Sabtu, 26 Maret 2016

After That Day

Setelah kelulusan itu, Nora terlihat amat murung. Seolah-olah tak ingin cepat-cepat menyelesaikan sekolahnya. Memang waktu terasa begitu cepat berlalu. Sekarang Nora akan memasuki dunia baru. Dunia setingkat lebih tinggi. Seragam putih abu-abu. Norapun teringat pada janji 5 tahun yang lalu. Seorang pengusaha kaya, bernama Dessi. Wanita kaya raya dikampungnya. Memberikan sebuah janji demi kelangsungan hidupnya.
"Kau harus berjanji. Jika aku memberikan ini. Maka setelah kau tamat SMP nanti, kau harus ikut aku"
"Iya, aku berjanji itu. Kemanapun Anda pergi, aku akan mengikutimu" Nora mengambil amplop berwarna cokelat yang berisi uang 50 juta.
Uang yang 5 tahun yang lalu dia pergunakan untuk menyembuhkan kaki ibunya yang hampir diamputasi. Dan kenangan itu terngiang lekat di ingatannya. Waktu dimana dia akan meninggalkan ibunya. Sebagai anak perempuan yang taat. Nora, harus menepati janjinya dengan Nyonya Dessi.
Malam itu, angin agak kencang. Mendung berkelebat diatas langit. Bintang tak terlihat. Sesekalo terdengar suara atap seng yang bergemeretak pelat. Nora sedang memandang ijazah SMPnya. Jelas disitu terlihat senyum mengembang dari gadis yang meranjak dewasa dengan rambut digerai sebahu. Sekarang matanya menuju angka-angka yang luarbiasa. Tidak ada angka tujuh disitu. Semua nyaris sempurna 9. Apakah dia sepintar itu?. Mengingat usaha dan kerja kerasnya belajar setiap hari. Dirasa amat pantas Nora menerima nilai yang fantastis itu. Keuletan dan ketelitiannya dalam bekerja serta rajin menolong orang lain itulah penyebab nilai itu semua. Siswa terbaik. Siswa yang mendapatkan nilai tertinggi Ujian Nasional tingkat SMP se provinsi, dan 2 terbaik seantero negeri.
"Apa yang kau pandangi itu, nak" tanya ibunya yang baru saja selesai dari dapur.
"Aku hanya melihat nilai-nilai aku saja buk"
"Ada apa dengan nilaimu?"
"Cantik sekali. Semua angka 9"
"Kau anak yang cerdas Nora, dari SD kau selalu menjadi juara"
"Itu karena doa ibuk"
"Juga karena kerja kerasmu, nak"
"Buk...apa sebaiknya aku menepati janji dengan Nyonya Dessi?"
"Nak, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang menepati janjinya. Pergilah. Ibuk ikhlas"
"Tapi, buk!"
"Tak usah kau khawatirkan ibuk. Ada Cikal bersama ibuk"
"Cikal hanya seekor kucing buk. Bagaimana kalau ibu tiba-tiba sakit. Cikal tidak bisa berteriak minta tolong"
"Nak, ada hal yang tidak orang lain tahu bahwa diri kita itu tidak akan pernah kesepian. Selalu ada takdir yang menemani kita. Jangan pikirkan hal-hal negatif seperti itu. Apa kau ingin ibu sakit?"
"Tidak..tidak buk"
"Nah, segeralah ke toko Nyonya Dessi dan bawa kue ini, berikan padanya"
"Iya, buk"
Nora mengayuh sepeda menuju toko Nyonya Dessi. Toko yang terletak di pojok persimpangan tiga. Tempatnya strategis. Menurut fengsui, itu adalah letaknya jalan dewa keberuntungan. Pantas saja Nyonya Dessi begitu kaya. Setibanya di toko. Nora disambut Acai, anak nomor dua Nyonya Desi.
"Nyari siapa lu?" Tanyanya sedikit ketus. Mulut Nora terlihat cemberut.
"Nyari Nyonya, ko"
"Oh, mama ada didalam. Aseng!!! Bawa si Nola ke belakang" Acai hanya bersikap dingin dan berteriak kepada pegawai yang membantu di tokonya.
Aseng membawa Nora ketaman belakang. Taman yang luas. Ditumbuhui beberapa pohon. Disitu juga ada bonsai yang sedang di rapikan oleh Nyonya Dessi. Sambil membungkuk Nyonya Dessi yang berusia 50 tahun itu sangat serius mengunting pelan-pelat helaian batang bonsai, agar terlihat rapi dan tetap kerdil.
"Apa kau sudah memutuskannya, Nora" hanya Nyonya Dessilah yang menyebutkan nama Nora dengan benar. Tidak seperti Asun, Acai dan Along mereka memanggil Nora menjadi Nola.
"Iya, Nyonya"
"Apa ibuk kau mengizinkannya?"
"Iya Nyonya" Nora hanya menunduk sambil memegang erat rantang yang berisi kue lapis.
"Kalau begitu, mulai besok. Kau bisa tinggal disini bersamaku. Apa kau setuju?"
"Nyonya, bisakah harinya diundur sampai minggu depan. Ibuku terlihat sedang tidak enak badan"
"Hehehe....semakin lama kau menundanya. Semakin tersiksa kau. Semakin tak bisa kau melepasnya. Belajar tega, dan aku tahu ibu kau pasti rela melepaskan kepergianmu"
"Iya" Nora tak tahan menahan airmatanya, bahkan kata besok sudah terasa hari ini.
"Kau  harus kuat nak. Ini masih sepertiga dari perjalanan hidup kau"
Nora hanya menunduk dengan airmata yang tak tertahan. Kesedihan ini bukan karena dia lemah. Tapi, karena dia harus lebih kuat.
"Aku ingat betul kata ibu kau. Katanya dia mempunyai anak perempuan yang kuat dan pintar. Makanya aku pilih kau untuk ikut aku"
"Iya nyonya" Nora menghapus airmatanya
"Baiklah, Nora. Aku sudah selesai menggunting batang bonsai ini. Kuenya kau letak saja dimeja itu"
Nora meletakkan kue yang diberikan ibunya untuk nyonya dessi ke atas meja kayu berwarna putih.
"Aku pamit dulu, Nyonya" Nora kembali menuju pintu keluar taman.
"Iya. Oh iya" Nora berbalik arah "cukup panggil aku Nya saja. Kurasa kepanjangan jika kau memanggil aku dengan sebutan Nyonya" sebuah senyuman indah mengembang dari wajah Nyonya Dessi yang terkesan kejam itu.
"Anda cantik sekali jika tersenyum seperti itu, Nya" Nora tak sedang memuji, dia berkata apa adanya.
"Cukup kau saja yang tahu kecantikan senyumanku, Nora"
Kembali senyum itu mengembang, sebelum akhirnya kembali mengkrucut setelah mendengar suara Acai memarahi Aseng.
"Tidak ada yang becus dikeluarga ini. Bahkan anak keduaku saja, emosinya seperti kesetanan"
Nora terdiam, Nyonya Dessi bangkit dari duduknya dan menuju pintu keluar taman diikuti Nora yang berjalan menunduk.
Sepanjang perjalanan pulang, Nora mengayuh sepedanya pelan. Sambil memikirkan apa yang terjadi esok. Dia harus tinggal diistana yang megah itu dengan taman yang luas. Dia harus meninggalkan ibunya, demi sebuah janji masa lalu. Lalu, apa yang terjadi dengannya esok hari. Sekilas seperti ada kilasan-kilasan tenyang film masa depan. Nora membayangkan hidupnya akan lebih baik jika dia menepati janjinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar