Jumat, 06 Februari 2015

You Are My perfect One



You are my Perfect One
chapter 2
Bangku
Setelah pulang sekolah, biasanya aku bersama 4 sahabatku menghabiskan waktu siang kumpul di rumah Eva. Yang berkebetulan rumahnya dekat sekali dengan sekolah. Kami mengobrol banyak sekali. Sampai pada disebuah ide untuk makan baso di tempat biasa kami kumpul.
“ngebaso’ yuk!” ajak Evi
“yuk!” jawab Reni
“okelah” aku dan Eva meng-oke-kan ide Evi
“tapi, Sonia gimana?”
“dia hari ini les bahasa mandarin. jangan diganggu, deh!” kata Eva
Kamipun berjalan ketempat makan baso’ itu. Sepanjang jalan kami mulai ngobrolin hal-hal sekolah. Mulai dari guru dan mata pelajaran yang sangat membosankan. Serta fashion terkini. Pada tahun ini, kami di suguhi banyakny boyband yang baru saja orbit. Westlife contohnya. Mereka adalah boyband terfavorite kami. Aku sangat menyukai Bryan Mc Fadden, dan aku membubuhi namaku menjadi Giska Mc fadden. Lalu Eva menyukai Mark Fahely, Reni menyukai Kian, Evi menyukai Nicky dan Sonia menyukai Shane. Dan kami mempunyai lagu favorite dari boyband itu, Season In The Sun. Kalau sudah berbicara tentang mereka kami sering berteriak kecil karena gemes.
Ketika para sahabatku membicarakan Westlife, mataku masih tertuju pada sebuah bangku. Seorang yang aku sangat tahu saiapa dia, sedang duduk sendiri. Aku merasa dia sedang menunggu. Dari kejauhan, masih sangat jauh sekali. Aku sangat tanda sekali. Dia melihat kekanan lalu kekiri. Dan terkadang mengankat tangannya ketika ada teman satu sekolahnya melambaikan tangan juga. Sampai tepat didepannyanya, Dia melontarkan senyumannya kepadaku. Sepertinya dia sudah tidk asing lagi denganku. Dia mulai mengenalku. Sepanjang jalan Cuma senyum-senyum sendiri. Sedangkan sahabatku masih asik dengan Westlife.
Sesampai ditempat baso’, bangku kosong yang hanya tersisa hanya 2 bangku. Cuma bisa diduduki 6 orang saja. Karena memang tempat baso’ ini sangat terkenal dikalangan para pelajar yang setelah pulang sekolah ngumpul-ngumpul dengan teman-temannya.
“kita disini aja, deh” kata Evi
Seperti biasa Evi selalu menentukan dimana kami harus ngumpul dan duduk. Dia seperti bos, tapi kami tidak pernah menganggap dia itu bos kami. Karena sedikit keras kepala makanya kami mengiyakan segala yang dia inginkan. Jika tidak, kami semua menanggung kemarahannya.
“kok disini?” kata Eva
“gak liat apa? itu disudut sana ada gank Minus ( gank kakak kelas yang super duper centil)
“tapi ini kan bangkunya sempit, Cuma muat 3 orang” kataku
“Yauda, kalau gak mau. Kau aja yang pindah kesana sendiri, Gis” kata Evi cemberut
Aku melengos pasrah. Karena Evi mengusirku, dan tidak mengizinkan untuk sebangku dengan mereka. Aku menuju bangku yang muat 3 orang itu. Eva mencoba mengikutiku, tapi dihentikan oleh Eva. Tak masalah bagiku, kalau aku ini hanya sebuah pelengkap saja di persahabatan ini. Hanya karena saja aku menyukai Bryan Mc. Fadden.
Sebuah mangkuk baso’ mendarat jelas kearahku. Dan mulutku sudah tak sabar ingin memakan mereka semua. Suapan pertama, begitu lega. Karena memang sedari tadi aku sedang lapar sekali.
“ini bangkunya kosong?” Tanya seseorang yang kedengarannya seperti suara laki-laki
“hu um kosong” jawabku tanpa memalingkan kepalaku kearah suara. Karena aku sedang focus dengan makan siangku.
“terima kasih” jawabnya. Aku hanya mengangguk pelan dan melanjutkan makanku.
“Bisa ambilkan saus cabenya” katanya membuyarkan makan siangku ini
“bisa” kataku meraih sebotol saus cabe kearahnya yang tepat duduk disampingku.
“terima kasih”
Ketika kata terima kasih yang terakhir ini, aku melihat siapa yang disebelahku. Mataku mau copot, karena terkejut, suara tercekik ingin menjerit. Dia, ya Dia yang senyumnya manis dan punya lesung pipi itu sedang berada disampingku. Dibangku paling sudut yang berdekatan dengan Gank kakak Kelas yang centil dengan tawa yang nyaring. Itu semua tidak terdengar lagi. Serasa semua suara teredam dalam lingkupku saja. Dan rasa laparku, tiba-tiba hilang. Moodku berubah drastis. Tak banyak bicara, kami sibuk dengan semangkok baso’ yang kami pesan. Lucu, aku merasa lucu sekali. Ketika ada momen pas seperti ini aku hanya bisa diam tak berani membuka percakapan yang selama ini aku inginkan.
Bangku, itu akan menjadi sejarah perjalananku pertama kali aku memandang wajahnya begitu dekat tanpa penghalang air hujan gerimis atau apapun itu. Kami sangat dekat sekali. Kakiku kembali tidak bisa berhneti bergetar lemas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar