamu terus aja"
"Aku mau nemenin aku pulang. Sejak sama Aris aku gak bisa lagi pulang sama kamu"
Agi tetaplah Agi. Tak peduli apa yang terjadi Agi tetaplah selalu mengejekku dengan kata "bodoh". Aku tak pernah marah, baginya aku cinta monyetnya. Mengejek bodoh itu adalah hal terpositif menunjukkan perasaannya. Menjahiliku itu menunjukkan Agi ingin dianggap sebagai laki-laki juga dimataku.
Namun, perbedaan itu membuat aku menidakmungkinkan segalanya. Mana mungkin timbul rasa di sebuah perbedaan yang begitu besar. Aku hanya menikmati cinta monyetnya. Tidak pernah mengeluh, walaupu terkadang aku sedikit kesal karena merasa malu dihadapan murid lain Agi selalu menjahiliku.
Agi benar-benar mengantarku sampai pangkalan angkot. Sebagai salam perpisahan dia menjeggal kakiku, dan aku hampir terjatuh.
"Booodoooooohhhh!!! Hahahahahahaha" Teriaknya sambil berlari memutar dan menghilang.
Aku menarik nafasku, karena kaget hampir terjatuh. Yang menjahiliku malah senang dengan tertawa riang.
Aku tak ingin merusak cinta monyetnya Agi dengan berkata padanya.
"Tolong, jangan ganggu aku lagi. Sekarang aku sedang dekat dengan Aris"
Tidak, tidak akan aku lakukan itu. Biarlah Agi bersama cinta monyetnya.
Ujian semester telah usai. Masih ada waktu seminggu menikmati sekolah sebelum libur panjang. Dan aku menikmatinya sekali. Susan sudah tidak lagi bawel terhadap belajarku. Aris juga sudah mulai mencuri-curi pandang lagi kepadaku.
Kegiatan seminggu ini, sekolah kami mengadakan tanding voli. Dari kelas kami cukup menarik. Agi ikutan bergabung. Walaupun aku tahu ukuran tubuh Agi tidak cocok menjadi pemain voli. Karena kekurangan anggota tim voli kelas kami mengizinkannya ikut bergabung.
Pertandingan pertama untuk anak kelas satu. Kelas satu A melawan kelas satu B. Pertandingan yang seru, yang akhirnya dimenangkan oleh kelas satu A.
Pertandingan berikutnya kelas dua A dan kelas dua B.
Aku bingung mendukung siapa. Kelasku atau Aris. Terkadang aku bersorak untuk kelasku, terkadang aku bersorak untuk Aris.
Aris terlihat keren saat bermain voli. Memang dia pernah berkata padaku. Olah raga yang disukainya adalah voli. Di sekitar rumahnya dia sering diajak bermain voli untuk tim daerahnya.
Aris mengambil alih service, aku melihatnya. Ketika tangannya mengudara dan bola mencuat keudara, lalu tangan kanannya memukul cepat menghentakn bunyi desingan yang kuat. Bola melewati net disambut Fred, yang mengoper kearah Neddu dan melempar melewati net. Sapta menahan bola, mengoper Aris yang dibelakang. Lalu Arid mendorong bolanya melewati net.
Permainan yang seru. Bola belum ada jatuh di daerah lawan. Bola masih mengudara sana dan sini. Mata kami masih tertuju pada satu bola, hati deg-degan. Dan
"Aaaaaaakkkkkkkkhhhhhh!!!!" Aku berteriak lemas.
Poin untuk tim kelasku. Fred berhasil menservice dengan baik. Aris kelelahan, tapi dia tetap semangat. Dia membuka seragam olahraganya. Hanya memakai kaus dalam tak berlengan.
Aris itu tidaklah gemuk, malah keliatan kurus. Tapi ototnya lumayan juga. Perut yang ramping, lalu Aris tersenyum padaku.
"Semangat!!!" Kataku tanpa suara.
Aris mengaggukkan kepalanya.
Oh, momen yang indah bagiku. Melihat Aris tersenyum padaku. Setidaknya aku masih diingatnya saat dia bertanding.
Pertandingan dimenangkan oleh kelas kami. Semua bersorak gembira. Besok adalah pertandingan penentu melawan kelas tiga.
"Capek ya?" Kataku menghampiri Aris yang penuh keringat.
"Kok malah dekat-dekat. Keringatan gini. Bau juga!"
"Gak kok" aku mengendus-ngenduskan hidungku.
"Hahahahaha...." Aris tertawa, lalu mengusap-ngusap rambutku.
Tak ada yang tahu karena kami sedang berada di balik kantin sekolah. Berdua. Mereka teman-teman sekelasku masih bersorak-sorak bergembira.
Sama seperti hatiku yang sedang bersorak-sorak bergembira bersama Aris.
Kami menikmati segelas es merah. Dan semangkok mie kuah.
Bukankah ini romantis sekali. Menikmati masa muda dengan caraku sendiri. Aris memang terbaik pada saat itu.
"Aku lihat kemarin kamu pulang sama Agi?"
"Eh dia yang pengen ngantar. Aku gak ada ngajak"
"Aku udah tau loh, kalau Agi itu suka sama kamu"
"Eh..."
"Jangan buat aku cemburu. Lain kali kalau gak ada teman pulang ya bilang ke aku. Biar aku temenin"
"Eh...iya..iya"
Aku cuma gak pengen nanti kalau aku dan Aris pulang bareng lagi, ketahuan oleh Susan dan pasti Susan akan murka sekali.
Tak lama Cakra dan Sapta datang, disusul Nindi dan Nina.
"Mesra kali?" Tanya Cakra
"Iya ...kelen pacaran ya?" Kata Sapta.
"Gak...." kata Aris.
Aku melihatnya, seperti ada rasa yang sakit ketika Aris mengatakan seperti itu. Apa yang terjadi dengan kesenangan ini. Aku cuma bisa diam. Tidak mau membantah. Jika aku membantah rahasia kami akan terbongkar. Usahaku untuk tetap bertahan pada Aris akan sia-sia.
Kami mengobrol apa saja. Mengenai pembalap moto GP valentino Rossi. Tentang musik dan Bandnya Aris. Tentang hobi sapta yang suka balap motor. Tentang Cakra yang baru saja diputusin oleh pacarnya. Tentang semua hal. Sampai pada akhirnya Sapta berkata.
"Eh...aku baru dapat VCD bajakan film dewasa dari mobil bosku"
"Apa judulnya?" Tanya Cakra
"Bandung lautan air" kata Sapta sedikit berbisik.
"Eh, lagi terkenal itu" Aris ikutan.
Aku, Nindi dan Nina hanya terdiam. Tidak mengerti  tentabg apa pembicaraan mereka.
"Kalian mau ikut nonton?" Tanya Cakra
"Nonton apa?"
"Nonton film blue, mau ga?" Tanya Sapta
Aku, Nindi dan Nina saling berpandangan.
"Rame-rame?"
"Iya. Dirumah kawanku" kata Sapta
"Gak deh" kata Nindi.
"Kenapa?" Tanya Cakra
"Mending dirumahku aja. Besok keluargaku pergi undangan ke luar kota. Seluruh keluarga ikut pergi. Pulangnya palingan malam"
"Hahahahhaa....bagus juga itu" Cakra tertawa senang.
Dan pembicaraan ini mengenai strategi menonton film dewasa dirumah Nindi.
Bagiku ini pertama kali menonton film dewasa. Apalagi nontonnya rame-rame bersama teman. Bagiku tak masalah, asal tahu batasannya.
Seusai pertandingan voli hari ini, yang dimenagnkan oleh anak kelas 3. Aku dan teman yang ingin menonton film dewasa berkumpul didepan pintu gerbang sekolah. Aris membawa motornya dan memboncengku. Lalu cakra bersama Nindi. Dan Nina bersama Sapta.
Sapta membawa VCD itu didalam tasnya. Menyembunyikan dengan rapi. Agar tidak ketahuan oleh guru.
Nakal, benar-benar nakal. Tapi, aku masih tahu batasannya.
Walaupun nakal seperti ini, ayahku tidak pernah dipanggil oleh pihak sekolah.
Begitulah nakalnya anak remaja.
Sesampai dirumah Nindi yang kosong. Kami duduk diruang tamunya, Nindi mempersilahkan masuk keruang TV. Sebelum menonton, aku , Nindi dan Nina memasak mie instant rebus. Sapta, Aris dan Cakra sedang mengotak ngatik VCD playernya.
Selesai memasak kami keruang TV. Melihat Sapta sudah tergelatak, Cakra yang berbaring dan Aris duduk disudut ruangan. Posisi yang pas.
Karena ini menonton film dewasa, maka kami yang perempuan agak menjauh dari mereka.
6 piring mie instant tersaji.
Dan VCDnyapun diputar.
Aku masih belum berani melihat filmya. Aku malah menikmati sepiring mie instan kuahnya.
Film itu benar-benar terputar. Dan anehnya, suara itu menggema seluruh ruangan. Dengan speakernya yang nyaring. Kami saling memandang.
"Gimana ne ngecilin suaranya?" Tanya Sapta buru-buru
"Itu...itu tombol volumenya" tunjuk Nindi kearah VCD player.
"Yang mana, Nin?. Cepat-cepat. Ntar ketauan sama tetangga"
Suara yang mungkin terdengar saat film dewasa itu sudah pastilah tahu sendiri kan. Kami kebingungan. Bagaimana jika ada yang mengetuk dan kami ke 'gep' sedang nonton film dewasa ramai-ramai. Mungkin kami akan diamuk massa.
Akhirnya, Sapta dapat mengecilkan volumenya. Kami lanjut menonton lagi. Kulihat setelah makan mie, Aris tertidur pulas. Mungkin dia lelah karena membantu tim kelas kami bermain voli tadi.
Aku mengguncangkan bahunya. Memberikan bantal kursi padanya.
"Tidurnya pake ini" kataku memberikan bantalnya.
"Hem...iya" mata Aris masih terpejam meraih bantalnya.
"Baeknyalah si Jeje ni" kata Cakra yang masih memakan mie.
Sapta malah serius menonton. Sesekali dia menarik mienya dengan seluprutan yang aneh. Menggetarkan badannya. Cakra malah bolak balik kekamar mandi. Aku , Nindi dan Nina hanya tertawa. Karena kami memang tidak fokus menontonya.
Dan halangan berikutnya adalah mati listrik.
Belum lagi selesai menonton filmnya malah mati listrik. Sapta kesal. Aku rasa dia sedang menikmati betul filmnya. Cakra malah ketiduran.
Tidak enak juga membangunkan Aris dan Cakra saat ini. Masih pukul 11 siang.
Sekolah dicepatkan pulang karena sudah selesai ujian.
Akhirnya, pukul satu siang kami membangunkan  mereka yang sudah terbangun dari tidurnya. Listrik belum juga belum menyala.
"Pulang yok!" Ajak Nina
"Ayoklah. Tapi VCDnya gimana ne?"
"Kalau gak nyala-nyala listriknya bagaimana?" Nindi juga pusing.
Jika ketahuan orang tuanya bisa gawat.
Kami juga memikirkan hal itu.
"Tenang aja, gambar cover VCDnya kan gambar teletubbis"
"Oh....iya ya" kata Nindi tenang.
Dan kamipun permisi pulang bersama. Aku di bonceng Aris sampai pangkalan angkot. Aku melarangnya mengantarku sampai kerumah. Itu sangat berbahaya. Belum ada tanda-tanda boleh aku berpacaran oleh ayahku.
Hari yang menyenangkan.
Menikmati masa muda yang nakal.
Aku tidak akan pernah melupakan hal ini. Selama masih bisa membatasi, aku akan tetap dijalan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar