Jumat, 06 Februari 2015

You Are My Perfect One



You are my Perfect One
chapter 14
Kabar
Sabtu sore yang mendung, Andri tiba-tiba datang kerumahku menyerahkan semua buku catatannya kepadaku. Aku heran kenapa buku itu diserahkan kepadaku. Tanpa banyak Tanya.
“Pergunakan buku ini dengan baik” Andri langsung pergi kembali kerumahnya.
Dengan wajah yang tidak tahu menahu aku menerima semua buku catatannya. Apakah ini bertanda baik atau buruk. Aku sendiri tidak tahu. Harus bertanya kepada siapa aku ini. Kenapa aku tidak mengejarnya, hanya terpaku didepan pintu rumahku. Aku hanya melihat punggungnya semakin menjauh dan tak terlihat.
“Kak, mama denger Andri mau pindah kekota?” kata Mamaku yang sedang memasak didapur
“Pindah. Kakak kok ga dikasi taunya ya, Ma” kataku heran
“Loh…mama kira kakak sudah dikasi taunya”
Aku masuk kekamar. Dan baru teringat tentang buku catatan yang diberikannya beberapa menit yang lalu. Entah kenapa aku tidak berani untuk kerumahnya sekarang. Apa aku takut dengan kabar yang diberitahukan mamaku itu benar? atau aku takut jika aku kesana akan memberatkan Andri untuk pindah dari sini. Alasannya apa dia pindah. Hubungan kami berjalan dengan baik. Tidak ada yang saling mengecewakan.
Sore ini terasa berat bagiku, badanlku hendaknya berbaring terus dikamarku. Sambil memeluk guling . Aku bertanya dalam hati. Apakah benar kabar kepindahan Andri itu. Aku meraih setiap buku catatan yang diberikan padaku. Ternyata aku melihat ada sebuah gamabr yang dibuatnya. Seorang perempuan berambut sebahu dengan senyuman yang merekah dan dibawahnya bertuliskan ALS. Siapakah perempuan ini, apakah aku?. Dan itu aku tahu pasti ALS adalah inisial dari namanya.
Kabar sore yang masih simpang siur ini, mengenang dan berbekas setelah aku melihat gambar seorang perempuan dengan rambut sebahu itu dibalik buku catatan matematikanya. Lalu kubuka lagi halaman berikutnya, hanya kosong. Cuma satu gambar itu saja. Apa sebaiknya aku telpon rumahnya.
“hallo, bisa bicara dengan Andri” tanyaku
“iya, ini siapa?”
“ini Giska tante”
“Oh…Giska. Kenapa gak datang kerumah aja. Andrinya lagi main tu sama temen-temennya”
“eh…iya tante makasi ya. Giska mau kerumah tante sekarang”
“iya, datang aja”
Andri masih bermain dengan teman-temannya. Berarti kabar yang diberitahukan mama itu salah. Andri tidak pindah. Aduh…si Mama dapat gossip darimana sih. Buat hati anak kesayangannya sedih saja. Tapi, mengapa perasaan yang tidak enak ini tiba-tiba muncul setelah aku sampai didepan rumahnya. Sepertinya aku akan melihat untuk terakhir kalinya saja.
“hoooiii…hoooiii” teriakku yang sembari masuk kedalam kamar Andri
“eh…kok gak bilang-bilang mau datang” Andri Heran
“memangnya sebelumnya harus bilang-bilang ya?”
“hehehehe…ya gak sih!!”
Ada yang janggal dengan pernyataan Andri itu. Tapi, apa Cuma perasaanku saja.
“aku mau tanya. Apa benar kamu mau pindah?”
“heh” Andri langsung memandang kearahku spontan dan memasang wajah yang berbeda dari sebelumnya. Sperti ada yang disembunyikan.
“sebaiknya kau beritahu dia, Ndri” kata Nikki
“Kami keluar dulu” Usuf bergerak bangkit dan meninggalkan kami berdua.
Setelah Nikki dan Usuf keluar kamar. Dan hanya tinggal kami berdua. Suara background music dari sega itu masih menyala. Dan aku masih ingat, ketika itu Game yang dimainkan adalah Mario Bross. Permainan yang selalu kami mainkan berdua dikala tidak ada PR diakhir pesan. Musik khas Mario Bros situ terdengar jelas ditelingaku.
“Papa di pindahkan kekantor wilayah. Mau gak mau kami sekeluarga harus pindah”
“terus” aku menunduk sedih
“Terus ya aku juga harus pindah. Papa sudah disana dari minggu lalu. Hari Minggu besok aku, Mama dan Prima akan menyusul papa”
“aku sendiri lagi”
“Kita bisa saling komunikasi. Jangan pernah memutuskan telpon rumahmu ya”
“hu um” Airmataku mengalir begitu saja. Ini Lebih sakit lagi ternyata daripada harus mendengarkan kata putus dari Ridan. Ini lebih kecewa lagi daripada pengkhianatan Evi padaku. Rasa apa ini. Apakah aku akan sendri lagi. Tak ada yang bisa aku ajak untuk bermain bersama. Aku termasuk anak rumahan. Tak banyak temanku. Hanya 4 orang sahabatku disekolah. Dilingkungan rumah, aku tidak punya teman.
“bertemanlah sama siapa saja, tapi jangan pernah bergantung kepada mereka. Buatlah mereka yang bergantung padamu. Kamu harus bisa melakukan itu. Berjanjilah padaku untuk berteman dengan siapa saja”
“hu um” Aku ingin berteriak dan menangis tapi semua itu aku tahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar