Senin, 25 Januari 2016

C

- Sapaan Pertama Nikmah -
Ada 20 orang anak yang sukarela tanpa paksaan untuk mengikuti pembelajaran kami. Anak-anak itu tersenyum manis. Dan aku langsung tertarik dengan Nikmah, seorang anak perempuan yang lincah bersemangat. Awal pertemuan Nikmahlah yang paling aktif mengajukan pertanyaan.
"Pak..pak..saya mau tanya!" Suara cemprengnya Nikmah selalu menjadi gemma bagi teman-teman lainnya. Banyak sekali pertanyaan yang diajukannya. Seperti
"Bapak dan ibu sudah makan belom?"
"Berapa lama bapak dan ibu disini?"
"Bapak dan ibu sudah punya pacar belum?"
Dan sebenarnya pertanyaannya adalah pertanyaan biasa. Tapi, aku merasa senag sekali bisa bertemu dengan Nikmah. Dan yang membuatku tertarik adalah jawabannya ketika aku bertanya.
"Nikmah apa cita-citamu?"
"Aku ingin menjadi pilot pesawat jet kebulan, buk"
Dan jawaban itu mengundang tawa teman-temannya. Namun, dia tidak marah malah membalas.
"Lihat saja nanti, kalau aku jadi pilot peswat jet kebulan. Kalian tidak akan aku ajak kesana"
Kembali tawa membahana di balai pertemuan desa. Kecerian ini membuat aku lupa rasa perih yang harus aku tahan.
Selesai perkenalan, kami membagi 5 kelompok. Satu kelompok memegang 6 orang anak. Dan akan mempelajari sesuai dengan bidang kami. Denni mengajarkan kepemimpinan dan kemandirian. Akhsan mengajarkan berhitung, membaca dan sains. Ikbal mengajarkan tentang ide-ide kreatifitas. Serril mengajarkan seni musik, tari, melipat kertas dan lain-lain. Sedangkan aku mengajarkan budi pekerti kepada mereka. Setiap harinya mereka akan mempelajari hal-hal baru. Karena ini minggu pertama kami hanya perkenalan terlebih dahulu. Aku mendapatak kelompok Nikmah terlebih dahulu.
"Perkenalakan nama ibu adalah Aisah Amalia. Panggil saja Ibu Aisah. Usia ibu 28 tahun. Ibu berasal dari Kota Lubuk Hilir" kataku memperkenalkan diri. Sekarang giliran mereka yang memperkenalkan diri.
"Nama saya Nikmahtullah. Panggil saja saya Nikmah. Tetapi teman-teman saya selalu memanggil saya Niktul. Usia saya 10 tahun. Saya berasal dari Desa Air bersih dusun 5" Nikmah mengakhiri perkenalannya dengan memperlihatkan gigi-giginya yang kecil namun jarang-jarang.
"Nama saya Fitriyanti, panggil saja fitri. Usia 10 tahun . Berasal dari desa air bersih dusun 5"
"Nama saya Yudhatama, panggil saja tama. Usia 10 tahun. Berasal dari desa air bersih dusun 3"
"Nama saya Ikram Hidayat, panggil saja ikram. Usia 9 tahun. Berasal dari desa air bersih dusun 2"
"Nama saya Agusrahman. Panggil saja agus. Usia 11 tahun. Berasal dari desa air bersih dusun 1"
"Hahahaha...dusun pelacur"
Tersentak aku kaget dengan pernyataan itu. Yang dilontarkan oleh Tama. Anak berusia 10 tahun sudah tahu apa itu pelacur.
"Diam kau. Ibumu saja bekerja disana"
"Tapi ibuku tidak pelacur, dia hanya berjualan nasi"
Mereka menjadi gaduh. Tama dan Agus masih bersitegang. Agus yang marah ketika tempat tinggalnya dikatakan sarang pelacur oleh Tama segera meluncurkan serangan terbaiknya yaitu tinju maut yang membuat Tama terjerembab jatuh. Dan membuat kelompok lain mengerumuni kelompokku. Aku segera memisahkan dua anak lelaki ini. Ternyata Agus begitu kuat, aku tidak sanggup menahannya. Tinju kedua meluncur mulus ke pipi kanan Tama. Akhsan yang dekat dengan kelompokku langsung meleraikan mereka berdua. Dan Denni datang berlari dari jarak yang cukup jauh.
"Ada apa ini?" Denni melihat keadaan semakin ramai. Bukan hanya murid - murid kelas kami. Tapi, beberapa warga desa juga mulai mengerumuni. Agus dan Tama dibawa oleh Denni ke belakang Balai Pertemuan. Dan mengajakku bersama mereka. Kelompokku ku serahkan pada Akhsan.
"Apa yang terjadi?"
"Dia mengejek tempat tinggal aku pak" mata Agus masih merah menahan amarah yang kurasa jika Denni tidak datang maka pukulan maut ketiga akan meredakan rasa amarahnya.
"Aku tidak mengejek. Tapi, itu memang kenyataannya kok" kilah Tama yang pipinya mulai membiru.
"Apa yang kamu bilang ke dia?" Tanya Denni menunjukka kearah agus.
"Aku bilang, tempat sarang pelacur?"
"Apakah kamu tahu pelacur itu apa ?"
Tama geleng-gelengkan kepalanya.
"Sebaiknya kamu jaga bahasamu. Ibu Aisah akan mengajarkanmu bersopan santun. Mintalah maaf kepadanya?"
"Aku tidak mau"
"Aku juga" agus menimpali.
"Kalau tidak ada kata maaf, saya akan mengeluarkan kalian dari kelompok  belajar ini"
"Denni...!!" Aku tidak suka dengan menghakimi secara sepihak seperti itu. Ini hak mereka untuk mendapatkan ajaran. Kita dibayar untuk itu. Bukan malah membiarkan mereka pergi.
"Ssstttt....!!!" Denni menutup mulutnya dengan telunjuk.
"Aku keluar" kata Agus.
"Aku juga" Tama ikut.
Mereka melangkah pergi dari hadapan kami. Aku melihat punggung Agus yang penuh harapan bisa mengikuti pembelajaran ini tampak kecewa. Begitu juga Tama, raut wajahnya tiba-tiba berubah ketika Denni mengatakan hal itu.
"Den, sikap diktatormu jangan kau bawakan kedepan anak-anak. Setidaknya kita bicarakan terlebih dahulu solusinya. Bisa saja Agus pindah ke kelompok lain atau sebaliknya" aku kesal dengan sikap diktator Denni yang suka mengambil keputusan semaunya saja.
"Kita tidak boleh memaksa kehendak mereka. Jika memang mereka berniat untuk belajar. Pasti mereka akan datang lagi besok. Bahkan hari ini jug akan datang kembali mereka. Ingat, sah. Jangan memaksa"
Aku tahu maksud baik Denni. Dengan cara itu anak-anak mau belajar tanpa pemaksaan sekalipun. Cara yang jitu untuk anak-anak agar tidak terpkasa untuk belajar, dan itu berpengaruh terhadap proses belajar dan hasil belajar.
"Kalau mereka tidak kembali, maka kita gagal"
"Bukan kita, tapi aku yang gagal mendidik mereka" Denni selalu seperti itu. Gaya superheronya itu yang terkadang membuat aku merasa geli sendiri.
Kami memulai lagi dengan pelajaran yang kami ajarkan. Anak-anak kelompokku mula berkumpul kembali menuju tempat aku berdiri sekarang.
"Buk..ibu...mereka memang seperti itu setiap hari. Disekolah juga mereka sering berantem" Nikmah berkomentar.
"Iya buk" serempak mereka menyetujui celotehan Nikmah.
"Ya sudah. Perbuatan seperti itu jangan ditiru. Perbuatan tidak terpuji hanya akan membuat orang lain kesal dan lebih parah lagi Tuhan akan marah" paparku mencoba melihat raut wajah mereka satu persatu. Dikelompokku yang tersisa hanya 4 orang saja. Rasanya aku berat sekali dengan keputusan Denni tadi. Tapi, ada benarnya juga. Tidak perlu memaksa sesuatu, karena akan terasa tidak nyaman jika dilanjutkan.
Seusai pembelajaran, anak-anak kami kumpulkan kembali semuanya. Berbaur dengan kelompok lain. Denni berdiri di podium depan langsung membacakan konsep dan rancangan pembelajaran besok.
Setiap kelompok pada besok hari akan berpindah dengan pembimbing yang baru. Kelompok Denni akan dilanjutkan ke pembimbing Akhsan, begitu selanjutnya samapai sebulan kedepan. Kecuali pada hari sabtu minggu. Kami akan melakukan praktek lapangan secara langsung ke warga desa.
"Baiklah anak-anak bapak sekalian. Untuk hari selasa bapak minta kalian bawa peralatan tulis ya. Tidak perlu baru. Bawa saja alat tulis sekolah kalian. Pahamkan?"
"Paham pak" serempak suara gerumah anak-anak itu memecahkan keresahanku kepada tempat itu.
"Oke anak-anak. Terima kasih untuk hari ini. Kami ucapkan giat belajar adalah salah satu kunci menuju sukses. Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Anak-anak bubar. Kami menyusun kembali peralatan yang kami gunakan. Serril dan Ikbal yang paling sibuk. Karena mereka harus memasukkan kembali peralatan mereka yang begitu banyak. Serril hari ini belajar seni musik angklung. Ada sederatan jenis-jenis nada pada angklung yang harus diperkenalkan kepada anak-anak. Ikbal harus menutup opera mininya yang dibuatnya sendiri dengan bercerita mengenai dongeng malin kundang. Sedangkan Aku, Akhsan dan Denni kami hanya memerlukan papan tulis dan spidol warna warni. Aku membantu Serril membereskan barang-barangnya.
"Tadi kenapa toh, mbak. Kok ribut-ribut di kelompol, mbak"
"Ada namanya agus dan tama berantem. Tama mengejek tempat tinggal Agus. Agus tidak terima, bogem mentah langsung melesat kepipi Tama. Dua kali"
"Wuih...emangnya apa yang diejek Tama?"
"Katanya dusun rumah agus dusun Lacur"
"Serem amat , mbak. Kok anak usia segitu uda ngerti lacur" Serril menggeleng-gelengkan kepalanya.
Hari pertama ini begitu melelahkan sekali. Kesan pertama terhadap anak-anak itu sangat menyenangkan sekali. Kami juga terbiasa menghadapi anak-anak seperti mereka yang sebenarnya ingin banyak bermain daripada belajarnya. Tapi, disini kami memiliki konsep bermain sambil belajar. Menyenangkan melihat tawa dan keceriaan itu. Dan ketika sampai di rumah itu, rasa yang telah hilang ditelan keceriaan dan celotehan anak-anak datang kembali. Aku masih memandang kosong kerumah itu.
"Maaf, aku belum bisa menemukan rumah baru untuk kita" kata Denni.
"Tidak apa-apa" pandanganku masih lurus dan kosong kearah rumah yang penuh kenangan itu.
Malam ini kami masih mempersiapkan konsep dan rancangan pembelajaran esok hari. Sebelum beristirahat sebuah kring-kringan sepeda menyentak kami. Saling pandang tidak tahu, dan akhirnya Denni memberanikan diri membuka pintu rumah. Karena pada saat itu sudah pukul 9 malam. Siapa yang bertamu?.
"Ibu Aisah...ibu aisah" panggil suara cempreng yang aku kenal.
"Ternyata Nikmah. Ada apa nak?"
"Ini buat ibu dari mamah dirumah. Kata Mamah ibu suka kue ini"
Aku meraih sekantong plastik yang dibawa Nikmah. Aku membukanya, ternyata kue bika pandan yang bantat. Aku memang suka sekali. Sudah hampir berpuluh-puluh tahun aku tidak memakan. Aku mengambil satu, untuk mencicipnya. Rasanya masih sama, aku ingat betul siapa yang bisa menyiapkan bika pandan seenak ini walaupun bantat. Kak Nurah.
"Siapa nama mamahmu, Nikmah?"
"Nurahmi"
Airmataku meleleh. Dia adalah seorang kakak-kakak yang mengajariku ngaji ketika umurku 5 tahun. Dia juga yang pertama kali memberikan kue bika pandan bantat ini kepadaku.
"Sah, bikanya tidak berhasil. Bantat. Kamu pasti ga suka"
"Gak..gak...kak. Aku mau makannya. Sini aku makan ya" kugigit potongan pertama, entah kenapa aku langsung menyukainya.
Kenangan itu ketika aku masih berusia 5 tahun.
"Nikmah, bilang sama mamah makasih. Inshaallah besok sebelum mengajar ibu akan kerumah kalian"
"Ibu tahu rumah Nikmah?"
"Tidak tahu. Kalau Nikmah ga pelit ngasi tau ibu alamatnya"
"Hehehehe...rumah Nikmah disamping kantor urusan agama buk. Mamah jualan kue-kue untuk sarapan"
Info yang diberikan Nikmah akan mempertemukan aku dengan Kak Nurah. Sudah lama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar