Rabu, 23 Januari 2013

Lonely River



Awal Pertemuan
Wajah kusut Mikaila menemaninya malam ini. Hari yang berat setelah seminggu latihan untuk pertunjukan di hall of show dipusat kota. Mikaila tak pernah menyangka bahwa pertunjukkan itu adalah menjadi pertunjukkan terakhir baginya. Air mata yang tak kunjung berhenti menetes, rasa kecewa yang mendalam. Betapa terpuruknya hidupnya saat ini. Namun, tak ada satu orangpun yang perduli atas apa yang dirasakannya malam ini. Angin yang menerpa wajahnya sehingga membuat beku tulang pipinya.
"Tak perlu disesali, Mikaila" katanya pada dirinya sendiri. "Ini sudah menjadi jalan hidupmu, yakinkan ini semua adalah jalan yang terbaik diberikan Tuhan untukmu, Mikaila" gumamnya dalam sepi.
Ditepi sungai ini, rasanya Mikaila ingin berteriak sekuat tenaga dan menghabiskan suaranya. Atau mungkin menerjunkan diri untuk menghilangkan rasa kecewa atas kegagalannya.
"Urrrrrrggggghhhhh" teriak Mikaila dalam hati.
Disisi lain tepi sungai itu.
Seorang pria tinggi dan gagah sedang merokok. Sudah hampir 10 batang rokok yang dihisapnya sejak pertama dia duduk ditepi sungai itu. Pria itu bernama Lika.
Lika menatap langit yang bertaburan bintang. Malam yang cerah, namun berangin pelan. Lika menghembuskan nafas panjang penuh sentak.
"Apa yang harus aku lakukan?" Tanyanya dalam hati. "Jika kuterima maka akan ada yang pergi dari hidupku"
Malam yang panjang membuat Lika harus berpikir keras atas tawaran bosnya. Nominal rupiah yang sungguh funtastic membuat hati Lika terusik. Jika di hitung-hitung maka setahun bisa membangun istana. Jika dia terima tawaran itu maka orang yang disayanginya akan meninggalkannya.
Menit berlalu, dua insan yang berduskusi dengan dirinya sendiri itu menikmati malam panjang dalam pembicaraan yang sulit. Angin yang semakin dingin membuat cara berpikir mereka beku dan masuk kedalam titik buntu.
Tiba-tiba Mikaila membaringkan tubuhnya direrumputan tepi sungai itu. Kini tubuhnya benar-benar tak bisa menerima segala pemikirannya itu. Lelah, sangat lelah sekali walaupun peluh tak keluar. Begitu juga Lika menghempaskan tubuh besarnya kereumputan yang basah karena berembun sambil menatap langit yang mulai menghitam pekat.
Kekuatan langit siapa yang tahu, sepertinya langit sedang ikut berduka atas menimpa dua insan itu. Air yang jatuh dari langit dengan deras tanpa disadari dua insan itu. Mikaila yang tak beranjak begitu juga dengan Lika. Mereka membiarkan tubuh mereka basah oleh hujan.
Ketika Mikaila membalikkan badannya dan begitu juga Lika. Mereka terkejut ternyata mereka tak sendiri. Mikaila terbangun dari baringnya begitu juga Lika. Mata Mikaila tak berhenti memandangi sosok besar dihadapannya. Begitu juga Lika memandangi sosok bertubuh ramping.
"Siapa Anda?" Tanya mereka berbarengan.
"Hm...aku Lika" jawab Lika menundukkan kepalanya.
"Aku Mikaila"
Suasana hening sejenak, tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir mereka berdua. Terasa asing.
"kenapa anda disini?" Tanya Mikaila memulai percakapan.
"Aku juga tidak tau, kalau anda?"Jawab Lika sekaligus bertanya yang sama.
"Aku sedang kecewa terhadap diriku" jujur Mikaila.
"Pulanglah, sudah larut. Tidak baik wanita selarut ini masih diluar rumah"
"Aku tidak punya rumah lagi sekarang" jawab Mikaila sendu.
"Menginaplah dihotel terdekat" saran Lika lagi.
"Aku ti..."
"Tidak punya uang. Apakah anda seorang pengemis?"
"Entahlah" jawab Mikaila tertegun dan tertunduk lesu.
Lika terheran dengan jawaban Mikaila. Lika berpikir tidak mungkin dia seorang pengemis. Lika tau pasti pakaian yang dipakai Mikaila cukup berharga tinggi. Itu jaket kulit asli dan satu hal lagi mana mungkin pengemis memakai highheels. Analisis Lika benar adanya.
"Sudahlah, apapun yang terjadi pada anda sekarang ini terimalah sebagai jalan hidup yang harus anda lewati" nasehat Lika.
"Apakah semudah itu menerima semua dan menganggap ini sebuah takdir" isak Mikaila yang tak terdengar oleh suara hujan.
"Tidak" jawab Lika singkat.
Kembali mereka berdua terdiam, namun kali ini Lika beranjak bangkit dari duduknya.
"Pulanglah Mikaila" kata Lika terlihat agak gontai. Mata Mikaila melihat Lika tak berkedip.
"Bukankah anda sendiri sedang ada masalah, Lika. Bisa aku lihat dari gerak tubuh anda" papar Mikaila.
"Aku manusia dan wajar aku memiliki masalah" jawab Lika dan berlalu pergi.
Pertemua Kedua

Di sebuah hotel bintang lima yang berada ditengah kota yang berdekatan dengan kantornya Lika.

Mikaila yang sejak 3 hari menginap dihotel itu merasa hidupnya memang benar-benar sudah berakhir. Mikaila menonton tv acara pertunjukkan balet yang di siarkan langsung dari Hall of Show. Begitu riuhnya penonton menyaksikan pertunjukan terbesar itu.

"Seharusnya aku sedang berada disana sekarang" gumam Mikaila.

Mikaila memejamkan matanya dan merasaka teriakan dan tepuka meriah dari penonton. Cahaya lampu panggung yang menyinari seluruh penampilannya. Membuat penonton berdecak kagum. Setiap gerakan tak ada yang salah. Betapa lenturnya tubuh Mikaila saat menarikan Dance Swan dan dilanjutkan dengan alunan musik berirama sendu Mikaila melanjutkan gerakanya. Panggung begitu dikuasinya, penonton terdiam ketika Mikaila melakukan lompatan berputar dan mendarat dengan indah dan membentuk seperti angsa yang sedang mengepakkan sayapnya. Sempurna sangat sempurna. Penonton bertepuk tangan meriah dan menggema diseluruh Hall.

"Hiks....hiks....semua hanya khayalan, Mikaila. Kau tak mampu lagi berdiri diatas panggung itu" katanya dalam hati.

Untuk menghibur hatinya Mikaila keluar kamar hotelnya dan pergi restoran yang ada live musicnya.

Di lobi hotel Lika dan kedua temannya sedang check in. Lika yang belum memutuskan apapun, masih tetap bingung dengan keadaan. Makanya, Lika dan kedua temannya menginap dihotel dekat kantornya untuk menenangkan pikiran.

"Aku langsung ke restoran" kata Lika.

"Baiklah, mana tasmu"

Lika berjalan menuju restoran yang ada disebelah kanan Lobi. Mata Lika mencari meja kosong untuk 3 orang. Namun, mejanya hampir penuh semua, kecuali meja yang berada dipojok restoran itu. Hanya diduduki oleh seorang wanita cantik berdandan seperti artis. Lika mendekati meja itu. Dan mengahampiri wanita itu.

"Permisi" tegur Lika sopan.

"Ya" wanita itu terperanjak dari lamunannya dan melihat Lika sejenak.

"3 kursi itu kosongkan?"Tanya Lika sambil menunjuk kearah kursi yang ada didepan Mikaila.

"Ya" jawan Mikaila singkat dan sama sekali tak perduli.

"Boleh gabung, aku dan kedua temanku" pinta Lika

"Boleh" jawab Mikaila singkat lagi.

Seperti tidak pernah bertemu. Baik Lika maupun Mikaila tak pernah merasa pernah bertemu sebelumnya. Mereka tampak asing satu dengan yang lainnya. Dalam samar lampu restoran Mikaila hanya termenung sambil mendengarkan live music. Dan Lika yang sedang menunggu teman-temannya sesekali melihat jamnya dan mencoba menghubungi teman-temannya.

"Apakah anda pernah merasakan kegagalan?" Tanya Mikaila tiba-tiba, membuat Lika terheran.

"Anda bertanya kepada saya?" Lika bertanya balik.

"Ya" jawab Mikaila singkat sambil menyerut juice aneka rasa buah.

"Gagal, sangat sering sekali. Dan saat ini saya sedang menantikan kegagalan atau keberhasilan"

"Bagaimana rasanya gagal itu?" Tanya Mikaila lagi menunduk.

"Tidak ada. Saya tidak merasakan apa-apa ketika gagal itu berlanjut. Seperti sudah terbiasa saja"

"Awalnya"

"Pada mulanya saya selalu menyalahkan diri saya sendiri. Dan merasa terpuruk, bahkan lebih dari itu. Ingin rasanya pergi jauh dari dunia ini"

"Mati"

"Ya...ingin mati. Karena sebelumnya aku tidak pernah gagal. Tapi, sekarang aku mampu mengatasi itu semua. Gagal bagiku imun menuju keberhasilan"

"Anda mampu bangkit"

"Harus" jawab Lika terdiam sambil mendengarkan live music yang menderu di seluruh restoran.
Pertemuan 2/3

"Aku menerima tawaran bosku, sayang" kata Lika melalui handphone selularnya

"Apa kau sadar, kau sudah diperbudak uang sayang" jawab wanita dari seberang telepon.

"Ini demi masa depan kita"

"Bukan demi masa depan kita, tapi demi masa depanmu saja" teriak wanita itu membuat gendang telinga Lika berdengung.

"Aku mencari uang demimu dan masa depan kita, tidak lebih dari itu" jelas Lika.

"Lepaskan aku sekarang juga Lika, aku benar-benar tidak sanggup jika kau menerima tawaran bosmu"

"Kenapa?"

"Karena aku tak ingin terjadi sesuatu terhadapmu nanti. Karena aku begitu menyanyangimu dan bayi dalam perutku ini"

Mata Lika terbelalak mendengar pernyataan kekasihnya itu. Bayi, tak pernah Lika menduga kekasihnya sedang mengandung seorang bayi. Lika berpikir keras untuk itu. Rasanya tidak mungkin, dia akan menjadi ayah secepat itu. Apa yang harus dilakukannya.

Disatu sisi, Mikaila sedang berkemas untuk berpindah rumah. Suasana baru harus membuat hidupnya menjadi lebih hidup. Mikaila pindah kesebuah apartemen yang dekat dengan sungai yang mempertemukan dia dengan Lika. Mikaila membereskan perkakasnya. Merapikan isi apartemennya. Dibukanya gorden yang menghadap sungai itu. Mikaila mengernyitkan dahinya melihat kearah sungai itu. Sungai yang membawanya kedalam sebuah khayal dengan segala kemungkinan. Niat Mikaila disore itu adalah duduk sambil meminum kopi ditepi sungai itu.

Sesampainya ditepi sungai itu, Mikaila melihat seorang pria berjaket yang bertuliskan "persatuan tinju nasional". Pria itu sedang berdiri sambil memegang handphone dan sebatang rokok di tangan yang lain. Mikaila duduk direrumputan yang berjarak 2 meter dari pria itu.

"Indah ya sunsetnya" kata Mikaila.

"Ya..."Jawab pria tersebut tetap pada pandangan kosong kedepan.

"Tapi, tak seindah hidup ini pada kenyataannya"

"Tidak juga" jawab Lika sambil terduduk diatas rerumputan. "Hidup ini sangatlah indah, jika kita menikmati setiap detik persoalan dalam hidup" sambung Lika.

"Mudah berkata menikmatinya"

"Tidak mudah, perlu keputusan besar untuk berkata seperti itu. Rasanya tidak mungkinkan hidup ini terlalu buruk"

"Itu bisa saja terjadi"

"Ya...buruk dan indah itu adalah teman yang tak mungkin terpisahkan. Mereka dapat melarutkan diri kedalam setiap kehidupan manusia. Ibarat air dan tanah jika di satukan. Jika tanah itu buruk maka air sebagi pelarutnya dan mengubah warna airnya"

"Ya"

"Dan warna air itu lah sebagai kehidupan baru, yang kita tidak tahu rasanya"

'Ya tidak enak rasanya, karena tanah dan air itu jika dilarutkan beragam rasanya"

"Benar, tergantung yang merasakannya"

"Relatif"

Senja orange merendah diufuk barat. Dan. Pandangan kedua insan itu kosong menatap merahnya warna matahari sore itu.
Pertemuan 3/4

"Mikaila...!!!kau diterima lagi di kelompok ini" teriak teman kelompok baletnya.

"Aku tidak percaya, Shin" jawab Mikaila datar.

"Benar, Mikaila" seru temannya kegirangan sambil memeluk tubuh Mikaila.

"Bukannya Miss Artha sudah tak menginginkanku lagi?" Tanya Mikaila.

"Tidak, Miss Artha sangat menginginkanmu. Kata Miss Artha cuma kaulah yang mampu menarikan Dance of Swan secara sempurna." Jelas Shin.

"Tidak mungkin, bagaimana dengan Holisa. Bukankah dia yang tampil dalam pertunjukan itu"

"Apa kau tidak tau, Holisa terjatuh saat dia melakukan gerakan terakhir. Dia telah membuat malu pertunjukan"

"Apa katamu, Holisa terjatuh." Mikaila tak percaya, tapi Mikaila memang tidak tahu kelanjutan pertunjukkan itu. Karena dia pergi restoran untuk menghibur diri.

"Ya, Mikaila. Bergegaslah, teman-teman menunggumu di basecamp" suruh Shin kegirangan.

Diwaktu yang berbeda 5 menit dari berita Mikaila. Dikamar 560 hotel yang berada didepan apartemen Mikaila. Lika masih berpikir keras, waktu untuk menjawab sudah habis. Kali ini Lika harus memberikan keputusan terhadap pertanyaan bosnya itu. Jemari Lika memejet keypad handphonenya dan menghubungi bosnya.

"Bos...beri aku waktu sehari lagi. Aku benar-benar ingin mendapatkan keduanya"

"Bicara apa kau ini. Aku tunggu sampai pukul 23.59 ini malam"

"Tapi, bos??"

Tut...tut....nada pemutusan sepihak telepon nyaring terdengar ditelinga Lika.

Malam tiba...

Sungai yang sepi itu kembali berpenghuni. Lika dan Mikaila. Namun, kali ini Mikaila tersenyum indah mengembang. Hatinya penuh dengan kesenangan. Hal yang terbalik masih terjadi pada dirinya.

"Sepertinya anda suka pergi kesungai ini?" Tanya Lika.

"Ya...disini aku mampu berdiam diri dan memikirkan masalahku" jawab Mikaila.

"Anda wanita dimalam hujan itu?" Tanya Lika.

"Anda Lika?"

"Ya, Mikaila"

"Terima kasih telah memberikan motivasi terhadapku"

"Sama-sama" jawab Lika datar.

"Anda benar, ketika kita harus menerima ini semua jalan yang sudah ditentukan terasa ringan menghadapinya"

"Ya..."

"Ternyata sebuah keegoisan dan kesombongan itu merusak segala keindahan hidup"

"Egois??"

"Ya...betapa egoisnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pertunjukkan itu karena keseombonganku yang tidak pernah tersaingi. Ternyata aku salah saat itu, telah mengambil keputusan yang membuat aku gagal tampil di pertunjukkan terbesar itu" Mikaila menarik nafas dan melanjutkan penjelasannya "aku memutuskan untuk keluar dan memilih tidak tampil dalam acara itu, karena aku tidak menjadi Centre Dance atau seorang penari utama saat itu, sombong sekalikan"

"Hm..."Lika tersenyum kecil.

"Dan akhirnya aku mampu belajar dari sikapku itu"

Malam panjang, waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Lika sudah tau keputusan apa yang akan diambilnya. Lika agak menjauh dari Mikaila dan mencoba menelpon bosnya. Mikaila hanya memandang jaketnya yang bersinar ditengah gelap yang bertulisakan "persatuan tinju nasional". Lika mengambil keputusan berat pada malam itu.
Pertemuan 5

Suasana di basecamp begitu riuh sekali. Gelak tawa para penari balet membuncah. Mikaila mampu tersenyum kembali, ketika Miss Artha merujuknya untuk bergabung lagi dengan Kelompok Swan Ballet. Mikaila berterima kasih kepada teman-teman kelompoknya yang sudah memberikan pernyataan-pernyataan yang baik kepada Miss Artha. Yang sejak terakhir bertengkar dengan Mikaila yang egois. Namun, pagi itu senyum Miss Artha untuk Mikaila, menyambut kedatangan pebalet terhebat.

"Maafkan Miss, Mikaila"

"Tidak apa-apa Miss, dari sini aku belajar sebuah kegagalan dan membuang rasa sombong dan egoisku" jawab Mikaila sendu.

"Wanita yang kuat" puji Miss Artha sambil memeluk Mikaila.

Disebuah rumah kecil, Lika yang tertidur di sofa terhenyak bangkit dari tidurnya dan melihat Sophie istrinya sedang berdiri dihapannya. Senyum Sophie pagi itu sangat berbeda dari senyum-senyum hari sebelumnya.

"Sayang, terima kasih" kecup Sophie di dahi Lika.

"Demi kamu dan bayi kita" jawab Lika tersenyum.

"Kita tidak tau apa yang terjadi di masa depan sayang. Jadi, jangan pernah berkata demi masa depan lagi." Pinta Sophie.

"Aku mengerti, aku hidup hanya untuk dihadapanku saja. Kau dan bayi kita yang sekarang dihadapanku"

"Benar sayang" peluk Sophie erat.

Lonely River, dan secara kebetulan sekali Mikaila dan Lika bertemu lagi. Dengan suasana hati yang senang dan kali ini senyum merekah diantara bibir mereka.

Mikaila melempar senyum terindahnya dan Lika membalasnya dengan hal yang sama.

"Terlihat begitu gembira, Mikaila"

"Ya...aku telah kembali pada posisiku" jawab Mikaila.

"Kalau begitu kita telah kembali pada posisi seharusnya"

"Maksudnya?"

"Ya...anda telah kembali menjadi penari balet dan aku kembali menjadi..."

"Petinju" potong Mikaila.

"Bukan...aku tidak menerima tawaran bosku untuk keluar negeri. Karena aku takut kehilangan yang selama ini kujaga"

"Oh...begitu. Berarti anda telah kembali menjaga sesuatu yang seharusnya anda jaga"

"Ya..."

"Lika, berarti kau sedang tidak bekerja saat ini?"

"Ya..."

"Kalau begitu melamar bekerja sebagai bodyguard saja di basecampku. Kami lagi membutuhkan bodyguard untuk pertunjukkan diluar kota"

"Benarkah itu??"

"Ya, Lika" jawab Mikaila senang.

Sore itu, adalah sore yang begitu membahagiakan kedua insan tersebut. Dihembus angin yang purau terhadap rerumputan. Sambil memandangi sunset.

" Apa kau sudah mempunyai kekasih Lika?" Tanya Mikaila.

" Aku sudah mempunyai istri, Mikaila. Sesuatu yang kujaga dan kupertahankan adalah istri dan calon bayi kami"

"Wah...sayang sekali. Hahahaha"

"Mikaila, hahahaha"

Mereka tertawa lepas. Pertemuan di Lonely River membawa mereka pada sebuah hubungan persahabatan yang sebenarnya. Lika yang sudah bekerja sebagai bodyguard di basecamp swan ballet diterima dengan baik oleh anggota-anggota swan ballet lainnya. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi dimasa depan anda. Maka cukup lihat yang ada dihadapan anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar