Senin, 25 Februari 2013

Aku Diam (Deria) I

Bahkan aku terasa asing ditengah keluargaku. Atau hanya perasaanku saja. Tapi, ini benar sebuah kenyataan yang tak dapat kuhindari lagi. Aku benar-benar terasing dikeluargaku sendiri. Ayahku sibuk dengan pekerjaannya yang tak kunjung selesai. Ibuku juga seperti itu, yang sibuk dengan mengurus adik-adikku. Sedangkan yang lainnya juga sibuk dengan sendirinya. Aku ditengah keramaian seperti ini masih saja terasa sepi. Rasanya ingin membuat onar agar semua orang melihatku dan memperhatikanku. Bahkan seorang temanpun tak mampu mengartikan kesepian ini. Aku Deria, seorang pelajar SMA kelas 2 yang merasa hidupnya sangat menderita sekali. Tak memiliki saudara padahal banyak. Tak memiliki teman padahal banyak. Tak memiliki kasih sayang padahal berlimpah. Namun, tak pernah kurasakan itu semua. Bagaikan kapas ringan yang tak berguna hidupku. Aku yang memang penyendiri ini tidak menyukai hal yang tak serius. Kehidupan serius dan menganggap semua serius. Hidup yang kebanyakan orang terlalu kaku dan sangat tidak menyenangkan. Tersenyum, hanya sesekali saja dan itupun ketika menonton komedi di TV. Sepertinya hidupku benar-benar sepi dan tak berkawan.
"Deria, tolong belikan ibu tepung terigu di mini market depan kompleks"
"Iya buk" sahutku datar.
"Lihat tuh....si kakak cemberut aja kalau disuruh ibu ke belanja" celek adikku yang nomor 3
"Ya...kaya' ga ikhlas gitu ngerjainnya" celetuk temannya.
Aku memandang kearah mereka sinis dan pandangan tajam, seolah-olah ingin dimakan.
Akh...kuabaikan itu semua, tahu apa mereka tentang aku. Sebagai saudara kok seperti itu, hanya bisa menuduh dan tak pernah tahu apa yang kurasakan. Aku berlalu dan berjalan menuju ke minimarket. Sambil berpikir, apakah wajahku menunjukkan ketidakikhlasan untuk membantu ibu. Akh...sudahlah, ku abaikan semua itu. Yang penting aku mengerjakannya dengan kemauanku sendiri dan sebagai anak yang berbakti pada orang tua. Belum lagi sampai di minimarket aku bertemu Yolli, teman sekolaku.
"Deria kamu uda selesai buat PRnya?" Tanyanya sambil tersenyum palsu. Memuakkan orang seperti Yolli ini. Ketika disekolah dia tak pernah sekalipun menyapaku, padahal dia satu kelas denganku. Bahkan kami sering 1 kelompok dan dia tidak pernah mengobrol denganku. Tetapi saat diluar sekolah dan ketika ada PR temanku ini sangat perhatian sekali seperti sekarang ini menanyakan hal yang seharusnya dia sudah tahu jawabannya.
"Udah, Yol" jawabku yang ingin berlalu cepat sebelum dia meminta aku untuk meminjamkan PRku. Licik dan penjilat, aku merasa dia bakalan jadi politikus kalau sudah dewasa nanti.
"Aku boleh pinjam, ga?" Tanyanya lagi dengan senyum kepolosan dibalik kepenjilatannya.
"Yauda, ntar malam datang kerumah" kuberikan sajalah, tidak ada pengaruhnya bagiku. Guru-guru juga sudah tau dimana kemampuanku.
"Ok, deria" katanya berlalu dengan senyum yang sama dari awal sampai akhirnya aku memberikan PRku.
Sesampai di minimarket, aku berhenti sejenak di depan pintunya. Karena aku melihat tanteku sedang berbelanja. Dia adalah adik dari ayahku. Orangnya penuh dengan kata-kata manis didepan namun, saat dibelakang betapa kita yang dimaniskan diludahkannya seperti tak berharga. Aku mendekat kearah dinding pintu dan tak terlihat olehnya. Aku mencoba mendengarkan percakapan wanita dewasa yang kurasa belum dewasa.
"Eh...tau ga. Kak Rinni itu sok tau banget" kata tanteku yang sedang membicarakan ibuku.
"Sok tau gimana?" Tanya temannya yang kutahu itu tante Deva yang tetanggaan dengan tanteku.
"Masa' nasehatin aku tentang masalah si Boni yang suka keluyuran malam-malam. Padahalkan si Boni ga pernah keluar malam. Boni itu rajin belajar"
Oh...ternyata masalah si Boni. Ya...Boni sepupu laki-lakiku ini persis sama halnya seperti ibunya. Boni mempunyai karakter ganda, dia mampu menunjukkan wajah polosnya kepada ibunya yang padahal dibelakangnya betapa brutalnya sepupuku itu. Malam itu ayah, ibu dan aku sedang keluar rumah dan melihat Boni sedang di lapangan sepak bola bersama teman-temannya sambil memegang rokok. Dan akhirnya ketahuan oleh ayah, ibu dan aku. Boni, memohon jangan melaporkan kejadian itu kepada orang tuanya. Dan ibuku berjanji tidak melaporkan kalau saja Boni pulang kerumah segera. Bonipun pulang. Sehari setelah kejadian, tante Anna datang kerumah, sekedar mengobrol dengan ibuku. Lalu ibuku menasehatinya agar menjaga Boni dengan baik dan jangan membiarkan Boni keluyuran malam-malam.
Mereka berlalu dan akupun tak akan pernah terlihat oleh tante Anna yang memang tak mau mengenal manusia aneh sepertiku. Aku membelikan pesanan ibuku dan lengsung pulang kerumah. Aku kaget, ternyata tante Anna sudah ada dirumah.
"Kok cemberut aja sih sayang" kata Tante Anna mencoba menyentuh wajahku.
"Eh....lagi musim wajah anak pelajar kaya' gini tan" jawabku berlalu kedapur meletakkan belanjaan yang kubeli tadi.
"Liat deh, anakmu Kak. Kok sombong banget. Ga da sopan santunnya. Beda dengan Boni" sekali lagi dia membela anaknya yang ternyata bumerang baginya.
"Deriakan memang seperti itu, Na" jawab ibuku yang sama sekali tak mengenalku.
Aku berlalu kekamar dan mulai mengerjakan PRku yang belum kuselesaikan.
Malampun tiba, Yolli yang memang berniat mencontek dengan alasan mau ngerjain PR bareng diizinkan keluar oleh ayahnya. Yolli, ngaret 1 jam dari jam yang dijanjikan. Yolli datang penuh senyum kepenjilatannya.
"Deria..." Sapanya penuh senyum dibalik topeng busuk itu.
"Ya...masuk aja, Yol" jawabku yang sebenarnya tak mau berbasa-basi. Ku berikan langsung buku tugasku dan mata Yolli terbelak tak henti-hentinya. Yolli merasa aneh, apakah gelagatnya memang sudah aku ketahui, dan itu pastilah kutehaui.
"Baek banget deh" senyum manis penuh kepalsuan itu melingkar indah di pipinya yang tembem.
Lihat saja besok pagi pasti dia dengan bangga bahwa dia sudah selesai mengerjakan PRnya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Sehingga ada yang ingin mencontek dengan lantang dia berkata " enak aja nyontek-nyontek kerjaian sendiri donk". Pernyataan itu sudah kuduga sejak aku berteman dangan Yolli dari sekolah dasar. Tapi, guruku memang adil, dia bahkan tau sikap curangnya Yolli. Padahal Yolli tidak pernah mendapatkan nilai dibawah 100 ketika mengerjakan PR, tetapi pada saat ujian Yolli selalu mendapatkan nilai remedial. Ternyata keadilan itu masih ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar