Kamis, 02 Juni 2016

New Change

Episode 2.
Akhirnya Seno Mengetahuinya
***
Bali, Hotel Bali Indah.
Pukul 07.00 waktu Bali, lebih cepat satu jam dibandingkan Medan. Matahari pagi menampakkan dirinya di ufuk timur. Ara sudah bersiap-siap. Koper dan tas tambahan sudah tersusun rapi di lobi hotel. Menuju Bandara Ngurah Rai. Penerbangan pukul 09.00 waktu Bali. Transit di Bandung selama 2 hari. Ingin menikmati kota Bandung.
Ara masih mengingat jelas perkataan Seno kemarin pagi. Tentang mengapa Seno memilih gadis lemah itu.
"Akh!!!bilang kau memang menyukainya" gerutu Ara merapikan rambuntnya yang berantakan.
Ara menunggu taxi Bandara datang menjemput. Menghirup udara sejenak. Ara akan meninggalkan Bali, sudah 3 hari di Bali membuatnya cukup untuk terbang lagi ketempat yang baru.
Ara akan merindukan Bali. Keramahtamaan penduduknya. Budayanya. Gadis bali yang anggun dengan kebaya putih. Gadis Bali yang selalu tersenyum manis. Serta anak-anak bali yang selalu ceria.
Bisakah Ara seceria dahulu. Ceria setelah kehilangan Seno. Mungkin Seno benar, Ara akan tetap bisa hidup tanpanya. Banyak teman-teman yang ada disekatar Ara. Yang selalu ada kapanpun Ara kehendaki. Berbeda halnya dengan Anggun. Wanita lemah kesepian itu membutuhkan semangat Seno untuk tetap disisinya.
Taxi Bandara merapat ke halaman depan hotel. Salah satu office boy membawakan koper beserta tas-tas tambahan. Untuk oleh-oleh.
Ara menundukkan kepala tanda terima kasih telah membantu menganggkat barang-barangnya.
Taxipun melaju sedang. Aroma dupa Bali dan sesajen selalu terletak di sudut dasboard taxi di Bali. Awalnya Ara mual dengan aromanya. Bahkan di hotel juga ada. Tiga hari berlalu, aroma itu menjadi biasa baginya.
"Mbak mau kemana?" Tanya supir taxi itu ramah sambil mengembangkan senyumnya.
"Ke bandara, pak"
Jawab Ara seadanya sambil memandang luar kaca jendela taxi.
"Maksud saya, Mbak mau kemana, ke Jakarta, Surabaya atau Lombok. Hehehe"
"Oh...saya mau ke bandung, pak!"
"Orang bandung ya, Mbak!"
"Gak pak"
Hanya sekenanya saja. Tidak berantusias untuk menjawab. Dan itu sebagai tanda bahwa supir taxi itu harus berhenti bertanya. Tugasnya hanya mengantar Ara ke Bandara Ngurah Rai, bukan sebagai wartawan yang menanyai penumpangnya yang sedang berkabut perasaannya.
Taxi hampir tiba di Bandara Ngurah Rai. Patung Raksasa yang tinggi menjulang sebagai tanda bahwa taxi sudah berada di lingkup Bandara.

*****
Medan, masih pukul 6 pagi.
Hari ini jadwal Seno padat sekali. Menjelang akhir bulan. Semua pekerjaan harus selesai sebelum tanggal 30. Menyelesaikan laporan bulanan. Menginput data sepanjang bulan. Bekerja dengan giat.
Anggun membangunkannya pagi dengan suara merayu dari seberang telepon.
"Mas, bangun dong. Katanya mau berangkat kekantor lebih awal"
"Iya....!" Jawab Seno malas, mengusap matanya melihat jam dinding masih pukul 6 pagi.
"Nanti aku kekantor ya. Nganter makan siang buat, mas" Anggun yang sedang memasak didapur mempersiapkan bekal makan siang untuk Seno. Gadis yang rajin. Gadis yang lemah lembut. Sangat kontras sekali dengan Ara yang begitu ramai. Selalu membuat keceriaan kepada setiap orang. Ketika berkata suaranya selalu menggelegar.
Tapi tampak beda setelah percakapan itu di mulai pagi kemarin. Seno hafal betul suara yang membawa keceriaan itu seperti menghilang bersama kepedihan yang terasa.
"Iya!!" Seno bangkit dari tidurnya dan langsung kekamar mandi.
"Anggun sayang Mas" kata Anggun centil sambil ber-emmmuaaah dari balik telepon.
Ganjil terasa bagi Seno dengan salam penutup itu. Dia tak pernah melakukan hal yang menggelikan itu ketika sedang menelpon Ara.
Ara, kembali Ara yang dipikirannya. Selau Ara. Mebandingkan Anggun dengan Ara. Walaupun itu sangat kejam untuk Anggun. Tapi, Seno tidak bisa menepis bayangan itu. Hanya ada Ara dipikiran Seno saat ini.
Seno melihat layar ponselnya. Mencari nama Ara di kontaknya. Dan memanggilnya.
"Hallo!" Sapa Ara yang baru selesai check in
"Cepat sekali bagunnya. Tumben!" Kata Seno mencoba bercanda yang setiap pagi mereka lakukan.
Ara hanya diam. Tak membalas gurauan itu.
"Ada apa?" Tanya Ara dengan suara dingin.
"Aku kangen" kata Seno
"Owh!!!" Jawab Ara semakin dingin.
"Kamu gak kangen!"
"Pantaskah kau menghianati Anggun seperti ini. Cukup Sen. Biarkan aku lepas darimu. Ini cukup menyiksaku"
"Lalu mengapa telponku kamu angkat, jika memang ingin lepas"
Ara terdiam. Mencari alasan yang logika. Tapi, jawabannya hanyalah perasaan itu masih tersisa. Dia juga memikirkan Seno saat ini. Memikirkan hari-hari yang telah terlewati. Tapi, pengkhianatan itu membuat Ara mengubur segala.
"Gak sengaja kepencet layar ponselku"
"Hahahhahahahha.....aku tahu kamu, Ra. Tahu sekali. Bisakah kamu mengatakan kalau kamu juga kangen sama aku" kata Seno yang membuat Ara segera memutuskan percakapan itu.
"Ra..."
Tut'..tut...tut.....
"Urghhhhh!!!"
Seno harus segera mandi dan pergi kekantor. Jika telat itu berarti pekerjaannya akan molor sampai besok akan lembur juga.

****
Dalam pesawat komersil menuju Bandung
Ara duduk di kursi 11A. Dekat jendela pesawat. Itu menyenangkan. Melihat pulau-pulau dari ketinggian 3600 kaki. Melihat hamparan lautan yang berkilauan karena pantulan cahaya matahari. Awan-awan yang bergumpal-gumpal berarak pelan. Seperti bisa menggapainya. Persis gula-gula berwarna putih. Bukankah itu lezat sekali. Namun tidak selezat perasaan Ara didalam pesawat itu. Memandang kosong keluar jendela. Kata "kangen" itu seperti membiusnya kembali. Membuatnya bisa dalam dingin. Hatinya berontak. Seno begitu kejam terhadap dirinya dan Anggun. Kejam mengatakan kata-kata sakral itu meluncur lancar dari mulutnya.
Seno begitu kejam. Mempermainkan perasaannya. Mempermainkan perasaan Anggun wanita yang lemah dan kesepian itu.
Ara mencoba memejamkan mata.
Perjalanan 1 jam 20 menit menuju Bandung.
Pesawat itu melaju dengan kecepatan normal. Pramugari mulai hilir mudik menjajakan makanan dan minuman. Ada beberapa penumpang bolak balik ke toilet. Beberapa kali lampu tanda mengenakan sabuk pengamanan berbunyi. Bahkan pilot sekali mengatakan bahwa cuaca sedang buruk diluar. Terlalu banyak gumpalan awan besar. Mungkin awan-awan itu sedang bercengkrama.
"Mbak, Ara!!" Teriak salah satu penumpang yang Ara kenal, dia Tina. Sepupu Seno.
"Tina!!"
"Mas..mas...bisa tukeran tempat duduk ga?" Mohon Tina pada penumpang yang ada disebelah Ara.
Pria itu menyetujuinya. Siapa yang menolak permintaan gadis manis itu.
"Sedang apa kamu di Bali?" Tanya Ara mengubah raut wajah sedih menjadi senang, seketika itu juga.
"Urusan kerjaan , Mbak. Kantor wilayah Bali mengadakan pelatihan untuk akademi perhotelan dimedan, Mbak" Tina selalu bersemangat. Sama seperti Ara dahulu yang riang dan bersemangat.
"Berapa lama?"
"Aku sudah empat hari di Bali. Mbak ngapain di Bali. Kok mas Seno gak ikut?"
"Mbak juga ada urusan" jawab Ara
Urusan yang tidak bisa dia katakan kepada Tina. Semua akan terlihat menyedihkan jika di bicarakan disini.
"Oh...ntar yang jemput mas Seno ya, Mbak. Kalau gitu aku bisa numpang, nih!"
"Eh...mbak mau ke Bandung. Ada urusan kedua di Bandung"
"Owh" Tina mengangguk-anggukan kepalanya.
"Berapa hari di Bandung?"
"2 hari saja"
"Hem....jangan selingkuh loh mbak dari mas Seno. Mas Seno itu orangnya setia. Awas ya, Mbak. Hehehehe!" Tina tidak tahu apa yang sudah terjadi.
Biarlah Tina masih menganggap Ara akan menjadi sodara sepupu yang menyenangkan.
Pesawat mendarat dengan mulus.
Para penumpang mulai membuka sabuk pengamannya. Turun dari pesawat dengan tertib.
Ara berpisah dengan Tina. Ara melambaikan tangannya.
Sesampai di Bandung. Ara dijemput oleh Egi, teman kuliahnya. Egi menunggu Ara di area pejemputan. Masih menunggu koper dan beberapa tas lainnya. Ara menelpon Egi.
"Gi, aku lagi nunggu barang di bagasi. Agak lama"
"Eh, gak apa-apa, atuh!! Egi, mah masih sanggup nunggu"
"Eh...logatnya uda kental banget sundanya. Hahahaha"
"8 tahun ,Ra. Lagian, suamiku juga orang sunda kan. Mau gak mau mesti belajar bahasa sunda"
"Iya deh....eh...uda mulai ni barang-barang bagasi keluar. Tunggu aku ya!"

****
Medan, perusahaan asuransi jiwa dan pendidikan bagian analisis.
Seno, masih berkutat didepan layar komputernya. Matanya sudah hampir merah. Perih selama berjam-jam menatap komputer.
"Seno, ada tamu tu!"
Ini masih pukul 9 pagi.
"Siapa?"
"Pacar kau lah!" Teriak Andi
Seluruh ruangan tertawa.
Sial sekali, jam segini Anggun sudah datang. Pekerjaan Seno masih banyak. Mau tidak mau Seno harus menemuinya. Gadis yang tidak bisa hidup tanpanya.
"Sayang, kamu sibuk ya?" Tanya Anggun yang melihat Seno keluar dari pintu ruangannya.
"Iya, aku sibuk banget. Kan akhir bulan. Seharusnya kamu telpon aku dulu"
"Maaf ya, Mas. Anggun ganggu" Anggun merunduk merasa bersalah.
Tiba-tiba ponsel Seno berbunyi. Panggilan dari Tina.
"Hallo mas seno!" Sapa Tina ceria
"Hallo, Tin. Apa kabar?" Seno membalas sapaan Tina dengan senyum yang mengembang. Sepupu dekatnya itu selalu menularkan aura keceriaan.
"Sehat, Mas. Mas gimana?"
"Sehat. Ada apa Tin?"
"Hem....aku ketemu Mbak Ara dipesawat perjalanan dari Bali ke Bandung"
"Heh!!!" Seno segera menghindar dari Anggun.
Ini pembicaraan yang dirahasiakan Seno. Wajah Anggun berubah tanya tanda.
"Loh, Mas kok kaget gitu!"
"Eh, gak kok"
"Hem....sepertinya Mbak Ara banyak bawa oleh-oleh. Ntar aku minta, ya Mas. Hehehhe"
"Iya, tenang saja"
Pikiran Seno berubah menjadi khawatir. Ara tak pernah memberitahu kepergiannya ke Bali atau ke Bandung. Ara sudah berubah pikirnya. Seno menggaruk-garuk kepalanya. Pikirannya harus segera menghubungi Ara. Dia khawatir.
Seno tak begitu banyak cerita dalam percakapannya dengan Tina. Sebaiknya segera Seno menghubungi Ara.
Melihat kontak, lalu mencari nama Ara dan menghubunginya.

****
Dalam perjalanan dari Bandara menuju kantor Egi tidak terlalu jauh. Pemandangan kota Bandung yang rapi, walaupun macet akan tetap menjadi kenangan bagi Ara.
Ditempat inilah dia bertemu dengan Seno, beberapa tahun yang lalu. Pertemuan yang tak disangka-sangka. Seperti sebuah skenario. Egi tidak mengenal Seno.
"Eh, kamu itu sudah tidak muda lagi loh, Ra. Kenapa gak memikirkan menikah. Jangan karir mulu yang nomorsatukan" Egi mulai mencercau
"Eh...kalau ada jelas aku sudah tidak main-main lagi dalam hubungan ini. Masalahnya tidak ada"
"Hahahahaha....kamu sih. Susah move on ya"
"Hehehehe...aku juga merasa begitu"
"Beberapa bulan yang lalu, Arda menghubungi emailku"
"Arda?" Dahi Ara mengerut
"Iya, anak arsitek yang dekat sama kamu dulu waktu kuliah"
"Iya, maksud aku, ada apa dia menghubungimu?"
"Masalah kerjaan. Katanya dia ada proyek di bandung. Tapi, sampai sekarang belum ada ketemu"
"Oh...kamu sekarang jadi konsultan design enak banget ya!"
Ponsel Ara bergetar. Melihat layarnya Ara langsung memasukkan lagi ponselnya ke dalam tasnya.
"Kenapa ga diangkat, Ra?"
"Gak penting, nomorya gak dikenal"
Ara berbohong. Egi tidak boleh tahu tentang keadaan hatinya saat ini.
Perjalanan yang tidak buruk. Hanya karena macet, sesekali membuat Egi kepanasan. Emosi. Maklum orang batak. Egi membawa Ara makan di sepanjang jalan Dago. Banyak jajanan ringan disini. Sebagian toko masih ada baru buka. Ada juga sudah banyak pengunjungnya.
"Makan ala barat aja ya. Entar siang aku ajak masakan sunda"
"Oke, aku ikut aja"

*****
Medan, Kantor asuransi jiwa dan pendidikan.
Wajah Anggun cemberut, karena melihat Seno meninggalkannya begitu saja tanpa membawa bekal makanan yang di buatnya. Airmata Anggun mulai jatuh. Anggunpun keluar gedung bertingkat itu dan langsung memanggil taxi dan pulang ke rumah.
Sedangkan Seno dikamar mandi membasuh mukanya. Meremas rambutnya, matanya benar-benar merah.
Beberapa kali menghubungi Ara, namun tidak diangkat.
Kali ini ponselnya berbunyi. Ara.
"Ada apa?" Tanya Ara ketus
"Kami dimana?"
"Di toilet"
"Bohong. Sejak kapan kamu pinter bohong ,Ra!"
"Apa maksudmu?"
"Kamu di Bandung sekarangkan?"
"Bukan urusanmu lagi, Sen. Aku berada dimana. Tolong hapus semua kontakku. Jangan pernah menghubungiku lagi"
Sakit terasa di hati Ara.
"Bukankah kamu bilang kita bisa berteman"
"Maaf, saat itu aku salah bicara"
"Ra.."
"Apa?"
"Bisakah kamu memaafkanku.  Aku ingin kita bisa berteman"
"Aku sudah memaafkanmu"
"Ra!"
"Sen, seharusnya kau tahu sebaiknya kota harus saling melupakan. Harus saling membantu untuk melupakan. Ini teleponan terakhir dari kita. Aku ikhlas kau bersamanya"
"Ra!"
"Iya. Selamat tinggal"
Airmata menetes dengan derasnya. Ara menahan perih selama ini. Membunuh rasanya kepada Seno. Seseorang yang bahkan bukan siapa-siapa lagi, namun tetap khawatir padanya.
Seno mengantukkan pelan kepalanya. Betapa bodohnya dia telah melepaskan orang yang benar-benar dia sayangi hanya demi orang yang tidak bisa hidup tanpanya.

*****
"Kamu kenapa, Ra?" Tanya Egi melihat wajah dan mata sembab Ara
"Gak apa-apa, kok!"
"Kamu nangis?kamu kenapa?"
"Aku gak apa-apa, Egi" Ara mencoba sekuat tenaga menutupi airmatanya.
Namun, rasa sakit yang luar biasa ini tidak dapat ditutupinya. Airmata itu jatuh lagi.
Ara menunduk. Egi berpindah duduk ke samping Ara. Memeluknya. Mengusap tambut Ara.
"Aku yakin, kamu kesini bukan untuk pekerjaan"
Ara terisak. Dia sudah tidak kuat lagi.
"Kita pulang saja kerumahku"
Ara masih menunduk dan terisak.
"Sudah...sudah!" Egi menepuk-nepuk pelan pundak Ara.
Sepanjang perjalanan pulang kerumah Egi. Tak banyak pembicaraan. Egi sesekali melirk kearah Ara yang pandangannya keluar dengan wajah yang hampa.
Untuk menyenangkan hati Ara, Egi memutar lagu-lagu semasa kuliah mereka dahulu. Dan mulai bernyanyi dengan suara cemprengnya. Dan itu tetap menjadi obat mujarab bagi Ara. Membuat senyuman kecil diwajahnya. Memori itupun terulang kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar