Senin, 25 Januari 2016

A

- tersebut nama desa itu -
"Sudah aku katakan, Den. Aku tidak akan pernah kembali lagi kedesa itu"
"Ayolah, Sah. Ini demi pendidikan. Bisakah kau singkirkan egomu itu"
"Tidak, maaf. Aku tidak bisa"
"Kau ini. Keras kepalamu saja yang kau pakai. Sesekali pakai nurani berpikirmu"
"Den, seharusnya kau tahu mengapa aku tidak bisa ke desa itu lagi"
Pertengkeran aku dengan Denni berakhir dengan bantingan pintu kamarku yang keras. Dan aku masuk kekamar, sholat dua rakaat. Aku menangis tersedu disepanjang sajadah pemberian paman Syaikh. Seorang paman yang sudah kuanggap ayahku sendiri. Dia mengajari banyak hal tentang hidup. Tetapi, dia tidak mengajarkanku tentang bagaimana menyembuhkan rasa luka dan trauma dalam diriku yang sudah berkarat hampir 20 tahun lamanya. Aku masih menangis, dan mataku lelah. Lalu tertidur. Dalam tidurku aku melihat ibuku yang sedang tersenyum. Lalu dia membelai kepalaku. Disana juga ada adikku yang sedang bermain boneka. Itu wajah adikku ketika umur 5 tahun. Aku tidak tahu bagaimana wajahnya setelah dewasa ini.
"Bu...aku rindu" gumamku dalam mimpi itu.
Ibuku masih tetap tersenyum padaku.
"Rindu, bu. Rindu rumah kita didesa" aku hampir menangis. Aku harus kuat pikirku saat itu yang hanya didalam mimpi.
"Tok...tok..." sebuah ketukan pintu yang membuyarkan mimpiku yang bertemu dengan ibu dan adikku. Tapi, aku tak membalas ketukan itu dengan apapun. Suaraku akan terdengar aneh ketika aku menyahut ketukan itu.
"Sah, maafkan aku. Aku sudah membatalkan kerja sama dengan Pak Wahidin. Maafkan aku"
Aku terperanjat, kata "membatalkan" itu adalah sebuah aib yang harus Tim kami hindari. Kurapikan mukena dan sajadahnya. Lalu aku membuka pintu kamar dan menemui Denni yang sedang duduk disebelah pintu kamarku.
"Kau bilang tadi, membatalkan?"
"Iya, sudah kubatalkan" raut wajah Denni berubah menjadi sedih. Aku tahu betul si Denni. Ketua Tim yang sangat tegas dan tidak ada yang bisa membatahnya. Diktator, tidak juga. Tapi, keputusannya adalah kekal. Jika A maka A.
"Mengapa?hanya karena aku tidak mau kedesa itu lagi. Kau membatalkannya. Kan masih ada Akhsan, Serril, dan Ikbal. Tanpaku Tim ini juga pasti berjalan"
"Tidak, yang namanya Tim adalah kerjasama. Tidak mementingkan keegoisan individu. Salinh pengertian dan memahami"
"Den, jangan merasa sungkan seperti itu. Hanya karena gara-gara aku tidak mau kedesa itu"
Kembali, tidak ada titik temu apa yang harus aku putuskan. Sebaiknya aku mengadu kepada Paman Syaikh. Sore itu setelah selesai berbicara memakai perasaan dan pikiran. Aku memutuskan kerumah paman Syaikh. Jalan sore itu becek sekali. Sisa hujan tadi siang. Kubangan-kubangan air membayangi warna langit yang masih mengabu. Angin yang dingin menusuk tulangku. Diatas sepeda motor aku mulai berbicara sendiri. Ini adalah kegemaranku berbicara sendiri tanpa harus memperlihatkan gerak bibir. Ya, aku berbicara dengan diriku sendiri. Mencoba menerima kenyataan tentang pertengkaranku dengan Denni dan Tim kami harus membatalkan kerjasama dengan Pak wahidin.
Sesampai dirumah paman Syaikh, aku memarkirkan sepeda motorku tepat dihalaman samping kiri cakruk bambu yang disebelahnya ditumbuhi pohon rambutan yang berusia sangat tua, bahkan lebih tua dari usiaku yang 28 tahun ini.
"Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam" sebuah sahutan yang aku kenal sekali suara Bibi Yani.
"Bi, apa kabar?"
"Oalah, Aisah toh. Bibi kangen sekali. Kabar bibi baik-baik aja, nak. Kamu gimana?"
"Baik juga, Bi. Paman ada?"
"Ada...ada...yowes, masuk dulu. Biar Bibi panggil. Pamanmu lagi nonton tivi. Lagi nonton ceramah ustadz sejuta umat itu. Katanya memorinya kembali kemasa muda dia dulu" jelas Bibi Yani sambil cekikikan kecil.
Aku hanya membalas dengan "hehehe" sambil menunjukkan gigi-gigi putihku. Bibi masuk keruang yang lebih dalam. Pikiranku sedikit tenang setelah masuk kedalam rumah yang sudah membesarkanku selama 9 tahun. Karena setelah itu aku harus keasrama untuk melanjutkan kuliahku di bidang pendidikan. Dan aku mendapatkan fasilitas asrama. Paman Syaikh masih seperti terakhir yang aku lihat. 3 bulan yang lalu. Ketika itu aku juga sedang merasa risau pada suatu keputusan. Dan ketika aku bercerita kepada paman syaikh banyak memberi masukan. Dan hari ini juga aku meminta masukan dari beliau.
"Paman, sehat?"
"Sehat, nak. Kamu bagaimana?"
"Secara fisik sehat, tapi.."
"Secara pikiran lagi risau, gitu" Paman Syaikh tahu betul. Seperti bisa membaca pikiran orang lain.
"Begini paman" aku tidak suka berbasa basi. Aku langsung bercerita kepada paman Syaikh. Dan beliau mendengarkan semua ceritaku. Dari pertengkaranku dengan Denni. Keputusan Denni yang tiba-tiba membatalkan. Dan tentang mimpi bertemu dengan ibu dan adikku. Paman hanya mengangguk-angguk kecil. Mencoba memahami cerita yang aku lontarkan kepadanya.
"Kau masih belum bisa berubah. Keras kepalamu itu loh, nak. Paman tau, ada kalanya keras kepala itu dipakai. Tapi, bukan saat ini. Pikirkan Tim yang sudah kalian bina selama 5 tahun lebih itu. Keras kepala hanya akan membuat runyam. Masalah lukamu didesa itu. Nak, ini sudah 20 tahun berlalu. Bisakah kau maafkan desa itu? Dia hanya korban dari orang-orang itu. Itu hanya sebuah desa yang butuh uluran tangan kalian. Pendidik-pendidik seperti kalian. Itu hanya sebuah desa. Bisakah kau berpikir ulang kembali tentang keputusanmu itu, nak"
Aku terdiam , berpikir tentang ucapan paman Syaikh. Ya, itu hanya sebuah desa. Tapi, bagiku itu adalah nama sebuah kenangan yang harus aku lupakan. Dan sampai ucapakan paman Syaikh berakhir, rasa sakit itu belum juga tertepis.
Aku hanya mengagguk sedikit ragu.
"Kau masih ragu, nak?. Shalat malamlah. Minta petunjuk Alloh itu lebih baik. Paman hanya memberi masukan. Masalah putusan akhir itu kau yang tentukan. Ini hidupmu, bukan hidup paman. Hidupmu, kaulah yang menuliskannya. Kau paham, kan Nak!"
"Iya, paman. Aku paham. Terima kasih"
Aku pamit, Bibi dan Paman mengantarkanku sampai depan pintu rumah mereka. Senyuman mereka sangat aku sukai. Senyuman tulus dari seorang orang tua yang sedang didatangi anaknya yang sudah lama tidak pulang.
Di basecamp. Denni dan Akhsan dengan berbicara. Dan aku yakin itu sangat serius. Karena aku melihat raut wajah Akhsan yang sedikit marah.
"Nah, ini dia orangnya" Akhsan tiba-tiba berkata demikian dan aku menghentikan.langkahku.
"San, jaga bicaramu!" Denni tahu nada bicara Akhsan sedang dalam keadaan emosi.
"Sudahlah, mas. Jika memang Aisah tidak mau berada di tim ini. Biarkan saja"
Aku terperanjat dengan kata-kata yang dilontarkan Akhsan. Aku tahu betul Akhsan. Karena aku yang menemukan potensi Akhsan ketika dia masih kuliah. Tapi, hari ini. Aku.melihat Akhsan yang lain.
"San, kamu harus sopan"
"Aku udah sopan, mas. Yang aku omongkan juga sopan. Jika Aisah merasa tersinggung itu urusannya"
Aku masih belum bisa berbicara. Tidak ingin membalas keketusan perkataan Akhsan. Aku tak ingin bertengkar lagi. Lelah. Aku masuk kedalam rumah dan mengacukan Akhsan yang masih terlihat emosi.
"Lihat toh, mas. Dia pergi begitu saja. Mbok ya disauti gitu" aku masih mendengar suara Akhsan yang tiba-tiba meninggi. Aku tahu, akhsan marah sekali. Tapi, kenapa sampai semarah itu kepadaku.
"Sudah..sudah...nanti malam kita rembukkan masalah ini"
Setelah mendengarkan keputusan Denni, sepertinya emosi Akhsan menurun. Tidak lagi aku mendengar suara percakapan mereka. Itu bertanda suasana sudah kondusif.
Malampun tiba, Denni sebagai ketua Tim memberitahukan setelah shalat Isya' akan ada rapat. Di ruangan yang biasanya kami melakukan rapat besar ataupun rapat kecil. Denni duduk diujing kanan sebagai tanda seorang ketua. Aku duduk berhadapan dengan Serril. Dan Ikbal diseblahku. Sedangkan Akhsan belum datang.
"Sebentar, ya. Akhsan masih didalam perjalanan. Katanya macet"
Kami mengangguk serempak.
15 menit berlalu, Akhsan dengan tas ransel.kesayangannya sudah tiba.
"Maaf semuany. Tadi macet sekali. Ada mobil dan truk tabrakan"
"Iya..." balas Denni tersenyum.
Dan Tim yang sudah kami bentuk selama 5 tahun ini pun memulai pembicaraan. Masalah keputusan Denni yang tiba-tiba menolak permintaan Pak wahidin. Dan sudah dipastikan tentang masalahku yang tidak mau kedesa itu.
Pembicaraan ini adalah pembicaraan tersengit kedua setelah 5 tahun bersama.
Ikbal buka bicara mengenaiku yang tidak mau kedesa itu.
"Kak Aisah kan sudah dewasa. Kenapa sih kak dibuang rasa keras kepala kakak itu"
Begitu juga Serril sependapat dengan Ikbal. Aku tahu mereka pasti akan menyalahkanku tentang hal ini. Aku masih belum bisa menjelaskan kepada mereka. Hanya, Denni yang tahu kejadian yang sebenarnya. Akhsan, Serril dan Ikbal hanya tahu desa itu tempat tinggalku yang membuat aku trauma untuk datang kembali. Mereka tidak tahu bahwa aku harus menanggung perih sampai selama ini.
Denni mencoba berpikir. Dia diam. Aku tahu dia juga bingung. Aku harus beranikan diri berbicara, agar masalah ini selesai.
"Sebenarnya tanpaku, kalian juga bisa pergi kesana. Di tim ini, aku hanya sebagai pelengkap saja, kan. Masalah hubungan kemasyarakat ada Denni yang bisa mengatasinya. Masalah konsep mengajar ada Akhsan yang ahlinya. Masalah breaking ice ada Ikbal. Kesenian ada Serril. Dan aku yakin kalian juga bisa mendidik anakkan. Kita ini pendidik, kan! Jadi tidak masalah jika aku tidak ikut"
"Tapi, kita ini tim. Sah!" Denni kembali membicarakan arti sebuah Tim.
Senyap, tak ada tanggapan. Semua terdiam ketika Denni mengatakan hal itu. Akhsan yang awalnya emosi menundukkan kepala. Begitu juga Serril dan Ikbal.
"Jadi keputusannya?" Serril angkat bicara.
"Kalian akan tetap berangkat tanpa aku" tandasku dengan keberanian besar.
Mereka mengangguk setuju. Aku puas sekali. Tapi, Denni masih diam. Dia pasti marah atas keputusanku.
Usai rapat semua kembali kerumah masing-masing. Sedangkan Basecamp akulah yang menjaganya. Akhsan dan Ikbal mengantar Serril pulang kerumah karena sudah larut malam. Denni yang masih berdiri didepan pintu rumah.
"Aku yakin kalian bisa kok tanpaku" aku mencoba memulai pembicaraan. Karena sepanjang rapat Denni tak banyak bicara. Ada hal yang masih membebaninya.
"Tim akan tetap berjalan tanpamu. Tapi---"
"Tapi apa?"
"Tapi aku gak bisa harus pergi tanpamu"
Aku berdiri kaku, pernyataan Denni membuat seluruh badanku kelu tak dapat bergerak. Mengapa Denni menjadi semanja ini.
"Sebaiknya kau pulang Den. Kau ingat janji tim ini. Karena aku yakin kau tak mungkin lupa. Karena kau sendiri yang membuatnya kan. Profesionalitas dalam tim" aku masuk kamar den meninggalkan Denni sendiri mematung di mulut pintu basecamp kami ini. Tak tahu raut wajah yang dipancarkan Denni saat ini. Aku lebih baik menghindar dari percakapan yang tidak berguna ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar