Senin, 09 Juni 2014

This is life

Aku Isah, usiaku baru saja meranjak 10 tahun. Dan sekarang aku duduk dikelas 4 sekolah dasar negeri. Aku dilahrikan disebuah kampung yang tanah gambutnya lebih besar daripada daratan keringnya. Rumah kami berada diatas tanah gambut yang masih berair. Air kami juga tidak bersih. Berwarna cokelat. Bahkan untuk mencuci badan saja lengket. Rumah kami sangat tinggi, karena ketika hujan, maka air rawa itu akan drastis naik. Rumah yang terbuat dari kayu kelapa itu lumayan kokoh untuk kami tinggali. Atapnya terbuat dari daun rumbia yang dikeringkan oleh orang tuaku. Kehidupan yang jika aku bilang sangat susah, jelas aku akan dikatakan anak yang tidak tahu rasa syukur. Tidak juga berkehidupan mewah, sedangkan aku hanya punya baju 5 potong saja. Satu baju untuk pergi bekerja membantu biaya sekolahku, 1 baju untuk pergi bermain bersama temanku, 1 pasang seragam sekolah, 1 pasang baju olahraga dan 1 pasang seragam pramuka. Dan ketika dirumah aku hanya memaki sarung saja, dan itu hanya 2. Karena jika 1 kena ompol maka masih ada cadangan. Mungkin orang lain akan merasa kasian melihat keluargaku. Tapi, aku paling benci jika ada yang memandang kasian kepadaku. Rasanya mereka memandang rendah diriku. Aku memang masih kecil untuk mengerti arti sebuah kehidupan. Umurku baru saja meranjak 10 tahun, yang aku tahu hidup itu tidak seperti teman-temanku katakan. Hidup itu indah jika kau nikmati. Aku sudah menikmatinya selama 10 tahun, tapi aku belum menemukan rasa indah itu yany bagaimana. Yang aku tahu hidup itu ada sebuah penderitaan yang tiada akhir dan kerja keras sampai mata tertutup.
Hari ini, selasa. Aku harus bangun lebih pagi dari biasanya. Karena aku harus piket untuk membersihkan kelas yang berlantaikan bumi. Aku memakai seragam kebesaranku, kebesaran disini- seragamnya memang besar alias kedodoran. Seperti kata ibuku, dia sengaja membelikan segaram yang kebesaran untukku agar tahan sampai aku tamat nanti. Tak apalah yang penting aku punya seragam baru. Semenjak aku kelas satu, baru kali aku beli baju baru. Itu sidah cukup menyenangkan bagiku. Sepatu yang solnya sudah mulai lepas itu sudah menunggu untuk aku pakai. Siasatku untuk tidak menguak solnya aku mengikatnya memakai karet bekas mengikat plastik gula.
Erna, teman seperjuanganku sudah menunggu didepan titi yang menghubungkan rumah yang satu dengan yang lain yang terbuat dari kayu kelapa. Aku melambaikan tangan kearahnya.
"Erna....!!!apa kau sudah selesaikan PR?" Tanyaku tersenyum riang
"Kau ini, memang tidak ada listrik dikampung ini. Tapi semangatku untik menyelesaikan PR lebih besar daripada semangat pemerintah yang selaluu bercuap-cuap janji manis" Erna bersemangat sekali.
"Kau seperti uwak Iyoh yang suka bicara seperti itu, ketika diwarung kopi uwak Zumoh"
"Hahaha.....akukan keturuan uwak Iyoh yang ketiga"
"Hahaha.....durhaka kau mengolok-ngolok uwak Iyoh"
"Kau ini bisa saja"
Kami berjalan menyusuri titi kayu itu. Dan sampai di penghujung daratan kering. Sudah banyak yang hilir mudik. Anak sekolah juga sudah banyak yang berlalu lalang. Ini masih pukul 06.30 wib. Masih sepagi ini sudah banyak saja yang melakukan aktifitas.
"Bunde Diah!!!" Teriak Erna memanggil adik ibunya
"Apa? Mau kesekolah kau?"
"Ya, bunde"
"Baek-baek kau sekolah, nak! Langsungkan hidup kau dengan ilmu. Kau harus jago matematika, nak. Biar jadi orang nomor satu disini"
"Aamiin Bunde. Doakan saja"
Cita-cita, jelas aku dan Erna punya cita-cita. Aku yang bercita-cita ingin jadi guru ingin sekali mendidik anak-anak kampung kami ini supaya pintar berhitung. Sedangkan Erna ingin jadi dokter, dia ingin sekali menyembuhkan bapaknya yang terkena TBC. Aku rasa itu masih lama sekali. Ataupun tidak terwujud, pesimisku.
"Kau tahu, Sah. Aku ingin sekali jadi dokter" kata Erna di suatu siang sepulang sekolah dibawah pohon yang hanya satu-satu tumbuh dilapangan bola kaki dikampung kami.
"Wah....hebat betul kau bercita-cita seperti itu. Seperti pak mantri" kataku terkagum-kagum dengan cita-citanya Erna
"Kalau kau mau jadi apa, Sah?"
"Aku...." aku menunduk lesu, memang belum pernah ada yang menanyakan cita-citaku sebelumnya bahkan mamakku.
"Kau harus punya cita-cita, Sah. Kau bisa menjadi apa saja, kalau kau punya cita-cita" Erna selalu berapi-api ketika berbicara hal seperti ini.
"Aku masih bingung, apa aku mampu mencapai cita-citaku"
"Kau pasti mampu, Sah"
"Hahaha....kalau begitu aki hanya ingin menjadi guru. Seperti buk Muriah. Yang pintar matematika"
"Tapi, jangan kau tiru buk Muriah yang suka marah-marah"
"Hahahaha"
Kami tertawa riang disiang itu. Tawa khas anak-anak seperti kami, lepas tanpa beban tentang hari esok.
Sesampai disekolah, kelasku yang masih dipenuhi dedaunan dan sampah plastik. Aku menyapunya, Erna membantuku mengelap kaca jendela yang sebenarnya percuma karena kaca itu tidak akan mengkilap. Hanya sekedar basa-basi saja. Iwan, ketua piket hari ini baru saja datang.
"Darimana saja kau, baru datang jam segini"
"Macam tahu jam saja kau"
"Hah?"
"Lihat, apa kau memakai jam tangan. Memangnya ini jam berapa?"
"Hehehe....setidaknya matahari sudah muncul. Berarti itu sudah siang"
"Eh.....lanjutkan saja tugasmu. Aku akan melanjutkan tugasku" Iwan berlalu keluar kelas mengambil air satu ember untul menyiram lantai kami agar debunya tidak terlalu banyak.
Hanya aku dan Iwan yang piket dihari selasa. Karena banyak yang tidak mau sepiket dengan Iwan. Karena dia suka marah-marah tak ada penyebabnya. Seperti tadi, padahal aku cuma bertanya darimana. Dia langsung menjawabnya entah kemana-mana.
Buk Muriah sudah datang. Aku juga sudah selesai menyapu lantai. Aku memang senang sekali melihat wajah buk Muriah. Namun, guru sebaik dia sampai saat itu dia tetap sendiri. Memang usianya belum terbilang tua. Tapi, sebagai wanita kampung itu sudah dianggap tabu. Seorang wanita yang usianya diatas 20 tahun belum menikah. Rasanya ingin aku bertanya kepadanya. Kenapa dia mau berlama-lama menikah. Tapi belum ada momen yang tepat saja. Aku menyalami dan mencium penuh hikmat sambil membaca doa.
"Aku ingin seperti dia, Tuhan"
Semenjak kata cita-cita iti terlontarkan. Setiap pagi aku selalu berfoa seperti itu. Buk Muriah tersenyum manis kepadaku. Senyumnya itu sebuah kenangan yang tidak mungkin aku lupakan untuk selamanya.
Pelajaran pertama, kami belajar bahasa indonesia. Buk Muriah yang memang merangkap semua guru mata pelajaran. Sedang asik membacakan puisi karangan salah seorang pengarang puisi tentang kepahlawanan. Semua kami hikmat sekali mendengarkan Buk Muriah membacakan puisi itu. Bagus sekali. Selesai Buk Muriah memberikan sebuah pertanyaan.
"Siapa pahlawan dalam hidup kalian?"
Lalu Agus mengacungkan telunjuknya keatas.
"Superman buk"
"Yang lainnya?"
Erna menjawab
"Ayahku buk" erna yang selalu berbeda membuat aku terkesima atas jawabannya dan membuat buk Muriah bertanya
"Sehebat apa ayahmu, Erna?"
"Sehebat seorang pahlawan. Yang membesarkan anak-anaknya seorang diri. Menjadi ayah dan ibu. Sampai akhirnya dia lumpuh oleh keadaannya selama berperang sepanjang hidupnya" Erna menjelaskan perincian itu. Rumit. Mana mungkin anak seusia dia sudah memikirkan hal itu. Hei....usia seperti itu dijelaskan untuk bermain. Namun, aku tahu deritanya Erna. Menanggung besarnya tanggung jawab sebagai anak tertua dirumahnya.
"Wow....luar biasa Erna" tepuk tangan Buk Muriah yang matanya berkaca-kaca.
Pelajaran kami lanjutkan setelah kami istirahat. Tak ada yang bisa kami lakukan sedang istirahat kecuali main bola kasti. Sejenis olah raga bola kecil yanh mirip dengan softball. Kami cukup memukul nola yang dilontarkan ke arah kami. Dan...hap kami memukul bola melambung jauh, dan pemukul meninggalkan tempat dia memukul dan berllari kerarah area pertema. Itu area terpendek dari jarak antara tempat melemabungkan bola. Lalu pemain kedua melambungkan bola, dan tidak kena, maka pemain yang berada diarea pertama tidak bisa lari ke area kedua yang jaraknya lebih jauh. Lalu pemain berikutnya. Dan....taraaa...bola melambung jauh hampir home run. Pemain yang berdiam diarea kedua berlari ke area pemberhentian kedua. Jika bolanya masih belum bisa ditangkap maka pemukul bola bisa langsung lari ke area kedua. Pemain terakhir, adalah pemain penentu apakah regu ini akan menang atau kalah. Pemain terakhir diberikan kesempatan untuk memukul sebanyak 3 kali. Dan pada pukulam ketiga adalah pukulan penentu untuk para pemain yang lainnya kembali ke markas. Disini dipakai strategi tercepat dalam kecepatan berlari dan kelenturan tubuh saat mengelak bola.
"Hah....lamban sekali kau berlari, Mon"
"Hehehe.....aku susah berlari, Wan"
"Kau lihat, akibat lemak ditubuhmu itu jadi kalah kita"
"Akh....kau juga memukul bolanya tidak bertenaga"
"Masih menyalahkan aku. Kau lihat tadi hampir keluar lapangan sekolah"
"Eh....ini permainan apa yang kalian lakukan. Tidak baik seperti itu" Srik memisahkam pertengkaran antara Momon dan Iwan.
Peluh yang bercucuran ini membuat kami semua kepanasan. Berkipas-kipas didalam kelas. Ini menyenangkan sekali. Aku akan merindukan susasana bau peluh seperti ini. Ruanganpun menjadi pengap.
Sepulanh sekolah, sepeda butut warisan dari kakekku. Membawaku kearah pasar yang berasa 10 km dari rumahku. Dan menjual ikan hasil jaringan Bang Ipol tadi pagi. Bang Ipol adalah abangku yang paling tua. Hobinya memang memancing. Bahkan dia menghabiskan hari-harinya dengan memancing. Dia putus sekolah setelah ayah kami merantau dan tidak pulang-pulang dan bahkan tidak memberikan uang buat kami makan. Bang Ipollah yang membantu pekerjaan mamak dirumah. Banyak pekerjaan yang pernah Bang Ipol lakukan. Namun, tidak bertahan lama. Dan akhirnya dia mendapatkam jala bekas dari uwak Haris. Makanya Bang Ipol menjaring ikan dekat rumah kami yang memang dekat sungai. Dan hasilnya aku jual kepasar.
Sesampai dipasar aku menemui Wak Haris, yang pensiun jadi pencari ikan. Sekarang wak haris jualan ikan hasil jaringan Bang Ipol.
"Wak cuma segini dapatnya"
"Tak apa-apa, Sah"
"Ini upah buat hari ini" wak haris memberikanku 3 lembar uang 20.000an.
"Makasi wak"
Uang segitu cukup beli beras dan sayur. Untuk mencukupi kami berenam makan nanti malam sampai besok pagi. Aku membeli pesanan mamak. Beras dan sayur serta gula dan sekotak teh.  Saat menyelusuri pasar yang ramai disore hari itu. Aku melihat seorang anak perempuan yang sangat cantik. Bersih dan berkucir rapi rambut hitamnya. Bajunya juga bagus sekali. Rapi. Dan aku rasa dia seumuran denganku. Aku melihatnya terlalu lami, lalu dia melemparku dengan sebuah tomat merah segar. Tomat segar itu mendarat dikepalaku yang memiliki rambut yang kasar.
"Auw...." teriakku pelan.
"Mama....lihat anak gembel itu. Sepertinya dia mau mencuri" anak perempuan yang aku kagumi tadi berteriak yang membuat mataku terbelalak.
"Eh...eh..." jawabku heran.
"Dia mau mencuri, tangkap dianya bang" teriak ibu anak perempuan itu panik sambil menunjuk-nunjuk kearahku.
Seorang pria berbadan besar mendorongku hingga jatuh.
"Hei...kau tau tengik. Kai sedang berurusan dengan anak camat. Kau mau mencari mati, HAH!!!" Pria berbadan tegap itu memelototinku. Aku tertunduk lesu. Tidak ada niat untuk mencuri. Aku tahu aku susah, tapi ibuku selalu berkata "kita memang susah didunia, nak. Jangan sampai susah juga diakhirat. Lakukan pekerjaan yang halal saja. Mencuri itu haram. Mengambil yang bukan haknya itu sangat dilarang oleh agama"
Aku hampir mau menangis atas perlakuan pria tegap itu. Aku mengira aku akan dilemparnya ke sungai belakang pasar itu.
Aku pulang dengan rambut yang masih berlumur tomat. Sesampai dirumah ibuku bertanya apa yang terjadi dengan rambutku.
"Kau kenapa, Sah? Rambutmu itu kenapa?" Tanya mamakku cemas
"Tidak apa-apa, Mak. Boleh aku bertanya?"
"Apa itu?"
"Orang seperti kita tidak boleh memandang orang-orang kaya ya, Mak?"
"Hah....boleh saja. Kaya miskin itu cuma gelar didunia saja. Dimata Tuhan itu sama saja. Tidak ada perbedaan. Yang membedakan dimata Tuhan adalah baik dan buruk."
"Jadi, tidak masalahkam kalau aku memandangnya"
"Kau memandang siapa?"
"Anak camat, Mak. Cantik sekali bersih dan bajunya bagus. Aku ingin punya baju sebagus itu"
"Kau bisa membelinya. Kalau kau ada usaha, pasti bisa kau beli"
"Aku akan usaha mencari uang, mau beli baju bagus seperti anak camat itu"
"Terserah kau sajalah" mamakku tersenyum manis kepadaku. Senyumnya adalah semangatku setiap harinya.
Kak Ais dan Kak Nur, baru saja pulang dari tempat kerjanya ditoko baju Koko Acin. Biasanya Kak Ais dan Kak Nur selalu membawa makanan sisa dari keluarga Koko Acin. Tapi, hari ini jangankan makanan. Muka Kak Nur dan Kak Ais muram sekali. Mereka biasanya sepulang kerja langsung membantu mamak memasak, tapi malah berlama-lama dikamar. Aku melihat mereka dikamar. Mereka berdua sedang menghitung lembaran uang merah yang bernilai paling besar. Aku tercengan melihat uang sebanyak itu.
"Darimana kakak dapat uang sebanyak itu?" Tanyaku masuk kedalam kamar kami.
"Ssssssttttt.....jangan kuat-kuat suaranya, Is"
"Memangnya kenapa?" Tanyaku heran
"Kau ini berisik sekali. Kau masih kecil, sebaiknya kelura saja" sewot kak Aish
"Sudah..sudah....jangan bertengkar" pisah Kak Nur yang langsung menyembunyikan uang tersebut ke dalam kaleng bekas roti lebaran yang dikasi Koko Acin.
Akupun keluar kamar, dan mengabaikan mereka berdua. Karena mereka berdua memberi tanda jangan diusik.
Hari hari berlanjut semestinya. Mamak setiap subuh sudah bangun dan memasak sarapan untuk kami berlima. Bang Ipol juga sudah siap dengan jaringnya. Aku juga bersiap pergi kesekolah. Namun Kak Nur dan Kak Aish tidak berangkat kerja. Ini hari ketiga mereka tidak berangkat kerja. Dengan alasan Koko Acin sedang liburan bersama keluarganya dan semua pekerja diliburkan. Dan adikku yang masih berusia 3 tahun asik bermain sendiri dengan boneka turunan kucel itu.
Seperti biasa aku selalu pergi dengan Erna. Kami juga pulang bersama. Sekolah hari ini begitu sempurna. Aku mendapat pujian dari Buk Muriah karena sudah berlaku jujur. Memberitahukan bahwa Momon sedang mengambil pensil Tina diam-diam. Kata Buk Muriah "jadilah orang jujur didunia, nak. Karena itu kunci hidup sukses dunia dan akhirat". Aku hanya bisa tersenyum tersipu malu atas kejujuranku.
Saat berjalan menuju kerumah, aku melihat toko Koko Acin buka, dan keluarganya tidak liburan seperti yang dikatakan oleh kedua kakakku. Aku berkesimpulan bahwa mereka sedang berbohong kepada kami semua.
"Hoiiii.....Isah. kemana kedua kakak kau itu?"
"Heh" aku terheran ketika Koko Acin keluar dari toko bajunya.
"Kau bilang sama kedua kakak kau itu ya ......."
Mataku terbelalak mendengar penjelasan Koko itu yang membuatku hampir mau tumbang pingsan. Mulutku menganga karena terkejut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar