Selasa, 07 Juni 2016

The Last Place On Your Space

- persahabatan masa muda itu bergelora, seperti lautan -
Saat liburan tiba. Kegiatan kami isi dengan berkemah disalah satu sekolah swasta di kawasan lain. Aku, Nindi dan Nina ikut berkemah.
Padahal sebelumnya kami juga berkemah disekolah. Sangat menyenangkan sekali. Aku menyukai berkemah, karena ayahku salah seorang pembimbing pramuka.
Ketika disekolah dulu berkemah, kami tidak tidur ditenda. Kami tidur dikelas. Memasak sendiri.
Pagi, perkemahan disekolah dibuka oleh wakil kepala sekolah. Dengan semangat dia memberikan nasehat bahwa pramuka itu sangat baik mengajarkan disiplin pada diri kami.
"Kalian harus tahu, pramuka itu sangat bagus sekali. Mengajarkan disiplin, ketangkasan dan kecekatan. Hidup pramuka" seperti ketua ormas yang sedang berkampanye.
Kami bersorak.
Aku ditugaskan membawa kuali dan alat masak. Setiap siswa diwajibkan membawa 2 muk beras, 3 buah cabai, 3 siung bawang merah dan putih, cabai rawit, 2 buah tomat, 3 telur ayam dan 4 bungkus mie instan.
Pembukaan yang meriah.
Ketika malam kami hendak memasang api unggun. Ternyata cuaca berkehendak lain. Hujan turun berlahan-lahan. Semua siswa berlarian kedalam kelas.
Dan disinilah si Agi, mulai menjahili. Mematikan lampu ruangan kami, lalu menakut-nakuti kami dengan selendang putih.
Itu, sangat menyeramkan. Kami berteriak. Agi dan Daris tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaa...mampus lu orang!"
"Pigi kelen" teriak kami yang ada diruangan itu.
Sial, Agi belum menghentikan kejahilannya padaku dan kawan - kawan. Agi, membunyikan suara-suara aneh dari luar jendela. Suara-suara yang kami takuti ini malam . Dan itu...
"Eh...lu Gi. Lu tadi malam nakut-nakuti kita lagi" kata Lila
"Jam berapa?"
"Jam 12an gitu"
"Wa udah tidur tu" Agi beralasan
"Bohong lu. Bilang aja lu nakut-nakuti kami kan"
"Gak loh...lu gak percaya benerlah sama wa"
Lila dan Agi bertengkar mengenai masalah suara siapa tadi malam itu.
Darwis menyangkal kalau itu suara Agi. Tapi, kebenarannya Agi memang sudah tidur saat itu. Sudah dipastikan itu memang suara yang terdengar bukan suara Agi.
Kami merinding....
Sejak saat itu, aku mulai ragu untuk ikut berkemah lagi. Tapi, liburan ini. Nindi dan Nina memaksa aku ikut. Untuk hari pertama aku ikut. Tapi, untuk hari kedua aku tidak bisa ikut, karena demam. Aku dipulangkan. Belum sempat juga menginap di perkemahan aku sudah tumbang.
Akhirnya, ketika masuk sekolah. Liburan telah usaipun tiba. Nindi dan Nina. Mereka menjadi aneh.
Nindi, seperti menghindar dari Nina.
"Aku mulai tidak menyukai Nina, Je!"
"Kenapa?"
"Selama berkemah, dia itu bisanya nyuruh-nyuruh aku terus. Sikap bossynya muncul. Aku gak suka" Nindi sewot.
"Kan memang dari dulu kaya' gitu dianya" jawabku.
"Tapi, ini sudah keterlaluan buatku. Aku tidak suka"
"Ya udah, maafin aja lah"
Percakapan itu berakhir ketika, Susan datang. Tubuh susan itu seperti doraemon. Setelah aku pikir-pikir, bahkan dia sama cerewetnya seperti doraemon.
Aku dan Nindi merahasiakan hal ini. Kami tidak ingin memberitahukan siapa-siapa. Bisa jadi gosip besar kalau geng kami bubar.
Geng, persahabatn kami begitu solid. Tidak ada yang berani terhadap kami. Semua mata iri ketika kami selalu jalan berlima setiap kali kami hendak kekantin. Para cowo-cowo juga melirik lama ketika kami sedang berbincang. Ada Nina dan Nindi yang selalu jadi bahan perhatian. Mereka cantik, dan memiliki pustur tubuh yang semampai seperti model majalah remaja. Belum lagi, Nindi yang pintar. Dan Nina yang cantik blasteran jawa dan tionghua, wajah orientalnya membuat sebagian pria oriental menyukainya. Aku, Susan dan Rinne, hanya sebagai pelengkap saja.
Aku bukanlah tipe anak perempuan yang selalu dilirik oleh laki-laki. Tidak pernah. Pacaran, aku kalah jauh daripada Nindi yang selama setahun lalu sudah memiliki 2 pacar dan 2 mantan.
Kalau masalah ini, aku kalah jauh dari mereka. Begitu juga Nina, yang sedang dekat dengan salah satu temannya ketika SD dulu.
Susan, yang masih diam-diam mengagumi Lilian, cowo tionghua yang memiliki kecerdasan yang luar biasa. Selalu mendapatkan ranking 3 besar. Dan Rinne, sepertinya dia tidak tertarik dengan cowok.
Aku, jangan tanya. Seluruh kisah ini adalah kisah cinta pertamaku semasa muda dulu.
Bicara tentang cinta pertamaku, sudah dua hari Aris tidak masuk sekolah.
Aku mendengar desas desus Aris menolak sekolah karena alasan yang belum aku ketahuinya.
Sudahlah, aku harus berfokus kepada hubunganku dengan para sahabatku.
Siang itu pelajaran bahasa indonesia. Nindi permisi keluar kelas. Ke toilet. Aku diajak Ninda untuk menemaninya ke kantor tata usaha untuk membayar uang sekolah.
Ketika melewati kamar mandi, ide iseng Nina muncul.
"Yuk...kita kunci si Nindi dikamar mandi"
"Eh...jangan akh!"
"Biar dia ketakutan" Nina terkikik memikirkan ide jahilnya
Aku mengikut saja. Nina mengunci pintu toilet yang didalamnya ada Nindi. Sekembali dari kantor tata usaha. Pintu ternyaa sudah terbuka. Aku dan Nina saling memandang.
"Siapa yang buka?"
"Gak tahu"
Begitulah pembicaraan kami hanya dengan kode pandangan tanpa bicara.
Dikelas, Nindi sudah menangis. Salah satu jarinya berdarah. Aku mendekati bangkunya.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Ada orang yang ngunci aku dikamar mandi"
Aku tercekat, nafasku terhenti. Melirik Nina yang cuek.
"Iya, lihat ini. Kukunya Nindi sampai berdarah. Untung ada Fred yang bukain pintu"
Fred. Dalam hatiku. Aku terdiam. Ini sudah salah sebaiknya aku mengaku saja. Tapi, Nina memanggilku.
"Yauda, Nindi. Jangan nangis lagi"
Nindi mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku berbalik ke bangku Nina.
"Kenapa dia?" Tanya Nina pelan.
"Jarinya berdarah"
"Oh...terus kenapa nangis?"
"Ulah kitalah, ngunci Nindi dikamar mandi. Mungkin dia coba buka pintunya. Terus kukunya berdarah"
"Biarin aja. Jangan buka mulut ya"
"Memangnya kenapa sih kalian dua?"
"Gak apa-apa"
Aku jadi bingung. Apa yang terjadi sebenarnya diantara Nindi dan Nina. Mereka sepertinya mulai memendam kebencian.
Tapi, kupikir ini akan berdampak baik-baik saja setelah seminggu.
Ternyata aku salah. Seminggu setelah kejadian Nindi dikunci dikamar mandi. Mungkin Nindi merasa sudah mengetahuinya. Bukan dariku, entah siapa. Mungkin saja perkiraannya. Entahlah...
Nina mengajal kami ke sebuah toko peralatan sekolah. Nina ingin membeli sebuah penggaris, busur, jangka dan pensil. Aku, Nindi dan Nina berjalan bertiga.
Awalnya aku kira ini akan menjadi hal yang menyenangkan.
Tetapi ini adalah petaka pertama bagi persahabtan kami.
Sebelum berbelanja, kami singgah dulu makan miso langganan kami. Menikmati semangkuk miso yang masih panas.
"Ok!!!siapa yang paling pedas misonya dia yang di traktir" kata Nina bersemangat yang memang suka makan pedas.
"Ok!" Kataku
Nindi juga setuju.
Satu sendok cabe, lanjut dua sendok cabe, lanjut 3 sendok cabe, dan lanjut 4 sendok cabe. Aku tidak sanggup lagi. Ini sudah begitu pedas bagiku. Begitu juga Nindi. Nina menambah satu sendok lagi cabe.
Alhasil, selesai makan. Bibir kami seperti memakai lipstik. Merah sekali, karena pedas.
"Hahaha...cantik kali bibir kita ya"
Saat ini tukang misonya sudah tidak berjualan lagi. Aku sedih sekali. Padahal ditempat miso itu banyak sekali kenangan bersama sahabatku. Setiap pulang sekolah bareng, kami selalu makan miso disitu.
Akhirnya, kami ke toko peralatan sekolah yang paling tenar saat itu. Nama tokonya seperti sebuah nama tempat di suatu negara.
Nina, mulai bertingkah. Menyuruh kami membawa tasnya, membawa bukunya dan membawa sebuah semangka yang tadi dibelinya. Nindi mulai sebal sekali. Seperti bos saja.
Aku , tak perlu tanya. Aku sangat menikmatinya. Karena saat itu yang aku tahu aku ingin menikmati masa mudaku saja.
Nindi, mengguit siku tanganku.
"Yok...tinggalin aja"
"Eh..."
"Udah letakin aja disitu"
"Tapi..."
"Biarin aja. Ayok"
Nindi terus menarik tanganku.
Ada apa dengan mereka berdua. Seperti ada perang dingin yang terselubung.
Sama-sama mencari taktik untuk menjatuhkan dengan membawa umpan. Sudah pasti umpannya aku.
Aku ini seperti bola saja ya. Dibawa kesana ikut, dibawa kesini ikut. Bagaimana jika bola ini tiba-tiba meledak mungkin pada saat itu, seketika itu juga aku akan melihat drama anak sekolah yang sedang beradu mulut dengan alasan yang sepele.
Namanya, juga remaja masa pubertas. Sekarang aku menganggapnya seperti itu.
Dulu, ketika masa itu hadir. Aku menganggapnya seperti sinetron.
Ya, saat itu sinetron yang sedang tayang bertema remaja, persahabatan, pengkhianatan sahabat, geng-geng di sekolah, memperbutkan cowok populer.
Ya begitulah, ya kan.
Aku sangat menikmati masa mudaku.
Keesokan paginya. Wajah Nina cemberut. Dia tak ingin berbicara denganku. Duduknya pindah bersama Rinne. Susan curiga.
"Ada apa ini?" Tanya Susan Nindi dan Aku.
"Gak ada apa-apa!"
"Terus kenapa Nina pindah duduknya?"
"Gak tahu" jawab Nindi.
Pertengkaran dingin ini cepat sekali merebak. Semua membicarakan yang terjadi antara geng kami. Alhasil, aku ditarik paksa oleh Cakra kekantin. Menginterogasiku.
"Kenapa Nindi dan Nina?"
"Gak tahu. Gak ada apa-apa!"
"Kok kata mereka, Nindi dan Nina bertengkar"
"Aku gak tahu loh, Cak"
Aku tetap tutup mulut. Ini aib persahabatanku. Tidak boleh ada yang tahu. Selama dikantin , ternyata Susan sudah membuat keputusan. Persahabatan kami harus di akhiri.
Aku sedih sekali. Kami menjadi dua kubu.
Kubu Nina dan Kubu Nindi.
Ini sulit bagiku. Aki harus memihak kesiapa. Karena aku siumpan yang tidak tahu menahu, yang sebenarnya akulah yang banyak tahu.
Aku jadi teringat ketika kami menginap di rumah Nina. Kami meonotont film Shark dan film julia robert yang aku lupa judulnya, tapi aku masih ingat soundtracknya yang nyanyi the cross.
Kami sama-sama berbaring. Menceritakan tentang asmara kami ketika SD.
Nina bercerita tentang kenalannya bernama Airul. Nindi menceritakan seseorang yang sedih ketika dia pindah rumah. Dan aku tidak mungkin aku menceritakan Aris didepan mereka. Setidaknya aku juga pernah ketika SD ada di cocok-cocokkan dengan teman-temanku.
"Pokoknya kita harus jadi sahabat terbaik"
Kata Nina
"Iya" kataku semangat.
Nindi juga ikut mengangguk.
Sepanjang malam kami bercerita apa saja. Mulai dari westlife, trend masa saat itu, asmara, keluarga, cita-cita, dan masih banyak lagi.
"Aku nanti pengen menikah diusia 25 tahun" kata Nindi.
Kan kuingat lagi, sepertinya Nindi menikah diusia 25 tahun.
"Kalau aku diusia 26 tahun lah" kata Nina
"Kalau aku..." aku diam sejenak. Tidak tahu kapan aku akan menikah. Tapi saat itu sebuah angka aku sebutkan. Dan mereka berdua tertawa.
Itu tetap menjadi rahasiaku.
Bercita-cita menjadi ibu 2 orang anak. Itulah kami dulu. Mendapatkan suami yang ideal, misalnya saja seperti artis tampangnya. Namanya anak muda yang masih pubertas. Wajar sekali mempunyai imajinasi yang tinggi.
Dan kenangan itu berakhir saat ini. Saat Nindi dan Nina bertengkar hebat. Tawa yang biasanya kami buat harus lenyap segera. Tingkah jahil Nina pun akan menghilang. Candaanku ketika bersama akan hanyut bersama ombak permasalahan yang sepele.
Aku masih terhuyung masalah dengan sahabtaku. Datang lagi satu masalah, Aris tidak masuk-masuk sekolah selama seminggu. Inisiatifku adalah bertanya pada adiknya yang SD juga disitu.
"Hadi....!" Panggilku ketika Hadi dikelasnya.
"Ada apa kak?"
"Bang Aris kemana?udah seminggu gak masuk sekolah?"
"Bang Aris merajok. Gara-gara gak dibeliin motor. Dia berantem sama Ayah"
Aku terkejut. Gara-gara itu dia gak sekolah.
"Ya ampun. Bilang sama bang Aris suruh sekolah"
"Hehehehe....kakak rindu ya sama bang Aris"
Sial ne anak SD sudah mengerti rindu-rindu.
Tapi, benar juga aku memang rindu dengan Aris. Seminggu tidak bertemu. Sampai terbawa mimpi. Melihat Aris potong rambut. Rapi sekali. Aku senang melihat dia rapi.
Aku kembali ke wilayah SMP.
Dengan badan yang lemas, mendengar alasan tidak sekolahnya Aris. Aku mengobrol dengan Cakra.
"Aris kok gitu ya ,Cak"
"Dia kan memang gitu, Je. Pantang tak top istilahnya. Aku yakin motor itu mau saingan sama sapta"
"Berarti geng kelen juga lagi ada masalah ya"
"Laki-laki itu gak kaya' perempuan. Kalau kesal berantem mulut. Terus bekotan selamanya. Laki-laki itu cukup berantem fisik, besoknya udah santingan rokok bareng"
Aku mengangguk-angguk.
"Akh!!!salahnya, Aris uda buat ultimatum gak boleh dekatin kamu, Je. Kalau, gak aku jadiin pacar juga kamu"
"Ada-ada ajalah"
"Eh, Nindi udah punya pacar belum. Sama abang kelas itu udah putus dia"
"Owh, sama Roki. Udah"
"Jadi, lagi kosong dianya"
"Iya"
"Aku deketin akh!"
"Aku ganteng kan, Je"
"Ganteng!"
Aku mengacungkan jempol semangat kepada cakra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar