Senin, 25 Januari 2016

D

- Kembali kemasa lalu -
Aku pamit untuk pergi kerumah kak Nurah. Awalnya Denni melarang keras.
"Nanti buat hatimu kacau kalau kamu kesana sendirian. Aku ikut ya?"
"Tidak perlu khawatir aku bisa dan aku kuat. Kak Nurah tidak termasuk orang-orang yang jahat itu. Dia kakak yang baik. Buktinya dia mengirimkan kita bika pandan tadi malam"
"Baiklah. Jika merasa tidak nyaman langsung pulang"
"Iya, Pak bos"
Kadang aku merasa risih dengan perhatian dan kekhawatiran Denni terhadapku. Akunya yang merasa ke GR-an atau semacamnya. Akh aku berpikir Denni hanya mengayomi anak buahnya saja.
Berjalan kaki menyelusuri perkampungan yang sudah aku tinggalkan sejak lama itu. Banyak terjadi perubahan. Warga desa yang mulai beraktifitas silih berganti menyapaku ketika berselisihan jalan. Sungai dibelakang rumah Nek Uyah juga masih ada, tapi tak sejernih masa lalu. Pohon yang dikatakan keramat dan angker itu juga masih ada. Tapi, ada tulisan yang membuat aku terkekeh.
"Jangan buang sampah disini, nanti hantunya marah"
Udara sejuk pedesaan. Hamparan sawah yang semakin menyempit karena dibangun lahan perumahan. Sangat disayangkan memang. Kakiku terus melangkah seperti ada yang menuntunnya untuk kerumah Kak Nurah.
Aku mendekati kios sarapan kak Nurah.
"Kak, beli kue ini" tunjukku kesebuah bakwan.jagung yang kelihatannya lezat.
"Mau berapa dek" Kak nurah tak memalingkan wajahnya kearahku. Aku memang sengaja ingin membuat kejuatan.
"10 kak"
"20ribu dek"
Dan ketika aku hendak memberikan uang belanjaanku. Kak Nurah terkejut.
"Aisah!" Teriaknya haru. Lalu membaurku dengan sebuah pelukan hangat. Kak Nurah berubah drastis. Dulu langsing sekarang ukuran bajunya 5 kali lipat dari punyaku.
"Kakak kok gemuk sekali"
"Namanya juga sudah mamak-mamak. Kebanyakan makan pil KB"
"Hehehehe....kakak sehatkan"
"Sehat. Aisah gimana?"
"Sehat kak"
"Sudah lama tidak keliatan sejak kejadian itu"
Sore itu dua puluh tahun yang lalu. Aku bersama adikku sedang asik bermain layang-layang yang baru saja dibelikan oleh ayahku sehabis memanen jagung. Karena ayah berjanji akan membelikan layang-layangan. Dan kami bermain dilapangan desa. Angin sore yang begitu indah membuat layang-layang kami mengantung diudara. Bergoyang kesana kemari. Menarik ulur benang pengikat anatara kami dan selembar kertas yang sedang melayang tinggi.
"Kak Aish, Dek Mala...pulang sudah sore" Teriak ibuku dari halaman depan. Jarak antara rumah dan lapangan tidak begitu jauh. Aku dan Mala berlari menyudahi bermain main layang-layang.
"Iya buk" teriakku.
"Besok maen lagi ya kak"
"Hu um" anggukku mantap.
Selesai mandi, aku membantu ibu didapur menyiapkan makan malam. Hari ini menunya ikan sambal dan daun singkong di santan. Makan favorit keluarga.
"Kak Aish harus pandai memasak ya. Anak perempuan harus bisa masak"
"Iya buk. Nanti ajarin Aish memasak"
"Besok ibu ajarin Kak Aish memasak"
"Asik...!!!" Aku girang sekali mendengarkan ucapan ibu. Usiaku memang masih muda, tapi aku suka membantu ibu, terutama memasak.
Hari semakin magrib, waktunya aku mengaji bersama Kak Nurah. Aku pergi kerumah kak Nurah. Biasanya aku pergi bersama adikku. Tapi, magrib ini adikku setelah selesai main-main terserang sakit perut. Akhirnya aku pergi mengaji sendiri. Sesampai dirumah Kak Nurah, aku melihat Paman Mukthtar baru saja keluar dari rumah Kak Nurah.
"Paman ngapain , kak?"
"Owh...ada urusan sama bapak tadi"
Aku hanya mengangguk seolah mengerti. Seketika itu juga Wak Umah bapakanya kak Nurah permisi keluar menemani Paman Mukhtar. Aku tidak tahu kemana mereka pergi. Tujuanku hanya mengaji dengan Kak Nurah.
"Mala mana?"
"Sakit perutnya?"
"Hm...jadi dia dirumah sekarang?"
"Iya, kak!!"
"Kenapa gak kamu paksa aja dia mengaji?"
"Kasian kak, dari tadi dikamar terus"
Kak Nurah menggangguk pelan. Dan mulai membuka al-qur'an ukuran besar dengan tulisan yang mudah aku baca. Aku sudah dua kali hatam sampai usia 8 tahun ini. Kak Nurah sangat menyukaiku, karena aku paling mudah menangkap pelajaran baru.
Sudah mendekati Isya'. Aku harus balik. Tapi, kak Nurah menyuruhku mencoba kue barunya. Dia beri nama Kue Bolu busa. Aku penasaran dengan bolu busanya. Apakah rasanya seperti busa atau semacamnya. Benar saja, kue bolunya seperti busa lembut dan manis. Aku suka. Tapi, tidak sesuka bika pandan bantat milik kak Nurah. Aku pamit setelah makan 3 potong kue bolue busanya. Kak Nurah mengizinkanku pulang.
Berjalan kaki, dengan lampu desa yang seadanya. Ketika melewati lapangan. Aku melihat sesosok yang aku kenal dengan kondisi berdiri keadaan basah.
"Kak Aish....!!" Teriak Mala
"Mala, kenapa kamu basah kuyup?"
Karena lampu penerangan jalan sangat minim. Yang aku tahu Mala basah kuyup, lalu dia berlari tertatih ke arahku. Aku mencoba mendekatinya, memastikan apakah Mala benar-benar basah. Tapi, belum sempat aku mendekatinya, Mala malah terjerembab ketanah. Aku terkejut.
"Malaaaaaa!!!" Teriakku mendekati.
Aku yang masih memakai mukena menyeret-nyeret ketanah. Aku memeluk Mala, meminta tolong.
"Tolong...tolong" tak ada orang lewat. Aku mencoba membopong Mala ke rumah.
Kakiku melemas, rumah kami sudah porak poranda. Kaca jendela depan sudah pecah. Lampu depan rumah biasanya hidup terang benderang tapi kini redup. Aku tahu kaca-kaca berceceran dimana-mana. Kakiku terinjak kaca dan berdarah. Dan baru aku sadari Mala bukan basah karena air. Tapi, itu darah. Seperti ada sesuatu yang menghantam seluruh hatiku. Mala tak membuka matanya dengan kepala bersimbah darah.
"Buk...ibuk"
Tak ada sahutan. Aku mencari keseluruh ruangan. Dan aku berdiri kaku. Aku melihat ibu dan ayah sudah tak sadarkan diri bersimbah darah di dapur. Ayah sedang memegang parang. Ini mengerikan sekali. Aku berlari ke arah rumah tetangga yang lumayan jauh. Tetangga terdekat adalah Paman Mukhtar.
"Paman...paman!!!" Teriakku dari luar pintu rumahnya.
Tak ada sahutan dari dalam rumah paman. Aku mengedor-ngedor pintunya. Tetap tak ada jawaban. Pikiranku kacau balau, tapi badanku tetap membawaku kearah rumah warga lainnya. Rumah kak Nurah, terseok-seok aku berlali ke rumah kak nurah.
"Kak...kak....tolong kak!!!" Tak ada yang menjawab. Pada kemana warga desa ini. Aku sangat membutuhkan mereka. Lalu, seorang yang baru pindah dan aku sangat mengenalnya sekarang. Paman Syaikh.
"Ada apa nak!"
"Tolong paman, tolong. Keluargaku ...." aku tak sanggup mengatakannya. Paman Syaikh langsung menyalakan motor bututnya kearah rumahku. Aku semakin syok , tak ada seorang pun warga disitu. Ini pembunuhan. Aku yakin ini pembunuhan. Tapi, siapa yang tega membunuh keluargaku. Paman Syaikh langsung menutup mulutnya.
"Astagfirullah. Allahuakbar. Sabar ya, nak. Saya akan berusaha membujuk warga untuk membereskan ini"
"Paman tahu siapa yang melakukan ini?"
"Maaf nak paman tidak tahu. Tapi, paman akan memanggil polisi sekarang. Kamu ikut?"
"Gak, paman saya mau menjaga mereka"
Aku sudah membawa Mala kedapur untuk bergabung dengan Ayah dan Ibu.
"Tidak, kamu harus ikut. Sebagai saksi nak"
"Tidak paman. Biarkan aku disini. Aku ingin melihat wajah mereka terakhir kalinya. Aku takut jika aku pergi nanti, mereka sudah menghilang"
"Nak!!!"
"Tidak paman, aku disini sampai aku terbangun dari mimpi ini paman. Aku yakin ini semua mimpi"
"Baiklah. Tunggu paman"
"Iya paman" aku mengangguk takjim.
Aku hanya bisa terduduk disudut seberang ruang dapur itu. Melihat ketiga keluargaku yang aku cintai tertidur pulasnya dengan penuh darah disekujur tubuhnya. Apa yang terjadi. Siapa yang tega melakukan ini. Airmataku tak terhenti-hentinya. Kepalaku sakit sekali. Memandang kosong kearah tubuh-tubuh yang akan menghilang besok. Aku lelah, hendak ikut bersama mereka.
"Aish...aish" sebuah teriakan dari luar rumah. Itu suara kak Nurah. Aku tak sanggup membalas sahutan kak Nurah. Tubuhku melemas dan bayangan hitampun menerpa. Aku pingsan.
Entah sudah berapa hari aku tak sadarkan diri. Yang aku tahu aku terbangun sudah berada ditempat baru. Melihat sekitar dengan silaunya cahaya yang aku tidak kenal dimana aku berada. Perutku lapar sekali dan sakit.
"Alhamdulillah, abah....abah...Aisah sudah siuman"
"Ayah, ibu, dek mala!" Aku teringat kejadian malam itu. Rumahku porak poranda, keluargaku bersimbah darah. Mereka dimana sekarang.
Wanita yang aku lihat pertama kali itu memelukku erat. Dia adalag istri Paman Syaikh.
"Sabar dan tabah ya, nak. Bibi yakin kamu orang terkuat didunia"
"Bi...aku udah janji sama Mala mau maen layang-layangan hari ini. Ibu juga janji akan mengajariku memasak hari ini. Mereka dimana?"
Semakin erat pelukannya. Beliau menangis sejadinya. Airmatanya membasahi punggungku. Akupun ikut menangis tersedu sedan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar