Senin, 25 Januari 2016

B

- Desa dan Kenangan -
Aku memutuskan untuk ikut. Aku harus kuat. Bukan karena ucapan Denni yang tidak bisa tanpaku. Ini keputusan yang kutanya langsung kepada sang penciptaku. Setelah aku memohon dalam sujudku. Alloh memberikan solusi terbaiknya. Aku ikut.
"Loh, mbak Aisah ikut" teriak Serril senang. Dan aku langsung memandang wajah Denni dengan senyum kemenangan.
"Jangan GR" lirihku kepada Denni
"Setidaknya kata-kata itu membuatmu berpikir lagi, kan"
"Jangan GR aku bilang"
Kami berkemas-kemas. Mengepak ngepak barang bahan ajar. Masalah konsep Akhsan sudah selesai mengerjakannya. Kami diberikannya proposal hasil kerjanya lalu membacanya. Denni bersiap-siap membawa mobil tim yang bertuliskan "Langit Biru Education". Serril masih sibuk dengan kertas origami dan beberapa benda-benda untuk dijadikan bahan seni. Ikbal sudah didalam mobil.
Mobil Van "langit biru Education" malaju sedang ke desa dimana aku harus bisa menerima semua kenangan itu kembali. Tepat 2 jam perjalanan. Kami menuju bibir desa. Sebuah gapura besar menyambut kami dengan tulisan "selamat datang di desa Air Bersih". Desa yang aku tinggalkan selama 20 tahun. Banyak perubahan yang terjadi. Salah satunya gapura itu. Kami harus melapor ke kantor kepala desa. Denni memarkirkan mobil van itu di halaman kantor kepala desa. Kami turut ikut masuk kedalam kantor. Kami disambut dengan ramah oleh staf dan pegawainya. Pak Yono, salah satu staff yang berkomunikasi langsung dengan Denni menyambut kami dengan leluconnya yang sebenarnya tidak lucu menurutku.
"Saya kira, bapak-bapak dan ibu-ibu ini tidak.mau kedesa kami. Saya kaget, pas Pak Denni bilang tidak jadi kesini"
"Hehehe...jadi kok pak. Kemaren hanya bercanda, Pak Yon!" Denni tersenyum
Kami dipersilahkan masuk keruangan kepala desa. Pak Mukhtar sudah menunggu kami di balik meja kerjanya. Aku memandang lurus kearahnya. Lelaki dengan tahi lalat di pipi sebelah kiri itu aku sangat mengenalnya. Dia adik dari ayahku yang keempat. Dia adalah pamanku. Mataku membesar seketika itu langkahku terhenti. Lelaki yang termasuk salah satu komplotan yang membuat trauma dalam hidupku itu ada didepan mataku. Dia takkan menyangka aku adalah keponakan yang mereka buang 20 tahun yang lalu. Kakiku masih susah untuk digerakkan, tangan Serril meraih tanganku mengajak aku masuk dan duduk. Kaku sekali, mataku tak henti-hentinya memandang wajah itu.
"Kami dari tim langit biru education akan melaksanakan tugas pendidikan luar sekolah secara gratis didesa ini, Pak" papar Denni yang berhadapan langsung dengan Pak Mukhtar.
"Iya, saya tahu. Saya juga sudah membaca isi proposal yang dikirimkan pak Wahidin seminggu yang lalu. Tapi, 3 hari yang lalu saya dapat kabar dari Pak Yon bahwa kalian membatalkan kerjasama. Mengapa sekarang kalian menyetujuinya"
"Hehehe...tidak ada apa-apa pak. Hanya masalah kecil"
"Anda yakin masalah kecil" dan akhirnya pamanku itu menatap wajahku juga. Kami saling beradu pandang dengan tatapan yang berbeda. Denni yang langsung tahu maksud Pak Mukhtar itu seketika melihat kearahku.
Aku tak tahan, rasa amarah yang aku pendam selama 20 tahun itu sepertinya bangun dari tidurnya.
Aku keluar ruangan. Mungkin akan ada tanda tanya besar diantara timku. Tapi, aku tidak perduli. Aku tak ingin meluapkan amarahku didepan timku.
Setengah jam bernegoisasi dengan pak Mukhtar, dan aku lihat mereka saling bersalaman.
"Kak Aisah. Ternyata itu paman kakak, ya! Kenapa gak bilang dari tadi sih. Aku sudah ketakutan melihat tampangnya yang seram.seperti itu. Apa lagi tahi lalatnya itu loh. Serem banget" Serril yang centil memang seperti itu, suka melebih-lebihkan.
"Sudah-sudah. Kita harus mencari rumah yang dibilang Pak Mukhtar tadi untuk menginap selama sebulan" Denni menyuruh kami masuk.kedalam mobil van itu.
Sebuah anggukan ramah dari Pak Yono melepas kepergian kami. Denni memberikan secarik kertas kepadaku. Sebuah peta.
"Kata pak mukhtar, kau tahu alamatnya"
"Aku sudah lupa" jawabku datar. Aku memang sudah lupa. Bukan karena ingin melupakan.
"Masa' kak Aisah gak inget sama sekali" Serril mendekatkan wajahnya kearahku yang sedang melihat kearah luar jendela. Lalu aku melihat sebuah lapangan yang dulu aku dan adikku bermain sepeda, sekarang sudah berubah menjadi balai pertemuan desa, tapi pohon besar itu mengingatku pada lapangan tempo dulu.
"Disinilah dia berlari kearahku" aku bergumam.
"Dia siapa kak?" Tanya Serril
"Eh...sebaiknya kita tanya saja salah satu penduduk" Denni yang tahu aku sedang bergumam tentang masalaluku langsung mengalihkan pembicaraan.
"Bener juga" kata Akhsan. Serril yang masih bingung mengabaikanku. Aku harus kuat. Aku tidak boleh kalah dengan kenangan. Aku harus kuat. Kuat, aku yakin.
Sesampainya di sebuah halaman yang luas. Ada 3 rumah disitu. Rumah yang berwarna cokelat tampak lebih besar. Lalu disebelahnya rumah cat berwarna putih. Dan disebelahnya lagi, aku tahu itu rumah siapa. Ternyata kebun jagung milik ayah dulu sudah dibangun 2 rumah.
"Kita tinggal dimana?" Tanya Serril.
"Dirumah berwarna putih itu" tunjuk Denni kerumah yang berada diantara rumah-rumah.
Aku tidak tahu, apa maksud paman meletakkan kami di sebelah rumahku dulu. Tak banyak berubah dari 20 tahun lalu. Aku mencoba kuat, tapi bayangan itu akan jelas nyata sekarang.
Kami mengeluarkan barang-barang yang kami bawa. Perbekalan selama sebulan di desa air bersih. Serril sekamar denganku, dan sisanya mereka sekamar bertiga. Denni yang terlebih dahulu permisi dengan tetangga sebelah rumah kami. Seusai Denni bersilaturahim ketetangga sebelah Denni membawa berita.
"Dengarkan aku. Ada cerita tidak mengenakkan dari sebelah rumah itu. Kata ibu-ibu sebelah rumah kita itu angker. Jadi, kalau ada yang mendengar teriakan minta tolong jangan di pedulikan ya"
"Wuuih serem banget, Mas" Serril langsung mengaitkan tangannya ke sikuku.
"Takhyul itu" Akhsan mencoba meredakn ketakutan diantara kami.
Luar biasa sekali, aku ingin tertawa rasanya. Tidak dipedulikan, itulah yang mereka lakukan dahulu. Mereka selalu tidak memperdulikan tetangga mereka yang sedang kesusahan dan butuh pertolongan. Dan aku kembali mengingat jelas bayangan itu.
Malam tiba, selesai shalat berjamaah kami mulai menyiapkan hal-hal yang diperlukan besok hari. Kami akan melakukan pembelajaran dibalai desa setelah usai anak-anak sekolah dasar pulang sekolah. Ini seperti les pelajaran tambahan untuk mereka secara gratis. Kami akan memberikan ilmu baru kepada mereka. Bukan hanya sekedar belajar menghitung dan membaca. Akan tetapi, kami juga mengajarkan prilaku, etika sopan santun, berkebun, berseni , olah raga dan masih banyak lagi. Sedangkan tugas kami bukan hanya memberikan ilmu untuk mereka. Kami harus membuat laporan yang akan dikirim kepada pak Wahidin untuk dijadikan bahan referensi alokasi dana mentri pendidikan ke desa-desa.
Setelah selesai membuat konsep dan rancangan pembelajaran untuk esok hari. Aku belum bisa tidur. Aku ingin sekali mendengar suara teriakan "minta tolong" itu. Dan aku yakin itulah suara ibu dan adikku.
"Kok belum tidur?" Suara Akhsan dari belakangku.
"Aku belum bisa tidur"
"Maafkan aku sudah marah-marah padamu tempo hari"
"Iya, aku tahu. Aku memang keras kepala. Kau tidak bersalah, ngapain juga minta maaf"
"Aku merasa tidak enak"
"Sudahlah, sebelum kau minta maaf, aku sudah memaafkanmu"
"Terima kasih. Aku tidur duluan ya" Akhsan berlalu dari punggungku.
Aku masih ingin mendengar suara itu. Dan jika memang beruntung bisakah aku diperlihatkan secara langsung pemilik suara itu.
Malam yang dingin. Malam yang membuat aku terkenang 20 tahun yang lalu. Ketika aku masih bisa bermain dilapangan bersama adikku. Tawanya yang ceria. Teringat teriakan ibu yang menyuruh kami pulang karena hampir magrib. Bukankah menyedihkan semua kenangan indah itu tergores oleh luka yang mendalam.
"Sudah malam tidurlah. Istirahat"
"Kau tahu Den. Itu rumah siapa? Itu rumah penuh kenangan bagiku"
Denni secepat kilat menuju hadapanku.
"Maksudmu? Itu rumah..." Denni menghentikan kata-kata yang aku tahu dia sudah paham maksudku.
Aku mengangguk.
"Besok kita pindah. Jadi, itu yang membuatmu banyak diam hari ini. Melamun tidak jelas"
"Dan, kepala desa itu salah satu komplotan yang menggores kenangan terindahku. Satu lagi tempat kita mengajar besok adalah tempat dimana kenangan masalalu itu tertanam dalam di hatiku. Dimana gadis kecil.itu berlari minta tolong dan aku terlambat"
"Cukup!" Denni mencoba untuk menghentikanku, tapi mulutku masih mencercau.
"Kau tahu, Den. Rumah yang kita tinggalin ini dulunya ladang jagung milik ayahku. Kami petani jagung yang sukses. Semua iri dengan hasil jagung kami yang besar dan banyak. Dan itulah awal dari ..."
"Cukup aku bilang. Tak perlu kau bicara lagi. Masuk kamar. Besok sebelum mengajar, aku akan mencari rumah baru untuk kita. Sudah..sudah...istirahatlah. Aku tak ingin airmata itu jatuh lagi. Tidurlah"
Denni yang masih menungguku untuk bangkit dari dudukku menatapku lesu. Airmataku jatuh seketika.
"Aku rindu mereka" aku menutup seluruh wajahku dengan telapak tangan. Menahan keperihan ini sendiri.
"Ada aku. Masih ada aku disini. Jangan sedih" Denni menepuk pundakku pelan. Dan itu setidaknya sebagai tanda penguatan untukku.
Denni memang pantas dijadikan ketua dalam tim ini. Walaupun sikap tegasnya yang membuatnya seperti diktator. Dia mempunyai hati yang lembut. Perhatian kepada anak buahnya. Dan bukan kepadaku saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar