Jumat, 08 Februari 2019

Cinta Bagaikan Angin - ch 2 -

                        Cinta Bagaikan Angin
                                  Chapter 2.
                              Dia Seperti Angin
                           By : gherimis kecil
=================================
"Kai...Kai....tunggu sebentar" kata Poppy berlari dari belakang Kai.
Kai berhenti, dan menunggu Poppy yang terlihat kelelahan.
"Ada apa?" Tanya Kai bersikap dingin.
"Hara mencarimu beberapa hari ini. Biasanya kau sering ke club melihat latihan mereka" jawab Poppy.
"Aku sedang sibuk. Aku harus bekerja paruh waktu"
"Eh....untuk apa? Bukannya Papamu sudah kaya raya?" Kata Poppy heran.
"Ada kebahagiaan disana" jawab Kai meninggalkan Poppy ditengah rasa heran.
Kai bukan anak yang kekurangan materi, Papanya adalah seorang pengusaha bengkel mobil besar dikota itu. Akan tetapi, ada yang dia tidak dapatkan selama ini dari Papanya. Sebuah kata keperdulian yang Kai cari selama ini sudah dia temukan disebuah Kafe bernama Family.
Kai memakai seragam berwarna kuning putih, sebagai tanda bahwa Kai merupakan karyawan paruh waktu di kafe Family itu.
"Hai, Kai selamat sore!" Sapa Cerryl centil.
Kai tak membalas sapaan Cerryl.
"Mengapa kau begitu genit Cerryl?" Tanya Arga yang sedang membuat minuman.
"Kau iri dengan Kai,kan!"
"Untuk apa aku iri dengan anak SMA. Hahahahaha" Arga meletakkan minumannya diatas nampan yang sudah berisi makanan.
"Ish...Arga tidak sopan. Memangnya kenapa dengan anak SMA. Kai tidak terlihat seperti anak-anak"
Bel, meja pelanggan berbunyi. Kai segera mengambil buku menu dan mempersilahkan pelanggan memilih menu yang diinginkan, lalu Kai mencatat menu tersebut disecarik kertas pesanan.
"Aaaarrrrrrgghhhhh.....kameraku" teriakan dari luar itu membuat Kai terkejut. Dilihatnya Asha berteriak kepada seseorang yang sedang berlari membawa kameranya kabur. Segera Kai keluar kafe sambil membawa nampan. Dengan kekuatan tangan kanan yang mulai sembuh, Kai mencoba melempar nampan tersebut ke arah maling yang mengambil kamera Asha, ibu menejernya. Nampan melayang udara, melesat jauh dan dengan kecepatan yang didorong oleh angin nampan tersebut mengenai kaki si maling yang tersungkur. Kai berlari kearah maling tersebut dan mengambil kembali kamera milik menejernya itu. Dengan tersenyum menang Kai menyerahkan kamera milik menejernya.
"Kai...kau seperti angin. Cepat dan lemparan mu luar biasa!" Puji Asha membuat pipi Kai memerah malu. Kai hanya menunduk.
"Oh, iya...terima kasih. Sebagai balasannya kau bisa minta satu permintaan dariku" kata Asha.
"Aku ingin berkencan denganmu dimalam festival obor"
Mata Asha membesar, melotot karena terkejut.
"Kau serius dengan permintaanmu itu. Aku ini sudah tua, usiaku sudah 40 tahun. Dan kau masih 17 tahun. Apa kata orang lain melihat kita berjalan berdua. Aaakkkh....tidak bisa aku bayangkan itu. Permintaan yang lain saja"
"Aku serius, bu menejer. Aku ingin berkencan denganmu"
"Kai...kalau itu aku harus berpikir terlebih dahulu. Aku tak bisa menjawab permintaanmu segera"
Kai diam, melihat Asha masuk ke dalam kafe dengan tergesa-gesa.
Di dalam ruangan yang ber AC, Asha merasa masih kepanasan. Dia tidak tahu apakah Asha kepanasan karena terbakar gelora yang dulu pernah muncul dan sudah lama sirna. Dibuka ponselnya dan segera dia menelpon mantan suaminya.
"Hai, Bas" Sapa Asha kepasa Ibas, mantan suaminya.
"Ya, Sha. Bagaimana kabarmu?"
"Aku...aku terbakar"
"Apa yang terbakar?"
"Hatiku, Bas. Seorang anak SMA mengajak aku berkencan. Bagaimana ini?. Aku takut menolaknya"
"Kalau kau takut menolaknya, mengapa tidak kau terima saja"
"Bas, usiaku sudah 40 tahun. Dan aku berkencan dengan anak berusia 17 tahun. Apa kau masih waras?"
"Hahahaha....tentu saja aku masih waras. Cobalah membuka hatimu, Sha. Siapa tahu dia memang yang kau inginkan"
"Ibaaaassss.....aku serius"
"Kau tak pernah serius, Sha. Sampai kapanpun itu. Kau tetaplah Asha yang menghadapi kehidupan dengan kebercandaanmu. Seperti saat ini, kau sedang bercanda dengan seorang anak SMA. Mengapa tak kau terima saja keseriusannya untuk kau jadikan bahan candamu"
Asha terdiam. Kata-kata mantan suaminya itu sungguh menusuk hatinya. Terasa sakit, tapi itulah kebenaran yang harus diterimanya hingga dia harus berpisah dengan suami yang nikahi selama 14 tahun itu. Telpon itu menggantung diantara kediaman Asha yang tak ingin lagi mendengar celotehan mantan suaminya itu.
Poppy masih menunggu Kai di depan halte bus. Menantikan Kai pulang dari kerja paruh waktu menjadi rutinitas baru Poppy. Sebagai sahabat Poppy termasuk setia. Dikala Kai sedang dirundung sedih, Poppy selalu berada disamping Kai untuk menemani walaupun hanya sekedar melihat wajah muram Kai.
"Kai...Kai...." suara khas Poppy sudah terdengar ketika Kai turun dari bus.
"Sedang apa kau disini?" Tanya Kai.
"Sudah lama kita pulang bersama, Kai. Sejak kau sibuk di Club baseball dan sekarang kau bekerja paruh waktu. Tidak ada lagi waktu yang untuk saling bercerita seperti dahulu" Poppy berjalan disamping Kai.
"Kau ingin bercerita apa?" Tanya Kai melihat layar ponselnya yang bergetar.
"Aku ingin memberitahumu, kalau aku..."
"Sebentar....Hara menelponku" Kai menjauh dari Poppy.
Percakapan Kai dengan Hara tidak begitu terdengar oleh Poppy yang merasa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan selama ini.
"Poppy....maaf aku harus kembali ke sekolah. Club baseball sedang ada masalah. Kau, pulanglah dulu. Tidak perlu menungguku. Oke!" Kai berlari kearah halte bus dan menunggu bus ke sekolahnya tiba.
Poppy mematung seketika, lidahnya terasa kelu untun berkata " tetaplah disini, aku ingin aku tahu bahwa aku menyukaimu". Tapi, kenyataannya Kai menghilang secepat angin dan berlalu pergi ditengah dinginnya rasa yang menghampiri hati Poppy.
Asha kembali melihat galeri foto hasil jepretannya di layar komputer jinjingnya. Apartemennya begitu sepi malam ini. Hanya ada suara desiran angin AC yang semakin mendingin. Foto itu, kembali mengusik Asha. Seorang anak SMA sedang menyembunyikan kesedihannya sehingga tanpa disadarinya airmata mentes dipipinya. Kesedihan seperti apa yang harus disembunyikan oleh anak SMA itu.
"Akh, aku belum punya nomor ponselnya. Seharusnya aku mencatat semua nomor ponsel karyawanku disini" keluh Asha malam itu.
Ting nong....suara bel apartemen milik Asha berbunyi.
"Akhirnya datang juga" gumam Asha pada dirinya sendiri.
"Sebentar" Asha menuju pintu utama dan membuka pintunya dan langsung memeluk tamu yang datang.
"Senja.....aku rindu" kata Asha kepada sahabat kuliahnya itu.
"Aku lapar, kau memasak apa malam ini?"
"Apa kau tidak merindukanku, Senja?" Tanya Asha dengan wajah cemberut.
"Kita sudah berumur 40 tahun, jangan kau anggap masih ada rindu disana. Sudah hambar"
"Kau jahat sekali" bibir Asha meruncing cemberut.
Dia seperti angin, melaju cepat tanpa harus permisi terlebih dahulu. Hingga membuat segala yang rentan berterbangan ke angkasa.

Bersambung chapter 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar